Kategori
Diskusi

Menjaga Barakisme Lewat Pintu Belakang. Kita Ingin Tragedi Masa Lalu Dituntaskan Agar Tak Terulang, Apalagi Dilupakan 

Militer selalu beroperasi dengan mumpuni asal tuannya beri perintah. Munir Said Thalib menolak kekerasan militerisme demi pengamanan. Kesepakatan menuju demokratisasi tanpa adanya kesadaran menolak bentuk dan manifestasi militerisme adalah upaya mustahil. Namun, sejarah yang berhubungan dengan miiter justru sebaliknya. Militerisme digunakan sebagai mesin perluasan kewenangan sosio-politik sehingga kekuatan militer akibatkan laku “kekerasan absah” pada warganya.

Penghancuran cita-cita reformasi adalah mimpi buruk, yang terjadi akibat membesarnya kekuatan militer, tanpa pernah kita bayangkan sejak terpilihnya Prabowo sebagai Presiden. “Saya prajurit yang ksatria,” berikut omon-omon pernyataan diri patriotik khas Prabowo hanya bikin kita jengah. Padahal yang kita tahu dia itu gelagatnya tantrum, benci kegaduhan sipil karena ia tak suka protes dan penolakan. 

Inilah mengapa corak pemerintahan Prabowo cenderung bungkam kritik warga terlebih setelah ia sukses kuasai istana tua di Jalan Merdeka Barat, seratus meter di depan berdirinya korban pelanggaran HAM berat: aksi kamisan.

***

Prabowo mengingatkan saya dengan perkataan George Junus Aditjondro. Ia bilang enam tahun setelah Soeharto lengser keprabon, setidaknya ada delapan indikator remiliterisisasi di Indonesia akibat penghapusan peran politik militer dan pemisahan angkatan bersenjata. Sebagian kecil–namun selalu langgeng–militer gunakan keunggulan dan kekuatan fisiknya di lapangan menghadapi rakyat yang berani memberontak.

Hal ini makin parah dengan disahkannya Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) pada 20 Maret 2025. Meminjam istilah Aditjondro, demokratisasi kini menabrak tembok arus balik pemisahan militer. Artinya perlawanan terhadap kondisi demokrasi yang makin buruk diwarnai badai pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan fakta bagi-bagi jabatan buat tentara. 

Belum sampai situ, remiliterisasi yang dianggap nir-kekerasan seperti Operasi Militer Selain Perang (OPMSP) mandatnya turun langsung dari Presiden. Kita bisa melihat sinyal-sinyal kecil, antara lain, pendekatan tentara terhadap mereka yang kritis. Seperti aktivis dan mahasiswa. Remiliterisasi terbaca saat tentara teritorial lakukan sosialisasi di Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto; permintaan data mahasiswa yang menolak PSN melalui surat Kodim 1707/Merauke; perjanjian kerjasama Kodam IX/Udayana dengan Universitas Udayana, Bali; hingga teror dan intimidasi terhadap mahasiswa Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta (yang gugat UU TNI ke Mahkamah Konstitusi).

Taman bermain militer bukan kampus apalagi ruang publik. Tentara sudah mengobok-obok wilayah akademik, mencari data personal, sampai nekat ikut campur dalam urusan konstitusional perguruan tinggi. Kunjungan tentara dengan kamuflase pakaian sipil di tubuhnya ibarat serigala berbulu domba sehingga tak masuk akal jika personilnya lakukan tugas “pembinaan masyarakat” di kampus semata-mata kegiatan rutin.

Bikin Barak Tandingan

Jika remiliterisasi sudah mulai dilakukan, maka diskursus militerisme boleh saja masuk kampus sebagai bahan obrolan atau diskusi bagi akademisi, praktisi, aktivis, dan siapapun agar mewaspadai bahaya yang muncul dari kekuatan militer di wilayah akademik-sipil. Muhidin M. Dahlan menganggap kampus sebagai tempat yang cocok, karena di sanalah regenerasi kaum terpelajar berlangsung ajeg. Cara tentara berpikir itu khas madrasah bersenjata, lanjut Muhidin, dalam militerisme manusia terdidik terbaik tidak lahir dari kampus.

Begitu pula seharusnya kampus tak bikin kerjasama dengan Kodam. Alih-alih membuka pintu bagi tentara supaya dapat kursi di kelas reguler. Ini bakal mendepak calon mahasiswa baru yang sudah membidik kampus impian sejak kelas sepuluh di Sekolah Menengah Atas (SMA). Kalau pintu kampus dibuka lebar-lebar untuk sanak famili tentara, apa mereka tidak makin jemawa? Pakai seragam saja sudah dibilang “orang berseragam” apalagi ditambah jas almamater. Ini malah jadi olok-olok tiga kata lucu: seragam jas loreng. Aneh!

Belum lagi Gubernur di Jawa Barat mengirim siswa nakal ke barak tentara. Rupanya yang terhormat Kang Dedi Mulyadi tak serius belajar membaca sejarah. Jakarta 1993, Panglima Kodam Jaya A.M. Hendropriyono kirim pelajar yang gemar tawuran ke barak tentara. Kriteria siswa nakal itu ialah yang berperilaku menjurus pada kriminalitas: membawa senjata tajam, mengganggu kepentingan umum, meminum BK (diduga sejenis narkoba). Hendropriyono juga kirim siswi provokator perkelahian. Model pembinaan di barak paling lama satu bulan. Angkatan pertamanya hanya menjalani empat hari dan dianggap tak lagi berpotensi jadi biang keladi tawuran. Program ini berjalan sampai 1997. Namun, Sekolah Khusus Kodim itu justru meningkatkan angka perkelahian remaja pelajar. Awalnya hanya siswa dari delapan sekolah lalu meningkat jadi lima puluh sekolah pada1995. Karena tidak efektif, Kepala Staf Kodam Jaya Susilo Bambang Yudhoyono menghapus program itu.

Sebenarnya, bentuk kebijakan yang melibatkan militer bukan  jalan keluar sungguhan. Ia membunuh kritisisme. Karena tentara teritorial berikut pendidikan militernya berorientasi pada pembentukan fisik, bukan nalar. Terlebih doktrin militer yang ditanamkan berpotensi mencuci otak. Inisiatif akan tumpul sebab budaya barak melatih penghuninya patuh pada instruksi.

Maka perlawanan barakisme seperti ini adalah dengan menghidupkan budaya kultural (konstrusi berpikir kritis) bukan struktural (perintah dan instruksi) sekalipun di wilayah akademik. Percayalah, membantah bukan berarti membangkang melainkan ciri kebebasan akdemik dan berpendapat itu hidup.

Menengok Pintu Belakang Militer

Selama hampir 80 tahun, kondisi demokrasi Indonesia terus berjalan mundur. Bukannya maju, kita justru terus mengulang sejarah lama yang buruk. A Historia Se Repete, kata Karl Marx. Jika keadaan terus seperti ini, slogan Indonesia Emas 2045 hanya akan menjadi bualan rezim Prabowo-Gibran. Bangun, lihatlah realita, Jenderal!

Generasi remaja di Indonesia medio 1970-1980 pernah dibuat kagum dengan lagu “Seorang Kapiten” yang begini liriknya:

Aku seorang kapiten
mempunyai pedang panjang
kalau berjalan prok-prok-prok
aku seorang kapiten!

Sosok yang ‘kalau berjalan prok-prok-prok’ kemudian masuk ke desa-desa, film-film perjuangan, sampai cerita mulut ke mulut dan tafsir tunggal bagaimana tentara berhasil melewati masa sulit republik dengan kesetiaan dan pengorbanan yang diproduksi oleh rezim Orde Baru. Tapi ini tak menampik bahwa di pintu belakang barak, konflik internal tentara pun pecah ketuban.

Jauh sebelum Gestok 1965 (Gerakan Satu Oktober) pecah, konflik di AD pada 17 Oktober 1952 antara Bambang Soepeno dengan Nasution bikin keruh hubungan antar prajurit. Soepono pernah menunjukkan ketidakpuasannya pada Kepala Satuan Angkatan Darat (KASAD) yakni AD Nasution. Ia dianggap pemecah TNI oleh Yoga Soegomo mengingat pada 1952-1955 keduanya dipasang-copot oleh Soekarno akibat konflik yang tak kunjung padam.

Berlanjut pada peristiwa 1965. Ini juga menjadi awal kekuatan tak seimbang antara AD, AL, dan AU. Yang terakhir dianaktirikan karena dianggap terlibat dalam penculikan para jenderal dalam naskah Cornell Paper. Kumpulan makalah berjudul “The Coup of October 1 1965” itu membahas sejumlah anggota Divisi Diponegoro membangkang akibat frustasi melihat sejumlah jenderal bergelimang harta di Jakarta. Pelaku penculikan Cakrabirawa (sekarang Paspampres) sebenarnya tentara juga persisnya Angkatan Darat. Lalu AD membela bahwa mereka disusupi anasir lain. 

Hal ini terjadi berulang sampai periode transisi 1998 antara Soeharto-Wiranto selepas Soeharto dipaksa turun dari kursi Presiden. Awalnya, Wirantolah yang ditunjuk menggantikan Soeharto, bukan Habibie.  

Sebenarnya, konflik Tentara di pintu belakang barak sudah terjadi sejak negara ini berdiri. Pada 1945, berdasar identifikasi Harold Crouch, setidaknya ada dua penyebab terlibatnya militer di urusan sipil. Pertama, militer bermuatan politis sejak awal. Orientasi tentara ketika bergabung bukan ingin kejar karir melainkan lebih tertarik dengan perjuangan kaum nasionalis melawan kolonialisme. Dalam “Militer dan Politik di Indonesia” Crouch berpendapat penyebab kedua ialah kegagalan golongan sipil dalam menjalankan pemerintahan. Militer beranggapan bahwa merekalah satu-satunya golongan yang dapat mengatasi gejolak politik-ekonomi seperti krisis, pergantian kabinet, terutama pemberontakan.

***

Militer dijadikan alat politik Suharto pasca-1965. Mata kuliah “kewiraan” masuk dalam kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) sampai pembentukan Resimen Mahasiswa merupakan cara “penghijauan kampus” di era Orde Baru tepatnya pada 1978. Gejala ini bukan tidak mungkin bakal terulang apabila kita tak acuh atas “mata dan telinga” penguasa otoritarian jebolan barak. 

Sekarang, seorang mantan penculik aktivis ‘98, anggota Tim Mawar, dicopot jabatannya pada pengadilan militer 1999, tiga kali mencalonkan diri jadi presiden,  yang mengatakan asetnya mandek karena tidak berkuasa, yang bermaksud melakukan autogolpe, suka teriak anti asing itu adalah presiden kita. Ini realita pahit yang harus kita terima. Meskipun demikian, diam bukanlah pilihan. Kekuatan militer terus menggemuk. Kritik dibalas penangkapan. Hanya ada satu cara: lawan! 

Andai kita tak menjaga pintu belakang, maka si penjahat tak pernah mau tuntaskan kejadian masa lalu, sejarah akan terulang. Ia akan tetap kabur lewat pintu belakang istana tua: melenggang dari Aksi kamisan.

Penulis: Rossihan Anwar
Editor: Solichah & Delta

Kategori
PPMI di Media

Seminar Nasional PPMI, Bahas Isu-isu Hak Asasi Manusia

BANJARMASINPOST.CO.ID, BANJARMASIN – Angkat isu-isu Hak Asasi Manusia, begitulah pembahasan pada seminar nasional yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Dewan Kota Banjarmasin.

Pada acara yang berlangsung di Gedung Serbaguna ULM, Rabu (1/3/2018) tersebut, empat narasumber dihadirkan. Dimana keempatnya ialah orang yang berperan dalam Pers dan Komnas HAM.

Adapun pemateri dalam seminar nasional yang dihadiri oleh puluhan anggota pers mahasiswa itu ialah Wakil Ketua Komnas HAM, Hairansyah, Ketua Bidang Data dan Informasi Aliansi Jurnalis Independen, Mustakim dan Dosen Fakultas Hukum ULM, Mirza Satria Buana serta Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Yati Indriyani.

Terkait acara itu, Ketua pelaksana kegiatan, Muhammad Lutfhi mengatakan acara seminar kali ini merupakan rangkaian dari kegiatan Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) PPMI.

Dimana tujuan kegiatan ialah untuk membahas isu isu terkait HAM. Dimana sesuai tema acara yakni Peran Pers Mahasiswa Dalam Mengawal Isu-Isu HAM di Indonesia.

“Acara ini juga merupakan konsolidasi PPMI yang nantinya akan digelar selama tiga hari ke depan pascaseminar hari ini,” ucap Lutfhi.

Ia mengatakan setelah seminar yang dibuka pada hari pertama ini. Nantinya PPMI Dewan Kota Banjarmasin akan mengadakan konsolidasi pada tanggal 2-4 Maret 2018 mendatang. Dimana pada konsolidasi itu juga diikuti oleh Lembaga Pers Mahasiswa se Indonesia.(Banjarmasinpost.co.id/ Isti Rohayanti)

Kategori
Diskusi

50 Tahun Tanpa Keadilan

Dalam ingatan bangsa Indonesia, seperti yang dibentuk rezim Soeharto. G-30-S merupakan kekejaman yang begitu jahat, sehingga kekerasan massal dengan skala besar terhadap siapa pun terkait dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dilihat sebagai sesuatu yang dapat dibenarkan, bahkan terhormat. Kekerasan yang terjadi sepanjang akhir 1965 sampai awal 1966 harus dilihat sebagai awal pembangunan sebuah rezim baru. Peristiwa ini dijadikan dalih untuk menegakkan kediktatoran di Indonesia, kemudian mengambil alih kekuasaan dengan cara yang sangat licik. Dengan mengorbankan kurang lebih 3.000.000 nyawa rakyat Indonesia tanpa peradilan. Serta pembuangan paksa terhadap lebih dari 10.000 orang ke pulau Buru.

Kita tentunya masih ingat dengan pemutaran film tentang kekejaman PKI, yang diputar setiap 30 September oleh antek-antek orde baru. Pembangunan monumen kesaktian Pancasila, pelarangan pembelajaran ajaran Marxisme dan Leninisme serta penyebarluasanya, yang notabenenya hanyalah teori sosial saja. Pelarangan terhadap buku sejarah tentang Bung Karno, Tan Malaka, serta penyebarluasan buku sejarah versi kekuasaan yang semuanya adalah bagian dari proyek pembangunan sebuah rezim diktator yang penuh manipulasi sejarah dan kebohongan .

50 tahun adalah waktu yang begitu panjang, dimana ketidakadilan terhadap korban beserta keluarganya berangsur-angsur terjadi. Seperti halnya terasing dari pergaulan sosial, ditutup ruangnya untuk mengakses hak-hak sipil politik (status kewarganegaraan, hak politik), serta hak ekonomi, sosial, budaya (Ekosob). 50 tahun lebih paska kejadian, kekuasaan dibangun di atas kebohongan yang dilakukan secara sistematis dan terstruktur oleh negara. Sampai sekarang hal itu masih ada dan terjadi dalam kehidupan “demokrasi” kita sekarang.

Peristiwa 65 adalah peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia(HAM) masa lalu yang sampai sekarang belum ditanggapi serius oleh pemerintah. Hal yang sama juga berlaku dalam peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM masa lalu. Seperti peristiwa penembakan misterius, kasus Talangsari, Tanjung Priok, Trisakti, juga peristiwa Semanggi I dan II. Padahal komisi penyelidik pelanggaran HAM yang dibentuk Komnas HAM sudah merekomendasikan Kejaksaan Agung bahwa peristiwa 65 adalah sebuah peristiwa pelanggaran HAM berat. Namun terus ditolak dengan dalih tak lengkap.

Hal ini berjalan tak sejalan dengan berbagai produk hukum yang kemudian hadir paska reformasi yang memuat tentang HAM. Seperti UUD 1945, UU 39 tahun 1999 tentang HAM, dan UU 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM. Berbagai instrumen hukum tersebut mengamanatkan penyelesaian kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Termasuk pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsilaisi, yang merupakan amanat dari UU 26 tahun 2000.

Dalam kepemimpinan Jokowi, pemerintah kembali membentuk tim rekonsiliasi gabungan yang terdiri dari Kemenkumham, Kejaksaan Agung, Polri, BIN, TNI, Komnas HAM. Mereka berkomitmen menyelsaikan kasus pelanggaran HAM secara non yudisial. Itu adalah sebuah isyarat bahwa pemerintahan dan bangsa ini tak berani mengakui kejahatan masa lalu yang dilakukan oleh negaranya sendiri.

Bangsa ini dibangun atas dasar kemanusiaan serta keadialan. Keduanya dipertegas dalam Undang Undang Dasar dan Pancasila sebagai sebuah dasar filosofi. Kita tak boleh lari dari masa lalu, kita kemudian harus jujur, dan negara harus mengatakan yang sebenar-benarnya atas nama keadilan dan kemanusiaan, negara tak cukup hanya melakukan pemulihan hak-hak korban semacam rekonsiliasi, akan tetapi kebenaran tentang apa yang sebenarnya terjadi harus dikatakan.

Diskusi Forum Studi Issu-Issu Strategis bersama LPM Cakrawala IDE UPPM Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar

Kategori
Siaran Pers

Ini Dia Isi Surat Pengaduan ke Komnas HAM Terkait Majalah Lentera

Berikut surat aduan sejumlah lembaga dan individu ke Komnas HAM terkait kasus perampasan kebebasan berekspresi dan hak menyebarluaskan informasi yang dialami oleh Lembaga Pers Mahasiswa Lentera, Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga. Hari ini, Kamis, 22 Oktober 2015. Diterima oleh Komisioner Komnas HAM Ansori Sinungan.

Jakarta, 22 Oktober 2015

Kepada Yth.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
Di Jakarta

Dengan hormat,

Bersama dengan surat ini, kami perwakilan dari sejumlah lembaga masyarakat sipil dan individu bersama-sama menyampaikan keprihatinan yang mendalam atas terjadinya perampasan kebebasan berekspresi dan hak menyebarluaskan informasi yang dialami oleh Lembaga Pers Mahasiswa Lentera, Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga. Kami mengecam keras upaya sejumlah pihak untuk menarik peredaran majalah Lentera edisi 3 Tahun 2015 berjudul “Salatiga Kota Merah”, serta interogasi sejumlah awak Lembaga Pers Mahasiswa Lentera oleh aparat Kepolisian Resor Salatiga.

Kami menilai langkah sejumlah pihak yang melarang peredaran Majalah Lentera melanggar hak asasi manusia mahasiswa UKSW untuk berekspresi dan menyampaikan informasi. Kami juga menilai pelarangan peredaran Majalah Lentera itu melanggar hak asasi manusia warga negara lain untuk memperoleh informasi dan karya jurnalistik para jurnalis Lembaga Pers Mahasiswa Lentera seputar pelanggaran hak asasi manusia berat yang terjadi pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965.

Pada Jumat, 9 Oktober 2015 lalu, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Lentera, Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) menerbitkan edisi Majalah Lentera yang berjudul “Salatiga Kota Merah”. Majalah Lentera mempublikasikan karya jurnalistik investigasi dan jurnalisme presisi terkait dampak peristiwa Gerakan 30 September bagi Kota Salatiga, dengan melakukan penelusuran tentang Walikota Salatiga Bakri Wahab yang diduga anggota PKI, serta penangkapan Komandan Korem 73/Makutarama Salatiga. Selain itu, Majalah Lentera juga mengupas peristiwa pembantaian simpatisan dan terduga PKI di Kota Salatiga dan sekitarnya, dengan melakukan reportase empat titik pembantaian—Lapangan Skeep Tengaran, Kebun Karet di Tuntang dan Beringin, serta di Gunung Buthak di Susukan.

Edisi “Salatiga Kota Merah” terbit 500 eksemplar dan dijual dengan harga Rp 15.000. Majalah itu disebarluaskan masyarakat Kota Salatiga dengan menitipkannya di kafe serta beberapa tempat yang memasang iklan dalam majalah tersebut. Lentera juga disebarluaskan ke instansi pemerintahan di Salatiga dan organisasi kemasyarakatan di Semarang, Jakarta, dan Yogyakarta.

Publikasi Majalah Lentera telah mengembangkan pendapat umum warga Salatiga dan sekitarnya mengenai peristiwa Gerakan 30 September, dampak peristiwa itu bagi kehidupan warga Kota Salatiga, dan peristiwa pembantaian massal orang-orang yang dituduh simpatisan atau anggota Partai Komunis Indonesia. Pendapat umum itu tentu saja diwarnai pro dan kontra, menjadi diskursus umum yang mewarnai ruang-ruang publik, sebagaimana yang lazim terjadi dalam negara demokrasi manapun di dunia.

Akan tetapi sepekan setelah penerbitan Majalah Lentera edisi “Salatiga Kota Merah”, persisnya 16 Oktober 2015, pimpinan Lembaga Pers Mahasiswa Lentera dipanggil menghadap Rektor UKSW, Pembantu Rektor UKSW, Dekan Fiskom, dan Koordinator Bidang Kemahasiswaan (Koordbidkem) Fiskom di Gedung Administrasi Pusat UKSW. Kesepakatan yang dihasilkan adalah redaksi Lentera harus menarik semua majalah yang tersisa dari semua agen. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan situasi yang kondusif pada masyarakat Kota Salatiga. Polisi secara sepihak juga menarik peredaran Majalan Lentera edisi “Salatiga Kota Merah”.

Pada Minggu, 18 Oktober 2015, Pemimpin Umum LPM Lentera Arista Ayu Nanda, Pemimpin Redaksi LPM Lentera Bima Satria Putra, bersama bendahara LPM Lentera Septi Dwi Astuti diinterogasi di Markas Kepolisian Resor Salatiga. Interogasi itu dilakukan dengan sepengetahuan Dekan Fiskom, Koorbidkem Fiskom, Pembantu Rektor II, III dan V.

Pasal 28F Undang-undang Dasar 1945 menjamin hak setiap warga negara untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Kami menilai pelarangan peredaran Majalah Lentera melanggar hak konstitusional para awak redaksi LPM Lentera dan masyarakat umum untuk berkomunikasi, menyebarluaskan, dan memperoleh informasi yang ada dalam karya jurnalistik para jurnalis LPM Lentera.

Kami juga menilai para pihak yang melarang peredaran Majalah Lentera melanggar jaminan Pasal 28C Undang-undang Dasar 1945 yang menjamin hak setiap warga negara mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. Selain inkonstitusional, pelarangan peredaran Majalah Lentera juga melanggar berbagai jaminan hak asasi manusia dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Melalui pengaduan ini, kami meminta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menempuh segala upaya di dalam kewenangannnya untuk memastikan hal-hal berikut ini:
1. Penghentian upaya penarikan peredaran Majalah Lentera edisi “Salatiga Kota Merah”.
2. Pengembalian peredaran seluruh majalah yang telah ditarik berbagai pihak agar bisa diperoleh publik, demi mengembangkan pendapat umum terkait karya-karya jurnalistik dalam Majalah Lentera edisi “Salatiga Kota Merah”.
3. Penghentian segala bentuk intimidasi dan stigmatisasi kepada mahasiswa dan jurnalis yang tergabung dalam Lembaga Pers Mahasiswa Lentera.
4. Para mahasiswa dan jurnalis yang ada dalam Lembaga Pers Mahasiswa Lentera tidak dikenai sanksi ataupun tuntutan hukum apapun dari Rektorat UKSW dan jajarannya, Kepolisian Republik Indonesia dan jajarannya, Tentara Nasional Indonesia dan jajarannya—baik pada masa sekarang ataupun pada masa yang akan datang.
5. Lembaga Pers Mahasiswa Lentera dapat melanjutkan aktivitasnya sebagai unit kegiatan mahasiswa yang resmi, bebas dari praktik sensor dan bredel dari pihak mana pun.
6. Kebebasan akademik civitas akademika UKSW dapat dilaksanakan tanpa intimidasi dan intervensi dari pihak mana pun.

Demikian pengaduan ini kami sampaikan. Terima kasih.

Hormat kami,

1. Ketua Presidium Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (FAA PPMI), Agung Sedayu
2. Ketua Aliansi Jurnalis Independen Indonesia (AJI Indonesia), Suwarjono
3. Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers) Asep Komaruddin
4. Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Haris Azhar
5. Social Blogger, Damar Juniarto
6. Perupa, Dolorosa Sinaga
7. Peneliti IPT 65, Ayu Wahyuningroem
8. Koordinator Serikat Pengajar Hak Asasi Manusia (SEPAHAM) Indonesia, Dr R Herlambang P Wiratraman
9. Kepala Pusham Unimed, Majda El Muhtaj
10. Ketua Aliansi Jurnalis Independen Semarang (AJI Semarang), M Rofi’udin
11. Ketua Aliansi Jurnalis Independen Jakarta (AJI Jakarta), Ahmad Nurhasyim
12. Sekretaris Jenderal Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI), Abdus Somad
13. Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia Makassar (FAA PPMI Makassar), M Sirul Haq
14. Ketua Dewan Pengurus Yayasan Pulih, Miryam Nainggolan
15. Senior Program Officer for Human Rights and Democracy International NGO Forum on Indonesia Development, Mugiyanto
16. Sekretaris Eksekutif Syarikat Indonesia, Ahmad Murtajib
17. Direktur Program Indonesia dan Regional Asia Justice and Rights (AJAR) Galuh Wandita
18. Program Manajer Indonesia AJAR, Dodi Yuniar
19. Pegiat HAM dan Demokrasi, Zico Mulia
20. Direktur Eksekutif Indonesia untuk Kemanusiaan, Anik Wusari
21. Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Wahyudi Djafar
22. Peneliti Senior Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, Ignatius Haryanto
23. Manajer Program Yayasan TIFA, R Kristiawan
24. Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia Jakarta, Rio Ayudhia Putra