Mengapa Kita Harus Menolak RUU Polri

0
4

Draft Revisi Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) telah disepakati oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menjadi Rancangan Undang-Undang (RUU) Inisiatif DPR pada 28 Mei 2024.

Rancangan Undang-Undang (RUU) yang digarap secara kilat ini berpotensi membuat polri menjadi tangan besi bagi penguasa, alih-alih melindungi dan mengayomi warga negara.

Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya, Fathul Khoir dalam diskusi yang diselenggarakan Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) pada 25 Juni 2024 memaparkan, setidaknya terdapat delapan poin bermasalah dalam RUU Polri:

1. Pembatasan dan Pemblokiran Ruang Siber (?)

Pasal 16 Ayat 1 Huruf (q) dari RUU Polri memperkenankan Polri untuk melakukan pengamanan, pembinaan dan pengawasan terhadap Ruang Siber. Kewenangan atas Ruang Siber tersebut disertai dengan penindakan, pemblokiran atau pemutusan, dan memperlambat akses Ruang Siber untuk tujuan keamanan dalam negeri.

2. Perluasan kewenangan interkam (?)

Pasal 16A dan 16B menjelaskan bahwa Polri perluasan kewenangan untuk melakukan penggalangan intelijen dan intelkam. Perubahan ini terlalu membuat posisi polri menjadi super body yang menyebabkan tumpeng tindih dengan lembaga lain.  Hal tersebut berarti bahwa Polri juga memiliki kewenangan untuk menagih data intelijen dari lembaga-lembaga lain yang menjalankan fungsi intelijen seperti Badan Intelijen Nasional (BIN), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Badan Intelijen Strategis TNI (BAIS).

Penambahan pasal RUU Polri memuat bias penafsiran perihal diksi “kepentingan Nasional”. Penafsiran pada pasal tersebut memungkinkan multi tafsir secara subjektif pada kewenangan polri itu sendiri. Selain itu, dengan pasal tersebut mengancam kebebasan berekspresi yang ada pada prinsip-prinsip Hak Asasi manusia.

3. Kewenangan Penyadapan

Poin ini bermasalah karena: 1) Kewenangan penyadapan dalam RUU Polri disebut dilakukan dengan didasarkan pada undang-undang terkait penyadapan. Padahal, hingga saat ini Indonesia belum memiliki peraturan perundang-undangan mengenai penyadapan dan; 2) Kewenangan penyedapan dalam RUU Polri menimbulkan disparitas dengan kewenangan serupa yang dimiliki lembaga penegak hukum lainnya seperti KPK.

4. Polri menjadi Superbody investigator

Berdasarkan Pasal 14 Ayat 1 (g) RUU Polri, polisi berwenang untuk melakukan pengawasan dan pembinaan teknis kepada penyidik pegawai negeri sipil, penyidik lain yang ditetapkan oleh undang-undang. Artinya, penyidik Polri bisa intervensi kepada seluruh jajaran kementrian maupun lembaga-lembaga hukum yang lain, yang mempunyai kewenangan penyidikan dan harus di bawah kontrol polisi.

5. Menghidupkan Pamswakarsa

Polisi berwenang memegang komando untuk membina Pasukan Pengamanan Masyarakat (PAM) Swakarsa. Sebuah upaya untuk membekali masyarakat sipil dengan kewenangan skuritisasi. PAM Swakarsa memiliki sejarah kelam era 1998 yang digunakan untuk menghadang gerakan reformasi.

6. Batas Usia Pensiun

RUU Polri menaikkan batas usia pensiun menjadi 60-62 tahun bagi anggota Polri dan 65 tahun bagi pejabat fungsional Polri. Kebijakan ini justru akan menghambat proses regenerasi—selama ini terjadi penumpukan jumlah perwira tinggi hingga menengah di dalam internal Kepolisian.

7. Tumpang tindih kewenangan

RUU Polri Pasal 14 Ayat 1 (g) menyatakan polisi akan turut serta dalam pembinaan hukum nasional sehingga menimbulkan ketidakjelasan tentang apa yang akan dilakukan dan bersifat tumpang-tindih dengan kewenangan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) di bawah Kementerian Hukum dan HAM. Selnjutnya, Pasal 14 Ayat 2 (c) juga memberikan kewenangan Polri untuk menyelenggarakan sistem kota cerdas (smart city) sehingga memberikan kewenangan tata kelola kota yang terlalu berlebihan. Rencana pemberian Kewenangan kepada Polri dalam tata kelola Smart City juga menunjukkan bahwa rancangan smart city ala pemerintah mengutamakan pendekatan keamanan yang bertumpu pada pengarusutamaan sekuritisasi.

8. Lemahya mekanisme pengawasan

RUU Polri tidak menegaskan posisi dan mekanisme Komisi Kode Etik Kepolisian serta Komisi Kepolisian Nasional sebagai lembaga pengawas dan pemberi sanksi bagi anggota Polri yang melakukan pelanggaran. Pengawas Internal Polri termasuk Kode Etik justru sering kali menjadi “benteng” impunitas dan diskriminasi penegakan hukum di internal Polri. 

Di tengah banyaknya kasus kekerasan terhadap warga yang dilakukan oleh anggota kepolisian, pemerintah tampaknya ingin melanggengkannya dengan memberi kewenangan lebih kepada polri, alih-alih mebenahinya.

#TolakRUUPolri