Kategori
Diskusi

Revolusi sampai Mati

Tema “Revolusi Mental untuk Memerkokoh Karakter Bangsa” yang dikawal oleh para rektor perguruan tinggi seluruh Indonesia dalam Forum Rektor Indonesia (FRI) 2016 di Universitas Negeri Yogyakarta, akhir Januari lalu, dalam hemat saya, gagal dipahami sebagai perwujudan mengubah kebiasaan tak baik. Hal itu terlihat dari perilakunya yang tak mau “bekerjasama” dengan mahasiswa yang mengatasnamakan diri Gerakan Pendidikan Nasional (GNP). Justeru mereka menyambutnya dengan perlakuan represif dari pihak keamanan. Hal ini tak akan terjadi apabila salah satu rektor dari pihak FRI, terlebih ketua FRI terpilih Rochmat Wahab, keluar untuk mendinginkan suasana.

Apakah perlakuan semacam itu dapat kita jadikan harapan bahwa revolusi mental yang dicanangkan oleh Presiden RI, Joko Widodo, dapat mengantarkan Indonesia menjadi lebih, berkarakter sesuai dengan cita-cita bangsa? Saya kira, orang-orang yang hadir ke acara FRI 2016 itu bukanlah orang-orang yang tak beradab – secara berlebihan mereka itu bisa kita sebut pahlawan; penyelamat jiwa-jiwa yang tertawan. Mereka adalah pemimpin kampus – yang notabene – berbudi pekerti luhur – meski tak jarang keluhuran itu sering kita pertanyakan.

Sampai detik ini pun, saya masih mempertanyakan keluhuran mereka. Pasalnya, perlakuan mereka menunjukkan sikap tak bersahabat dalam menyambut “kehadiran” mahasiswa yang tergabung dalam GNP. Padahal, mereka – saya masih meyakini – datang dengan berbekal aspirasi, yang bisa dikatakan, membawa secercah perubahan terhadap pendidikan tinggi kita menjadi lebih baik – meski tak menutup kemungkinan sudah baik dari sono-nya.

Sedikitnya, ada tiga keinginan yang mereka bawa waktu itu. Yaitu, pertama, mereka ingin penerapan uang kuliah tunggal (UKT) dihapus dari perguruan tinggi negeri (PTN). Kedua, mereka ingin adanya jaminan pendidikan tinggi bagi seluruh rakyat. Dan ketiga, mereka ingin terwujudnya demokratisasi kampus.

Ketiga aspirasi tersebut bukannya ditampung – paling tidak didengarkan – malah disambut dengan barikade keamanan kampus. Saling dorong antara massa aksi demo dari GNP dengan pihak kampus pun tak terhindarkan. Mereka saling bersitegang. Ketegangan itu akhirnya dapat diredam setelah terjadi negosiasi. Pihak rektorat UNY berjanji akan menemui massa.

Akan tetapi, janji tinggallah janji. Sampai malam menjelang, pihak rektorat UNY tak kujung keluar menemui massa aksi demo. Situasi pun kembali memanas. Namun akhirnya, dengan berat hati mereka (massa aksi demo) memilih mengalah dan membacakan pernyataan sikap. Setelah itu, mereka membubarkan diri – barangkali pulang ke kost-an atau rumah masing-masing.

Kejadian yang tak kita inginkan pun kembali terjadi, tepatnya setelah melintas mobil pengangkut anggota FRI 2016. Mengetahui hal itu, massa aksi demo dari GNP pun berusaha mencegat. Dan, terjadilah kemacetan.

Pada saat itu, terjadilah hal yang tak pernah kita inginkan. Aparat kepolisian datang, mengejar, memukul, dan bahkan menangkap sejumlah mahasiswa. Seperti dilansir Berdikarionline.com, ada sekitar 20 mahasiswa yang ditangkap. Sebelum akhirnya “digelandang” ke Mapolres Sleman, mereka sempat diamankan di Social Centre UNY.

Gerakan revolusi mental

Perlakuan represif dari pihak keamanan terhadap massa aksi demo dari GNP menunjukkan aparat keamanan masih suka “main tangan” dalam menangani aksi demo yang digelar oleh mahasiswa. Ini tak jauh beda dengan perlakuan aparat keamanan ketika membendung aksi demo mahasiswa pada tahun 1998. Aparat yang seharusnya mengamankan, justeru menciderai tugasnya dengan turut berperan aktif melakukan pemukulan, bahkan pembantaian yang berujung kematian.

Situasi seperti ini tentunya berdampak pada melempemnya gerakan mahasiswa. Mahasiswa yang berhimpun untuk menyampaikan aspirasi mereka selalu terngiang-ngiang dengan ancaman. Sehingga mereka ketakuan, dan tak lagi berani mengkritisi kampusnya karena setiap kampus dikelilingi oleh para keamanan yang bertangan besi. Disini, pihak (penguasa) kampus yang memiiliki kepentingan akan terbahak-bahak di ruangannya.

Apabila para rektor sadar dengan kenyataan ini, acara FRI 2016 tidak hanya dijadikan ajang berkongkow ria, melainkan sebagai upaya menghentikan segala bentuk intimidasi di dalam kampus. Hal ini mengingat terlalu tebal “buku catatan hitam” yang dihasilkan oleh perguruan tinggi. Yang paling kentara dalam ranah pengekangan kebebasan berekspresi. Maka tak heran, apabila dalam tuntutannya, mahasiswa dari GPN itu menuntut terwujudnya demoktratisasi kampus.

Satu hal lagi yang perlu diingat, acara FRI 2016 ini bukanlah acara kecil, sederhana, melainkan acara yang luar biasa “wah”-nya. Bagaimana tidak “wah”! Bayangkan saja, sampai mengundang Presiden RI, Joko Widodo. Saya sebagai mahasiswa tentu memaklumi undangan itu. Dalam hemat saya, Jokowi – panggilan Joko Widodo – adalah orang yang tepat dalam berbicara soal Revolusi Mental. Di samping dia sebagai presiden, dialah yang mem-booming-kan Revolusi Mental, sehingga Revolusi Mental yang diharapankannya sejalan dengan cita-cita bangsa.

Tak berhenti sampai disini. Selepas dari acara FRI 2016 ini, para rektor memiliki “pekerjaan rumah” untuk menyalurkan materi Revolusi Mental yang telah diperolehnya kepada para jajaran birokratnya, mulai dari karyawan, dosen, aparat keamanan, office boy­, hingga mahasiswanya. Khusus para aparat keamanannya, mereka perlu diberi pembelajaran khusus agar mereka menyadari bahwa mengatasi aksi demo akan lebih baik, anggun, seksi dan bersahaja, apabila menggunakan hati; tidak menggunakan “tangan besi”. Karena mengatasi aksi demo dengan “tangan besi” adalah prilaku orang-orang barbar.

Terakhir, harapan saya; semoga acara FRI 2016 ini membuat para rektor di seluruh perguruan tinggi di Indonesia semakin memahami arti/esensi Revolusi Mental. Revolusi Mental tak hanya dipahami sebagai jargon semata, melainkan sebagai gerakan kolektif yang mengubah kebiasaan tak baik menjadi kebiasaan baru yang dapat mendukung daya saing bangsa. Paling tidak, satu tahun pasca araca FRI 2016 ini, terlihat hasil penerapan konsep Revolusi Mental di kampus pada khususnya, di masyarakat pada umumnya. Tentunya – meminjam kata Bung Tofix Noerhidajat dalam akhir tulisannya – dengan resep obat ramuan Forum Rektor.[]

Kategori
Diskusi

Kongkow Rektor di UNY: Revolusi Mental Lebih Seksi daripada Hak Intelektual Kampus

Pembaca yang Seksi nan Intelek, marilah kita berlupa-lupa ria sejenak akan persoalan nilai ujian akhir semester, IPK naik-turun, riang gembira libur akhir semester, dan segala urusan akademik yang membikin lena esensi intelektualitas.

Jika sudah berhasil melupa sejenak, saatnya bung dan nona mengingat berbagai peristiwa nahas yang menimpa sekawanan intelektual kampus. Masih belum ingat? Segeralah cepat lulus, mungkin otak bung dan nona butuh istirahat!

Beberapa catatan suram akademik tertulis di lembaran tahun 2015. Ada diskusi intelektual yang dibubarkan: pelarangan diskusi bertema LGBT di FH Undip, pelarangan pemutaran film Senyap di USD Jogja, dan dihalanginya agenda pemutaran film Alkinemokiye dan Samin versus Semen oleh birokrat FIA UB. Belum lagi, terekspos pembredelan lembaga kontrol-kritik kampus: kasus Media Unram di Unram NTB dan LPM Aksara di Madura. Akhir tahun lalu malah beberapa aktivis mahasiswa UNJ di-dropout lantaran mempelopori aksi aliansi mahasiswa.

Tahun sudah berganti menjadi 2016. Namun masa 2015 masih terlalu menyebalkan untuk dilupakan. Bagi para kamerad sadar pendidikan, tahun lalu merupakan agenda perang melawan intimidasi elit pengekang ekspresi keilmuan. Sepertinya, tahun 2016 ini perang pun masih berlanjut.

Pada tahun ini pula para komandan kampus   biasanya disebut rektor   yang diklaim sejumlah seribuan kepala orang itu akan berkongkow di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), dari 29-31 Januari 2016. Mereka yang berkelompok dalam Forum Rektor Indonesia (FRI) menggelar hajat Konvensi Kampus XII dan Temu Tahunan XVIII bertajuk “Revolusi Mental untuk Memerkokoh Karakter Bangsa”.

Apa guna hajat itu? Lantas apa maksud dari tema absurd itu?

Silahkan sekawanan bung dan nona pembaca mengeceknya pada official website UNY dan beberapa portal berita yang sudah memuat pernyataan Rektor UNY, Rochmat Wahab selaku Ketua FRI periode ini. Inti maksudnya, konferensi rektor akan membahas persoalan kemunduran karakter anak bangsa. Maka konferensi ini bergenre “revolusi mental” supaya tuan-tuan rektor bisa menyumbang konsep kepada otoritas negara bahwa penyakit-penyakit semacam korupsi, penyelewengan hukum dan kuasa, penyalahgunaan narkoba, paham radikal, dan segala penyakit cacat karakter lainnya bisa disembuhkan. Tentunya dengan resep obat ramuan Forum Rektor.

Lho itu kan maksud baik tuan-tuan rektor tho, lantas apa yang jadi soal?

Rektor itu makhluk yang berkepentingan. Entah kepentingan tersebut berpihak kepada siapa, seringkali misterius. Idealnya, sebagai makhluk bercap intelektual, kepentingan tuan-tuan rektor adalah kepentingan yang menjamin urusan keilmuan makhluk intelektual lainnya: mahasiswa.

Berpolitik merupakan proses mencapai kepentingan itu. Manusia yang berkodrat sosial-politis, pastilah akan membikin kelompok kepentingan antarsesama manusia lainnya. Analoginya, seorang rektor akan berkongkow dengan tuan-tuan rektor dari kampus lain. Seharusnya memang membikin konsensus (kesepakatan) internal Forum Rektor agar mereka mampu mewujudkan kepentingan keilmuan di tiap kampus.

Forum tersebut bisa menjadi blok kekuatan yang menggairahkan keilmuan anak bangsa di berbagai perguruan tinggi . Jika urusan keilmuan jadi bergairah dan anak bangsa tercerdaskan, maka pendidikan nasional punya sumbangsih apik terhadap pembangunan kemajuan bangsa. Presiden atau menteri urusan pendidikan tak perlu lagi bercemas-cemas ria soal karakter dan manfaat ilmu dari kantong-kantong intelektual-akademik. Artinya, forumnya tuan-tuan rektor mesti fokus memikirkan urusan intelektual kampus.

Apabila Forum Rektor malah sibuk menjadi suksesor Revolusi Mental yang notabene konsep sebuah rezim, apakah tuan-tuan rektor sanggup menjaga tawaran independensi intelektualnya? Nah, kalau konsep pembangunan karakter bangsa dari sebuah rezim ternyata mengandung kesalahan fatal, siapa yang berkompeten mengontrol? Jangan sampai politik kaum intelektual cenderung praktis dan non-alternatif!

Wacana yang ditawarkan Forum Rektor hendaknya menyerap aspirasi dari dalam wadah intelektual seperti kampus. Kaum intelektual kampus semacam mahasiswa masih banyak yang belum terlayani kebutuhan ekspresi keilmuannya. Belum juga terlayani, malah tambah ditindas geng-geng fasis dari luar kampus. Parahnya lagi, ada pihak birokrat kampus (rektor) yang secara terang-terangan turut menjajah hak intelektual tersebut. Apa itu bukan masalah luar biasa, wahai tuan-tuan rektor?

Betapa naifnya jika tuan-tuan rektor beralasan tidak tahu soal pengekangan hak-hak intelektual kampus. Masih terlalu segar dalam ingatan bahwa masa 2015 kemarin adalah masa unjuk taring pengekangan intelektual di kampus. Banyak kegiatan mahasiswa dibelenggu.

Kecurigaan pun muncul: apakah Menristekdikti mendata kasus-kasus pengekangan tersebut atau justru membiarkan begitu saja?

Di Konferensi FRI nanti, Nasir selaku Menristekdikti pun diundang sebagai pembicara. Tentunya ceramah Nasir akan bermaterikan tentang nilai-nilai karakter pendidikan tinggi yang sesuai konsep Revolusi Mental. Tak cukup Nasir, Jokowi pun diajak untuk unjuk omong dalam ajang tersebut. Cobalah dinalar wahai bung dan nona, dari Menteri hingga Presiden datang berkongkow bersama tuan-tuan rektor, sebegitu niatnya penanaman konsep moral sebuah rezim ke dalam institusi-institusi pendidikan.

Bisa jadi konsep revolusi mental yang dikampanyekan oleh FRI akan beimbas dalam kurikulum pendidikan di kampus. Mahasiswa akan menjadi sasaran proyek rekayasa moral ini. Jika sudah begitu, peran intelektual independen mahasiswa akan sulit menjadi kontrol  dari rezim. Praktis, kebobrokan-kebobrokan rezim begitu mudah dilupakan akibat mahasiswa lena dengan tagline “kerja, kerja, kerja” tanpa mikir kritis. Itulah persekutuan elit intelektual-akademik dengan politik dan benarlah apa kata M. Foucault: knowledge to power.

By the way, mendebat soal Revolusi Mental, tidak adil kiranya tanpa mencomot referensi dari pewacana konsep tersebut. Ada seorang pakar bernama Paulus Wirutomo yang sempat menjadi Ketua Pokja Revolusi Mental pada Rumah Transisi Jokowi-JK  2014. Esainya bertajuk “Retorika Revolusi Mental” dimuat oleh Koran Kompas edisi 29 April 2015. Begitu membacanya tuntas, terpikir bahwa esai pro-rezim tersebut begitu layak didebat!

Paulus menganjurkan bahwa ada 6 nilai yang mesti ditanamkan agar Revolusi Mental berhasil. Tidak perlu menyebutkan semua nilainya, cukup ambil beberapa nilai saja yang bisa dihadapkan dengan realita hak berekspresi intelektual kampus. Dari esai tersebut bisa diambil 3 nilai untuk diperdebatkan: “nilai bisa dipercaya”, “nilai kreativitas”, dan “nilai saling menghargai”.

Nah, selama ini apakah ketiga nilai itu sudah diterapkan tuan-tuan rektor dalam menjamin hak-hak intelektual kampus? Jika memang benar-benar serius tentunya Pak Menteri Nasir dan tuan-tuan rektor sudah mengecam tindakan-tindakan macam pelarangan diskusi lintas intelektual kampus. Lantas bagaimana dengan kritik aspiratif mahasiswa yang berdampak menjadi pengekangan dari birokrat kampus, serta tulisan-tulisan yang dibredel birokrat kampus? Jelas-jelas itu wujud nyata pengkhiatan nilai-nilai Revolusi Mental tersebut.

Ketika masa 2015 kemarin pengekangan intelektual begitu kuasa mengangkang di kampus, apakah pantas mahasiswa harus dicekoki konsep moral versi otoritas? Sedangkan otoritas sendiri terbukti gagal mencegah tindakan pengekang elit fasis dari dalam maupun luar kampus. Sebaliknya, birokrat-birokrat kampus terang-terangan memasug kreativitas, tidak bisa dipercaya, dan jauh dari kesan saling menghargai proses intelektual.

Perlu diketahui bahwa tiap Konferensi FRI akan menghasilkan nota kesepahaman. Nantinya nota itu akan dipraktikan melalui kegiatan-kegiatan FRI. Marilah tetap kritis memantau proses ke depan dari ajang tuan-tuan rektor tersebut. Apabila konsep Revolusi Mental diterapkan ke kampus-kampus, itu sama saja dengan memaksakan moral rezim ke dalam nalar independen mahasiswa.

Kelakuan pemaksaan moral penguasa tidak berbeda dengan pemasungan intelektual-akademik versi rezim Orde Baru. Saat rezim tersebut berkuasa, ada aturan NKK/BKK yang membatasi aktivitas mahasiswa intrakampus. Terlebih lagi Pancasila sebagai ideologi negara disakralkan namun penerapannya sangat tidak berperikemanusiaan dan berkeadilan sosial.

Jangan dilupakan lagi bahwa pada rezim pengusung Revolusi Mental ini gencar diwacanakan konsep bela negara oleh Menteri Pertahanan. Bela negara versi penguasa akan merekayasa penganutnya. Jika diterapkan di kampus, intelektual kampuslah yang akan dipaksa sebagai penganut. Tentu saja nalar kritis mengontrol kebijakan rezim bisa mampus.

Bayangkan saja, hak-hak mahasiswa mengekspresikan intelektualitasnya masih digantung tinggi oleh otoritas. Tali gantung akan semakin kencang jika mahasiswa dikenai kewajiban menelan mentah-mentah hasil kompromi moral versi FRI. Mahasiswa pun harus jelas menentukan sikap terhadap perhelatan FRI: tidak aspiratif! Keputusan ditolak!

Kepada Pak Nasir dan tuan-tuan rektor, sepertinya masih jauh dari kesan selaras antara Revolusi Mental yang kalian impikan dengan kenyataan yang diderita oleh sekawanan intelektual kampus. Tolonglah dinalar lagi, desain besar kalian itu menjadi imajinasi belaka bila hak-hak kecil di kampus tidak becus diayomi. Sekawanan bung dan nona intelektual kampus di segala penjuru tidak butuh dipasung konsep moral seberat-beratnya. Pembebasan pun kian jauh dari harapan, justru pengekangan kian menghadang.

Harusnya, FRI menjadi ajang koreksi diri tuan-tuan rektor atas kinerja akademiknya dan terhadap otoritas di atasnya. Begitu sia-sia jika para pemimpin kampus tidak mengusung aspirasi dari bawah ke atas. Malah sebaliknya, membawa beban dari atas ke bawah. Sadarlah bahwa mahasiswa bukan sekawanan kerbau pemanggul beban karya penguasa.

Tuan-tuan rektor klan FRI mestinya banyak membaca. Mereka harus membaca keadaan terkini bahwa suara ketidakpercayaan mahasiswa akan rektornya acap menggema di bawah tanah akademika. Suara-suara itu apabila tidak direkam aspirasinya, akan kian bergemuruh menggoyah pondasi kuasa rektorat. Gejolak itu kemungkinan besar terjadi akibat kelakuan tuan-tuan yang tidak mengayomi hak-hak intelektual mahasiswanya. Ini bukan ancaman melainkan begitulah realitanya!

Kalau begitu, tuan-tuan rektor juga harus belajar sejarah lagi. FRI terlahir dari rahim Reformasi. Alkisah pada 7 November 1998, para rektor se-Indonesia berkumpul di Sasana Budaya Ganesha ITB. Pertemuan itu pun menghasilkan kesepakatan bahwa para pimpinan kampus akan selalu bersama mahasiswa melakukan gerakan reformasi sebagai wujud kekuatan moral intelektual. Para rektor juga bersiap melindungi hak-hak asasi mahasiswa, mendukung gerakannya, serta meminta ABRI agar senantiasa melindungi sekawanan mahasiswa demonstran. Ah, itu dulu ketika kepentingan rektor dan mahasiswa sedang manunggal-manunggalnya. Nyatanya sekarang ketika rezim raksasa berhasil ditumbangkan, kaum intelektual-akademik pun tak malu-malu menjilati muka penguasa.

Mencoba berprasangka baik semoga FRI bukanlah ajang penjilatan macam itu. Namun idealnya, para pemimipin kampus mesti bersifat independen dalam membangun gerakan politik intelektualnya. Independensi dibutuhkan karena politik intelektual idealnya berupa politik alternatif yang tidak berorientasi pada kuasa. Para rektor sebagai kaum intelektual-akademik mesti menggerakan politik kontrol-kritik kepada ketidakberesan rezim.

Intelektual-akademik memilki potensi sebagai pengamat karena kedalaman ilmunya. Maka itu mereka harus bisa membedakan antara baik dan buruknya sebuah kuasa. Bila ada desain besar penguasa yang cenderung mengekang, seharusnya dikritik oleh kaum intelektual. Kalau kaum intelektual yang berkongkow sudah menjilat, maka parahlah nasib rakyat awam.

Setidaknya begitulah nasihat kepada tuan-tuan rektor dalam beragenda forum politik. Berpihak kepada siapa yang kalian pimpin itu lebih baik. Sebaiknya introspeksi soal kepemimpinan masing-masing diri yang jauh dari kesan pemberdayaan hak-hak intelektual kampus. Jika hak-hak intelektual mahasiswa terkekang, bisa jadi hak-hak kesejahteraan kaum awam sedang parah-parahnya dikebiri penguasa. Kampus hanya panggung sandiwara!

Perlu disadari lagi, tuan-tuan rektor itu pemimpin kampus bukan pemimpin parpol. Tiada hormat bagi pemimpin institusi pendidikan yang berkoalisi layaknya elit parpol. Menyerapi pernyataan Ki Hadjar Dewantara, “Pendidikan bagi manusia demi keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya”, maka lebih baik tuan-tuan rektor yang sedang berkumpul mengadakan pengajian esai-esai pendidikan karya akademis mereka. Itu lebih baik daripada repot-repot undang Jokowi dan Nasir serta supaya kagak keblinger politik praktis.

Hoaaam… Maaf, bung dan nona pembaca apabila kelelahan. Memang tidak cukup pendek untuk memikirkan kongkownya tuan-tuan rektor di balik selimut Revolusi Mental. Mari beramai-ramai bung dan nona buka selimutnya, maka ditemukanlah hak-hak intelektual kampus sengaja ditidurkan.

Berharap baik pada persekongkowan tuan-tuan rektor mungkin cenderung utopis. Bahkan bisa lebih utopis dari mengharapkan penampilan Elvie Sukaesih featuring Rage Against The Machine di panggung Soundrenaline. Biar utopis, yang penting seksi untuk didebat.

Maka dianjurkan kepada bung dan nona pembaca untuk menambah perdebatan lebih lanjut. Debat lalu revolusi itulah perbuatan mahasiswa seksi. Ah bajingan, esai ini sulit untuk diakhiri! Mungkin penulisnya terlanjur seksi! Begini saja deh, baca pernyataan seksi di bawah ini:

Selamat berforum tuan-tuan, semoga bermental revolusioner! Tidak hanya Mulan Jameela: #RevolusiJugaSeksi.

                                                                                                                                                               

Bantul, Januari 2016