Kategori
Diskusi

Hak Atas Kehidupan Layak dan Proyek Bandara Kulonprogo

Setiap pribadi memiliki harkat dan martabat yang sama sebagai manusia. Dalam pembukaan Deklarasi Universal Hak Asasi manusia (DUHAM) disebutkan, bahwa pengakuan atas martabat yang melekat pada hak-hak yang sama tidak dapat dicabut dari semua anggota keluarga manusia. Ia adalah landasan bagi kebebasan, keadilan dan perdamaian di dunia.

Namun acapkali dalam suatu proses pembangunan, masyarakat dilanggar hak asasinya sebagai manusia. Hak-hak yang mendasar dan melekat sepertinya dicerabut hanya karena mereka tidak mau menjual tanahnya untuk sebuah pembangunan. Apalagi dalam proses pengukuran, pelepasan lahan dan pembangunan, pemerintah seringkali menggunakan aparat keamanan untuk mengintimidasi warga. Padahal setiap manusia memiliki hak atas kehidupan yang layak menyangkut rumah; hidup yang aman, tentram, damai, bahagia, sejahtera; hak milik; hak atas lingkungan yang baik; hak atas identitas yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan dan pelayanan sosial.

Untuk itu, penulis akan mengkaji (kemungkinan) pelanggaran HAM, terkhusus hak atas kehidupan yang layak apabila rencana pembangunan bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA) di Kulonprogo dilanjutkan.

Sejarah Perumusan Hak Asasi Manusia

Perumusan Dokumen Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) tidak terlepas dari peristiwa Perang Dunia II dimana banyak orang tidak punya tempat tinggal, tidak mempunyai kehidupan yang layak, tidak punya hak milik, tidak bebas kembali dan pergi dari negaranya, tidak bebas mengeluarkan pendapat, dll. Karena itu PBB membentuk komisi tentang Dewan Ekonomi dan Sosial (ECOSOC) yang bertugas membentuk Komisi Hak Asasi Manusia (commission of human rights). Setelah dibentuk, dewan tersebut mulai bersidang pada bulan Januari 1947 di bawah pimpinan Ny. Eleanor Rossevelt dan beberapa anggota seperti John Peters Humphrey dari Kanada, Jacques Maritain dari Prancis, Charles Malik dari Lebanon, P.C. Chang dari Republik Tiongkok, dll.

Namun dalam perumusannya, DUHAM juga merujuk pada dokumen-dokumen terdahulu seperti Magna Charta di Inggris (1215), Bill of Rights (1689), Declaration of Independence USA (1776), Bill of Rights USA (1791), Declaration of Rights of Man and The Citizen Prancis (1789). Dokumen-dokumen tersebut berisi tentang kerajaan tidak akan mencampuri urusan gereja, tentang kebebasan kepada warga negara untuk berpartisipasi dalam kehidupan publik, dan negara menjamin hak-hak warga negara.

Setelah 2 tahun perumusannya maka pada tanggal 10 Desember 1948 diselenggarakanlah sidang Umum PBB di Istana Chaillot, Paris dan mereka menerima hasil kerja panitia tersebut. Karya itu berupa Universal Declaration of Human Rights atau Pernyataan Sedunia tentang Hak–Hak Asasi Manusia, yang terdiri dari 30 pasal. Dari 58 Negara yang terwakil dalam sidang umum tersebut, 48 negara menyatakan persetujuannya, 8 negara abstain (Belarusia, Cekoslavakia, Ukraina, Polandia, Uni Soviet, Yugoslavia, Afrika selatan, Arab Saudi) dan 2 negara absen. Oleh karena itu, setiap tanggal 10 Desember diperingati sebagai hari Hak Asasi Manusia. Sekretaris PBB sendiri pada waktu itu adalah Trygve Lie dari Norwegia.

Hak atas kehidupan yang Layak

Setiap warga negara mempunyai hak untuk kehidupan yang layak berupa tempat tinggal, lingkungan yang sehat dan bahkan mendapat jaminan sosial. Untuk itu berikut ini poin-poin dari regulasi yang mengatur hak atas tempat tinggal dan kehidupan yang layak.

  • UUD 1945 pasal 28H ayat (1), “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
  • UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM pasal 40, “Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak”.
  • UU No. 11 Tahun 2005 tentang Hak Ekonomi Sosial Budaya (Ratifikasi Kovenan Internasional Tentang Hak Ekonomi Sosial Budaya) pasal 11 ayat (1), “Negara pihak mengakui hak setiap orang atas standar hidup yang layak baginya dan keluarganya, termasuk pangan, sandang dan perumahan, dan atas perbaikan kondisi hidup terus menerus…”
  • DUHAM pasal 25 ayat (1), “Setiap orang berhak atas tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang diperlukan, dan berhak atas jaminan pada saat menganggur, menderita sakit, cacat, menjadi janda/duda, mencapai usia lanjut atau keadaan lainnya yang mengakibatkannya kekurangan nafkah, yang berada di luar kekuasaannya”.
  • Konvensi tentang Hak-Hak Anak Pasal 27 ayat (3), “Sesuai dengan kondisi nasional dan dalam batas kemampuan mereka, negara-negara pihak harus mengambil langkah-langkah yang layak guna membantu orangtua dan orang-orang lain yang bertanggungjawab atas anak untuk melaksanakan hak ini, dan bila diperlukan, memberi bantuan material dan program bantuan, terutama yang menyangkut gizi, pakaian dan perumahan”.

Ketentuan lain

  • Komentar umum (Konvensi Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya – ICESCR – 13 Desember 1991) 4 tentang Hak atas Tempat Tinggal yang Layak (Pasal 11 ayat [1]) menegaskan bahwa “hak asasi atas tempat tinggal yang layak, yang bersumber dari hak atas kehidupan yang layak, adalah yang utama terpenting untuk penikmatan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya”.
    Komentar umum (Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik – ICCPR – 1997) No. 7 tentang Hak atas Tempat Tinggal yang Layak: Pengusiran Paksa: Pasal 16 menegaskan “Pengusiran tidak boleh menjadikan individu-individu tidak berumah atau rawan terhadap pelanggaran hak-hak asasi manusia lainnya. Dimana orang-orang terimbas tidak mampu menyediakan berbagai kebutuhan mereka sendiri, negara harus menyediakan segala ukuran yang tepat, untuk memaksimalkan sumber daya tersedia, untuk memastikan bahwa perumahan, pemukiman, atau akses alternatif atas tanah yang produktif, tergantung kasusnya, tersedia”.

Proyek Bandara Kulon Progo

Kalau kita melihat Perpres No. 3 tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, pembangunan New Yogyakarta International Airport (NYIA) yang bertempat di Kulonprogo adalah salah satu dari proyek strategis nasional. Namun menjadi persoalan ketika IPL (Izin Penetapan Lahan) No. 68/KEP/2015 mendahului Kerangka Acuan Analisis Lingkungan (KA Amdal). Padahal kalau mengacu pada UU No. 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum dan PP No. 71 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum menetapkan bahwa Amdal harus ada sebelum IPL dan pembebasan lahan.

Kalau melihat regulasi yang ada nampak bahwa ada ketidaksesuaian antara tahap-tahap yang harus dilalui dengan kenyataan yang ada. Maka sangat wajar kalau penetapan lokasi bandara di Kulonprogo terlihat dipaksakan karena memang tidak sesuai dengan mekanisme regulasi yang ada.

Pembangunan bandara yang memang tidak sesuai dengan regulasi yang ada dan terlihat dipaksakan telah mengakibatkan proses ini cacat dari awal. Selain itu pemilihan tempat pembangunan di lahan yang produktif juga menimbulkan persoalan. Apalagi tidak ada jaminan ekonomi bagi warga ketika mereka menyerahkan tanahnya untuk dijual ke pihak bandara telah menambah persoalan lain. Maka sangat wajar kalau warga yang tergabung dalam Wahana Tri Tunggal (WTT) yang berjumlah sekitar 300 kepala keluarga, tidak mau menjual tanah mereka, karena memang mereka punya hak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya (UUD 1945 pasal 28A).

Seandainya proyek NYIA tetap dipaksakan untuk dijalankan maka negara harus bisa melindungi dan menjamin hak-hak setiap warga negara termasuk warga WTT. Hak untuk punya tempat tinggal dan kehidupan yang layak tetap harus dijamin karena hak itu sudah melekat dalam setiap pribadi manusia sejak ia lahir. Pengabaian hak dasar warga WTT untuk dihormati haknya karena tidak bersedia menjual tanah dan memaksa mereka menjual tanah dengan cara mengintimidasi mereka telah menimbulkan pelanggaran HAM. Pelanggarannya bisa dilakukan oleh negara sendiri (by commission) atau negara membiarkan terjadinya pelanggaran HAM dengan cara membiarkan pihak pengembang melakukan intimidasi kepada warga supaya mereka menjual tanahnya (by omission).

Karena negara memiliki kewajiban untuk melindungi (to protect), menghormati (to respect) dan memenuhi (to fulfil) hak warga negara. Apalagi hak untuk hidup, mempertahankan hidup, bebas dari penyiksaan adalah hak yang tidak boleh dilanggar (Non-derogable rights).

Untuk itu pemerintah memang perlu menghomati pilihan warga WTT untuk tidak menjual tanahnya karena hal ini menyangkut hak warga WTT atas kepemilikan, tempat tinggal dan kehidupan yang layak. Kalau rencana NYIA tetap dilanjutkan di Temon, Kulon Progo maka akan menambah catatan merah pelanggaran HAM di Indonesia.

 

Bacaan Rujukan

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, yang ditetapkan oleh Majelis Umum dalam Resolusi 217 A (III) tertanggal 10 Desember 1948.

General Comment International Convenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) no. 4 tanggal 13 Desember 1991.

General Comment International Convenant on Civil and Political Rights  (ICCPR) no. 7 tahun 1997.

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia no. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia yang ditetapkan tanggal 13 November 1998.

Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, yang ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI) tanggal 16 Desember 1966.

Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, yang ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI) tanggal 16 Desember 1966.

Konvensi tentang Hak-Hak Anak, disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 20 Nopember 1989.

Ni Wayan Dyta Diantari, Sejarah Hak Asasi Manusia dalam https://emperordeva.wordpress.com/about/sejarah-hak-asasi-manusia/, diakses 21 November 2016.

Peraturan Presiden No. 3 tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.

Putusan Presiden No. 71 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Undang-Undang Dasar Nagara Indonesia 1945 Amandemen IV.

Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Undang-Undang No. 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Kategori
Diskusi

Kebebasan yang Bertanggung Jawab

Bagaimana kita bebas mengenakan kaos warna apa saja, dan bertulis kata-kata provokatif sekeras apapun? Jika ada kebebasan berekspresi yang rawan dan membuat orang takut untuk mengulanginya. Dituduh menghina atau mencemarkan nama baik, mereka bisa dipenjara bila orang lain tak terima atas ekspresi dan tindakan tertentu.

John Locke menguraikan bahwa kebebasan berekspresi ialah kebebasan untuk mencari, menyebarluaskan dan menerima informasi, kemudian memperbincangkannya. Dalam perbincangan tersebut memberikan pilihan apakah akan mendukung atau mengkritiknya? Hal tersebut Ia nilai sebagai sebuah proses untuk menghapus miss-konsepsi atas fakta dan nilai yang ada[i].

Kebebasan berekspresi dapat dituangkan melalui berbagai cara, seperti berserikat, berkumpul, dan menyuarakan pendapat melalui lisan maupun tulisan, dengan medium apapun. Sementara bagi John Stuart Mill dalam salah satu master piece bukunya, On Liberty (1859), Ia berpendapat bahwa kebebasan yang dilakukan, semata-mata untuk melindungi warga dari penguasa yang korup dan tiran. Kebebasan itu menjadi senjata untuk melawan penindasan yang telah dilakukan penguasa terhadap warganya. Hal itu didukung oleh pernyataan La Rue (2010) bahwa kebebasan tersebut bisa diekspresikan dengan cara-cara yang menurut mereka tepat[ii]. Masyarakat memiliki kreativitas tersendiri untuk “melawan” yang terkadang tak terpikirkan oleh kita tapi dilakukan oleh orang lain.

Anda tahu sendiri kan, bagaimana Kim Jong-Un dengan mudah mematikan menteri-menterinya? Mewajibkan potongan rambut laki-laki harus seperti potongan rambutnya karena menurutnya itu mencerminkan sikap bernegara bangsa Timur. Kim Jong-Un disebut-sebut sebagai pemimpin yang otoriter di abad ke-21 sebagai suksesi Hitler dan Mussolini di Eropa. Setelah itu, banyak muncul karya kreatif dalam bentuk meme yang menyindir Kim Jong-Un.

Pengekangan kebebasan berekspresi di Korea Utara mungkin bisa dimaklumi karena negara tersebut hanya memiliki satu partai dan dipimpin oleh seorang diktator. Namun tidak untuk Indonesia, sebuah negara yang demokratis idealnya akan memberikan ruang yang luas bagi kebebasan berekspresi warganya. Hal ini bisa terkait dengan Hak Asasi Manusia (HAM), keterbukaan informasi untuk publik, serta hak memilih dan dipilih. Kebebasan berekspresi menjadi semacam syarat wajib bagi sebuah negara yang menggunakan sistem demokrasi dalam asas pemerintahannya. “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” sebagai sila ke-5 Pancasila, yang berarti negara dan warganya mengakui hak-hak orang lain.

Kebebasan yang Bertanggung Jawab

Memang segala tindakan manusia, termasuk kebebasan berekspresi akan dipertanggungjawabkan nantinya, baik itu tindakan benar ataupun salah. Dalam konsepsi seorang muslim, pertanggungjawaban itu dilakukan di dunia dan di akhirat. Yang menarik adalah pertanggungjawaban yang dilakukan manusia selama di dunia, karena pertanggungjawaban yang dilakukan ini belum tentu sesuai dengan apa yang harus Ia pertanggungjawabkan di hari akhir nanti. Manusia bisa dinilai salah oleh hakim manusia, tetapi tidak bagi yang Maha Hakim.

Pertanggungjawaban itu akibat dari tindakan, misalnya kebebasan berekspresi yang telah dilakukan. Hal tersebut merupakan sesuatu yang wajib dipahami oleh setiap warga. Agar setiap warga negara yang melakukan aktivitas tidak dengan mudah melanggar peraturan-peraturan lain seperti Hak asasi yang dimiliki manusia. John F. Kennedy memeribahasakan, “hak setiap orang akan berkurang ketika hak orang lain terancam.”

Dalam peraturan hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia, kita memiliki Undang-undang Dasar 1945 pasal 28 J ayat 2 yang mengatakan “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam masyarakat demokratis.”

Maka dari itu, jadilah manusia yang bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukan.

Selama Itu Benar Jangan Takut

Rakyat merupakan “Raja” dalam sistem pemerintahan trias politica yang digagas John Locke. Ia menjadi elemen penting dalam sebuah negara demokrasi. Tidak boleh dikesampingkan, apalagi dihilangkan. Kemauan rakyat ialah sebuah mandat yang seharusnya menjadi dasar pengambilan keputusan oleh legislatif dan eksekutif, karena rakyat yang memilih mereka melalui demokrasi langsung atau tidak langsung. Seperti Joko Widodo yang membatalkan keputusan Menteri Perhubungan, Ignasius Jonan yang melarang Go-Jek untuk beroperasi. Seharusnya pemimpin memang mengutamakan kepentingan rakyat dalam mengambil keputusan.

Begitu pula rakyat harus didengar pendapatnya, aspirasinya yang disuarakan lewat tulisan maupun medium lain. Bukan malah rakyat dipenjarakan serta ditakut-takuti dengan Undang-Undang yang bisa menjerat pidana, seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Pasal 27 ayat 3 tentang penghinaan dan pencemaran nama baik.

Sudah banyak orang yang dilaporkan atau dihukum menggunakan UU ITE terkait pasal tersebut. Setidaknya, setiap bulan UU ITE memakan 4 orang korban, di antaranya adalah Prita Mulyasari dengan hukuman 6 bulan penjara dan masa percobaan 1 tahun, Ketua Komisi Yudisial (KY) Suparman Marzuki dan komisionernya, Taufiqurrohman Syahuri yang dilaporkan Hakim Sarpin Rizaldi ke Badan Reserse Kriminal Polri atas tuduhan pencemaran nama baik. Padahal dalam hal ini Taufiqurrohman Syahuri menganggap putusan Hakim Sarpin Rizaldi terkait gugatan praperadilan Komjen Budi Gunawan, menabrak hukum acara adalah tindakan sebagai Komisioner KY, yang memang bertugas demikian.

Banyak aktivis kebebasan berekspresi telah mendiskusikan pasal tersebut. Mereka menganggap ini adalah sebuah pasal “karet” yang dibuat oleh legislatif kita. “UU ITE ini juga tidak mempunyai kejelasan tujuan yang hendak dicapai sebagaimana yang disyaratkan dalam UU No 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. UU ini (baca: UU ITE) telah jauh melenceng dari misi awalnya yang hendak melindungi perdagangan dan transaksi elektronik,[iii] merupakan penggalan isi sebuah presentasi yang disajikan Denny Septiviant dari Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PHBI) Wilayah Jawa Tengah. Selain itu, UU ITE juga tidak menjelaskan secara spesifik seperti apa pencemaran nama baik seperti Pasal 310 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Padahal mengenai pencemaran nama baik telah diatur dalam KUHP Bab XVI tentang Penghinaan yang termuat dalam Pasal 310 s.d 321. Dalam kitab tersebut, hukuman pidana penjara paling lama untuk seseorang yang terbukti mencemarkan nama baik hanya selama 4 tahun, ini lebih ringan jika banding dengan UU ITE yang bisa menjerat pelaku selama 12 tahun penjara.

Sementara dalam perkembangan hukum internasional, sedikitnya 50 negara sudah mengalihkan masalah kabar bohong, penghinaan, pencemaran dari hukum pidana menjadi hukum perdata. Ini merupakan langkah terlambat negara kita dalam bidang hukum. Harusnya legislatif secara cepat merespons kebutuhan hukum yang ada di Indonesia.

Dengan aturan-aturan hukum yang telah disampaikan di atas, harusnya membuat kita semakin waspada bila ingin membagikan ide melalui media elektronik, karena bisa saja masyarakat yang berani menentang pihak yang lebih berkuasa dapat dikenakan tuduhan pencemaran nama baik berdasarkan UU di atas[iv], karena “disalahtafsirkan” menjadi sebuah perbuatan yang melanggar hukum.

Meski demikian kita tetap tak boleh takut untuk menyuarakan kebenaran. Selagi dengan bukti-bukti yang kuat, negara kita melindungi kebebasan untuk menyatakan pendapat. Negara kita telah meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) menjadi Hukum Nasional melalui UU No.12 Tahun 2012 tentang Hak-hak Sipil dan Politik dan aturan lain berupa UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.[v] Kondisi seperti ini sekaligus memberikan tantangan kepada para pakar hukum, akademisi, organisasi non-profit, serta mahasiswa untuk berani lebih giat mewujudkan masyarakat yang melek/sadar hukum. Bagaimana mereka tidak hanya mengenal teori fictie hukum, tetapi lebih membumikan hukum agar kaum menengah ke bawah dengan pendidikan yang seadanya menjadi terpahamkan lewat sosialisasi. Fiksi hukum adalah asas yang menganggap setiap orang tahu hukum/undang-undang (een ieder wordt geacht de wet/het recht te kennen).[vi]

Kata-kata terakhir untuk tulisan ini: “Negara bisa saja menjadi jahat bila tidak kita awasi. Meskipun tidak menjadi pahlawan super, setidaknya menyatakan bahwa hak adalah sesuatu yang hak juga akan dimintai pertanggungjawaban.”

 

Catatan kaki:

[i] Kebebasan Berekspresi: Apa arti pentingnya, Wahyudi Djafar, Peneliti ELSAM, hlm. 3.

[ii] Ibid, hlm 5.

[iii] Kebebasan Berekpresi perspektif hukum dan hak asasi manusia, Denny Septiviant, hlm 24.

[iv] Denny Septiviant, Op.cit., hlm 17.

[v] Denny Septiviant, Op.cit., hlm 11.

[vi] J. C. T. Simorangkir, Hukum dan Konstitusi Indonesia, hlm 64.