Kategori
Diskusi Esai

Kado Kemerdekaan: Mati Massal Dibunuh Pemerintah

Jika pemerintah terus salah mengambil kebijakan, rakyat bisa berjatuhan mati masal. Tercatat pertanggal 15 Agustus 2021, di laman covid19.go.id menunjukkan jumlah rakyat Indonesia mati karena Covid-19 mencapai 117.588. Tentu saya yakin data tersebut bukan data asli. Dapat dipastikan data yang tidak tercatat jauh lebih banyak. Berdasarkan pemantauan lapor covid data yang masuk ada perselisihan antara data daerah dan pusat. Banyaknya saudara kita yang meninggal dunia dan pendataan yang amburadul menunjukkkan ada masalah yang serius dalam penanganan dan kebijakan yang diambil pemerintah dalam menangani pandemi. Ribuan nyawa orang yang meninggal semestinya mendapat perhatian serius, bukan hanya sekedar data angka, karena setiap warga negara hidup, keselamatan, dan kesehatannya semestinya dijamin dalam undang-undang.

Tak terbilang berapa kali pemerintah melakukan pergantian nama kebijakan dalam menangani pandemi. Berganti siapa yang bertanggung jawab atas kebijakan tersebut, kepemimpinan Satgas tak pernah sama sekali diserahkan kepada ahli kesehatan masyarakat atau epidemiolog. Beberapa pekan terakhir pun dunia Internasional menyoroti Indonesia menjadi episentrum pandemi dunia dengan penanganan yang carut marut. Sempat banyak ketidaktersediaan rumah sakit, kelangkaan oksigen, rencana vaksin berbayar, banyak tenaga kesehatan yang gugur, bahkan kematian anak Indoneisa akibat covid tertinggi di dunia. Seolah kebijakan pemerintah tersebut tak menunjukkan hasil yang signifikan.

Sebagai warga negara patut kita semua mengerti, kenapa kebijakan pemerintah dalam menangani pandemi tidak membuahkan hasil? Apakah pemerintah membuat kebijakan tidak mempertimbangkan kebutuhan rakyatnya? Atau memang sengaja pemerintah tidak memprioritaskan kebutuhan rakyat, sehingga menyebabkan kematian massal? Jika demikian pantaskah kita menyebut pemerintah sebagai pembunuh rakyat di tengah pandemi? Berikut sedikit catatan dari saya menyoal kematian massal yang disebabkan oleh  kebijakan pemerintah.

PPKM Tanpa Jaminan Hidup

PPKM atau Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat tanpa jaminan hidup adalah sebuah kebijakan pemerintah yang sangat tidak manusiawi, pasalnya tidak semua rakyat  siap melindungi dirinya dengan berbagai jenis keamanan di tengah pandemi, tidak semua mampu mempersiapkan kebutuhan makanan pokok. Banyak rakyat yang mengantungkan hidupnya dengan berjualan di pasar, menjadi tukang becak, tukang ojek, dsb. Mereka tidak bisa untuk tetap dirumah saja, untuk bisa bertahan hidup ia harus bekerja, jika tidak bekerja ia tidak makan dan bisa mati kelaparan. Maka dari itu tak salah jika banyak masyarakat di berbagai daerah beberapa waktu yang lalu berdemonstrasi menolak PPKM, tidak salah pula masyarakat di berbagai daerah mengibarkan bendera putih sebagai tanda bahwa masyarakat sudah tidak kuat bertahan dalam himpitan masalah ekonomi saat pandemi.

Kejamnya pemerintah dan aparat di tengah pandemi juga dipertontonkan dengan banyaknya pembubaran usaha warga di berbagai daerah oleh Satpol PP dengan menggunakan kekerasan. Diantaranya terjadi di Semarang, pada 7 Juli 2021, Satpol PP melakukan penyemprotan lapak pedagang di pinggir jalan yang melanggar aturan PPKM dengan menggunakan mobil pemadam kebakaran. Petugas juga bergerak cepat menyita dagangan dan peralatan dagang milik pedagang tersebut. Kemudian di Surabaya, pada 11 Juli 2021, petugas menyita tabung LPG 3 Kg milik pedagang di sebuah warung di Kecamatan Kenjeran. Tak hanya itu, petugas juga menyita e-KTP pemilik warung tersebut. Sedangkan di Tasikmalaya seorang penjual bubur didenda 5 juta rupiah karena melayani pembeli yang ingin makan di tempat. Penjual mengaku tidak tahu aturan PPKM. Namun, hakim tetap menjatuhkan hukuman denda. Beberapa kejadian tersebut adalah bukti nyata kekerasan yang dilakukan pemerintah melalui aparat negara.

Pemerintah dan aparat tidak menjamin kebutuhan hidup warga negaranya. Sementara Pendekatan yang dilakukan pemerintah dan aparat terhadap warga melanggar peraturan selama pandemi ini cenderung represif. Pemerintah berpikir dengan pikiran yang sangat kolot, menganggap situasi darurat kesehatan ini sama dengan darurat sipil atau militer. Sehingga warga banyak yang direpresi dan menerima berbagai tindak kekerasan, sedangkan warga butuh uang untuk mencukupi kebutuhan hidup. Dengan ini, jelas kita mengerti pemerintah memang tak peduli dengan kekhawatiran rakyat Indonesia yang takut mati kelaparan. Barangkali memang benar kelaparan tidak ramai diperbincangkan oleh pemerintah ataupun media mainstream, karena kelaparan tidak akan membunuh orang kaya, terlebih seperti pejabat pemerintah.

Jika pemerintah memiliki hati nurani, maka sudah semestinya pemerintah menyuplai kebutuhan hidup dasar masyarakat dan makanan hewan ternak yang ada di wilayah karantina tersebut. Sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-undang nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, “Dengan begitu masyarakat bisa berdiam diri ditempat tinggal dan setidaknya bisa tetap tenang karena ada yang mencukupi biaya kehidupan dasarnya.” Undang-undang Kekarantinaan Kesehatan tersebut sangat progresif dan berpihak kepada rakyat di situasi pandemi seperti ini, namun pada kenyataannya pemerintah tidak mau melaksanakan apa yang sudah diundangkan tersebut.

Pemerintah Melanggar Hak Kesehatan Masyarakat

Secara konstitusional, hak atas kesehatan merupakan hak asasi manusia yang menjadi kewajiban pemerintah untuk memenuhinya. Di antaranya disebutkan dalam Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia: yang berbunyi “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”

Namun apa yang terjadi di Indonesia saat pandemi covid meledak dan menjadi episentrum pandemi dunia, beberapa masyarakat tidak bisa dirawat di rumah sakit karena rumah sakit penuh, sehingga harus menunggu diluar atau harus berkeliling mencari rumah sakit lewat Aplikasi/telephone. Beberapa dari mereka tak kunjung mendapatkan rumah sakit, sehingga harus berkeliling secara manual. Hal itulah yang membuat banyak pasien covid meninggal dunia di jalan, di rumah sakit saat menunggu kamar, atau meninggal saat memilih melakukan perawatan di rumah karena kelelahan menunggu rumah sakit.

Ketika rumah sakit atau fasilitas kesehatan tidak lagi dapat menampung pasien, isolasi mandiri di rumah diharapkan bisa menjadi alternatif untuk perawatan pasien, tapi  pada kenyataannya banyak pasien yang tidak tertolong. Berdasarkan data laporcovid19 pada 24 Juli 2021, ada sebanyak 2.491 orang meningal dunia saat isolasi mandiri/di luar fasilitas kesehatan. Pasien isolasi mandiri dirawat tanpa pemberian pengawasan dan pelayanan kesehatanyang memadai. Banyaknya pasien isolasi mandiri yang meninggal dunia menandakan tidak ada perhatian serius kepada pasien  yang melakukan isolasi mandiri di rumah.

Tak hanya pasien, berdasarkan data dari laporcovid19 pada 10 Agustus 2021, ada 1646 tenaga kesehatan yang meninggal dunia karena covid. Hal ini dikarenakan kelelahan tak sanggup menangani pasien yang membludak.

Komitmen  pemerintah masih lemah dalam menjalankan 3T, yaitu testing (pemeriksaan), tracing (pelacakan), dan treatment (perawatan). Vaksin di beberapa daerah kehabisan, sementara di daerah lain bisa melakukan vaksin dengan leluasa. Hal tersebut tentu tidak bijak, karena sesungguhnya semua masyarakat harus mendapatkan vaksin, kelompok lansia sabagai prioritas vaksin harus ditingkatkan terus. Pada dasarnya kita tidak akan mencapai herd immunity jika masih banyak kalangan yang tidak mendapatkan vaksin. Selain itu di berbagai daerah muncul vaksinasi berbayar yang tidak hanya dilakukan oleh oknum individu, tetapi juga perusahaan.

Selain itu Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 mencatat lonjakan kasus covid mulai terjadi di enam provinsi di luar Pulau Jawa dan Bali dalam sebulan terakhir. Enam provinsi tersebut meliputi, Sumatera Utara, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sumatera Barat, Riau, dan Kalimantan Selatan. Menteri Koordinator bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan mengungkapkan penanganan di luar Pulau Jawa dan Bali berbeda karena lebih sulit. Hal tersebut disebabkan dukungan infrastruktur kesehatan yang belum memadai dan tantangan lainnya yang cukup besar di luar Jawa-Bali. Ini akan menjadi memperpanjang adanya ketimpangan kesehatan dan kematian massal yang tidak terbayangkan.

Ini adalah beberapa catatan buruk dunia kesehatan Indonesia yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah, bisa jadi masih ada banyak catatan yang mungkin belum tercatat di sini.

Tidak ada Keterbukaan Informasi Publik

Informasi tentang pandemi covid adalah informasi yang wajib diumumkan secara serta merta oleh badan publik yang memiliki kewenangan dan menguasai informasi tentang covid, karena covid dapat mengancam hajat hidup orang banyak dan ketertiban umum. Dasar hukum mengenai ketentuan ini, sebagaimana diatur dalam Undang-undang No 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Namun pada kenyataannya keterbukaan informasi publik dalam masa pandemi ini, masih dianggap menjadi momok  berbahaya, dalam penanganan pandemi Covid di Indonesia. Aparat dan pemerintah melakukan represi terhadap jurnalis, sehingga menghambat peran media sebagai pengawas kebijakan pemerintah dalam menangani pandemi.

Inisiator LaporCovid-19 sekaligus jurnalis Kompas, Ahmad Arif, artikelnya seputar Covid-19 diberi label hoaks selama 2020-2021. Salah satu artikelnya berjudul ”63 Pasien di RSUP Dr Sardjito Meninggal dalam Sehari” tayang pada 4 Juli 2021. Padahal kerja Jurnalis dilindungi UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Selanjutnya Melalui Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan, saat mengumumkan perpanjangan PPKM, Senin (9/8/2021). Pemerintah memutuskan untuk mengeluarkan angka kematian dari indikator penanganan Covid-19. Pasalnya, ditemukan masalah dalam input data sehingga menyebabkan akumulasi dari kasus kematian di beberapa minggu sebelumnya.

Menanggapi hal tersebut, epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman mengatakan bahwa kebijakan itu jelas keliru, selain itu juga berbahaya karena indikator kematian adalah indikator kunci adanya suatu wabah untuk melihat bukan hanya performa intervensi di hulu, tapi juga menilai derajat keparahan suatu wabah. Alih-alih data kematian yang menumpuk dan memunculkan ketidakakuratan, seharusnya tidak membuat pemerintah menghilangkannya begitu saja. Data kematian tersebut cukup diperbaiki dengan secepat dan seakurat mungkin tanpa perlu menghilangkannya.  tujuan penanganan pandemi adalah untuk meminimalisir angka kematian. Bahkan harus menghilangkan angka kematian yang diakibatkan oleh pandemi.

Berdasarkan hal ini, harusnya pemerintah sejak awal melakukan komunikasi krisis yang baik di masa pandemi. Komunikasi krisis membutuhkan keterbukaan informasi tentang Covid-19, pengakuan dan kejujuran dari pemerintah terkait penanganan, sehingga bisa menciptakan edukasi risiko kepada masyarakat luas.

Masyarakat tidak menjadi prioritas Utama

Beberapa catatan di atas adalah bukti bahwa di tengah pandemi, masyarakat bukanlah prioritas utama dalam kinerja pemerintah. Hal ini diperjelas dengan pemerintah yang mengesahkan Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja yang tergesa-gesa pada 5 oktober 2020, tanpa melibatkan partisipasi masyarakat. Membangun PLTU di tengah pandemi, pemerintah menyisihkan anggaran untuk mengecat pesawat Jokowi, dana bansos dikorupsi oleh menteri sosial, sementara banyak masyarakat yang menderita dibatasi PPKM tanpa tunjangan hidup, kesulitan mencukupi kebutuhan dasar dan terancam terinveksi virus covid.

Jika pemerintah memang memprioritaskan kepentingan masyarakat, harusnya pemerintah menerapkan lockdown yang sudah diatur oleh Undang-undang Kekarantinaan Kesehatan. Membuka informasi seluas-luasnya, karena informasi informasi bisa mengedukasi masyarakat, bukan malah meminta rakyat untuk menelan ludah dan bersabar mengahadapi wabah yang hadir di tengah kita. Sungguh ini adalah masalah yang serius, kita tidak bisa menjamin kesalamatan kita dalam pandemi ini, pun kita tidak tahu sampai kapan kebijakan pemerintah membatasi kegiatan masyarakat yang membuat rakyat kecil hanya ada pada dua pilihan, mati kelaparan atau mati karena virus. Untuk itu penting bagi kita untuk saling bersolidaritas dan saling menguatkan, perkuat pertahanan rakyat bantu rakyat, warga bantu warga, mengumpulkan donasi, membantu kebutuhan umum, membantu pasien yang sakit, kita tidak bisa berharap lagi pada pemerintah. Ini adalah perayaan kemerdekaan Indonesia yang muram, dan kado kemerdekaan dari pemerintah kita kali ini adalah kematian massal saudara-saudara kita, akibat salah mengambil kebijakan.

Penulis: Najmu Tsaqiib

Kategori
Diskusi

Perlindungan Agraria dengan Kedaulatan Petani

Sebelumnya saya ucapkan selamat hari kemerdekan ke-72. Hari ini merupakan tonggak kemajuan bangsa Indonesia setelah terbebas dari belenggu kolonialisme bangsa belanda dalam 350 tahun menjajah nusantara. Tak ubahnya dari negeri surga, Indonesia menapaki jejak perjuangan bangsanya sendiri untuk terus membangun perekonomian. Selama 5 tahun terakhir berbagai sektor saling berlomba dalam proses pembangunan ekonomi ini, salah satunya sektor pertanian.

Sektor pertanian yang memiliki peranan yang sangat penting bagi Indonesia. Pada tahun 2012 sektor pertanian menyerap 35.9% dari total angkatan kerja di Indonesia dan menyumbang 14.7% bagi GNP Indonesia [1]. Fakta-fakta tersebut menguatkan pertanian sebagai megasektor yang sangat vital bagi perekonomian Indonesia. Akhir tahun 2016 Indonsia sudah kembali menyandang swasembada beras setelah 32 tahun lalu. Berdasarkan angka Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Pertanian, produksi padi 2016 mencapai 79,14 juta ton GKG, meningkat 3,74 juta ton dibanding 2015. Produksi jagung 2016 sebanyak 23, 16 juta ton pipilan kering, atau meningkat 3,55 juta ton dibanding 2015 [2].

Serayanya kemerdekan itu dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat namun jika kita telisik lebih jauh ternyata kaum yang sering dipandang sebelah mata itu (dibaca: petani) sering kali tidak mendapatkan kemerdekaan yang layak atas kerja mereka. Berbuntut pada kurangnya ketersediaan lahan untuk menjamin kesejahteraan petani, pemerintah dinilai kurang berperan aktif atas terselenggaranya kegiatan pembangunan dalam bidang pertanian.

Pembagian wilayah pada sektor pembangunan telah dibagi dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dalam beberapa cakup wilayah koridor ekonomi. Diambil dari data file MP3EI bab III mengenai Koridor Ekonomi Indonesia. Koridor Ekonomi (KE) dibagi menjadi 6 wilayah berdasarkan potensi yang dinilai mampu mendukung produk nasional bruto secara penuh [3].

Sumber gambar: www.ekon.go.id

 

Pada dasarnya, MP3EI memiliki keterkaitan dalam pelaksanaanya dengan Comprehensive Asia Development Plan (CADP). Pada tahun 2009, Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA) melalui Boston Consulting Group menyelesaikan penelitian tentang Indonesia Economic Development Corridors (IEDCs). Hasil riset IEDCs dan kata kunci “konektivitas” akhirnya diadopsi oleh Koordinator Kementerian Urusan Ekonomi untuk disusun menjadi naskah MP3EI [4].

Ketika CADP diluncurkan, Sekjen ASEAN Dr. Surin Pitsuwan, menyatakan bahwa CADP adalah “Asian Marshall Plan”. Istilah ini memang dimaksudkan secara eksplisit untuk merujuk pada Marshall Plan: program Amerika Serikat pasca perang dunia II. Jadi, Marshall Plan maupun CADP ini diklaim sebagai upaya untuk membangun kembali ekonomi dunia kapitalis yang sedang tergoncang hebat akibat krisis. Dalam ungkapan yang lain, Asia diklaim akan menjadi “the driver for global economy” [5].

Marshall Plan merupakan program kredit pembangunan untuk negara yang terkena imbas perang dunia II oleh Amerika Serikat. Pada akhirnya konsepsi marshall plan ini mengakar pada negara dunia ketiga sehingga terjadi replikasi skema pembangunan pada hampir seluruh negara dunia ketiga serta menumbuhkan paham developmentalis. Paham ini memiliki makna adanya keterkaitan ideologi antara kepentingan negara industri maju dan kepentingan elit politik negara dunia ketiga.

Program ekonomi skala besar inipun akhirnya membelah perekonomian dunia menjadi tiga macam, yaitu: perekonomian liberal, perekonomian sosialis, dan perekonomian gabungan. Indonesia secara tiak langsung menganut sistem perekonomian gabungan. Selaras dengan paham developmentalis yang mulai berkembang di Indonesia sehingga mengubah pola pandang Indonesia pada persaingan perekonomian dunia menjadi negara buta pembangunan.

Proses pembangunan ini haruslah pada tataran tertentu dan batasan yang logis untuk mendapatkan kesejahteraan yang merata bagi masyarakat yang terkena dampaknya. Prof. Sajogyo menuturkan bahwa pembangunan adalah perubahan ke arah positif dari manusia dan tetap terjaganya alam sekitar ruang hidupnya. Konsepsi ini dinamakan sebagai konsep Natura dan Humana.

Konsep Natura dn Humana ini sebenarnya sudah termuat pada pasal 2 ayat 3  UU No. 5 Tahun 1960 atau sering disebut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang berbunyi, “Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut pada ayat 2 pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur.”

Hal pertanahan ini masih berkaitan dengan UU No. 13 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Petani dinilai sebagai penyewa bukanlah sebagai pemilik penuh atas tanah pertaniannya sendiri. Hal ini termuat pada pasal 59 UU No. 13 Tahun 2013, “Kemudahan bagi Petani untuk memperoleh lahan Pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (3) huruf a diberikan dalam bentuk hak sewa, izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan.”

Menyimpang dari konsepsi agraria pada pasal 2 ayat 3 UUPA yang menyebutkan bahwa kesejahteraan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Berlainan daripada itu pada pasal 59 UU No. 13 Tahun 2013 ini malah menempatkan petani sebagai penyewa (bukan pemilik) dan negara (menyewakan sebagai pemilik). Secara tidak langsung hal ini mendorong feodalisme di lapangan agraria memicu adanya spekulasi dan komersialisasi atas penguasaan dan pengelolaan tanah [6].

Tidak konsistennya pemerintah dalam pelaksanaan konstitusi tersebut menimbulkan konflik agraria. Dalam catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sepanjang tahun 2016 terjadi 450 konflik agraria dengan luas 1.265.027,39 hektar dan konflik ini berdampak pada 86.745 keluarga. Sektor perkebunan menyumbang tertinggi kasus agraria dengan 36,22% [7].

Adanya kejadian konflik agraria yang sering terjadi membuat pemerintah sebaiknya kembali melihat UU tersebut. Petani seharusnya mendapatkan perlindungan atas tanahnya sesuai dengan UU No. 13 Tahun 2013 pasal 1 ayat 2 serta berkewajiban memberikan jaminan ketersdian lahan pertanian sesuai dengan UU No. 13 Tahun 2013 pasal 55 ayat 1 yang berbunyi, “Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban memberikan jaminan ketersediaan lahan Pertanian.” Mengenai perlindungan dan pemberdayaan petani tentang lahan pertanian sudah jelas tercantum pada UU No. 13 Tahun 2013 pasal 55-57 tentang konsolidasi Perluasan Lahan Pertanian.

Terkait pelaksanaannya ternyata pemerintah masih belum bisa melaksanakan perlindungan tanah pertanian. Ketua Komite Pertimbangan Indonesia Human Rights Committee for Sosial Justice (IHCS), Gunawan, menambahkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah memiliki tanggung jawab dalam perlindungan terhadap petani dalam UU tersebut. Sayangya, realisasi pemerintah belum terlihat.

Menurutnya, pemberian redistribusi tanah kepada petani belum dilaksanakan pemerintah. Sebaliknya, justru terjadi alih fungsi lahan pertanian dan gagalnya desa melindungi fungsi lahan pertanian. “(Ini) disebabkan kegagalan pemerintah dan pemerintah daerah dalam menjalankan amanat undang-undang penataan ruang dan UU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan berkelanjutan,” ujarnya [8].

Kategori
Diskusi

Mereka yang Terhempas dan Tersingkir

Tak ada gelora apa-apa saat saya menyaksikan parade tentara pemanggul senjata di pertontonkan di layar kaca. Menaikan selembar kain, berterika-teriak, lalu sudah. Seolah gelora nasionalisme ini yang mampu diabadikan sebagai “pahlawan” bangsa.

Ketika orang-orang dengan gempita menyambut tujuh satu umur negara ini, sayup-sayup “terdengar” pekik “merdeka” dari kuburan-kuburan tanpa nisan, ruang-ruang penyiksaan, dasar-dasar sungai di Jawa-Sumatra, sampai mereka yang ter(di)buang di negeri asing. Saya kira, justru pekik merekalah yang lebih mampu menaikan gelora untuk memaknai kembali apa itu “merdeka” bagi mereka yang ter(di)singkir(kan). Daripada gegap gempita mereka yang mewarnai linimasa.

Ingar-bingar dan harapan akan kemerdekaan memang dimunculkan setiap tujuh belas Agustus, seolah harapan akan kemerdekaan akan purna seketika. Namun, harapan itu muskil jika melihat wajah-wajah sayu mereka yang dihempaskan paska pagebluk 1965.

Setelah tragedi 1965 meletus, ribuan orang-orang Indonesia tidak bisa pulang kembali ke Tanah Air. Tahun 1960 sampai 1964 adalah masa di mana Sukarno secara besar-besaran mengirim pemuda-pemudi Indonesia ke luar negeri untuk belajar. Selain menempuh pendidikan di perguruan tinggi, ada pula mereka yang menjalankan tugas diplomatik, wakil di organisasi internasional, atau anggota kontingen kebudayaan.

Pagi-pagi buta ketika tujuh jenderal diculik lalu dibunuh merupakan perubahan besar arah politik dan merupakan momentum besar untuk mereka. Seluruh elemen kiri di atas tanah di bumi ini ditumpas. Baik yang ada di bumi Indonesia maupun mereka yang ada di belahan bumi lain. Mereka yang berada luar negeri mendadak menjadi orang buangan. Paspor dan hak-hak kewarganegaraan mereka dicabut.

Puncak pembuangan anak negeri ini terjadi pada tahun 1966. Suharto, bersama tentara-tentara pemanggul senjata yang sebenarnya tak pernah memenangi perang itu, mendata ulang mereka yang ada di luar negeri. Opsinya cuman dua untuk kembali ke Indonesia: menyetujui Suharto sebagai pemimpin Indonesia yang sah atau menolak. “Pilih Suharto atau Sukarno, ya saya jawab ‘Sukarno,” terang Samardji, eksil yang mendapat beasiswa ke Beijing tahun 1964.

Sumardji dan mereka yang pergi sebelum 1965 merupakan bintang bangsa waktu itu. Mereka tumbuh sebagai pembela Sukarno paling gigih. Terdidik di Sekolah Tinggi/Universitas ternama di penjuru dunia. Dan diharapkan mampu menjadi think tank bangsa untuk pembangunan Semesta Berencana Presiden Sukarno.

Bagi pemerintah Orde Baru, mereka sama sekali tak dianggap. Dikutuk dan dihujat. Kutukanya bahkan dijaga melalui berbagai instrumen kebudayaan dan politik. Walaupun mereka menyandang gelar sarjana di universitas beken luar negeri pun tak ada gunanya sama sekali.

Melalui Melawan dengan Restoran, Sobron Aidit, mengkisahkan bagaimana memperjuangkan hidup dengan sesama kawan-kawan eksil. Berbagai kesulitan mereka tanggung selama menghidupi hidupnya sendiri itu. Bahkan, kesulitan muncul dari orang Indonesia sendiri: Kedubes RI di Paris. Mulai larangan dari Kedubes bagi orang Indonesia untuk makan di restoran Sobron sampai tindakan-tindakan intimidasi oleh intelejen yang dikirim pemerintah Indonesia.

Menurut Ari Junaedi yang pernah “melihat” para eksil untuk desertasi guna meraih gelar Doktor di Universitas Padjajaran, banyak mereka yang bertaruh di gelanggang mempertaruhkan hidup yang sampai akhir hayat masih hidup amat sederhana dan sendirian tanpa keluarga.

Di gelanggang mempertahankan hidup itu, mereka melakukan apa saja. Menjadi tukang bersih-bersih di studio teater, mendirikan warung makan, sampai menjadi karyawan di perusahaan-perusahaan otomotif sampai televisi. Dalam setiap memoarnya, seakan mereka mengarungi hidup yang sangat asing di saat mereka bebas melakukan apa saja. Kesenderian dan kesepian merupakan teman untuk melupakan masa lalu yang begitu ruwet.

Dalam beberapa film tentang mereka yang dihempaskan itu, tak mampu mereka membayangkan bagaimana nanti mereka dijemput ajal. Mereka mungkin sadar, proses itu di luar jangkauan kodrat mereka untuk menjawab: akan di mana mereka dikebumikan.

Dalam beberapa kesempatan, rasa cinta pada bangsa ini pun sudah teguh sampai mereka berkalang tanah. “Rindu” seakan jadi picu pelatuk untuk menggambarkan kehidupan yang telah direnggut beberapa tahun silam. Saya nukilkan cerpen Martin Aleida di salah satu cerpenya tahun 2010, Melarung Bro di Nantalu,

Kalau kami mati, kami ingin dikuburkan di daratan Nantalu, di hulu sungai ini, di mana hutan tak mengenal tepi. Kami merasa tak nyaman dengan pekuburan umum, yang membuat kami terus-menerus merasa dikejar-kejar perasaan bersalah, karena membiarkan orang tua kami menjalani istirahat penghabisan dengan ancaman banjir dan limbah rumah tangga yang amis.”

“Angan-angan mereka adalah sebuah istirahat kubur yang damai di bawah langit biru di lingkungan hutan hujan. Betapa bahagianya kami nanti dari dalam liang lahad bisa menyaksikan air yang menderu tak habis-habisnya, berebutan jatuh meluncur membasuh tebing. Akangkah nikmatnya menyaksikan hablur air yang deras menghanyutkan jutaan kiambang buih ke Selat Malaka, meninggalkan jejak pelangi di pucuk-pucuk pohon”

Tetapi, apa mau dikata, cita-cita yang sudah berusia lebih setengah abad itu hanyut sudah di tangan tentara pemanggul senjata. Lantaran, setiap kali mereka menerima amplop surat, pasti amplop lelayu. Satu per satu kaum terusir ini mati.

Sepeti sajak yang di garap Chairil, bahwa mereka yang berkalang tanah sudah muskil teriak “merdeka”. Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan, atau tidak untuk apa-apa / Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata, kaulah sekarang yang berkata.

Tabik!

Kategori
Diskusi

Merdeka: Jangan Lupa Pada Mereka Yang Melampaui Zaman

Sebentar lagi warga Indonesia akan merayakan hari kemerdekaan. Pada masa ini pula, masyarakat mulai terlihat sibuk memasang berbagai atribut kemerdekaan, melabur tepian jalan, mengadakan lomba, malam tirakatan, dan malam hiburan. Lebih dari itu, tepat pada 17 Agustus yang akan datang, berbagai elemen masyarakat akan berkumpul di alun-alun kota untuk mengikuti upacara, dan menyanyikan Indonesia Raya. Atau setidaknya, seperti itu lah momen klasik yang sering ku jumpai di hari kemerdekaan. Namun demikian, ada satu hal yang membuatku berfikir sedikit di luar kotak, agar hari jadi Indonesia ke 71 ini lebih bermakna dan tidak larut begitu saja dalam euforia peringatan hari kemerdekaan.

Aku tidak menuntut presidenku adalah dewa, atau gubernur dan pejabat publik lainnya bekerja secara sempurna. Namun, sungguh ironi bila di zaman ini mereka masih berebut kursi, demi udel mereka sendiri atau hanya untuk berburu tiket studi banding –eh berlibur ke luar negeri. Apalagi jika dalih yang mereka gunakan adalah “demi kepentingan rakyat.” Bagiku, itu cuma tedeng aling-aling. Seharusnya, dalam segala tindak tanduknya, pejabat publik perlu memahami persoalan hidup orang-orang, yang pernah hidup di masa penjajahan.

Sri Soekanti adalah salah satu orang yang pernah hidup di masa itu. Bahkan boleh dikatakan, ia telah menelan asam garamnya masa menjelang kemerdekaan. Sri adalah Jugun Ianfu (comfort woman). Istilah tersebut digunakan untuk merujuk kepada perempuan, yang pernah menjadi korban perbudakan seks selama perang dunia II di wilayah koloni Jepang.

Malam itu, (9/08), aku sempat bertemu dengan Sri, di rumahnya. Awalnya, aku tidak tahu kalau ada orang sepertinya, terlebih di Nanggulan, Salatiga. Dewi Candraningrum, Pemimpin Redaksi Junal Perempuan, adalah orang yang pertama kali bercerita kepadaku tentangnya. Jangankan Sri, Jugun Ianfu saja semula aku tak tahu kalau Dewi tidak mengajaku mengunju Sri.

Belakangan ku ketahui dari tulisan Lorraine Riva[1], ternyata Jugun Ianfu terbentuk lantaran, kala itu petinggi militer Jepang ingin membuka pusat rekreasi untuk para tentara yang bertempur di lini depan. Hal itu mereka yakini berguna untuk menjaga tata tertib dan mental para tentara. Padahal, pusat rekreasi hanyalah tipu muslihat untuk bordil militer. Perempuan di rumah bordil tersebut, rata-rata diculik dari rumah atau di sawah. Mereka dipaksa memuaskan birahi para tentara setiap hari, dan diberi hari libur hanya ketika menstruasi. Tentara Jepang sebenarnya juga merekrut anak-anak dan laki-laki dewasa untuk dijadikan romusha. Namun sialnya, perempuan juga bakal ditusuk bayonet jika nafsu tentara Jepang tak terpenuhi. Itu semua terjadi sejak pertama kali Jepang tiba di Indonesia pada 1942 dan berakhir pada 1945.

Aku tak banyak bertanya soal riwayat hidup Sri, kala itu. Memandang kerut di wajahnya sudah cukup membuatku duduk termangu di depannya. Aku merasa iba, pun susah bicara. Bahkan, hampir saja mataku berkaca-kaca. Aku juga sempat mendengar Sri mengeluh soal kakinya. “Iki lho sing tengen (baca: ini yang kanan),” katanya. Kemudian, suasana itu lekas kabur lantaran Sri lebih suka bercanda.

Sebelum pulang, aku sempat di cium Sri, di pipi kanan dan kiri, lalu di dahi. Setelah itu, aku pamit pulang dan ia berkata, “ati-ati yo nang, omong wong omah karo sedulur-sedulur, simbah sehat (baca: hati-hati ya nang[2], bilang sama orang-orang di rumah dan saudara semuanya, kalau simbah sehat).”

Batinku, “aku bukan keluargamu dan sepertinya kita tidak punya silsilah keluarga. Aku yakin kau berkata demikian lantaran kau tidak dapat mengenaliku. Pandanganmu sudah mulai kabur.” Saat ini, kondisi pengelihatan Sri sudah mulai terganggu. Matanya tidak berfungsi secara normal dan sering mengeluarkan air mata, padahal tidak menangis.

Saat berjalan ke luar rumah, Dewi sempat bercerita kepadaku soal riwayat hidup Sri. Kata Dewi, waktu itu, Sri baru berusia 9 tahun, tatkala dirinya diperkosa oleh salah seorang serdadu Jepang. Akibat perlakuan tersebut, Sri divonis tidak dapat memiliki keturunan seumur hidup karena rahimnya rusak.

Aku tidak tahu apakah Sri, sempat menerima cemooh dan perlakuan dari masyarakat di sekitarnya, seperti yang dialami (Almh.) Mardiyem (Momoye)[3]. Hanya saja, jika hal tersebut sungguh terjadi, saya anggap masyarakat di sekitarnya sangat tidak waras. Sudah kehidupan mereka direnggut, di cemooh pula. Duh!

Kisah ini lah, yang membuat ku berfikir, bahwa, seharusnya kemerdekaan juga dapat dimaknai dengan, bangkitnya semangat untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Bangsa yang arif dan budiman tidak boleh lupa dengan orang-orang yang pernah hidup pada masa sebelum, maupun sesudah kemerdekaan. Merdeka, bukan melulu soal mengepalkan tangan sebagai tanda kemenangan. Mereka yang melampaui zaman juga berhak menerima hajat hidup yang nikmat dan berkelimpahan.[]

 

Catatan:

[1]Tulisan Lorraine Riva, Jugun Ianfu: Seandainya Saya Dulu Jelek terbit pada, 13 Februari Dapat diakses melalui https://komunitasaleut.com/2013/02/13/jugun-ianfu-seandainya-saya-dulu-jelek/

[2]Nang/Sinang/Lanang adalah panggilan untuk anak laki-laki dari orang yang usianya lebih tua. Biasa dijumpai di Jawa Tengah dan Yogyakarta.

[3](Almh.) Mardiyem, adalah mantan Jugun Ianfu yang kini telah tutup usia. Ia pernah mewakili rekan-rekan senasib untuk memperjuangkan keadilan, di hadapan masyarakat internasional dan aktivis LSM dari Jepang. Hasil dari perjuangannya adalah, Peradilan Internasional di Den Haag, Belanda, pada 4 Desember 2001 memutuskan bahwa, Kasiar Jepang Hirohito dan para pejabat senior Jepang lainnya dinyatakan bersalah, atas perbudakan yang terjadi pada sekitar 200 ribu perempuan Asia, termasuk para perempuan usia muda di Indonesia, semasa penjajahan Jepang pada Perang Dunia II, 1942—1945. Lebih lanjut baca tulisan Farida, (Almh.) Mardiyem (Momoye): Keadilan Untuk Jugun Ianfu. Dapat diakses melalui http://www.jurnalperempuan.org/tokoh/almh-mardiyem-momoye-keadilan-untuk-jugun-ianfu