Kategori
Diskusi

Perlindungan Agraria dengan Kedaulatan Petani

Sebelumnya saya ucapkan selamat hari kemerdekan ke-72. Hari ini merupakan tonggak kemajuan bangsa Indonesia setelah terbebas dari belenggu kolonialisme bangsa belanda dalam 350 tahun menjajah nusantara. Tak ubahnya dari negeri surga, Indonesia menapaki jejak perjuangan bangsanya sendiri untuk terus membangun perekonomian. Selama 5 tahun terakhir berbagai sektor saling berlomba dalam proses pembangunan ekonomi ini, salah satunya sektor pertanian.

Sektor pertanian yang memiliki peranan yang sangat penting bagi Indonesia. Pada tahun 2012 sektor pertanian menyerap 35.9% dari total angkatan kerja di Indonesia dan menyumbang 14.7% bagi GNP Indonesia [1]. Fakta-fakta tersebut menguatkan pertanian sebagai megasektor yang sangat vital bagi perekonomian Indonesia. Akhir tahun 2016 Indonsia sudah kembali menyandang swasembada beras setelah 32 tahun lalu. Berdasarkan angka Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Pertanian, produksi padi 2016 mencapai 79,14 juta ton GKG, meningkat 3,74 juta ton dibanding 2015. Produksi jagung 2016 sebanyak 23, 16 juta ton pipilan kering, atau meningkat 3,55 juta ton dibanding 2015 [2].

Serayanya kemerdekan itu dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat namun jika kita telisik lebih jauh ternyata kaum yang sering dipandang sebelah mata itu (dibaca: petani) sering kali tidak mendapatkan kemerdekaan yang layak atas kerja mereka. Berbuntut pada kurangnya ketersediaan lahan untuk menjamin kesejahteraan petani, pemerintah dinilai kurang berperan aktif atas terselenggaranya kegiatan pembangunan dalam bidang pertanian.

Pembagian wilayah pada sektor pembangunan telah dibagi dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dalam beberapa cakup wilayah koridor ekonomi. Diambil dari data file MP3EI bab III mengenai Koridor Ekonomi Indonesia. Koridor Ekonomi (KE) dibagi menjadi 6 wilayah berdasarkan potensi yang dinilai mampu mendukung produk nasional bruto secara penuh [3].

Sumber gambar: www.ekon.go.id

 

Pada dasarnya, MP3EI memiliki keterkaitan dalam pelaksanaanya dengan Comprehensive Asia Development Plan (CADP). Pada tahun 2009, Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA) melalui Boston Consulting Group menyelesaikan penelitian tentang Indonesia Economic Development Corridors (IEDCs). Hasil riset IEDCs dan kata kunci “konektivitas” akhirnya diadopsi oleh Koordinator Kementerian Urusan Ekonomi untuk disusun menjadi naskah MP3EI [4].

Ketika CADP diluncurkan, Sekjen ASEAN Dr. Surin Pitsuwan, menyatakan bahwa CADP adalah “Asian Marshall Plan”. Istilah ini memang dimaksudkan secara eksplisit untuk merujuk pada Marshall Plan: program Amerika Serikat pasca perang dunia II. Jadi, Marshall Plan maupun CADP ini diklaim sebagai upaya untuk membangun kembali ekonomi dunia kapitalis yang sedang tergoncang hebat akibat krisis. Dalam ungkapan yang lain, Asia diklaim akan menjadi “the driver for global economy” [5].

Marshall Plan merupakan program kredit pembangunan untuk negara yang terkena imbas perang dunia II oleh Amerika Serikat. Pada akhirnya konsepsi marshall plan ini mengakar pada negara dunia ketiga sehingga terjadi replikasi skema pembangunan pada hampir seluruh negara dunia ketiga serta menumbuhkan paham developmentalis. Paham ini memiliki makna adanya keterkaitan ideologi antara kepentingan negara industri maju dan kepentingan elit politik negara dunia ketiga.

Program ekonomi skala besar inipun akhirnya membelah perekonomian dunia menjadi tiga macam, yaitu: perekonomian liberal, perekonomian sosialis, dan perekonomian gabungan. Indonesia secara tiak langsung menganut sistem perekonomian gabungan. Selaras dengan paham developmentalis yang mulai berkembang di Indonesia sehingga mengubah pola pandang Indonesia pada persaingan perekonomian dunia menjadi negara buta pembangunan.

Proses pembangunan ini haruslah pada tataran tertentu dan batasan yang logis untuk mendapatkan kesejahteraan yang merata bagi masyarakat yang terkena dampaknya. Prof. Sajogyo menuturkan bahwa pembangunan adalah perubahan ke arah positif dari manusia dan tetap terjaganya alam sekitar ruang hidupnya. Konsepsi ini dinamakan sebagai konsep Natura dan Humana.

Konsep Natura dn Humana ini sebenarnya sudah termuat pada pasal 2 ayat 3  UU No. 5 Tahun 1960 atau sering disebut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang berbunyi, “Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut pada ayat 2 pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur.”

Hal pertanahan ini masih berkaitan dengan UU No. 13 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Petani dinilai sebagai penyewa bukanlah sebagai pemilik penuh atas tanah pertaniannya sendiri. Hal ini termuat pada pasal 59 UU No. 13 Tahun 2013, “Kemudahan bagi Petani untuk memperoleh lahan Pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (3) huruf a diberikan dalam bentuk hak sewa, izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan.”

Menyimpang dari konsepsi agraria pada pasal 2 ayat 3 UUPA yang menyebutkan bahwa kesejahteraan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Berlainan daripada itu pada pasal 59 UU No. 13 Tahun 2013 ini malah menempatkan petani sebagai penyewa (bukan pemilik) dan negara (menyewakan sebagai pemilik). Secara tidak langsung hal ini mendorong feodalisme di lapangan agraria memicu adanya spekulasi dan komersialisasi atas penguasaan dan pengelolaan tanah [6].

Tidak konsistennya pemerintah dalam pelaksanaan konstitusi tersebut menimbulkan konflik agraria. Dalam catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sepanjang tahun 2016 terjadi 450 konflik agraria dengan luas 1.265.027,39 hektar dan konflik ini berdampak pada 86.745 keluarga. Sektor perkebunan menyumbang tertinggi kasus agraria dengan 36,22% [7].

Adanya kejadian konflik agraria yang sering terjadi membuat pemerintah sebaiknya kembali melihat UU tersebut. Petani seharusnya mendapatkan perlindungan atas tanahnya sesuai dengan UU No. 13 Tahun 2013 pasal 1 ayat 2 serta berkewajiban memberikan jaminan ketersdian lahan pertanian sesuai dengan UU No. 13 Tahun 2013 pasal 55 ayat 1 yang berbunyi, “Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban memberikan jaminan ketersediaan lahan Pertanian.” Mengenai perlindungan dan pemberdayaan petani tentang lahan pertanian sudah jelas tercantum pada UU No. 13 Tahun 2013 pasal 55-57 tentang konsolidasi Perluasan Lahan Pertanian.

Terkait pelaksanaannya ternyata pemerintah masih belum bisa melaksanakan perlindungan tanah pertanian. Ketua Komite Pertimbangan Indonesia Human Rights Committee for Sosial Justice (IHCS), Gunawan, menambahkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah memiliki tanggung jawab dalam perlindungan terhadap petani dalam UU tersebut. Sayangya, realisasi pemerintah belum terlihat.

Menurutnya, pemberian redistribusi tanah kepada petani belum dilaksanakan pemerintah. Sebaliknya, justru terjadi alih fungsi lahan pertanian dan gagalnya desa melindungi fungsi lahan pertanian. “(Ini) disebabkan kegagalan pemerintah dan pemerintah daerah dalam menjalankan amanat undang-undang penataan ruang dan UU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan berkelanjutan,” ujarnya [8].

Kategori
Siaran Pers

Pernyataan Sikap PPMI DK Semarang Tentang Konflik PT. Semen Indonesia di Rembang

Salam Pers Mahasiswa!

Perjuangan para petani melawan pendirian pabrik PT. Semen Indonesia di Rembang belum menemukan titik akhir. Hingga saat ini, Ganjar Pranowo selaku Gubernur Jawa Tengah belum melaksanakan putusan Mahkamah Agung yang memenangkan gugatan warga, yakni mencabut Izin Lingkungan, Penambangan dan Pendirian Pabrik Semen yang telah dikeluarkan Gubernur sebelumnya melalui SK No. 660.1/17 tahun 2012. Padahal, putusan tersebut keluar sejak 5 Oktober 2016 setelah warga melakukan tahapan Peninjauan Kembali sebagai upaya hukum luar biasa sekaligus terakhir di Mahkamah Agung.

Kondisi semakin diperparah dengan adanya Surat Keputusan (SK) tentang izin lingkungan baru yang secara diam-diam dikeluarkan oleh Gubernur pada tanggal 9 November 2016. Para pakar hukum berpendapat, keluarnya SK tersebut merupakan upaya “mengakali” hukum yang dilakukan Gubernur untuk merestui pembangunan pabrik semen di Rembang. Karena itulah, sejak 19 Desember 2016 sampai hari ini, warga yang telah berjuang lebih dari dua tahun dalam proses peradilan bertahan di depan Kantor Gubernur Jateng. Mereka bertekad tak akan pulang sampai putusan MA itu dilaksanakan.

Penolakan pabrik semen di Rembang merupakan murni perjuangan warga untuk memperoleh keadilan dan mempertahankan kelestarian lingkungan. Hal itu telah dibuktikan oleh warga dan JMMPK (Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng) dengan melakukan berbagai upaya baik litigasi maupun non-litigasi sejak tahun 2014. Namun belakangan, kami melihat persoalan ini dikeruhkan oleh pemberitaan media Semarang yang cenderung menggiring opini publik: bahwa perlawanan terhadap pabrik Semen Indonesia (yang notabene milik Badan Usaha Milik Negara) di Rembang ditunggangi kepentingan asing.

Beberapa media di Semarang juga kerap memproduksi berita yang berpihak pada pendirian pabrik semen. Hal ini jelas memperuncing konflik dan berpotensi mengadu domba masyarakat yang pro dan kontra adanya pabrik. Padahal, secara substansial, persoalan di Rembang bukanlah tentang berapa banyak masyarakat yang setuju atau tidak setuju adanya pabrik semen, melainkan tentang pendirian pabrik PT. Semen Indonesia yang sejak awal telah menyalahi aturan dan mengancam kelestarian lingkungan.

Oleh karena itu, kami yang tergabung dalam Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia Dewan Kota Semarang menyatakan sikap sebagai berikut:

1. Menuntut Gubernur Jawa Tengah untuk mematuhi Putusan Mahkamah Agung dengan mencabut Izin Lingkungan Nomor 660.1/17 tahun 2012 dan semua turunannya, serta hentikan seluruh kegiatan pabrik semen PT. Semen Indonesia di Rembang;

2. Meminta kepada media khususnya di Semarang untuk tidak memproduksi berita yang berpotensi memperuncing konflik dan mengadu domba warga yang pro dan kontra PT. Semen Indonesia di Rembang;

3. Meminta kepada media untuk memberikan informasi secara benar dan berimbang terhadap permasalahan PT. Semen Indonesia di Rembang;

4. Mendorong kepada seluruh Pers Mahasiswa khususnya di Semarang dan Jawa Tengah untuk mengawal kasus ini;

5. Mendorong Pers Mahasiswa di Semarang untuk bersolidaritas dan berjejaring dalam aksi-aksi menuntut dilaksanakannya putusan MA terkait izin lingkungan PT. Semen Indonesia di Rembang

Semarang, 7 Januari 2017.

Ahmad Amirudin, Sekjen PPMI DK Semarang 2016-2017

 

LPM yang tergabung dalam pernyataan sikap: LPM Hayamwuruk (FIB Universitas  Diponegoro), LPM Menteng (Universitas Wahid Hasyim), LPM Edukasi (FITK UIN Walisongo), LPM Gema Keadilan (FH Universitas Diponegoro), LPM Lentera (Fiskom Universitas Kristen Satya Wacana), LPM Frekuensi (FST UIN Walisongo), LPM Vokal (Universitas PGRI Semarang), LKM SA-freedom press (Universitas Sultan Agung), LPM Uninews (Universitas  Muhammadiyah Semarang), LPM Missi (FDK UIN Walisongo), LPM Benteng Kampus (Stikom Semarang), LPM Refrens (Fisip UIN Walisongo), LPM Invest (FEBI UIN Walisongo), LPM White Campus (Politeknik Kesehatan Kemenkes Semarang), LPM Edents (FEB Universitas Diponegoro), LPM Justisia (FSH UIN Walisongo), LPM Paraga (Universitas Katolik Soegijapranata), BP2M (Universitas Negeri Semarang), LPM Momentum (FT Universitas Diponegoro), SKM Amanat (UIN Walisongo).
Kategori
Diskusi

Hak Atas Kehidupan Layak dan Proyek Bandara Kulonprogo

Setiap pribadi memiliki harkat dan martabat yang sama sebagai manusia. Dalam pembukaan Deklarasi Universal Hak Asasi manusia (DUHAM) disebutkan, bahwa pengakuan atas martabat yang melekat pada hak-hak yang sama tidak dapat dicabut dari semua anggota keluarga manusia. Ia adalah landasan bagi kebebasan, keadilan dan perdamaian di dunia.

Namun acapkali dalam suatu proses pembangunan, masyarakat dilanggar hak asasinya sebagai manusia. Hak-hak yang mendasar dan melekat sepertinya dicerabut hanya karena mereka tidak mau menjual tanahnya untuk sebuah pembangunan. Apalagi dalam proses pengukuran, pelepasan lahan dan pembangunan, pemerintah seringkali menggunakan aparat keamanan untuk mengintimidasi warga. Padahal setiap manusia memiliki hak atas kehidupan yang layak menyangkut rumah; hidup yang aman, tentram, damai, bahagia, sejahtera; hak milik; hak atas lingkungan yang baik; hak atas identitas yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan dan pelayanan sosial.

Untuk itu, penulis akan mengkaji (kemungkinan) pelanggaran HAM, terkhusus hak atas kehidupan yang layak apabila rencana pembangunan bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA) di Kulonprogo dilanjutkan.

Sejarah Perumusan Hak Asasi Manusia

Perumusan Dokumen Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) tidak terlepas dari peristiwa Perang Dunia II dimana banyak orang tidak punya tempat tinggal, tidak mempunyai kehidupan yang layak, tidak punya hak milik, tidak bebas kembali dan pergi dari negaranya, tidak bebas mengeluarkan pendapat, dll. Karena itu PBB membentuk komisi tentang Dewan Ekonomi dan Sosial (ECOSOC) yang bertugas membentuk Komisi Hak Asasi Manusia (commission of human rights). Setelah dibentuk, dewan tersebut mulai bersidang pada bulan Januari 1947 di bawah pimpinan Ny. Eleanor Rossevelt dan beberapa anggota seperti John Peters Humphrey dari Kanada, Jacques Maritain dari Prancis, Charles Malik dari Lebanon, P.C. Chang dari Republik Tiongkok, dll.

Namun dalam perumusannya, DUHAM juga merujuk pada dokumen-dokumen terdahulu seperti Magna Charta di Inggris (1215), Bill of Rights (1689), Declaration of Independence USA (1776), Bill of Rights USA (1791), Declaration of Rights of Man and The Citizen Prancis (1789). Dokumen-dokumen tersebut berisi tentang kerajaan tidak akan mencampuri urusan gereja, tentang kebebasan kepada warga negara untuk berpartisipasi dalam kehidupan publik, dan negara menjamin hak-hak warga negara.

Setelah 2 tahun perumusannya maka pada tanggal 10 Desember 1948 diselenggarakanlah sidang Umum PBB di Istana Chaillot, Paris dan mereka menerima hasil kerja panitia tersebut. Karya itu berupa Universal Declaration of Human Rights atau Pernyataan Sedunia tentang Hak–Hak Asasi Manusia, yang terdiri dari 30 pasal. Dari 58 Negara yang terwakil dalam sidang umum tersebut, 48 negara menyatakan persetujuannya, 8 negara abstain (Belarusia, Cekoslavakia, Ukraina, Polandia, Uni Soviet, Yugoslavia, Afrika selatan, Arab Saudi) dan 2 negara absen. Oleh karena itu, setiap tanggal 10 Desember diperingati sebagai hari Hak Asasi Manusia. Sekretaris PBB sendiri pada waktu itu adalah Trygve Lie dari Norwegia.

Hak atas kehidupan yang Layak

Setiap warga negara mempunyai hak untuk kehidupan yang layak berupa tempat tinggal, lingkungan yang sehat dan bahkan mendapat jaminan sosial. Untuk itu berikut ini poin-poin dari regulasi yang mengatur hak atas tempat tinggal dan kehidupan yang layak.

  • UUD 1945 pasal 28H ayat (1), “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
  • UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM pasal 40, “Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak”.
  • UU No. 11 Tahun 2005 tentang Hak Ekonomi Sosial Budaya (Ratifikasi Kovenan Internasional Tentang Hak Ekonomi Sosial Budaya) pasal 11 ayat (1), “Negara pihak mengakui hak setiap orang atas standar hidup yang layak baginya dan keluarganya, termasuk pangan, sandang dan perumahan, dan atas perbaikan kondisi hidup terus menerus…”
  • DUHAM pasal 25 ayat (1), “Setiap orang berhak atas tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang diperlukan, dan berhak atas jaminan pada saat menganggur, menderita sakit, cacat, menjadi janda/duda, mencapai usia lanjut atau keadaan lainnya yang mengakibatkannya kekurangan nafkah, yang berada di luar kekuasaannya”.
  • Konvensi tentang Hak-Hak Anak Pasal 27 ayat (3), “Sesuai dengan kondisi nasional dan dalam batas kemampuan mereka, negara-negara pihak harus mengambil langkah-langkah yang layak guna membantu orangtua dan orang-orang lain yang bertanggungjawab atas anak untuk melaksanakan hak ini, dan bila diperlukan, memberi bantuan material dan program bantuan, terutama yang menyangkut gizi, pakaian dan perumahan”.

Ketentuan lain

  • Komentar umum (Konvensi Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya – ICESCR – 13 Desember 1991) 4 tentang Hak atas Tempat Tinggal yang Layak (Pasal 11 ayat [1]) menegaskan bahwa “hak asasi atas tempat tinggal yang layak, yang bersumber dari hak atas kehidupan yang layak, adalah yang utama terpenting untuk penikmatan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya”.
    Komentar umum (Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik – ICCPR – 1997) No. 7 tentang Hak atas Tempat Tinggal yang Layak: Pengusiran Paksa: Pasal 16 menegaskan “Pengusiran tidak boleh menjadikan individu-individu tidak berumah atau rawan terhadap pelanggaran hak-hak asasi manusia lainnya. Dimana orang-orang terimbas tidak mampu menyediakan berbagai kebutuhan mereka sendiri, negara harus menyediakan segala ukuran yang tepat, untuk memaksimalkan sumber daya tersedia, untuk memastikan bahwa perumahan, pemukiman, atau akses alternatif atas tanah yang produktif, tergantung kasusnya, tersedia”.

Proyek Bandara Kulon Progo

Kalau kita melihat Perpres No. 3 tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, pembangunan New Yogyakarta International Airport (NYIA) yang bertempat di Kulonprogo adalah salah satu dari proyek strategis nasional. Namun menjadi persoalan ketika IPL (Izin Penetapan Lahan) No. 68/KEP/2015 mendahului Kerangka Acuan Analisis Lingkungan (KA Amdal). Padahal kalau mengacu pada UU No. 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum dan PP No. 71 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum menetapkan bahwa Amdal harus ada sebelum IPL dan pembebasan lahan.

Kalau melihat regulasi yang ada nampak bahwa ada ketidaksesuaian antara tahap-tahap yang harus dilalui dengan kenyataan yang ada. Maka sangat wajar kalau penetapan lokasi bandara di Kulonprogo terlihat dipaksakan karena memang tidak sesuai dengan mekanisme regulasi yang ada.

Pembangunan bandara yang memang tidak sesuai dengan regulasi yang ada dan terlihat dipaksakan telah mengakibatkan proses ini cacat dari awal. Selain itu pemilihan tempat pembangunan di lahan yang produktif juga menimbulkan persoalan. Apalagi tidak ada jaminan ekonomi bagi warga ketika mereka menyerahkan tanahnya untuk dijual ke pihak bandara telah menambah persoalan lain. Maka sangat wajar kalau warga yang tergabung dalam Wahana Tri Tunggal (WTT) yang berjumlah sekitar 300 kepala keluarga, tidak mau menjual tanah mereka, karena memang mereka punya hak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya (UUD 1945 pasal 28A).

Seandainya proyek NYIA tetap dipaksakan untuk dijalankan maka negara harus bisa melindungi dan menjamin hak-hak setiap warga negara termasuk warga WTT. Hak untuk punya tempat tinggal dan kehidupan yang layak tetap harus dijamin karena hak itu sudah melekat dalam setiap pribadi manusia sejak ia lahir. Pengabaian hak dasar warga WTT untuk dihormati haknya karena tidak bersedia menjual tanah dan memaksa mereka menjual tanah dengan cara mengintimidasi mereka telah menimbulkan pelanggaran HAM. Pelanggarannya bisa dilakukan oleh negara sendiri (by commission) atau negara membiarkan terjadinya pelanggaran HAM dengan cara membiarkan pihak pengembang melakukan intimidasi kepada warga supaya mereka menjual tanahnya (by omission).

Karena negara memiliki kewajiban untuk melindungi (to protect), menghormati (to respect) dan memenuhi (to fulfil) hak warga negara. Apalagi hak untuk hidup, mempertahankan hidup, bebas dari penyiksaan adalah hak yang tidak boleh dilanggar (Non-derogable rights).

Untuk itu pemerintah memang perlu menghomati pilihan warga WTT untuk tidak menjual tanahnya karena hal ini menyangkut hak warga WTT atas kepemilikan, tempat tinggal dan kehidupan yang layak. Kalau rencana NYIA tetap dilanjutkan di Temon, Kulon Progo maka akan menambah catatan merah pelanggaran HAM di Indonesia.

 

Bacaan Rujukan

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, yang ditetapkan oleh Majelis Umum dalam Resolusi 217 A (III) tertanggal 10 Desember 1948.

General Comment International Convenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) no. 4 tanggal 13 Desember 1991.

General Comment International Convenant on Civil and Political Rights  (ICCPR) no. 7 tahun 1997.

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia no. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia yang ditetapkan tanggal 13 November 1998.

Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, yang ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI) tanggal 16 Desember 1966.

Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, yang ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI) tanggal 16 Desember 1966.

Konvensi tentang Hak-Hak Anak, disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 20 Nopember 1989.

Ni Wayan Dyta Diantari, Sejarah Hak Asasi Manusia dalam https://emperordeva.wordpress.com/about/sejarah-hak-asasi-manusia/, diakses 21 November 2016.

Peraturan Presiden No. 3 tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.

Putusan Presiden No. 71 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Undang-Undang Dasar Nagara Indonesia 1945 Amandemen IV.

Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Undang-Undang No. 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Kategori
Diskusi

Menyejahterakan Rakyat Tak Semudah Mengizinkan Pabrik Semen

5 Oktober 2016 kemarin, Mahkamah Agung (MA) telah membatalkan izin pendirian Pabrik Semen Indonesia di Kawasan Hutan Mantingan, Pegunungan Kendeng Utara, Kabupaten Rembang. Pembatalan tersebut telah memenangkan gugatan Joko Prianto dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) kepada Pemerintah Jawa Tengah dan Semen Indonesia. Mengetahui kabar tersebut, orang-orang yang selama ini bersolidaritas dengan kaum tani Kendeng Utara pun merasa bungah. Artinya, perjuangan tani-tani Kendeng Utara tidak sia-sia; mereka bisa bertani dengan tenang, tiada lagi mencemaskan kerusakan lingkungan.

Di tengah ke-bungah-an orang-orang yang bersolidaritas, ada cacat paham yang harus diwaspadai dari para pengagum ilusi pembangunan. Entah apa motifnya, tiba-tiba terbitlah tulisan Purwokotidak usah disebut gelar akademiknya, dosen pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Ahmad Dahlan (UAD) di harian Suara Merdeka pada tanggal 15 Oktober 2016. Tulisan itu bertajuk Nasib Pabrik Semen Rembang.

Dalam tulisannya, Purwoko sangat menyayangkan pembatalan izin pendirian pabrik semen oleh MA. Menurutnya jika pabrik semen beroperasi, akan bisa mengangkat derajat kesejahteraan ekonomi rakyat setempat. Selain menyerap tenaga kerja, beroperasinya pabrik pun akan membuka ruang-ruang ekonomi baru dan memperluas skala industri-industri tambang lokal. Purwoko meyakini bahwa perubahan tatanan ekonomi masyarakat akan menjadi lebih baik dengan adanya pabrik semen; tidak akan ada lagi ketimpangan ekonomi di sana. Sebagai akademisi ilmu ekonomi, ia menilai bahwa semangat pendirian Pabrik semen di Kendeng Utara sesuai dengan amanat Pasal 33 UUD 1945.

Seorang dosen fakultas ekonomi justru menyarankan orang-orang  yang menolak pabrik semen agar berbalik pikiran. Analisis orang-orang yang mengkhawatirkan kerusakan lingkungan tidak dibenarkan oleh Purwoko. Baginya, masyarakat Kendeng Utara harus yakin bahwa demi kesejahteraan rakyat, industri semen akan memberikan solusi atas kerusakan lingkungan. Sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Semen Indonesia tidak perlu diragukan lagi komitmennya dalam mengurus lingkungan rakyat. Sebegitu yakinnya Purwoko, hingga ia menyimpulkan bahwa masyarakat harus meyakini kalau pabrik semen bisa menyejahterakan masyarakat setempat atasnama Pasal 33 UUD 1945. Begitulah argumen pendek basa-basi Purwoko untuk membela pabrik semen dalam sebuah artikel yang panjangnya tidak sampai 700 kata.

Membaca artikel Purwoko, saya merasa ada selipan cacat paham ilusional dalam benaknya. Akademisi ekonomi macam Purwoko adalah tipikal pengagum ilusi pembangunan belaka. Bagi orang macam itu, pendirian obyek kapital adalah modal pembangkit kesejahteraan rakyat. Tanpa melihat kearifan ekonomi masyarakat lokal, Purwoko yakin bahwa menghadirkan obyek kapital adalah opsi baik untuk memajukan kesejahteraan masyarakat setempat. Ia tidak melihat efek-efek buruk industrialisasi berbasis eksploitasi alam bagi masa depan perekonomian lokal yang digerakkan kaum tani.

Orang-orang Kendeng Utara seperti Joko Prianto (Mas Print), Bu Sukinah, dan lainnya adalah orang yang menyambung hidup dari pertanian. Membuka lahan pertanian di sana, tentunya membutuhkan jumlah air yang tak sedikit guna mengaliri lahan. Mas Print dan orang-orang sekitarnya paham betul bahwa cadangan air tanah (CAT) di Watuputih (Kendeng Utara) menyimpan banyak air yang bisa digunakan untuk irigasi dan urusan hajat hidup lainnya. Bahkan, ketika saya membaca prosiding hasil penelitian Ming Ming Lukiarti dkk. untuk Seminar Kebumian Ke-7 di Universitas Gadjah Mada (UGM), dinyatakan bahwa CAT Watuputih menampung hingga 54-an juta liter air. Di Kendeng Utara juga ditemukan sebanyak 109 mata air. Air yang ditampung CAT ini pun dimanfaatkan oleh masyarakat Rembang, Pati, Grobogan, dan Blora.

Tak bisa dipungkiri bahwa melestarikan alam Kendeng Utara sama artinya dengan melestarikan kehidupan makhluk hidup sekitarnya, termasuk manusia. Dan manusia-manusia yang ada di sana sudah menyambung laku hidupnya dengan cara bertani. Ini artinya masyarakat sangat membutuhkan potensi alam untuk menghidupi diri. Ketersediaan air adalah hal vital yang mesti dijamin adanya. Apakah Purwoko memiliki pemahaman bertani tanpa air?

Dengan pemahaman ilusionis tentang pembangunan pabrik, Purwoko mendamba efek kesejahteraan ekonomi berbasis eksploitasi alam. Melalui tulisannya, ia membayangkan orang-orang desa menjadi pekerja pabrik manufaktur. Menjadi pekerja pabrik, artinya mengakses pertumbuhan ekonomi. Sedangkan pertumbuhkan ekonomi yang mengesampingkan kelestarian alam dan kearifan mata pencaharian yang mendarah daging, sama saja memutus rantai kesejahteraan yang sudah berkesinambungan untuk rakyat. Saya pikir, Purwoko juga tidak memikirkan efek kesengsaran menjadi buruh manufaktur bagi orang-orang desa.

Belum tentu, bekerja pada sektor manufaktur itu menyejahterakan. Kita sering mengetahui bahwa buruh pabrik sampai hari ini masih menuntut kesejahteraan. Tak hanya soal upah, kesejahteraan sosial macam jam kerja dan hak-hak eksistensial di luar pabrik masih cenderung diabaikan pihak perusahaan. Persaingan industri manufaktur yang menuntut laba tinggi, acapkali memeras tenaga pekerjanya untuk terus menghasilkan produk komoditas. Solusinya ialah para pekerja diharuskan lembur oleh pihak perusahaan untuk melakukan produksi besar-besaran. Apalagi kalau pihak perusahaan sedang bersaing seketat-ketatnya dengan perusahaan lain, otomatis para pekerja dikorbankan demi asap pabrik tetap mengepul.

Membandingkan pola kerja petani dan pekerja manufaktur, tentunya bisa ditemukan perbedaan di antara mereka dalam mengelola eksistensi sosial masing-masing. Buruh manufaktur yang bekerja berjam-jam, dengan kedisplinan yang diatur, belum lagi kalau lembur, akan sangat kesulitan mencari celah waktu untuk sekadar bersosialisasi memikirkan nasib sesamanya. Mereka pun tak perlu tahu urusan komoditas yang mereka produksi akan berakhir dikonsumsi oleh siapa. Ini beda dengan pola kerja dan eksistensi sosial kaum tani.

Kaum tani, sudah tentu memikirkan kemana komoditas pangan yang ditanamnya akan dipasarkan. Dengan kepunyaan waktu yang diatur sendiri, para petani lebih memungkinkan untuk bergaul mengorganisir diri dan memikirkan nasib kesejahteraan bersama. Mereka lebih punya kesempatan untuk mengontrol mekanisme pasar atau menyerahkan kepada siapa komoditasnya dikonsumsi. Bila memang ada kasus pertanian di suatu daerah kurang sejahtera, itu disebabkan oleh faktor eksternal non-petani seperti dukungan otoritas dan permainan para pemodal untuk menguasai pasar bahan pangan. Intinya, pertanian bisa semakin sejahtera bila kaum petani tidak diganggu aktivitas perekonomiannya. Sebab, tidak ada majikan bagi petani kecuali alam.

Dengan analisis di atas, melihat potensi Kendeng Utara, kesejahteraan ekonomi yang cocok untuk diterapkan di sana ialah pertanian. Walau ada juga masyarakat lokal yang bekerja sebagai penambang di atas pegunungan, tapi resiko menambang jelas lebih berbahaya dibandingkan bertani. Logikanya, kalau gugusan karst habis untuk ditambang, mau apa lagi yang harus dikorbankan buat makan? Beda dengan pertanian, dengan kelimpahan sumber daya alam yang tersedia, para petani bisa terus menghasilkan pangan dan mewariskan sistemnya secara turun-temurun lintas generasi.

Penghujung tahun 2014 lalu, saya dan teman-teman Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Ekspresi bertandang wilayah Kendeng Utara untuk melakukan liputan sekaligus mampir bersolidaritas dengan Mas Print, Bu Sukinah, dan para tetangganya. Menurut mereka, pertambangan lokal yang ada saja sudah cukup mengkhawatirkan. Tambang karst lokal yang dimulai sejak akhir dekade 90-an itu justru dipelopori oleh para pemilik otoritas (penguasa) lokal seperti kepala desa dan bupati yang sempat menjabat. Mereka tidak menginginkan lagi adanya pertambangan baru di Kendeng Utara. Pantaslah jika keberadaan pabrik semen mereka tolak habis-habisan.

Saya memang bukanlah siapa-siapa dalam kubu yang bersolidaritas kepada kaum tani Kendeng Utara. Tapi, membaca artikel Purwoko, saya melihat ada kebebalan paham dari seorang akademisi yang mengagungkan-agungkan ilusi. Meminjam legitimasi undang-undang negara, Purwoko mencoba memberi nasihat kepada masyarakat melalui media lokal berskala Jawa Tengah.

Mungkin bagi nalar ilusionis Purwoko, mengoperasikan pabrik untuk menaikkan taraf hidup masyarakat pegunungan itu sama mudahnya dengan mbacot teori kesejahteraan pembangunan di ruang kuliah. Ia dengan bijaksananya, mengklaim pengoperasian pabrik adalah upaya menyejahterakan rakyat. Beda paham dengan saya yang anti-kuliah ini, saya cenderung melihat basis kesejahteraan berdasarkan potensi lokalitas yang dimiliki masyarakat setempat. Secara empirik, tanpa harus dikuliahi Purwoko, saya menyaksikan betapa hijaunya lahan pertanian dibanding morat-maritnya pertambangan lokal di atas Kendeng Utara. Nah, kalau kehadiran pabrik Semen Indonesia direstui, apa tidak semakin bikin morat-marit alam, Pur?!

Sebagai pemuda kharismatik yang tidak pernah menjadi mahasiswa ekonomi, saya ragu kalau akademisi ekonomi macam Purwoko sempat membaca pemikiran almarhum Mubyarto, begawan ekonomi kerakyatan UGM. Melalui esai Pertanian dan Ketahanan Ekonomi Rakyat yang diterbitkan oleh Mubyarto pada tahun 1998, ia mengungkapkan bahwa sistem pertanian berkelanjutan dari rakyat haruslah didukung. Konservasi sumber daya alam dan pemanfaatan ilmu pengetahuan petani adalah potensi dari sistem pertanian berkelanjutan ini. Maka, dengan sistem inilah krisis panga bisa diatasi dan otomatis menjamin ketahanan perekonomian rakyat.

Saya mengamini konsep kesejahteraan ekonomi rakyat yang digagas Mubyarto, wabil khusus untuk masyarakat pegunungan. Bahwa kegiatan ekonomi berbasis potensi lokal lah yang sebenarnya menjadi sarana kemakmuran rakyat, bukan malah dengan cara mengundang “monster besar” untuk menyantap karst di pegunungan. Sebaliknya, meminjam istilah Revrisond Baswir, murid Mubyarto, apa yang diilusikan oleh Purwoko menandakan dirinya sebagai “ekonom terjajah”.

Ekonom terjajah ialah pemikir ekonomi yang cenderung mengidolakan tata pembangunan ekonomi a la Orde Baru; cenderung mengejar pertumbuhan tinggi namun lupa menyokong kesejahteraan rakyat. Adapun manifesto ekonomi macam itu semakin terjebak dalam jerat kapitalisme global. Memperbanyak industri manufaktur untuk fokus menjual komoditas namun komoditas tersebut dipakai hanya untuk menyerap keuntungan modal sebanyak-banyaknya; bersaing dengan perusahaan-perusahaan lain. Sehingga seringkali terlupa (atau sengaja dilupakan), sesungguhnya masyarakat yang berada di dekat obyek kapital (industri manufaktur) tidak membutuhkan samasekali kegunaan komoditas yang diproduksi oleh sebuah pabrik.

Memandang kepada industri semen, menurut data Kementerian Perindustrian (Kemenperin), dalam setahun ini, kapasitas produksi industri semen mencapai 92 juta ton sedangkan perkiraan konsumsi semen yang dibutuhkan dalam negeri hanya 62 juta ton. Melihat overproduksi tersebut, Thomas Lembong, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyarankan agar investasi terhadap industri semen harus dihentikan. Alasannya, permintaan akan semen lebih rendah dibanding jumlah pasokannya. Dari sini, muncullah pertanyaan, apakah rakyat mau diberi makan kelebihan semen? Untuk menyantap nasi, sambal, dan tempe goreng saja masih banyak yang kesusahan kok.

Mendebat pernyataan Purwoko yang menyayangkan pembatalan izin Pabrik Semen Indonesia, adalah peringatan bahwa masih ada pakar ekonomi klan akademisi yang asal comot makna Pasal 33 UUD 1945. Makna “kesejahteraan rakyat” acapkali disamakan dengan pembangunan obyek kapital untuk menjual komoditas sebanyak-banyaknya. Maka terlalu naif lah bila seorang pemikir ekonomi melupakan basis kesejahteraan rakyat lokal seperti bertani sebagai potensi yang semestinya lestari. Ditambah lagi, meremehkan kerusakan alam bukanlah tipikal akademisi bijaksana. Hindari mudharat, Pak!

Satu hal yang harus Purwoko yakini: bertani di Kendeng Utara tidak segampang menulis untuk Suara Merdeka!