Kategori
Diskusi

Dibalik Pembangunan Proyek PLTPB Baturaden

Menelisik Nasib Warga Lereng Gunung Slamet

Menjelang akhir tahun 2017, saya bersama teman-teman yang tergabung dalam Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) berhasil menerbitkan sebuah karya jurnalistik berbentuk majalah. Dalam produk tersebut, kami mengangkat dampak dan jenis-jenis deforestasi secara komprehensif. Salah satu yang menjadi titik fokus kami kali ini adalah adanya Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) Baturaden yang berada pada kawasan hutan lindung gunung Slamet.

Dalam proses penggarapannya, kami pun melakukan investigasi ke daerah yang menjadi ancaman dampak mega proyek tersebut. Beberapa warga desa di kaki Gunung Slamet –terutama yang menjadi narasumber kami, menyambut kedatangan kami dengan wajah sumringah. Seolah berharap dengan berita yang nantinya kami sajikan, dapat membuat pembangunan proyek PLTPB tersebut berhenti untuk selamanya.

Kenapa? Bukankah PLTPB merupakan sumber energi yang terbarukan? Saya pikir pertanyaan semacam itu lazim terdengar. Bahkan mungkin dapat menjadi bahan perdebatan yang mengasyikan bagi sebagian akademisi. Namun, berbeda halnya dengan warga di kawasan kaki Gunung Slamet. Mereka tak memiliki waktu untuk memperdebatkan hal tersebut. Daripada berdebat, mereka lebih memilih untuk mencari sumber air jernih untuk mencukupi kebutuhan air mereka. Sebab aliran air yang tadinya menjadi sumber kehidupan mereka mulai tercemar karena proyek PLTPB tersebut.

Tercatat sepanjang bulan Juli sampai Oktober 2017 saja, terjadi hampir 5 kali kasus air keruh yang menimpa warga lereng Gunung Slamet. Daerah yang mengalami dampak terparah adalah Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas. Aliran sungai Prukut yang bersumber pada Curug Cipendok, keruh dan mengandung lumpur pekat. Hal ini menyebabkan terganggunya keberlangsungan hidup warga sekitar yang bergantung pada aliran sungai tersebut.

Padahal sekitar 50% warga di daerah Cilongok merupakan petani yang setiap harinya membutuhkan air untuk mencukupi kebutuhan kebun dan sawahnya. Tak hanya itu, sebagian warga lainnya yang berpofesi sebagai peternak mulai dari ikan, ayam dan hewan lainya, sempat mengalami kerugian akibat matinya hewan peliharaannya, akibat mengkonsumsi air keruh dari sungai Prukut tersebut.

Sebenarnya, kasus ini telah ditangani oleh PT. Sejahtera Alam Energi (SAE) selaku perusahaan yang menggarap proyek tersebut. Setelah mengetahui banyaknya dampak negatif yang warga rasakan, pihaknya segera membuat posko pengaduan untuk mengganti rugi akibat pembangunan proyek. Namun, hal ini tidak menjawab kekhawatiran warga akan adanya proyek tersebut.

Di lain tempat, warga Desa Semaya, Kecamatan Karanglewas, mendapat serbuan hama babi hutan dan beberapa fauna lainnya yang habitatnya mulai terusik dengan adanya pembangunan PLTPB. Migrasi hewan liar ini pun menghancurkan sebagian besar kebun dan sawah petani. Mereka gagal panen. Untuk itu, mereka mengganti tanaman yang tadinya menjadi komoditas utama seperti kapulaga, menjadi tanaman lain yang sifatnya tahunan.

Minimnya sosialisasi dan edukasi tentang bahayanya proyek tersebut menjadi polemik tersendiri bagi warga. Keterbatasan akses informasi dan tertutupnya proses pembangunan, membuat warga semakin dibingungkan dengan adanya proyek yang mengatasnamakan proyek nasional tersebut. Bahkan saat saya bertemu dengan beberapa warga desa di sana, ada warga yang sama sekali tak mengetahui adanya proyek di atas desanya. Ada juga yang mengaku mendapat informasi bahwa di kawasan hutan Gunung Slamet tengah dibuat jalan TOL yang menghubungkan Kabupaten Banyumas dengan Kota Semarang. Ironis.

 

Hutan Lindung Dibabat, Kehidupan Kami Terancam

Dampak negatif serta kerugian yang warga alami merupakan dampak awal dari proses panjang pembangunan PLTPB Baturaden. Padahal saat ini proses pembangunan proyek tersebut masih dalam tahap eksplorasi. Pada tahap ini, hutan lindung yang menjadi kawasan konservasi akan dibabat untuk mempermudah akses alat-alat berat masuk dan beroperasi.

Belum lagi jika kita menelisik rencana pembangunan proyek tersebut memiliki Wilayah Kerja Proyek (WKP) di atas lahan seluas 24.660 Ha. Sedangkan gunung Slamet sendiri hanya mempunyai sisa hutan seluas 52.617 Ha dengan sepertiganya merupakan hutan lindung. Tutupan vegetasi ini merupakan yang terluas di Jawa Tengah dari total sisa hutan seluas 649 ribu Ha, atau sekitar 19,93 % dari luas daratan di provinsi Jawa Tengah. Akan menjadi ancaman besar saat deforestasi yang tidak berjalan beriringan dengan kaidah lingungan yang baik, menjadi semakin ganas melahap hutan-hutan yang setiap tahun masif terdegradasi.

Padahal, keberlanjutan ketahanan pangan di Kabupaten Banyumas, dan pemanfaatan wisata alam serta pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA) terutama air, sangat bergantung pada berfungsinya kawasan Gunung Slamet sebagai daerah penangkapan serta penyimpanan air. Fungsi hidrologi ini sangat bergantung pula pada keutuhan hutan di kawasan konservasi gunung Slamet.

Beberapa bulan lalu, sempat ramai video berdurasi pendek yang diunduh di youtube yang menggambarkan kondisi hutan lindung Rata Amba, Desa Semaya, Kecamatan Karanglewas. Video yang berjudul “PLT Panas Bumi Mengancam Ekosistem Hutan Lindung di Gunung Slamet” mempertontonkan kondisi hutan yang pohon-pohonnya sudah rata dengan tanah. Dalam video tersebut juga terlihat patok bertuliskan PT. Sejahtera Alam Energi (SAE) terpampang di bekas pohon besar dalam area hutan lindung tersebut.

Hal ini menyebabkan kegelisahan warga semakin menjadi. Sebab, menurut penurutan warga setempat, dahulu sekitar tahun 1994, saat kesadaran warga untuk menjaga lingkungan masih sedikit, mereka kerap menebang pohon secara liar. Dampaknya ladu, sebutan banjir bandang bagi warga setempat pernahh terjadi dan menerjang desa di sekitar sungai Logawa.

Kini warga  Semaya dihadapkan ancaman baru berupa pembabatan hutan secara masif yang dilakukan oleh PT. SAE. Padahal kesadaraan warga kini telah membaik, terbukti dengan keikutsertaannya menjaga alam dan tak lagi membabat hutan secara sembarangan.

Di Dusun Rinjing, Desa Gunung Lurah, Kecamatan Cilongok, puluhan ekor babi hutan turun dan memakan tanaman mulai dari padi, kapulaga, dan beberapa jenis tanaman lainnya. Warga yang kesehariannya bergantung pada sektor pertanian, kini mulai terancam kesejahteraan hidupnya.

Dampak lain dari deforestasi pembangunan PLTPB di daerah hutan lindung gunung Slamet di  bidang pertanian adalah erosi. Hal ini terjadi akibat air hujan yang jatuh ke tanah dengan energi kinetik yang besar. Dengan kecepatan tinggi dan massa yang besar, serta tidak adanya pepohonan yang menahan jatuhnya air hujan, membuat tanah menjadi butiran yang lebih ringan dan mudah hanyut terbawa air hujan. Tergerusnya lapisan tanah dipermukaan yang mengandung solum tanah yang subur, membuat tingkat produktivitas panen menurun.

Masyarakat Rinjing yang memiliki kearifan lokal dalam bertani seperti, tidak menanam tanaman yang bersifat musiman di tanah yang memiliki kemiringan tinggi, dan tidak menebang pohon yang masuk dalam kawasan hutan lindung, adalah bentuk penjagaan kelestarian ekosistem di area Gunung Slamet. Mereka memiliki prinsip bahwa, jika alam dimanfaatkan sesuai kebutuhan maka alam lestari, tetapi jika alam digunakan dengan keserakahan maka kehidupan mereka terancam.

 

Ekologi vs Investasi, Mana yang Diprioritaskan?

Deforestasi atau alih fungsi hutan guna tujuan tertentu memang tidak bisa dihindari. Hal ini dikarenakan kebutuhan manusia yang semakin kompleks. Namun, yang kita harus pahami adalah bagaimana pemanfaatan pembukaan lahan hutan agar tidak merusak siklus keanekaragaman hayati dan ekosistem di Gunung Slamet.

Kekhawatiran masyarakat apabila lahan-lahan pertanian yang subur mengalami alih fungsi dari pertanian menjadi kawasan industri atau pertambangan, menjadi alasan logis mengapa kita perlu menolak pendirian proyek PLTPB. Disaat warga tengah menjaga alam kearifan lokalnya dibidang pertanian, ancaman deforestasi di bidang pertambangan seolah berbanding terbalik dengan apa yang warga lereng Gunung Slamet lakukan.

Kini ketakutan warga lebih terfokuskan pada tingkat kesuburan tanah dan kebutuhan sumber air yang sewaktu-waktu dapat hilang akibat pemanfaatan alam secara asal. Lalu, apakah ekologi di gunung Slamet masih dapat terjaga dengan adanya pembangunan proyek tersebut?

PLTB Baturaden berencana menggunakan hutan lindung seluas  44 Ha di empat lokasi sumur di wilayah Brebes dan Banyumas. Proyek ini memiliki nilai investasi sebesar 7 triliyun. Pembangkit listrik ini ditargetkan akan memproduksi listrik sebesar 131 Mega Watt.

Sedangkan menurut Manajer PLN Area Demak Grobogan, Mudakir, di hadapan anggota Apindo Kabupaten Demak, di Hotel Amantis, Selasa (9/5/2017), Jawa Tengah sendiri ternyata memiliki surplus daya listrik sebesar 1.100 Mega Watt. Ikhwal pernyataan Mudakir di sana, membuat tanda tanya besar terhadap pembangunan proyek PLTPB Baturraden. Sebenarnya apa orientasi PLTPB tersebut? Apakah demi menujang kapasitas listrik di saat masyarakatnya surplus listrik? Atau untuk menfasilitasi para investor besar yang menacapkan modalnya di Indonesia? Hal ini memunculkan anggapan bahwa pemerintah sekarang tengah menjual hutan yang dimiliki Indonesiasaat ini, demi mempermudah program-program investasinya.

Kategori
Diskusi

Usir PT.SAE Untuk Slamet

PLTPB ADA

KRISIS AIR MELANDA

TOLAK PLTPB .USIR PT.SAE

 

Seperti itulah isi poster-poster yang tengah terpampang di berbagai sudut jalan yang penulis lewati, Purwokerto. Mungkin sebagian orang hingga kini masih tidak mengetahui mengenai apa itu Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Baturaden. Apalagi seperti Purwokerto yang bukan daerah terdampak (langsung) dari proyek tersebut.

PLTP atau Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi merupakan industri penyedia energi listrik bersumber panas bumi. Proses pembangunan ini terdiri dari tahap eksplorasi dan eksploitasi. Pada proses eksplorasi terdapat beberapa kegiatan yaitu mobilisasi kegiatan dan material untuk pembuatan infrastruktur seperti jalan, jalur pipa, embung dan landasan sumur pengeboran. Setelah itu dilakukan pengeboran untuk uji panas bumi.

Sejak Oktober 2016 tahap eksplorasi berupa pembabatan hutan di wilayah Gunung Slamet untuk pembangunan PLTP Baturaden sudah mulai dilakukan. PT. Sejahtera Alam Energy (SAE), pemrakarsa proyek ini mengantongi izin per-Agustus 2016 untuk menggunakan lahan seluas 488.288 hektar. Hal tersebut dalam Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) tahap eksplorasi nomor 20/1/IPPKH/PMA/2016 diterbitkan pada 5 Oktober 2016. Sedangkan keseluruhan Wilayah Kerja Panas Bumi Baturaden sesuai dengan keputusan Menteri ESDM Nomor 1557.K/30/MEM/2010 seluas 24.660 hektare

Berdasarkan data kesatuan pemangku hutan Banyumas Timur, Gunung Slamet mempunyai ketinggian 3.428 mdpl dan sisa hutan 52.617 hektare, sepertiganya berupa hutan lindung.

Gunung Slamet merupakan gunung terbesar ke dua di pulau Jawa setelah Gunung Semeru. Secara geografis Gunung Slamet terletak di antara lima kabupaten yaitu Banyumas, Tegal, Pemalang, Brebes, dan Purbalingga. Jika dilihat gunung slamet tepat berada di tengah pulau jawa dan membentang dari utara ke selatan. Karena itulah gunung slamet merupakan kehidupan bagi pulau Jawa.

 

Slametku, Kini

Gunung Slamet bukan hanya sebagai sumber kehidupan bagi masyarakat namun sebagai habitat flora dan fauna di dalamnya. Keindahannya juga menarik untuk dijelajahi, namun semua berubah ketika PLTP Baturaden masuk dan mulai meng-eksplorasi wilayah lereng selatan Gunung Slamet. Wilayah tersebut masuk ke dalam zona merah atau rawan bencana. Tahap eksplorasi yang sedang dilakukan yaitu pembukaan lahan memenggunakan alat-alat berat dengan membabat hutan lindung yang ada di kawasan Gunung Slamet.

Dalam Peraturan Daerah (perda) Kabupaten Banyumas Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banyumas Tahun 2011-2031, pada BAB V Rencana Pola Ruang Bagian Kedua Paragraf 1 menjelaskan Wilayah Kecamatan Cilongak (tempat pembuatan jalan) dan Baturraden (lokasi PT SAE) adalah kawasan yang harus dilindungi. Berdasarkan data dari Aliansi Selamatkan Slamet melalui leaflet yang disebarkan di desa-desa sekitar dampak dari eksplorasi tersebut diantaranya.

  1. Berdasarkan Peta Kerentanan Tanah yang diterbitkan oleh Dinas ESDM Banyumas, lereng selatan slamet berada di zona merah. Artinya, zona ini selalu bergerak sehingga rawan bencana. Sewaktu-waktu dapat terjadi longsor meskipun tanpa aktivitas apapun. Zona ini mencakup sebagian besar kecamatan Cilongok, dan sebagian lagi di Kedungbanteng, Karanglewas, Baturraden, dan Sumbang di sisi utara. Proses  eksplorasi dan eksploitasi panas bumi seperti mobilisasi alat berat dan pengeboran tanah, menghasilkan getaran yang besar. Penelitian dari Bosman Batubara (ahli geologi/ilmu bumi) menyatakan pada umumnya proses pengeboran dapat menghasilkan gempa minor 3 sampai 4 skala richter. Gerakan seukuran itu tergolong berdampak serius bagi area di lereng selatan Slamet, mengingat kemiringannya yang curam, dan posisinya yang berada di zona merah.
  1. Saat proses pengeboran, pada umumnya kedalaman yang akan dibor ialah mencapai 3000 meter di bawah permukaan bumi. Dibutuhkan air permukaan untuk membantu pengeboran dalam memecah bebatuan di dalam bumi. Air yang akan diambil berasal dari sungai logawa dan sungai Banjaran, serta air tanah yang lokasinya belum diketahui. Dalam dokumen lingkungan hidup PT SAE juga belum jelas  berapa jumlah air yang akan diambil untuk pengeboran. Yang jelas air di lereng selatan Slamet akan berkurang. Padahal air adalah sumber kehidupan bagi warga lereng selatan Gunung Slamet.
  2. Hutan di Slamet adalah tempat tinggal berbagai hewan liar. Ketika hutan lindung dibabat dengan area seluas itu, wilayah jelajah hewan akan semakin menyempit. Hewan-hewan liar terpaksa menyingkir dan mencari tempat hidup lain, termasuk ke pemukiman masyarakat. Bahkan warga pinggiran hutan lereng gunung slamet kini mulai mengeluh karena kebunnya dirusak oleh turunnya babi hutan yang biasanya hidup di tengah hutan.
  3. Berdasarkan rilis aksi 9 Oktober 2017, kerugian yang diakibatkan oleh dampak keruhnya kali Prukut terus terjadi. Sebagian besar warga mengalami krisis air bersih, sehingga cukup mengganggu aktivitas harian rumah tangga. Sektor ekonomi ikut terganggu pula, mulai dari sektor pertanian, peternakan ikan dan ayam, serta industri tahu di Kalisari.

Demi mendapatkan listrik 220 megawatt yang entah siapa konsumennya, pemerintah daerah mengorbankan kehidupan banyak orang. Belum tentu listrik yang dihasilkan akan kembali kepada rakyat atau justru akan semakin mengaliri gedung-gedung dan supermarket yang semakin manjamur di sekitar Banyumas.

 

Aksi Penolakan

Masyarakat Banyumas baik yang terdampak maupun tidak menunjukkan kepeduliannya terhadap Gunung Slamet yang sedang tidak baik-baik saja. 18 Juli 2017 kurang lebih 500 orang massa aksi mengepung kantor kabupaten Banyumas. Dengan tujuan memepertanyakan hal-hal berikut.

  1. Apakah pemerintah dan PT SAE akan menjamin proyek ini tidak akan mengakibatkan bencana longsor maupun banjir bandang?
  2. Apakah sistem perairan di Gunung Slamet tidak akan terganggu dengan adanya proyek ini?
  3. Pada proyek ini, PT SAE hanya berbekal dokumen lingkungan yang seadanya, yaitu UKL-UPL. Apakah dokumen ini sudah layak dan tepat sebagai landasan perencanaan untuk proyek PLTPB di Gunung Slamet? Mengingat, ada banyak sekali kekeliruan data dan potensi kebencanaan yang tidak dimuat dalam dokumen lingkungan PT SAE.

Maka dari itu Bupati Banyumas berjanji kepada massa bahwa PT SAE akan menjawab semua pertanyaan massa dalam forum yang diadakan di Universitas Jenderal Soedirman yaitu Seminar series on New and Renewable Energy bertajuk “Geotermal sebagai Sumber Energi Terbarukan yang Ramah Lingkungan.”

Karena tidak mendapatkan hasil yang diharapkan dari pertemuan tersebut serta dampak kerugian yang makin hari semakin dirasa masyarakat maka berbagai elemen yang tergabung dalam alians Selamatkan Slamet melakukan aksi damai . pada 09 Oktober di depan Kantor Bupat Banyumas dengan memberikan tuntutan:

  1. Cabut izin eksplorasi panas bumi PT SAE
  2. Hentikan seluruh aktivitas eksplorasi di Gunung Slamet
  3. Segera tarik mundur alat berat dari Gunung Slamet

Bupati Banyumas menjawab tuntutan aksi melalui pesan singkat bahwa yang dapat menghentikan proyek PLTP Baturraden hanyalah Gubernur Jawa Tengah. Ia juga menyatakan bahwa telah mengirimkan surat rekomendasi untuk evaluasi proyek PLTP Baturraden.

Dari perihal surat yang dikirimkan kepada Gubernur, jelas bahwa pemerintah daerah akan mengevaluasi proyek bukan dampak-dampak yang telah meresahkan masyarakat terkait PLTP Baturraden.

 

Slametku, Tanggungjawab Siapa

Berbekal dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL) pemerintah memberikan izin pembangunan proyek PLTP. Padahal UKL-UPL digunakan untuk usaha yang tidak memiliki dampak panjang dan termasuk dalam skala usaha kecil. Sekelas proyek PLTP Baturaden seharusnya pemrakarsa mengeluarkan AMDAL (Analisisn Mengenai Dampak Lingkungan) sebagai rujukan perencanaan pembangunan.

Pada PP No 27 Tahun 2012 Bab I Pasal 1 poin 2 yang dimaksud AMDAL adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggara usaha dan/atau kegiatan. Jadi semua usaha yang berdampak penting wajb memiliki AMDAL.

Usaha yang wajib menggunakan AMDAL yaitu usaha yang bersifat strategis. Dalam pasal 54 ayat 6 dalam penjelasan, PLTP merupakan salah satu usaha yang bersifat strategis. Selain itu dilihat juga dari cakupan wilayah usaha, penduduk terdampak serta jangka panjang dari pengelolaan usaha. PLTP Baturraden merupakan usaha yang wajib mengeluarkan dokumen AMDAL dalam pelaksanannya.

PT SAE menggunakan Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) yang berarti pihaknya harus mengembalikan seperti semula apa yang dipinjamnya. Walaupun dari menteri kehutanan mengharuskan PT SAE mengganti dua kali lipat lahan yang dipakai, namun apakah akan sama seperti semula? Penanaman tersebut bukan dalam waktu yang singkat. Dapat memakan waktu berpuluh bahkan beratus tahun. Lalu selama itukah membiarkan penopang kehidupan nasional ini terus gundul? Apalagi PT SAE mendapatkan izin untuk mengeksploitasi panas bumi Baturraden selama 35 tahun.

Dalam seminar tanggal 24 juli di UNSOED, PT SAE yang diwakili Bintang Sasongko tidak dapat menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan oleh Aliansi Selamtkan Slamet yang diwakili Muflih Fuady. Masyarakat juga meminta ada pernyataan hitam di atas putih, bahwa pemerintah dan PT SAE akan bertanggungjawab terhadap bencana yang akan terjadi. Akan tetapi permintaan ini tidak disanggupi. Lalu jika sudah seperti ini, Slametku yang sudah rusak tanggungjawab siapa?