Tidak Menerima Upah, Dwi Kurniawati Melapor, Tapi Malah Dikriminalisasi

0
3

Dwi Kurniawati, seorang buruh kontrak di PT Mentari Nawa Satria yang dikenal sebagai Kowloon Palace Surabaya mengalami kriminalisasi karena tuntutan atas hak-haknya yang tidak dipenuhi oleh perusahaan.

Permasalahan bermula dari penerimaan upah Dwi yang selama tiga bulan pertama masa kerjanya berada di bawah Upah Minimun Kota (UMK), sementara selama periode tersebut upah yang seharusnya diterima tidak pernah diberikan. Selain itu, Dwi juga tidak didaftarkan dalam program BPJS Ketenagakerjaan.

Kronologi kejadian menunjukkan bahwa Dwi telah melapor kasusnya ke Dinas Tenaga Kerja Provinsi Jawa Timur pada 13 April 2023. Meskipun telah menjalani proses perundingan bipartit dan tripartit, upaya tersebut tidak menghasilkan solusi yang memuaskan.

Selabiknya, Dwi malah dilaporkan oleh seseorang yang mengaku sebagai perwakilan PT MNS, yakni Eko Purnomo, atas tuduhan pemalsuan surat pada 10 Juni 2023 di Polsek Genteng, Surabaya.

Setelah melaporkan kembali kasusnya ke Kepolisian Daerah Jawa Timur pada 19 Juni 2024, lapora Dwi kemudian diberhentikan melalui Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).

Pada 5 Maret 2024, Dwi ditahan oleh Kejaksaan Negeri Surabaya, dan pada 7 Maret 2024, berkas kasusnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Surabaya. Kasus ini mencerminkan serangkaian perstiwa yang menunjukkan adanya upaya untuk menekan Dwi secara hukum sebagai akibat dari tuntutannya terkait hak-haknya sebagai buruh kontrak yang terpinggirkan.

Beberapa lembaga advokasi buruh menganggap pelaporan balik tersebut sebagai tindakan Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP).

“Karena dia (Dwi) memperjuangkan haknya atas upah yang tidak dibayarkan, kemudian BPJS yang tidak didaftarkan. Nah, atas pelaporan itu, malah orang yang mengatasnamakan perusahaan itu justru melaporkan balik Ibu Dwi,” ujar Elsa, asisten pengabdi bantuan hukum LBH Surabaya.

Selain itu, tim kuasa hukum Dwi menemukan kejanggalan dalam pelaporan terkait pemalsuan surat tersebut. Menurutnya, pihak pelapor tidak pernah menunjukkan bukti yang kuat.

“Namun, lagi-lagi ketika disondingkan, kami menemukan kejanggalan, yang mana kejanggalan tersebut, orang yang pada waktu itu memiliki kewenangan, pada saat itu secara psikologis tidak mengakui bahwa dia yang membuat, padahal dia tandatangani sendiri,” ungkap Habbibus Shalihin, Tim Advokasi Buruh Peduli Anak Negeri (TABUR PARI).

Melempar Beban, Menghindari Tanggung Jawab

Merespons tindakan kriminalisasi dan menuntut keadilan bagi Dwi, pada Jumat, 8 Maret 2024, tim TABUR PARI dan jaringan solidaritas menyelenggarakan aksi di depan Kejaksaan Negeri Surabaya. Aksi tersebut menyerukan enam tuntutan, salah satunya adalah pembebasan Dwi Kurniawati.

Saat ditemui oleh perwakilan dari massa aksi, Kejaksaan Negeri Surabaya menyatakan bahwa terdakwa sudah menyatakan bahwa pelimpahan ke Pengadilan Negeri Surabaya, sehingga mereka tidak memiliki kewenangan untuk menangguhkan penahanan atau mengubah statusnya. Namun, pelimpahan ini dilakukan tanpa pemberitahuan kepada keluarga terdakwa atau tim hukum yang terlibat.

Tim TABUR PARI menduga pelimpahan berkas iin terlalu terburu-buru, dilakukan hanya dua hari setelah penahanan oleh Kejaksaan Negeri Surabaya. Hal ini menimbulkan kecurigaan akan kemungkinan kriminalisasi terhadap Dwi.

Tim TABUR PARI menyayangkan sikap dari Kejaksaan Negeri Surabaya yang berdalih bahwa pihaknya tidak memiliki kewenangan untuk menangguhkan penahanan.

Padahal, dalam Surat Perintah Penahanan yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Negeri Surabaya Nomor: 974/M.5.10.3/Eku.2/03/2024/ tertanggal 5 Maret 2024 status Dwi adalah tahanan dalam tahap penuntutan, terhitung sejak 5 Maret 2024 sampai dengan 24 Maret 2024, sehingga masih menjadi kewenangan dari Kejaksaan Negeri Surabaya.

Dengan kondisi tersebut, kesewenang-wenangan dan ketidakadilan terus saja terjadi, dengan menggunakan pola-pola represif untuk menindas mereka yang lemah.

#bebaskadwi