Kategori
Diskusi Esai

Covid-19 Belum Berakhir, Pangan: Krisis, Ekologis dan Tangis

Pembatasan sosial dan skema penguncian (lockdown) yang diterapkan di banyak negara akan mempengaruhi produksi pertanian global. Food and Agriculture Organization (FAO) telah memperingatkan terjadinya kelangkaan pangan di tengah pandemi Covid-19. Pemerintahan harus secara cepat mampu mengantisipasi peringatan FOA untuk menjaga ketersediaan pangan dan menyelamatkan petani.

Soal kebutuhan pangan khususnya bahan pokok seperti beras, Indonesia masih menggantungkan hidupnya dengan negara lain. Tentu ada banyak sekali bahan pokok lainnya yang diimpor oleh Indonesia. Namun beras bisa jadi contoh yang mudah untuk menggambarkan bagaimana krisis pangan akan terjadi di Indonesia.

Setidaknya ada dua negara pengekspor beras yang menjadi langganan Indonesia,  yakni Thailand dan Vietnam. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada bulan Oktober 2019, impor beras dari Vietnam mengalami kenaikan dari tahun 2017 sebesar 16.599,9 ton menjadi 767.180,9 ton di tahun 2018. Diikuti jumlah impor dari Thailand 108.944,8 ton di tahun 2017 menjadi 795.600,1 ton pada 2018.

Ketergantungan impor beras Indonesia telah menjadi lagu lama. Sejak krisis ekonomi 1998, ketergantungan akan beras impor menjadi solusi dalam pemenuhan kebutuhan sekaligus menekan kenaikan harga.

Ketika emak-emak di pasar berteriak harga beras naik akibat gagal panen, dll- sejurus kemudian pemerintah keluarkan kebijakan impor beras. Logika ekonomi yang sederhana, semakin banyak barang yang beredar di pasar maka semakin murah harganya.

Thailand dan Vietnam seolah menjadi dewi fortuna Indonesia khususnya dalam hal beras. Celakanya kini, kedua negara ini telah membatasi ekspor beras mereka ke negara lain. Motifnya sederhana, beras tersebut dipakai untuk memberikan makan rakyatnya. Karena, baik Thailand maupun Vietnam sedari awal kejadian Covid-19 di Wuhan telah meng–karantina wilayahnya.

Negara penyetok pangan ke Indonesia, kini harus membatasi pengiriman beras. Alhasil kelangkaan beras di negeri agraris ini pasti akan terjadi. Jika berkelanjutan, defisit stok pangan dapat berubah menjadi krisis pangan. Sebagai solusinya, Presiden Joko Widodo memerintahkan Kementerian Pertanian bersama beberapa BUMN untuk mencetak lahan sawah baru dengan target seluas 900.000 hektar, termasuk lahan gambut, lahan basah, dan lahan kering. Namun, wacana tersebut menuai polemik di ranah publik.

Seperti sebelumnya, lahan selama ini menjadi masalah besar di sektor pertanian. Banyak lahan pertanian yang telah dikonversi untuk pengembangan industri, infrastruktur dan lainnya. Dilaporkan oleh Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS) yang dipublikasi pada April 2019 lalu dengan judul “Tol Terbilang, Sawah Hilang: Harga Mahal Trans Jawa“.

Dalam laporan tersebut IDEAS menyebutkan, sepanjang tahun 2015 hingga 2018 tercatat 680,4 Km jalan tol di Jawa yang telah dibangun. Sebagian besar jalan tol tersebut dibangun diatas lahan pertanian, terutama sawah. Lahan sawah yang dikorbankan untuk pembangunan jalan tol tersebut seluas 4.457 hektar.

Tak berhenti sampai di sini, ambisi pemerintah dalam membangun jalan tol pada periode 2019 hingga 2021 (saat ini dalam proses konstruksi) mencapai 766,1 km. Angka 766,1 km ini pun harus dibayar dengan hilangnya lahan pertanian (sawah) seluas 9.475 hektar.

Angka ini belum termasuk dalam perhitungan konservatif lahan,  akibat adanya jalan tol yang dibangun. Tentunya lahan pertanian yang berada di sekeliling pintu gerbang tol menjadi sangat strategis.

IDEAS memperkirakan, dari 680,4 Km jalan tol yang dibangun sepanjang 2015-2018, akan memicu konversi lahan pertanian hingga 49 ribu hektar atau setara dengan luas seluruh sawah di Kabupaten Sukabumi.

Sementara 766,1 Km jalan tol yang akan beroperasi pada 2019-2021, diperkirakan akan memicu konversi lahan pertanian hingga 70 ribu hektar, setara dengan luas seluruh sawah di Kabupaten Bojonegoro.

Data lain menyebutkan, sepanjang tahun 2013 hingga 2018, terjadi konversi lahan sawah seluas 181 ribu hektar di seluruh Jawa. Sepuluh kabupaten yang kehilangan sawah terbesar atau ± 5 ribu hektar, adalah Banyuwangi, Bandung, Serang, Demak, Jember, Cirebon, Bangkalan, Grobogan, Lamongan dan Brebes. Atau dengan kata lain, pulau Jawa kehilangan hampir 100 ribu hektar sawah dalam 5 tahun terakhir.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat antara 2018 dan 2019, luas panen padi berkurang dari 11,4 juta hektar menjadi 10,7 juta hektare.

Dampak dari lahan pertanian yang berkurang dan tingginya impor beras Indonesia, membuat ratusan petani beralih profesi. Bahkan data dari BPS menunjukan, selama 10 tahun terakhir setidaknya ada 5 juta petani yang beralih profesi ke sektor lain, khususnya menjadi buruh.

Tak hanya itu, kuota pupuk bersubsidi dari pemerintah yang diberikan kepada petani pun tiap tahunnya ikut menurun. Tahun 2018 kuota pupuk yang diberikan menurun dari tahun sebelum yakni dari 22-24 ribu ton menjadi 20 ribu ton. Angka ini terus menurun di tahun selanjutnya atau hanya sekitar 18 ribu ton di tahun 2019 dan tahun 2020 menurun menjadi 15 ribu ton.

***

Upaya pemerintah untuk memperluas lahan pertanian perlu diapresiasi, namun langkah ini tidak bisa diharapkan sebagai solusi cepat untuk mengatasi krisis pangan selama pandemi Covid-19.

Mencetak lahan pertanian baru membutuhkan waktu yang lama, mulai dari pengelolaan lahan dan proses pertaniannya, apalagi di lahan gambut. Peneliti CIPS Felippa Ann Amanta mengatakan bahwa mencetak lahan pertanian baru tidak bisa membantu kekurangan stok pangan yang terjadi saat ini, bahkan untuk selama Ramadan hingga sampai akhir tahun.  Karakteristik lahan yang dibuka untuk digunakan sebagai lahan pertanian juga belum tentu cocok dan berisiko mengakibatkan gagal panen.

Pengalaman Proyek Pengembangan Lahan Gambut Satu Juta Hektar di Kalimantan Tengah di rezim pemerintahan Soeharto seharusnya bisa jadi pembelajaran bahwa yang terjadi adalah gagal panen dan kerugian besar. Program cetak sawah dengan membuka lahan juga berresiko mengancam ekosistem yang ada.

Pangan memang merupakan kebutuhan mendesak dan prioritas saat ini, namun nasib keberlanjutan lingkungan tentu harus diperhatikan.Pangan dan lingkungan, keduanya mestinya tidak saling dibenturkan. Keduanya bagai dua sisi mata uang yang sangat dibutuhkan bagi manusia. Keduanya justru harus saling mendukung dan bersama-sama menjamin keberlangsungan hidup makhluk hidup termasuk manusia.

Pangan merupakan penjamin kehidupan, sedangkan lingkungan merupakan penjamin keberlanjutan pembangunan. Penyelamatan pangan dan jaminan keberlanjutan lingkungan (ekologis) merupakan dua hal yang harus dihadirkan bersama. Dalam kondisi pandemi Covid-19 ini, tantangan semakin berat dalam menghadirkan keduanya sekaligus.

Keterpenuhan sekarang dan ancaman kerusakan ke depan tentu kurang bijaksana dan hanya menjadi ‘bom waktu’ ancaman selanjutnya. Indonesia sebagai negeri agraris mesti terselamatkan dari darurat pangan.

***

Kendati begitu dalam menghadapi krisis pangan kali ini, pemerintah nampaknya cukup optimis. Terlihat dari pernyataan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto yang menjamin pasokan pangan akan aman selama 3 bulan kedepan.  Optimis serupa pun ditujukan oleh Luhut Panjaitan, bahkan ia tak hanya menjamin beras dan sembako, BBM dan listrik pun dijamin akan aman sentosa selama pandemi.

Namun optimisme kedua menteri ini sejalan dengan kondisi masyarakat dan pasar yang tak beraturan seperti ini? Awal kejadian Covid-19, masker dan hand sanitizer sempat langka, harganya pun ikut melambung tinggi. Pemerintah bahkan tidak mampu mengontrol.

Meningginya harga mungkin tidak dirasakan oleh beberapa pihak. Ketika krisis pangan terjadi, mereka masih mampu untuk membeli bahkan menimbun bahan pangan. Alhasil yang menjadi korban adalah masyarakat kecil yang sedari awal mengagungkan pemerintah dengan program-programnya.

Parahnya pemerintah masih saja mengurusi pasar global. Kebijakan ekonomi makro yang kemudian dituangkan dalam rancangan Perppu 1 tahun 2020 jadi fokus utama, dan melupakan rakyat kecil yang menunggu ketercukupan pangan sehari-hari. Lucunya lagi, anggaran untuk pembangunan masih saja ditingkatkan, sementara untuk pangan mengalami penurunan tiap saat.

***

Memasuki masa ‘new normal’ seperti yang dicanangkan pemerintahan untuk sekedar ‘berdamai dengan Covid-19’ maka sektor pertanian akan memasuki tantangan terberat. Salah satunya adalah ‘bagaimana’ menyerap arus-balik tenaga kerja dari kota ke desa yaitu para korban pemutusan hubungan kerja (PHK) dari sektor industri dan jasa yang “rehat” karena dampak Covid-19. Ditambah pelaku ekonomi informal kota yang pulang kampung karena peluang usaha/kerja yang ikut meredup.

Jika ‘opsi’ pencetakan sawah baru itu dijalankan, bersifat padat mesin sehingga serapan tenaga kerjanya juga kecil. Lantas ke mana pertambahan tenaga kerja di pedesaan, akibat PHK dan pulang kampung terkait Covid-19 akan disalurkan?  

Mereka akan tetap masuk ke sektor pertanian dan menyebabkan kondisi involusi di situ. Suatu kondisi di mana terlalu banyak tenaga kerja menggantungkan nafkah di bidang pertanian yang kapasitasnya terbatas.

The SMERU Research Institute dalam laporan The Impact of Covid-19 Outbreak on Poverty: An Estimation for Indonesia sudah memberi peringatan.  Pada angka pertumbuhan ekonomi 4.2% tahun 2020 (target 5.3%),  tingkat kemiskinan nasional akan naik dari 9.2% (24.8 juta jiwa, 2019) menjadi  9.7% (26.1 juta jiwa).  

Pemerintah sebenarnya sudah mengantisipasi “ledakan” itu dengan menyiapkan program jaring pengaman sosial.  Tapi, kecuali padat karya tunai pedesaan (Rp 10 triliun), program-program itu diperkirakan kurang efektif karena cenderung bias kota (kartu pra-kerja, kartu sembako, BLT, PKH).

Untuk meredam risiko involusi pertanian itu, integrasi fungsi-fungsi jaring pengaman sosial ke dalam program intensifikasi pertanian dapat dipertimbangkan sebagai sebuah strategi. Selain meningkatkan produktivitas,  program sinergi BUMN dan Kementan itu harus meningkatan pula volume kegiatan pangan. 

Caranya, pertama, peningkatan IP sampai 3.0, dua kali tanam padi dan satu kali tanam palawija/hortikultura. Kedua, peningkatan hilirisasi pertanian, khususnya pengolahan dan pemasaran hasil pertanian dan ikutannya. Dengan catatan bahwa strategi ini untuk meningkatkan kondisi sosial dan mencapai keadilan masyarakat tanpa adanya ‘kepentingan’ lain.

Jika masing-masing individu ‘sadar’, seharusnya pandemi telah usai.    

Dua cara itu akan menyerap tambahan tenaga kerja pedesaan dalam jumlah signifikan. Dengan begitu keresahan sosial akibat pengangguran dan kemiskinan, yang bisa berujung kerusuhan sosial, dapat diredam.

Kategori
Diskusi Esai

Lakardowo Vs PT PRIA dan Pergolakan Mencari Keadilan

Selasa, 2 Juni kemarin mungkin menjadi hari yang mengecewakan bagi sebagian warga Lakardowo yang berkumpul di rumah Sutamah. Bagaimana tidak, setelah melalui berbagai upaya hukum, gugatan dari Pendowo Bangkit (Penduduk Lakardowo Bangkit), yakni organisasi masyarakat Desa Lakardowo yang didirikan untuk tujuan mengembalikan kelestarian alam di desanya dari pencemaran yang dilakukan oleh PT. PRIA, ditolak oleh Pengadilan Negeri Mojokerto dengan amar putusan, mengadili (1) Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya, (2) Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.541.000. Hal ini tentu menjadi pukulan yang begitu menyakitkan bagi warga Lakardowo, layaknya seperti kata pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga.

Kekecewaan itu layaknya seperti sudah diperkirakan oleh warga, khususnya Sutamah. Beberapa hari sebelumnya, setelah mendapat kabar bahwa Selasa, 2 Juni 2020 akan dibacakan putusan, ia mengaku merasa khawatir.

“Beberapa hari ini ibu sulit tidur, mikir terus, bagaimana hasil putusan nanti, khawatir terus,” kata Sutamah dalam Bahasa Jawa saat cerita di samping parkiran Pengadilan Negeri Mojokerto itu.

Bagaimana tidak khawatir, warga memang selalu merasa dipermainkan oleh yang punya ‘kuasa’. Sebut saja upaya hukum sebelumnya yang dilayangkan oleh Sutamah dan Rumiati Cs, menggugat agar Surat Keputusan tentang Izin Lingkungan Kegiatan Industri Batako PT. PRIA yang dikeluarkan oleh Bupati Mojokerto dicabut, tidak dikabulkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), yang berarti bahwa warga sudah berkali-kali dikecewakan. Bukan hanya dari hasil putusan hukum, jalur yang ditempuh mulai dari usaha menemui Gubernur Jawa Timur Periode sebelumnya, sampai usahanya ke DPR-RI belum membuahkan hasil yang signifikan.

Awal Kekecewaan

Sejak pukul 9 pagi, warga menunggu untuk pembacaan putusan di PN Mojokerto, termasuk saya dan beberapa kawan mahasiswa yang ikut waktu itu. Seharusnya pembacaan putusan itu pukul 9, namun kami saat itu menunggu cukup lama. Ia menerangkan bahwa kejadian menunggu seperti ini sudah lumrah dan warga juga sudah terbiasa dengan ketidak-profesionalan tersebut.

“Sudah biasa seperti ini, sering molor. Waktu sidang sebelumnya kami juga sering menunggu seperti ini, bertepatan saat puasa, jadi sampai ngantuk,” terang Sutamah.

Kurang lebih dua jam menunggu, akhirnya kuasa hukum dari warga, Rulli Mustika tiba-tiba mengajak warga pulang, hal ini sontak membuat keresahan, berbagai pertanyaan pun muncul, apakah sidang putusan ditunda atau seperti apa. Rulli pun berbicara kepada warga, penjelasannya nanti saja ketika sampai di rumah Sutamah.

“Ini tadi alasan kita balik karena kata panitera hasil putusan akan diumumkan lewat eCourt, dan waktu di jalan tadi sudah diupload keputusannya. Hasilnya, gugatan ditolak dan biaya perkara dibebankan ke warga,” jelas Rulli kepada warga saat berkumpul di rumah Sutamah.

Seketika mendengar penjelasan tersebut warga langsung terdiam tanpa bisa mengatakan apa-apa untuk sesaat, terlihat ekspresi wajah mereka penuh akan kekecewaan, saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa wajah yang sebelumnya penuh harapan kini menunduk lesu dengan air mata yang sedikit lagi hampir keluar, namun mereka tahan.

“Jika dilihat dari awal seharusnya kita (warga) bisa menang mutlak, tapi semua ini seperti dibuat perpolitikan saja,” sahut salah satu warga.

Menanggapi hal tersebut Nurasim atau yang biasa dipanggil Cak Sim, yang mana sebagai ketua dari Pendowo Bangkit menegaskan, “Apapun yang diputuskan oleh hakim, kita harus menghormati, masih banyak cara lain untuk mengusahakan, tidak ada kalah menang, yang penting harus memperjuangkan keadilan.”

Percakapan berlanjut tentang mempertanyakan alasan Hakim memutuskan menolak gugatan. Hal ini dirasa aneh bagi warga, menurut mereka dan kuasa hukumnya tuntutan yang diajukan cukup ringan, tidak muluk-muluk, dan memang seharusnya dimenangkan melihat kondisi desa yang airnya tercemar, banyak yang menderita penyakit kulit yang diduga akibat menggunakan air yang tercemar tersebut akibat kegiatan penimbunan limbah B3 oleh PT. PRIA.

Tuntutan yang diajukan di antaranya: (1) PT. PRIA meminta maaf kepada semua warga Desa Lakardowo dan Desa Sidorejo; (2) PT. PRIA melakukan tindakan pemulihan penimbunan limbah B3 di Desa Lakardowo dan Desa Sidorejo; (3) PT. PRIA taat menjalankan dokumen AMDAL dan aspek hukum, serta lingkungan hidup yang berlaku di Indonesia, dan yang terakhir; (4) PT. PRIA merehabilitasi lingkungan hidup akibat penimbunan limbah B3 dan menghukum tergugat untuk membayar biaya rehabilitasi lingkungan hidup akibat penimbunan limbah B3 di Desa Lakardowo dan Desa Sidorejo. Cukup wajar bukan? Melihat dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan penimbunan tersebut maka cukup wajar untuk PT. PRIA bertanggung jawab.

Kembalinya Semangat

Di tengah-tengah suasana hati yang sedih, marah, kecewa itu Cak Sim tiba-tiba ingin menggunduli rambutnya. “Ada gunting dan silet?” tanyanya kepada beberapa warga yang berkumpul di rumah Sutamah itu.

Tak lama Bu Sutamah mengambilkan gunting dan silet. Cak Sim punya alasan tersendiri untuk menggunduli kepalanya. Katanya hal kotor yang ada di kepala harus disingkirkan dulu, dan menurutnya dengan keramas saja tak cukup, jadi harus mencukur habis rambutnya. Hal ini merupakan tindakan simbolis dari Cak Sim untuk mengusir hal-hal kotor yang mengusik di kepala/pikiran, dan fokus untuk berjuang.

Prinsip yang dipegang warga memang begitu dalam artinya untuk memperjuangkan keadilan, bagi mereka keadilan tidak datang dengan sendirinya, keadilan harus diperjuangkan, harus dicari untuk menjadi adil, terlihat bagaimana mereka menyikapi ‘kekalahan’ ini. Seperti yang diungkapkan oleh ketua Pendowo Bangkit tersebut, bahwa ini bukan soal menang atau kalah, ini adalah soal memperjuangkan keadilan. Jika tentang menang atau kalah mungkin perjuangan akan berakhir jika mendapat hasil, entah hasilnya menang atau kalah. Namun ini soal keadilan sampai titik manapun harus diperjuangkan.

Setelah aksi mencukur habis rambut Cak Sim, kuasa hukum warga menyampaikan bahwa ditolaknya gugatan tersebut bukanlah akhir, masih banyak cara atau upaya hukum selanjutnya. Ia pun menyampaikan ke warga bahwa dalam dua minggu ke depan mereka bisa mengajukan banding.

“Pak, bu, ini belum akhir. Kita masih bisa mengajukan banding dengan batas dua minggu, apakah warga masih semangat?” tanya Rulli kepada warga. “Masih!” jawab serempak warga.

“Berarti kita sepakat ajukan banding ya pak, bu?” lanjutnya. “Sepakat!” sekali lagi jawaban serempak dari warga. Tak lama kemudian warga membubarkan diri, dan begitu pun saya kembali ke Malang.

Warga memang kecewa, warga memang sedih, namun bukan berarti mereka memilih untuk menyerah, begitulah kata Sutamah kepadaku yang dikirimkan lewat pesan singkat, yang sebelumnya saya mencoba bertanya kabarnya. Yang berarti bahwa perjuangan mereka masih panjang dan akan terus berjuang walau seringkali dunia meng-kerdil-kan perjuangan mereka, namun nyala api perjuangan mereka masih berkobar!

#SAVELAKARDOWO
#BersihkanLimbahB3DariLakardowo