Kategori
Diskusi

Bagaimana Baiknya Watchdog

Label media alternatif yang disandang Pers Mahasiswa (Persma), tidak sedikit menemui kegelisahan pada perencanaan segmentasi pembaca. Adanya lingkaran setan –dikelola dikonsumsi sendiri- masih disugesti akan membawa kebangkrutan Persma dalam menyebarkan wacana kritis. Kebangkrutan yang mana? bangkrut yang dimaksud yaitu distribusi produk masih sekitaran itu-itu saja, internal Persma dan kalau beruntung bisa dikonsumsi mahasiswa seantero kampus tempat lembaga pers tersebut bernaung.

Alhasil wacana media alternatif tidak dapat dipahami sebagai alat perjuangan atau kontrol sosial. Melainkan suara kaum konservatif yang tersingkir dari perdebatan media umum yang begitu banyak jumlahnya.

Parahnya, apabila Persma mengamini bahwa dirinya bangkrut dan tidak bisa keluar dari lingkaran setan tersebut maka jalan terbaik adalah ‘berdamai dengan keadaan’. Agar pembacanya meluas, tidak ada cara lain selain berjalan beriringan dengan industri media –mutung sebagai alih-alih berdamai . Agar wacana kritis yang dihasilkan dapat sampai ke pembaca yang cakupannya lebih luas, minimal menyaingi separuh dari total pembaca media umum (lokal) perharinya.

Muncul lah keinginan bertubi-tubi seperti, kemandirian dana –lah, membentuk yayasan –lah, membuat kantor –lah, semuanya berakar pada membadanhukumkan Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI).

Saya mungkin akan menganggap tawaran Mas Muadz sebagai angin lalu. Tapi saya rasa lebih ber-faedah ketika tulisan yang kadung dibaca lebih baik diperdebatkan secara sehat.

Dalam beberapa hal, tawaran perlindungan hukum ini lebih sejalan dengan pemikiran pragmatisme dibanding teori. Seseorang mungkin membayangkan bahwa legitimasi hukum akan mengantarkan Persma kepada tameng besar yang akan melindungi segala bentuk sengketa pers. Meski tidak dalam hal kebenaran-loyalitas-independensi. Karena pada dasarnya media alternatif dibentuk dalam menjalankan peran anjing penjaga, serta memihak –bukan senantiasa pihak yang benar dan menang di tempat publik.

Tiga Poin Dasar yang Dianut Persma

Anggap saja Persma sudah mapan dalam hal administrasi dan punya peluang besar menjalin relasi sponsor atau founding. Dalam hal kebenaran, apakah dapat menyajikan tanpa pledoi bahwa Persma sekalipun harus menulis kebenaran meski sulit.

Keberanaran tak jauh dengan kejujuran, karena hasrat ini ada sejak manusia dilahirkan. Tetapi konsktruksi diluar dirinya bergesekan dengan hasrat ini. Penyajian informasi bukan sekadar pemungutan fakta-fakta yang berserakan lalu membungkusnya menjadi sebuah cerita.

Dalam buku Bill Kovach dan Tom Rosensteil, Walter Lippman menggunkan istilah kebenaran dan berita yang bisa saling dipertukarkan. Namun pada 1992 dalam Public Opinion, ia menulis “Berita dan kebenaran bukanlah hal yang sama, fungsi berita adalah menandai suatu peristiwa,” atau membuat orang sadar akan hal itu. “Fungsi kebenaran adalah menerangi fakta tersebunyi, menghubungkannya satu sama lain, dan membuat sebuah gambaran realitas yang dari sini orang bisa bertindak.”

Lalu bagaimana hasrat jujur ini terbentur oleh founding yang kadung dijalin? Meggie Gallagher mengatakan bahwa menjaga jarak dengan faksi menjadi sangat penting. Dalam buku Sembilan Elemen Jurnalisme, Gallagher mengungkapkan, “saya rasa hal ini berkaitan dengan kepercayaan mendasar saya bahwa ada hubungan anatara jurnalisme dan persepsi seoarang akan kebenaran,” selanjutnya, “namun dengan loyal pada sebuah partai politik, seseorang atau faksi , Anda tak punya komitmen untuk berbicara kebenaran kepada orang-orang yang menjadi audiens”.

Kemudian kepada siapa wartawan bekerja? Pertanyaan tersebut subjekif ketika dihadapkan pada profesi wartawan profesional. Kerena wartawan profesional diberikan wewenang sesuai dengan kemauan perusahaan medianya dan redaktur yang menyaring kerja wartawan.

Kesetiaan kepada warga,  merupakan makna dari yang sering kita sebut sebagai independensi jurnalistik. Sering kita maknai sebagai ketidakterikatan, tidak berat sebelah. Masih di buku Kovach, survei tentang nilai nilai jurnalisme pada 1999, yang dilakukan Pew Research center For The People and The Press and Committe Concerned Journalist, lebih dari 80 persen responden menempatkan “kewajiban pertama adalah kepada pembaca-pendengar-pemirsa.”

Namun istilah-istilah itu disadari terbatas dengan norma-norma tertentu, norma yang disinggung Gallagher diatas. Hal itu memang dianggap wajar dikalangan wartawan, namun konsep kejujuran yang dibangun melalui laku wartawan masih terlalu kabur. Apalagi Persma, sok membadanhukumkan.

Kovach menuliskan yang dialami Maggie Gallagher dan beberapa temanya yang kuliah di Yale University. Mereka capek dengan yang mereka anggap kemapanan harian Yale Daily News, yang selalu mencerminkan pandangan pejabat universitas dan sebagian besar lembaga kemahasiswaan disana.

Lima belas tahun berikutnya, Saat kariernya beranjak naik hingga jadi kolumnis untuk Universal Press Syndicate dan harian New York Post, ia mengatakan kepada kami dalam sebuah forum Committee of Concerned Journalist, bahwa pengalamannya selalu membawakannya kembali pada kata-kata yang terpampang di slogan koran kampus itu “Jurnalisme dengan Sikap.”

Dengan kata lain independensi Persma seolah-olah berpihak pada perlawanan kaum yang tertindas. Sebagai Persma yang ‘mapan’, Persma akan tetap mengupayakan menjadi media alternatif dan mendahulukan kepentingan publik diatas segalanya sebagai ‘sikap’. Namun sebuah khayali bahwa kebiasaan Persma yang sudah mapan dengan gelontoran dana tidak ada pengaruh dalam kerja jurnalismenya. Seolah-olah alternatif, tetap saja Persma akan bersikap pada yang memberi kemapanan.

Refleksi Membadanhukumkan PPMI

Bagaimana dengan Badan Hukum? Masih mengupayakan terlaksana? Seharusnya wacana ini selesai ditataran kota. Sebagai upaya tidak memutus wacana ke-PPMI-an, serta merawat ingatan atas sejarah yang telah terbentuk.

Mugkin bisa melalui meja warung kopi atau silahkan membuka arsip PPMI, pada selebaran dengan judul ‘Serat Merah Putih #edisi April 2013’. Disitu tertulis bagaimana kiranya PPMI kota Jember bersikap atas wacana Badan Hukum PPMI, melalui serangkaian acara Nasional dintaranya Kongres XI Tulungagung dan Mukernas IX Surabaya. Jika tidak menemukan berkas yang saya maksud, baiklah saya akan membagikannya.

Wacana membadanhukumkan PPMI hadir jauh sebelum munculnya riset kekerasan persma. Wacana badan hukum memunculkan stigma positif karena ketika sudah berbadan hukum akan ada jalan hukum yang menunutun penyelesaian kasus sengketa, Persma akan lebih kuat dengan itu. Namun beberapa kota menyatakan sikapnya menentang pembadanhukuman.

Salah satunya PPMI Jember, pada acara Mukernas IX PPMI di IAIN Sunan Ampel Surabaya (21/9/1012) Badan Pengurus Nasional Advokasi(BPN-A) memaparkan program kerjanya. Pembahasan yang berlarut-larut adalah membadanhukumkan PPMI.

BPN-A menjelaskan beberapa poin alasan kenapa membadanhukumkan PPMI, 1) Membadanhukumkan PPMI adalah rekomendasi dari Kongres XI PPMI di Tulungagung yang harus dilaksanakan. 2) PPMI merupakan organisasi dengan kas yang selalu kosong. Ketika PPMI berbadan hukum maka akan dengan mudah menjalin kerjasama dengan sponsor dan founding. PPMI akan kaya ! 3) Advokasi terhadap permasalahan persma akan lebih mudah, karena PPMI mempunyai legalitas hukum.

Begitu kiranya alasan wacana PPMI harus berbadan hukum. Malam itu perdebatan alot terjadi pada poin pembadanhukuman PPMI, beberapa peserta forum mengamini membadan hukumkanan sebelum ketokan “sepakat” Jember memberikan pandangan  perserta forum agar tidak begitu mudahnya tergiur tawaran badan hukum.

Menaggapi BPN-A, Pertama Jember mengklarifikasi bahwa rekomendasi badan hukum yang tercetus di Tulungagung hanya bersifat rekomendasi. Artinya ‘bisa dilaksanakan atau tidak dilaksakan’ oleh pengurus nasional. Karena kesepakatan forum itu adalah segala bentuk rekomendasi yang diusulkan kota tidak untuk dipermasalahkan melalui proses pembahasan, melainkan hanya ditampung.

Dari situ BPN-A bukan menjelaskan secara detail mengapa ada program membadanhukumkan PPMI, bagaimana nantinya proses menuju badan hukum, persyaratan apa saja yang harus dilakukan untuk berbadan hukum, apakah dampak badan hukum terhadap pola kerja PPMI Nasional-PPMI kota-LPM, dll kepada peserta. Selain hanya menakut-nakuti hasil kesepakatan Kongres XI Tulungagung yang sudah ‘disahkan’ tidak dapat dirubah.

Kedua dalam pendanaan, selama ini PPMI mengelola badan usaha mandiri melalui kerjasama dengan sponsor atau instansi yang tidak bertentangan dengan AD/ART. Namun pengurus nasional saat itu menginginkan memperoleh founding.

Dalam hal founding bentuk kerjasama yang saling menguntungkan akan didapat PPMI ketika memperoleh founding, seperti fasilitas riset yang secara penuh didanai founding. Iming-iming gelontoran dana yang pada saat itu dominan muncul ketika PPMI ingin mendapatkan founding. Efeknya pandangan dari Jember membadanhukumkan PPMI merupakan upaya praktis demi mendapat dana dari founding, karena BPN-A seringkali mencekoki fantasi kucuran dana.

Ketiga ketika PPMI berbadan hukum tidak akan jauh dalam proses advokasi. Hanya saja PPMI akan memiliki kewenangan mendapat data atau melakukan uji materi. Tentu saja yang diinginkan dari badan hukum dalam hal advokasi adalah pelebaran kekuasaan PPMI.

Ketika ujung permasalahan adalah LPM yang tidak mematuhi kode etik, maka sanksi yang didapat LPM bisa bergantung bagaimana mediator dan penggugat. Bisa saja melakukan hak jawab, memecat anggota LPM, membekukan LPM, dll. Lantas tidak ada bedanya mediasi yang dilakukan AJI atau Dewan Pers. Bisa dikatakan bahwa untuk memperkecil permasalahan kerja jurnalistik adalah dengan memperbanyak pelatihan.

Perdebatan panjang terjadi antara delegasi Jember dengan BPN-A. Lagi-lagi Jember masih marasa penjelasan BPN-A tidak mengarah pada petanyaan bagaimana nantinya proses menuju badan hukum, persyaratan apa saja yang harus dilakukan untuk berbadan hukum, apakah dampak badan hukum terhadap pola kerja PPMI Nasional-PPMI kota-LPM.

Kemudian pimpinan sidang menawarkan kepada forum, apakah forum menyetujui program kerja badan hukum. Suara dominan adalah ‘tidak’. Palu tidak segera diketok, malah menawarkan ulang program kerja terbut disetujui atau tidak. Alhasil tetap, forum dominan dengan ‘tidak’.

Kali ini pemimpin sidang mengetok palu, sebagai tanda disahkannya putusan badan hukum tidak disepakati forum. Lalu ada orang dengan cekatan mengambil microphone untuk menyatakan akan melakukan peninjauan kembali (PK), secara bersamaan juga dia melakukan rasionalisasi kenapa butuh adanya badan hukum.

Forum ramai dan mempertanyakan mekanisme PK, peserta menginiginkan pemimpin sidang menawarkan kepada forum apakah PK diterima peserta forum. Kemudian pemimpin sidang menawarkan kepada forum, ternyata sebagian besar tidak menyetujui, akan tetapi pemimpin sidang mengetuk palu sidang dan mengatakan PK disetujui.

Kemudian Dewan Etik Nasional PPMI yang mengajukan PK tadi meminta untuk merasionalkan kembali kepada yang tidak sepakat dengan badan hukum BPN-A. Bermodalkan selembar catatan kecil delegasi Jember mempresentasikan di depan peserta forum.

Setelah itu, Sekjend Nasional mengambil microphone dan memberikan rasionalisasinya kepada forum. Tidak jauh-jauh rasionalisasi itu menyinggung betapa pentingnya PPMI dibadanhukumkan. Dengan power yang dimiliki Sekjend peserta forum meng’iya’kan program kerja BPN-A setelah pemimpin sidang menawarkan ulang kepada forum.

Jember berunding, bahwa sengotot apapun Jember meminta penjelasan dan tidak menyepakati program kerja itu tetap saja tidak ada gunanya. Barangkali akan muncul ribuan PK, atau yang paling buruk diadakannya voting. Atas dasar kedewasaan berpikir, Jember memutuskan walk out dari forum.

Tidak berhenti sampai disitu, sikap Jember berlanjut dengan mendokumentasikan hasil forum nasional di media Serat Merah Putih edisi April 2013. Pada kondisi tertentu, peserta forum butuh refleksi atas apa yang terjadi pada forum nasional tersebut. Melalui tulisan, perserta yang tadinya menyetujui badan hukum PPMI akan lebih mencerna betapa politisnya tawaran badan hukum itu. Tidak ada indahnya berlindung dibalik kekuasaan.

Badan hukum akan memicu regulasi yang ber-sentral pada satu tubuh, yaitu PPMI.  Justru mengkaburkar sistem bottom to up, LPM yang sejatinya PPMI itu sendiri saling mempunyai tubuh masing-masing. Up to bottom kira-kira yang bakal terjadi.[]

Kategori
Diskusi

Gorontalo: Jalan Sunyi dan Sikap yang Dipilih

Menjelang siang, peserta yang tadinya berada di dalam ruangan Auditorium Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Tadulako, mulai keluar satu demi satu bosan menunggu acara tak kunjung dibuka. Yang hadir pada saat itu pun terhitung sedikit mengingat stereotip terhadap kegiatan skala nasional yang penuh gegap gempita dan keramaian.

Di meja registrasi panitia, peserta berdatangan mengisi nama mereka dan mengambil dus kue. Tampaknya peserta seminar ini bukan hanya dari kalangan pers mahasiswa, ada juga yang dari Himpunan Mahasiswa Jurusan setempat. Herannya, kursi yang disediakan tak kunjung terisi penuh. Padahal Palu yang sebagai tuan rumah kegiatan ini mempunyai 15 Lembaga Pers Mahasiswa dan jika 10 orang saja yang hadir dari tiap-tiap LPM kegiatan ini bisa ramai. Namun belakangan Apriawan, Sekjend DK Palu mengaku LPM yang aktif hanya 5, tapi kan tetap saja, ah sudahlah.

Ekspektasi Kami

Dies Natalis yang menjadi salah satu agenda berkumpulnya Lembaga Pers Mahasiswa seluruh Indonesia menjadi sama sekali tidak menarik, khususnya seperti kami yang dari Gorontalo yang masih menaruh ekspektasi tinggi terhadap satu-satunya organisasi pers mahasiswa berskala nasional ini. Sebelumnya kami, lebih tepatnya saya dan Elias kawan saya, pernah ‘mewakili’ Gorontalo di Dies Natalis yang ke-23 di Semarang. Dan seorang kawan perempuan, Okta juga April kemarin berangkat seorang diri ke Bali untuk mengikuti Mukernas ke-11. Kali ini kami tak tanggung-tanggung datang 10 orang. Perlu dicatat, Gorontalo sampai saat ini belum tergabung secara resmi (kota/dewan kota) dengan PPMI.

Ekspektasi kami sebenarnya tidak ada hubungannya dengan ramai atau meriahnya sebuah kegiatan yang diadakan oleh PPMI. Bukan itu. Kami justru mengharapkan di setiap kegiatan PPMI ada ‘kesenyapan’, sebagaimana jargon yang kita sering dengar bahwa pers mahasiswa itu adalah jalan sunyi.

Widyanuari Eko Putra, seorang juri pada lomba essay yang diadakan pada momen Dies Natalis di Semarang, yang pada waktu itu saya ikut dan kebetulan secara mengejutkan saya terpilih menjadi juara 1 di tema “Mahasiswa Bangkit dan Melawan Pembungkaman”, menilai banyak peserta lomba yang menganggap menulis dengan tema itu adalah ‘mimbar pidato’ akibatnya terlalu “berisik” dan “berteriak”. Satu hal yang menegaskan penilain saya terhadap kekhasan pers mahasiswa bahwa gerakannya harus mulus nan elegan dengan cara menulis, berbeda dengan kebanyakan organisasi mahasiswa lainnya yang selalu mengandalkan aksi lapangan.

Bahkan di buku putihnya PPMI “Menapak Jejak Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia: Bila Mulutmu Disumpal Angkatlah Penamu!”, diceritakan pada saat semua elemen mahasiswa turun ke jalan ingin merobohkan rezim Orde Baru, beberapa pers mahasiswa rela diejek karena masih saja membandel dan menaruh sikap skeptis terhadap gerakan itu. Sekilas, buku ini dihadiahkan kepada kami untuk dibawa pulang ke Gorontalo oleh bang Ivan, Koordinator Wilayah 5 saat itu.

Cocok dengan dua buku karya om Bill Kovach dan om Tom Rosentiel, “Elemen-elemen Jurnalisme” dan “Blur”, selalu mengulang-ngulang seorang jurnalis harus independen agar diperhitungkan. Karena hanya dengan cara ini kita bisa berbeda dengan yang lain, sebut saja berbeda dengan organisasi mahasiwa lain. Kita mengemban tugas selayaknya jurnalis yang menjadi pencerah di tengah keburaman. Saat semua rajin demo namun masalah tak kelar-kelar, kita seperti pahlawan mengungkap suatu kasus lewat berita investigasi, di saat banyak mahasiswa zaman now yang tak peduli lagi dengan kaum terpinggirkan, kita menulis feature tentang mereka, atau paling tidak dengan straight news kita selalu dipanggil untuk sekedar meliput kegiatan.

Perdebatan telah selesai tentang bagaimana arah gerak pers mahasiswa ‘yang baik dan benar’ itu, namun kembali diperdebatkan di kalangan kita pers mahasiswa. Masalahnya banyak yang masih gagap menyebut diri kita sebagai apa, aktivis pers mahasiswa? wartawan kampus? pegiat pers mahasiswa? jurnalis kampus? seperti ragu menyandang identitas jurnalis. Persoalannya terlampau tak penting, yakni karena kita masih di kampus, kita tak dipayungi UU Pers, serta kita tak profesional karena tak digaji. Sungguh kawan, jurnalisme itu luhur dan keluhurannya tak bisa kita batasi dengan persoalan gaji dan UU yang cacat itu. Sekali kita mematuhi prinsip-prinsip jurnalisme, kita adalah jurnalis.

Kewajiban pertama jurnalime adalah kebenaran, loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga, esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi, jurnalis harus tetap independen dari pihak yang mereka liput, jurnalis sebagai pemantau independen terhadap kekuasaan, jurnalisme menyediakan forum bagi kritik atau komentar dari publik, jurnalisme harus berupaya membuat hal yang penting itu menarik dan relevan, jurnalis harus menjaga agar beritanya komprehensif dan proporsional, jurnalis memiliki kewajiban untuk mengikuti suara nurani mereka, warga juga memiliki hak dan tanggung jawab dalam hal-hal yang terkait dengan berita. Itulah 9 tambah 1 elemen-elemen jurnalisme oleh om Kovach dan om Rosenstiel. Dengan ini UU Pers seperti hanya produk zaman batu.

Kemudian hal ini diatur dalam kode etik jurnalistik oleh dewan pers, bahkan salah satu organisasi profesi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) misalnya memiliki poin kode etik lebih banyak, bahkan juga kode perilaku. AJI juga bahkan memayungi blogger sebagai anggotanya, syaratnya harus menulis karya jurnalistik 12 kali dalam setahun. Tak ada besaran gaji disebut, tak ada yang mengharuskan berbadan hukum. Yang diharuskan adalah saya, kalian dan kita harus menulis, berkarya!

Apakah kita di organisasi pers mahasiswa (PPMI) ini membahas tuntas hal ini. Alih-alih membahas, kita sadar bahwa masalah kita belum sampai di sana, karena kita sendiri malas berkarya.

Dalam seminar Dies Natalis di Semarang kemarin, ada hal lucu terjadi, peserta entah dari LPM mana mengajukan pertanyaan bernada menuding kepada anggota Dewan Pers yang menjadi pembicara waktu itu, “kenapa kita tidak bisa dipayungi UU Pers?” kira-kira begitulah pertanyaannya, lalu dijawab, “kita memayungi kok, dalam artian ketika kalian ada sengketa pers kami tetap membela, tapi bukan melalui prosedur hukum, atau kalau mau dipaksakan kalian bisa dilindungi secara hukum, tapi pertanyaannya, apakah adik-adik sanggup menjaga frekuensi terbitan?” atau bahasa kasarnya apa yang harus dilindungi?

Sejauh ini yang saya ketahui ada beberapa LPM yang sudah berada di posisi top karena karyanya, Majalah Lentera edisi Salatiga Kota Merah misalnya yang ditarik peredarannya karena berani menulis isu sensitif. Juga LPM-LPM lain yang sempat terdata oleh BP Litbang PPMI dari Februari tahun kemarin. Menurut saya, kita bisa kuat hanya dengan karya. Namun di setiap pertemuan nasional hal ini jarang sekali kita bahas secara serius. Bahkan saya sempat berpikir mungkin alasan inilah yang membuat beberapa LPM yang terhitung ‘mapan’ enggan bergabung dengan PPMI.

Itulah sejumlah ekspektasi kami tentang PPMI, dan seperti fenomena yang lazim terjadi, ekspektasi tidak sesuai dengan kenyataan. Apalagi di Dies Natalis di Palu kemarin, ekspektasi kami hancur oleh kejanggalan-kejanggalan yang seharusnya tidak terjadi di hajatan PPMI. Mulai dari Pembicara Seminar yang terkesan gak nyambung dan merapuhkan independensi, agenda yang berantakan, dan adanya aksi lapangan di momen sumpah pemuda.

Cerita Kami di Palu

Hari pertama seperti yang saya ceritakan di atas, telah terlihat ketidaksiapan panitia dan tuan rumah. Maaf bukan panitia yang harus disalahkan, tapi kita semua yang merasa bertanggung jawab, mengingat kerja kita adalah kerja kolektif. Di sisi lain kami dari Gorontalo harus berterima kasih kepada panitia karena bersedia menampung 5 orang dari kami yang tidak membayar uang registrasi.

Selain ketidaksiapan panitia dalam hal teknis kegiatan yang bisa dimaklumi itu, ada hal yang mengganggu ekspektasi kami, yakni pembicara yang gak nyambung dengan tema kegiatan. Staf Ahli Kepresidenan yang berbicara bahwa pers mahasiswa harus bermitra agar mampu bersaing, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulteng yang tentu saja berbicara tentang persoalan lingkungan hidup, kecuali pembicara yang dari Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) yang berbicara tentang ancaman demokrasi karena pasal karet pencemaran nama baik dan UU ITE. Yang paling susah dicerna adalah bedah buku karangan Wakil Bupati Trenggalek, yang berjudul, “Bung Karno Menerjemahkan Al-Quran” , what the…?

Kata teman saya usai kegiatan, “tidak apa-apa, besok acara kerennya ini”. Yang dimaksud acara keren itu karena ada kelas jurnalisme investigasi dari Wahyu Dhyatmika Komang (Tempo), dan kelas pengembangan SDM Persma dari Agung Sedayu (Tempo/FAA PPMI). Tapi ternyata itu tidak terjadi. Kelas setelah seminar pun tidak terlaksana, karena seminar sendiri baru dimulai siang dan selesai sore, tak perlu ditanya paginya ngapain, yah menunggu pejabat buat membuka acara.

Malamnya kami kembali ke tempat nginap di Disporda Palu, di sana kami diajak ngumpul dan diskusi. Bahasan malam itu salah satunya mencari solusi dari kosongnya agenda hari kedua dan ketiga. Sekjend Nasional, Sekjend DK Palu dan panitia menyampaikan kepada forum usulan agenda hari kedua adalah berkunjung ke LPM-LPM di Palu dan tempat-tempat wisata, hari ketiga adalah aksi mengingat momen Hari Sumpah Pemuda juga agar ekstitensi PPMI bisa muncul ke permukaan.

Masalah-masalah teknis pun dibahas satu-persatu. Di tengah pembahasan ini saya sendiri merasa ganjil dengan agenda-agenda yang ditawarkan. Untuk apa kunjungan ke LPM-LPM sedangkan mereka semestinya ada dengan kita sekarang? Apalagi ke tempat-tempat wisata, yang seharusnya menjadi agenda terakhir setelah agenda-agenda penting dipikirkan dan terlaksana? Lebih-lebih aksi, haruskah itu? Perdebatan batin muncul antara mengkritisi demi kebaikan bersama atau konformis mengingat kondisi fisik dan psikis panitia yang ‘kelelahan’.

Saya lalu menanyakan semua itu lantas memberi usulan, sembari terus menekankan bahwa ini hanyalah usulan yang bisa diterima ataupun tidak. Saya menawarkan untuk mengganti agenda ‘jalan-jalan’ dengan liputan bersama di salah satu tempat menarik di Palu, entah topik liputannya lingkungan atau kemanusiaan, yang jelas meliput. Usulan saya ini tidak ditolak juga tidak diiyakan saat itu, hanya anggukan dan senyuman yang saya terima. Besoknya baru saya tahu, ternyata usul saya ditolak.

Mengenai agenda hari ketiga yang membuat ubun-ubun saya berurat, sakit kepala, pasalnya untuk mengkritisi ini saya perlu solusi. Setelah diskusi, saya mengumpulkan teman-teman saya dari Gorontalo, kami pun mengadakan diskusi tertutup ala-ala perkumpulan rahasia di salah satu teras rumah panggung Disporda yang gelap dan berjarak dengan panitia dan peserta lain. Kami saling mencurahkan isi hati di situ, suara kami nyaris berbisik agar tidak terdengar oleh orang lain, kami kecewa dengan agenda jalan-jalan dan aksi itu. Arif, Ketua LPM Bintang, Bina Taruna Gorontalo, orang yang paling semangat mengikuti kegiatan ini berubah menjadi orang paling kecewa. Dia menawarkan solusi sebagai pengganti aksi dengan membuat proyek antologi tulisan sesuai tema Dies Natalis, masing-masing perwakilan kota menyumbang tulisan lalu dicetak. Namun dia terlihat pesimis dan hanya bisa menghembuskan napas mengingat aksi telah disepakati oleh peserta lain.

Kami pun tak putus asa, setelah diskusi rahasia itu bubar, malam mulai larut, kami rencananya akan ‘menculik’ peserta lain untuk meminta pendapatnya dan ikut menolak bersama kami. Saya lalu menemui Audi, Sekjend DK Tulungagung dan Ade Sekjend DK Malang. Audi ternyata juga kurang bersimpati dengan aksi itu, “Saya tidak biasa orasi masalahnya mas,” dengan logat medoknya. Namun dia memilih mengikuti saja dengan anggapan aksi dengan mungkin kultur di Palu atau Sulawesi pada umumnya. Cepat saja saya membantahnya, saya katakan ini bukan kultur Palu atau Sulawesi, ini bentuk kekeliruan yang harus diperbaiki, saya berpendapat mumpung pers mahasiswa se-Indonesia berkumpul, kita harus membuat tulisan bersama daripada harus aksi. Ade malah setuju, “Boleh-boleh saja, asalkan strateginya jelas dan terukur,” kira-kira begitulah katanya. Kesimpulannya kami hanya angguk-angguk menyimpan tanya, menyerah pada kondisi. Konsolidasi gagal.

Hari kedua dan ketiga semangat saya dan kawan-kawan menurun drastis, terbukti bus beserta rombongan harus menunggu kami yang baru mandi jam 10 pagi dengan satu kamar mandi, akhirnya dua orang dari kami ketinggalan bus. Panitia hanya bisa mengomel dan geleng-geleng kepala. Maafkan kami panitia.

Kategori
Diskusi

Sebuah Tawaran Langkah

Euforia gerakan mahasiswa 98 sudah tak berguna. Satu-satunya hal yang tersisa adalah semangatnya. Bagaikan sebuah siklus, periode puncak gerakan mahasiswa sudah mencapai klimaksnya. Hal tersebut tidak bisa diulang dengan cara yang sama. Gerakan mahasiswa mengarah pada titik keseimbangan yang baru. Sebuah titik yang saat ini marak diperdebatkan: bagaimana cara yang tepat untuk melakukan perlawanan?

Pers Mahasiswa (Persma) juga dilanda problema, persoalan arah masih saja dipertanyakan. Sejak era informasi terbuka dimulai, Persma seolah kehilangan tajinya. Apa yang salah? Bukan karena media pesma yang kurang tajam, tapi karena zaman berubah sedangkan Persma tidak.

Sumber Daya Manusia yang dirotasi cepat setahun sekali memaksa Persma harus berkutat pada masalah yang sama. Meskipun ada kemajuan, tapi perubahannya lamban. Disamping itu, Persma tidak mempunyai role model untuk diikuti. Kadang awak Persma sering mengkritik media mainstream, tapi selalu mengundang mereka membawakan materi pada berbagai kegiatan pelatihan. Mengkritik media mainstream, tapi bangga ketika setelah sarjana bekerja disana.

Oleh karena itu, butuh cara yang tidak biasa untuk mengobati kangker di tubuh gerakan mahasiswa, khususnya Persma. Dari sisi internal, perhatian persma harus difokuskan pada masalah-masalah yang baru, diantaranya:

  • Kesenjangan kualitas karya antar Lembaga Pers Mahasiswa (LPM)

Sudah menjadi rahasia umum, beberapa LPM di Kota yang sama, memiliki kualitas karya yang berbeda, bahkan perbedaanya cukup jauh. Perbedaan tersebut terjadi karena kesenjangan sumber daya manusianya (SDM) dan jumlah anggaran organisasinya.

  • Perlindungan hukum Persma

Hingga detik ini, Persma belum diakui oleh Dewan Pers karena tidak tercover Undang-undang Perlindungan Pers. Alasannya karena Persma tidak berbadan hukum, tidak rutin dan konsisten terbit, dan tidak memiliki struktur wartawan yang terpusat.

  • Dampak media Persma kepada masyarakat

Kebanyakan LPM masih menargetkan pembaca medianya di kandang sendiri, yaitu mahasiswa. Hanya sedikit sekali yang menyasar masyarakat umum sebagai pembaca, jika ada, baru pada tingkat regional, belum nasional.

 

Selain itu Persma juga perlu konsisten memperhatikan masalah klasik yang sangat berpengaruh secara langsung terhadap kinerja Persma, diantaranya:

  • Kemandirian dana

Untuk jaga-jaga dari intervensi birokrasi yang berujung pada pemangkasan anggaran lembaga, Persma harus punya aliran dana lain sebagai biaya operasional produksi.

  • Kurikulum pengembangan SDM

Merekrut anggota yang berpotensi, meningkatkan skill, dan menjaga kualitasnya adalah aspek penting dalam berorganisasi.

  • Penguatan Kepemimpinan PPMI

Salah satu cara untuk menguatkan kepengurusan PPMI terhadap LPM adalah dengan membuat sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh LPM.

 

Berbagai solusi yang mungkin ditempuh antara lain :

  • Membuat Standar Operasional Prosedur (SOP) produk Persma yang diperbaharui secara periodik
  • SOP penting untuk mengukur kualitas standar jurnalis Persma berdasarkan riset, serta untuk menjaga konsistensi kualitas dari sebuah karya.
  • Membedakan PPMI sebagai organisasi dan media nasional. Persma butuh brand media yang baru untuk menyebarluaskan informasi dengan target pembaca masyarakat umum secara nasional.
  • Selain persmahasiswa.id, sepertinya Persma butuh kanal baru yang dikelola secara profesional, khusus membahas isu-isu tertentu secara konsisten dan kontinyu.
  • Membentuk yayasan atau perusahaan yang memiliki visi jangka panjang, untuk menaungi PPMI

 

Dalam buku berjudul I am Marketeers karya MarkPlus, Inc disebutkan bahwa kemajuan sebuah organisasi merupakan sinergitas antara generasi tua yang banyak pengalaman dan generasi muda yang inovatif.

Tawaran langkahnya sebagai berikut:

  • Membuat Business Model Canvas untuk Persma agar menjamin suistaiability. Mungkin sulit menjelaskan konsep bisnis kepada mahasiswa yang terlalu idealis, tapi softwere microsoft word yang yang tiap hari kau jadikan alat perjuangan adalah bentuk dari bisnis Microsoft Corporation.
  • Membuat kantor berita, dimana semua hasil liputan Persma dihimpun di satu database secara real time, kemudian setiap LPM bisa saling bertukar informasi untuk diberitakan di Media LPM masing-masing. Menyaingi media konvensional berarti harus sedikit menduplikasi sistem pendistribusian informasi mereka.
  • Memecahkan masalah Persma dengan teknologi startup. Misalnya PPMI membuat aplikasi sejenis Medium, Tumblr, atau Wattpad, dimana kontributornya khusus pers mahasiswa.

Mungkin butuh modal, pikiran, dan tenaga yang lumayan, tapi percaya saja, ini adalah solusi revolusioner yang sangat jitu. Beberapa hal terdengar ngawur, tapi beberapa hal terdengar masuk akal dan bisa diterapkan, bukan?

Kategori
Diskusi

Kenapa Masih Bertanya Arah Gerak Pers Mahasiswa?

Kurang elok mungkin ketika orang lain bertanya, kita justru menimpalinya dengan pertanyaan lagi. Yang justru, akan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan lain tak berujung. Kalau guru SMP saya tahu tentang ini, pasti dia mengatai muridnya ini sebagai golongan bani israil. Banyak bertanya, parahnya, berakhir dengan tidak melakukan suatu apapun dari bahasan tersebut. Maklum, tidak ada mata pelajaran Materialisme Dialektika Historis (MDH) di SMP. Banyak bertanya seringkali menjadi hal yang tabu kala itu. Meskipun pada sampul buku tulis berwarna coklat, yang sering saya dan teman-teman gunakan, ada peribahasa legenda: malu bertanya sesat di jalan.

Beda sekolah beda guru. Sebagaimana Rosy yang tidak satu SMP dengan saya, dia terbebaskan dari bayang-bayang tudingan sebagai golongan bani israil karena banyak bertanya. sejak dalam kandungan. Rosy menyodorkan banyak pertanyaan dalam tulisannya, yang tidak menutup kemungkinan juga mewakili pertanyaan Persma lainnya. Bahkan mungkin orang-orang di luar Persma.

Dimulai dari judul berupa kalimat tanya yang mencoba menantang para pembaca sekilas meraba-raba jawabannya. Pada badan tulisan sedikitnya ada sepuluh kalimat yang diakhiri dengan tanda tanya. Jika ada pertanyaan yang tersirat tanpa tanda tanya saya tidak menghitungnya.

Maaf, saya dan Rosy belum saling kenal untuk sekadar tahu apa yang dia pendam dalam hatinya.

“Kenapa hanya antarasulteng.com dan faktasulteng.com yang memberitakan pasca dies natalis PPMI? Ke mana media umum yang lain? Yang menjadi tidak wajar adalah: bagaimana bisa mereka(Staf Ahli Kantor Kepresidenan danWakil Bupati Trenggalek) hadir dalam agenda besar PPMI? Apakah PPMI (atau oknum di dalamnya) memiliki kedekatan dengan politisi tersebut? Kedekatan macam apa, yang membuat Wakil Bupati Trenggalek jauh-jauh datang ke Palu? Lalu seberapa penting buku Bung Karno Menerjemahkan Al Quran, dibedah dalam acara nasional PPMI? Kenapa Bung Karno, kenapa Alquran? Tapi, tidak adakah buku lain yang lebih relevan bagi persma untuk dibedah? Seberapa banyak persma yang tuntas membaca buku putih tersebut? Pers mahasiswa mau ke mana?”

Sebelumnya saya sampaikan dulu bahwa saya tidak bisa menjawab pertanyaan ewuh di atas. Tentu Rosy memuntahkan pertanyaan-pertanyaan ini bukan tanpa dasar. Pertanyaan pertama misal,benar bahwa pada tahun sebelumnya, peringatan Dies Natalis PPMI banyak disoroti media umum. Setidaknya media arus utama sebesar tempo.co turut serta memberitakan Dies Natalis PPMI XXIV yang kala itu membahas tentang pembungkaman terhadap mahasiswa yang banyak terjadi di kampus-kampus. Topik yang secara umum tidak jauh berbeda dengan tahun ini, terkait ancaman demokrasi dan ruang hidup.

Respon terhadap agenda Dies Natalis PPMI XXV terlebih pemberitaan dari faktasulteng.com, tidak hanya oleh Rosy. Jika Rosy menuangkan keresahannya dalam bentuk tulisan dan dibumbui banyak “tanda tanya”, seorang kawan juga mengeluhkan hal serupa. Melalui akun facebooknya dia menulis status yang isinya cukup ngeri bagi saya. Saya enggan menyampaikannya kembali.

Lain lagi di grup ngerumpi Persma tempat saya bersemayam di dalamnya. Seorang personel dalam grup Whatsapp ini lebih menyoroti bahwa tulisan “Pers Mahasiswa Mau Ke Mana?” baiknya hanya konsumsi internal.

Aurat PPMI atau Persma, jangan diumbar-umbar. Buat pelajaran bagus, tapi untuk dipublikasikan secara luas lewat media persmahasiswa.id, rasanya jangan. Kawan saya satu ini dan satunya lagi—yang tiba-tiba muncul di grup, mereka sepakat bahwa persmahasiswa.id lebih berfaedah jika menyuguhkan wacana tandingan. Mengangkat isu penting nan genting di luar isu-isu reaksioner yang banyak disuguhkan media mainstream pada menu sarapan kita sehari-hari.

Sebenarnya, ini bukan kali pertama Persma melakukan autokritik habis-habisan. Dalam kanal ini saja, sedikitnya ada sebelas artikel yang membahas tentang masalah-masalah Persma. Dari masalah laten pengakuan PPMI, menentukan musuh bersama , sampai pengungkapan hasil investigasi doraemon dan koleganya mengenai kebiasaan Persma di bulan Ramadhan.

Bahkan, sekilas bagaimana Persma membangun wacana tandingan sudah sedikit disinggung juga oleh Taufik Nurhidayat dalam tulisan idealisme persma atas nama kebutuhan. Semua disampaikan dengan gayanya masing-masing, ada yang tegas lantang dan lebih banyak lagi yang cengengesan.

Ah, kalau di Jawa teriak jancuk itu kasar kecuali kepada kawan dekat. Kata kawan-kawan di Makassar, teriak sentili kepada orang yang tak dikenal bisa berujung masuk rumah sakit. Mungkin begitu budaya kita. Pura-pura ndak sayang padahal euh yeah-euh yeah di belakang. Pura-pura marah padahal kangen mabuk bareng.

Maka dari itu, barangkali, kita semua mau mengamini bahwa kritik itu tak pandang bulu. Ini tandanya, apa yang dilakukan Persma selama ini (mengritik pemerintah, birokrat kampus dan pihak-pihak yang tidak berperikemanusiaan lainnya) bukan karena Persma benci. Tapi karena sayang. Unch unch…

Sekali lagi, untuk menjawab keresahan kawan tadi mengenai  inklusifnya persmahasiswa.id dengan memuat tulisan macam yang ditulis Rosy. Persma.org memang melawan mainstream media milik suatu organisasi, yang notabene cenderung kehumasan. Alih-alih banyak promosi dan menunjukkan superioritas Pers Mahasiswa yang ngeri itu, justru lebih sering diisi dengan tulisan bernada autokritik. Media ini menjadi ruang diskursus kita. Mengharap diskursus yang kita buat dapat menghasilkan solusi konkret mungkin terlalu muluk-muluk. Tapi demi menjaga nalar kritis, kenapa tidak?

Sudah waktunya mungkin Persma harus lebih inklusif. Bahwa masalah di satu elemen menjadi masalah bersama. Pola ini saya rasa cukup membantu mengenalkan PPMI yang apa adanya. Mengingat semakin banyaknya LPM yang bergabung dan kota-kota yang mendeklarasikan diri menjadi pondasi PPMI di kota-kota. Tidak banyak mungkin, veteran Persma yang rela bicara berbusa-busa menceritakan apa dan bagaimana Persma serta salah satu wadahnya, yaitu PPMI berproses selama ini. Paling tidak, pola terbuka ini bisa jadi dasar yang selaras dengan slogan yang sering kita dengar di kalangan Persma: Mari Berjejaring dan Saling Menguatkan. Masalahku juga masalahmu, dek.

Lebih dari itu, mempertanyakan arah gerak secara terur-terusan mungkin perlu. Karena di tengah samudera, badai bisa datang kapan saja, Tuan dan Puan! Tak perlu munafik bahwa Persma barangkali imannya sedang goyah di tengah samudera yang juga kadangkala menawarkan kenikmatan ini. Tapi, yang jelas, kita sudah harusnya sedari awal menentukan di mana posisi kita.

Bagi saya, frasa Pers Mahasiswa sudah cukup mewakili pertanyaan apa itu Persma? Bagaimana idealisme persma? Kata pertaman, Pers, dengan keseimbangan fungsi-fungsinya terutama sebagai kontrol sosial. Belum lagi, rumusan sembilan elemen jurnalisme. Yang salah duanya saja, membela kebenaran dan menyuarakan yang tidak bisa bersuara yaitu masyarakat. Singkatnya, apabila di tengok dari sisi jurnalisme, seperti apa yang disampaikan Nurfitriani: Jika sudah tahu bahwa esensi jurnalisme adalah pada disiplin verifikasi, mengapa masih mempertanyakan gaya, identitas, ataupun arah pergerakannya? 

Frasa ini dibuntuti dengan kata “Mahasiswa” yang puji tuhan, entah sejak kapan diidam-idamkan sebagai agen perubahan, pemegang tampuk kepimpinan, dan segala bentuk agen itu.

Kategori
Diskusi

Fenomena Plagiarisme

Ilmu pengetahuan, Tuan-tuan, betapa pun tingginya, dia tidak berpribadi. Sehebat-hebatnya mesin, dibikin oleh sehebat-sehebat manusia dia pun tidak berpribadi. Tetapi sesederhana-sederhana cerita yang ditulis, dia mewakili pribadi individu atau malahan bisa juga bangsanya. Kan begitu tuan jendral?

(Jejak Langkah, h. 32) –Pramoedya Ananta Toer

 

Begitulah nasehat Pram dalam salah satu buku karyanya, Jejak Langkah, tentang betapa pentingnya arti sebuah tulisan. Saking pentingnya, Pram, tidak hanya sekali saja mngingatkannya. Dalam karya-karyanya yang lain Pram juga mengingatan bahwa dengan menulis kita tidak akan hilang ditelan sejarah. Selain Pram, H.O.S. Cokroaminoto juga pernah menekankan tentang pentingnya menulis sebagai salah satu syarat menjadi pemimpin besar.

Atas dasar itulah, banyak aktivis –pada tulisan ini saya akan menitik beratkan pembahasan ke aktivis mahasiswa agar tidak melebar- yang mulai menuangkan nasehat, gagasan dan curhatan-curhatan mereka melalui sebuah tulisan, karena memang nama Pram dan Cokro cukup terkenal di kalangan aktivis mahasiswa. Saking terkenalnya ada yang mengatakan bahwa untuk memulai petualangan ke-aktivisan-mu, maka mulailah membaca karya Pram . Saya tidak akan membantah hal itu.

Menulis bukan perkara mudah dan juga bukan perkara sulit. Di tengah-tengah kondisi yang memungkinkan kita mudah untuk mengakses referensi-referensi, harusnya bisa mempermudah kita untuk mencari inspirasi yang akan ditulis. Kelas-kelas menulis juga mulai dibuka di mana-mana, baik oleh lembaga pers mahasiswa di kampus maupun oleh organisas mahasiswa lainnya. Namun yang sangat disayangkan, kemudahan itu tidak kita manfaatkan sebaik mungkin untuk melahirkan tulisan-tulisan yang lebih berkualitas dan bebas dari copy paste. Salah satu bukti kegagalan dalam memanfaatkan kemudahan itu adalah kasus yang menghebohkan kalangan mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) dan sedang hangat-hangatnya dibahas saat ini, terutama oleh mahasiswa-mahasiswa di organisasi mahasiswa UMS.

Baru-baru ini mahasiswa UMS dihebohkan dengan tulisan (katanya) Surya, mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis yang dipublikasikan oleh koran kampus yang diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Pabelan pada tanggal 19 Oktober 2017. Heboh bukan karena kritikan-kritikan Surya terhadap kampus atau akibat Surya menulis tentang diskusi-diskusi dan lapak baca buku yang akhir-akhir dilarang oleh birokrat UMS, tapi yang menjadi penyebabnya adalah tulisan tersebut merupakan hasil copy paste dari tulisan Eko Prasetyo yang pernah diposting di indoprogress. Lebih parahnya lagi dalam tulisan yang diklaim hasil karyanya itu, Surya sama sekali tidak menyumbangkan hal baru. Baik kalimat, titik bahkan koma sama persis dengan tulisan Eko Prasetyo. Perbedaannya hanya terdapat pada bagian judul saja. Surya mengubah judul aslinya Selamat Datang Mahasiswa Baru menjadi Selamat Datang di Kampus “yang Mungkin Bukan” Impianmu. Ada-ada saja kamu Sur, dunia sudah berganti rupa kawan.…

Fenomena copy paste sendiri bukan hal baru lagi di kalangan mahasiswa, baik pada mahasiswa program S1 sampai S3 sudah pernah ditemukan kasus copy paste atau istilah kerennya plagiat. Selain Surya, Eka Andy, mahasiswa FAI juga diduga melakukan copy paste dan dipublikasikan di koran yang sama. Tulisan Eka Andy yang dipublikasikan pada tanggal 28 September 2017 juga terindikasi merupakan hasil copy paste dari tulisan Eko Prasetyo dengan judul yang sama. Juga masih segar dingatan kita pada bulan Agustus lalu di Universitas Negeri Jakarta, Tugas Akhir salah satu mahasiswa program doctoral atas nama Nur Alam bertajuk “Evaluasi Program Bank Perkreditan Rakyat Bahteramas di Provinsi Sulawesi Tenggara” terindikasi merupakan hasil plagiat dari Tugas Akhir salah satu mahasiswa Universitas Sebelas Maret dengan tajuk “Strategi Penghimpunan dan Pengelolaan Dana Pihak Ketiga di PT BPR Nguter Surakarta”. Tiga kasus ini merupakan contoh buruk pendidikan di Indonesia –mendekati keburukan orde baru yang memanipulasi sejarah Indonesia. Hal ini juga merupakan pukulan telak bagi UMS sendiri yang saat ini mengkampanyekan perlawanan terhadap plagiarisme, hampir di setiap sudut kampus terdapat papan dan dinding yang bertuliskan “Plagiarisme = Korupsi”.

Menurut saya ada beberapa faktor yang menyebabkan banyaknya kasus plagiat di kalangan mahasiswa, terlebih khusus di kalangan aktivis mahasiswa. Di antaranya, selain karena kualitas tulisan dapat menunjukan kualitas intelektual kita kepada pembaca juga agar terlihat memiliki gagasan-gagasan progresif dan kelihatan rajin baca buku, maklum  hal ini lagi nge-tren. Bahkan lebih parahnya cara ini juga biasa mereka tempuh agar terlihat gagah di depan dedek-dedek mahasiswa baru yang sering mereka tololkan. Yang oleh kawan saya, Zulus Mangkau, pentolan LPM Merah Maron Universitas Negeri Gorontalo, dedek-dedek yang mereka tololkan itu disebut KRS (Korban Retorika Senior). Faktor-faktor inilah yang menurut saya pribadi menjadi penyebab kebanyakan di antara mereka memilih jalur instan yang tidak banyak menguras otak dan lebih sans (meminjam istilah kids zaman now) karena tinggal memanfaatkan fungsi tombol ctrl + c dan ctrl + v ditambah sedikit finishing, merubah judul misalnya. Kalau tidak ketahuan, berarti proses pentololan berhasil dan kalau ketahuan, yah pake jurus yang digunakan Surya misalnya, menghilang dari peradaban, blokir akun Instagram saya yang meminta klarifikasi.

Memang sangat disayangkan apa yang dilakukan Surya dan kroni-kroninya ini, di saat kawan-kawan lain sedang memikirkan strategi dan taktik untuk menghidupkan kembali gerakan mahasiswa untuk melawan setan-setan tanah yang merampas hak petani, menggusur pemukiman-pemukiman rakyat serta menyelamatkan reformasi demi demokrasi sejati, mereka malah menampakkan wajah mahasiswa kekinian yang semakin miskin ilmu dan jarang menggunakan otaknya. Mungkin orang-orang seperti Surya dan kroni-kroninya perlu membaca (lagi) karya-karya Pram, selain biar lebih kekinian ala kids zaman now, setidak-tidaknya Surya bisa mengamalkan apa yang pernah dibilang Pram, “Seorang terpelajar itu seharusnya berperilaku adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan”.

Seharusnya dengan kemudahan-kemudahan dalam memperoleh referensi-referensi saat ini bisa mempermudah menambah inspirasi kita untuk menuangkan gagasan-gagasan lewat tulisan. Tidak usah repot-repot googling, di UMS saat ini marak terjadi pelarangan diskusi, bertitik tolak dari masalah itu seharusnya bisa tuangkan dalam sebuah tulisan. Memang untuk menghasilkan tulisan yang baik bukanlah pekerjaan instan, tidak akan pernah bisa kalau kita hanya sekedar sans dalam berpikir atau menghemat kerja-kerja otak. Diperlukan ketekunan dalam belajar. Penulis-penulis hebat seperti Pram maupun Eko Prasetyo yang tulisannya di copy paste oleh Surya sudah tentu menghabiskan banyak waktu dalam belajar sehingga menjadi seperti sekarang. Selagi masih di dunia, tidak ada yang mudah bung. Seharusnya kita sadar diri kalau saat ini kita belum di surga, di mana setiap yang kita inginkan akan langsung ada.

 

Hasta Victoria Siempre!!!

Selamatkan Reformasi untuk Demokrasi yang Seluas-luasnya!!!

Kategori
Diskusi

Jawaban Dari Palu: Tetap Independen

Sungguh dramatis pembahasan yang bergulir pada kegiatan Dies Natalis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) ke-25, yang dilaksanakan di Palu, kemarin (26/10/2017). Mulai dari pemilihan waktu yang menuai pro-kontra, sampai pemilihan pemateri dalam rangkaian agenda yakni Seminar Nasional.

Kegiatan yang seharusnya menjadi pemersatu justru membuat persma kebali terpetak-petak, semboyan “Berjejaring dan Saling Menguatkan” pun kini tinggal sebuah untaian kalimat yang menjadi utopis, -menurutku.

Pasca kegiatanpun berbagai kritikan masih saja terus bermunculan. Terutama terkait dua pejabat pemerintahan yang hadir dalam seminar nasional dengan tema “Darurat Demokrasi dan Ruang Hidup”. Dalam hal tersebut Panitia pelaksana memilih kedua pemateri telah berdiskusi dengan pengurus Nasional PPMI dan Steering Committee (SC). Terjadi dialektika, ada yang pro dan kontra, sedangkan yang kontra tak memberikan alternatif, sehingga hal tersebut saya anggap sebagai angin lalu. Yah, begitulah kita, suka mengkritisi jika ditanya solusinya “Tong kosong nyaring bunyinya”.

Lalu terkaitlah tulisan terbaru di persmahasiswa.id yang membuat saya tercengang, tulisan dari anggota persma yang berdomisili di Jember tepatnya LPM IDEAS yang dipublikasi 30 Oktober 2017. Iya mempertanyakan berbagai hal yang berkaitan dengan kegiatan dies natalis. Menurutku hal tersebut omong kosong semua, jika mengkritisi tanpa tahu keadaan yang sebenarnya. Seorang persma yang seharusnya menulis dengan berimbang namun tidak sapatah katapun yang tertulis terdapat klarifikasi dari tuan rumah pelaksana.

Yah, kalaupun itu tulisan opini setidaknya memuat keberimbangan agar jelas permasalahan yang terjadi sebenarnya. Sehingga tulisan tersebut akan berupaya sedikit mengklarifikasi.

Menjelaskan sedikit tentang Dimas Oky Nugroho, merupakan seorang mantan jurnalis yang kini sukses menata karirmya di pemerintahan.  Hal tersebut menjadi bahan perdebatan utama setelah diundang sebagai pembicara dalam seminar nasional PPMI, 26 Oktober 2017. Menurut Tulisan anggota persma IDEAS, kehadiran Dimas sama sekali tidak ada relevansinya dengan tema yang diangkat dalam seminar tersebut. Inilah kelemahan kita, menilai hal yang kita sendiri tidak tahu pasti bagaimana tepatnya peristiwa itu.

Dalam pemberitaan media faktasulteng.com dan antarasulteng,com, dua media lokal yang menuliskan ajakan Dimas untuk berafiliasi itu sedikit diplintir, sebab yang sebenarnya iya katakan adalah “bermitra”. Dan mengenai ungkapan itu saya secara pribadi juga tidak sepakat, Sebab “Roh” pers mahasiswa adalah ketajaman tulisan dan independensinya. Disamping itu banyak hal positif yang iya sampaikan namun tidak dimuat dalam dua media lokal tersebut. Seperti penjelasan mengenai pemerintah yang membuka “Ruang Hidup” bagi masyarakat Papua yang selama ini terisolasi, yang kini telah dibangunkan akses jalan Trans Papua, dan bandara udara yang dalam catatan sejarahnya tidak pernah terjadi dienam masa kepemimpinan presiden sebelumnya. Menurutku hal ini sangatlah positif, untuk menjaga keutuhan bangsa ini, melihat geliat Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang terus bergerak di akar rumput.

Rosi juga mempertanyakan Wakil Bupati Trenggalek yang diundang dalam agenda bedah buku. Dia menyayangkan hal tersebut, menurutnya seharusnya yang dibedah adalah bacaan wajib “Persma Menapak Jejak PPMI”. Kalau ini sudah menjadi bacaan wajib kenapa mesti dibedah lagi, sehingga yang muncul seketika di benakku mungkin adik saya Rosi belum tuntas dengan buku tersebut.  25 tahun kita hadir dengan nama PPMI masih juga belum tuntas dengan bacaan wajib ini.

Persma zaman now harus membuka diri biar kaya akan referensi. Stagnasi terjadi karna kita terus seperti ini. Membuka diri bukan berarti berafiliasi.

Mengenai Siaran Pers, sekiranya ini juga sudah didiskusikan. Bahkan Sekjen Nasional, Saudara Irwan, juga sudah mengirim rilis kegiatan ini kepada kawan-kawan persma namun tidak mendapat tanggapan.

Yah, semoga dalam agenda-agenda nasional selanjutnya hal serupa tidak terjadi, sehingga semboyan kita tetap terlindungi “Berjejaring dan Saling Menguatkan” bukan justru “Berjejaring dan Saling Menjatuhkan”.

Semoga klarifikasi singkat bisa sedikit membuka mata kita, dan bagi yang belum terjawab dengan penjelasan saya, semoga nanti kita bisa bersua di agenda PPMI berikutnya yaitu Rapat pimpinan nasional (Rapimnas).

 

Salam Persma !!!

Kategori
Diskusi

Pers Mahasiswa Mau Ke Mana?

Mempertanyakan kembali arah gerak pers mahasiswa, untuk kesekian kalinya.

“Aku gak bisa angkat isu ini, Ros. Tapi pers mahasiswa bisa,” ujar salah satu kawan saya, seorang wartawan di media lokal. Ia bercerita mengenai kekangan perusahaan media tempatnya bekerja.

Dapur redaksi di media umum, sering dihadapkan dengan industri media. Kondisi tersebut tentu erat dengan pemilik media, saham, modal, iklan, bahkan afiliasi politik. Hal itu berpengaruh pada pemberitaan. Framing dan porsi pemberitaan, sedikit banyak, akan mengarah pada pembentukan citra mitra kerja industri media. Karya jurnalistik wartawan bisa terbit bila tidak menyinggung keburukan afiliasi industri media.

Inilah yang dialami kawan saya. Ada pertambangan emas di wilayah liputannya. Tepatnya di Tumpang Pitu, Banyuwangi. Sedikit media lokal yang menyorot perspektif warga penolak tambang secara mendalam.

Konsep framing dimainkan. Contoh yang cukup kentara ada pada penempatan subjek. Pada kerusuhan 25 November 2015 di Tumpang Pitu, warga Pesanggaran digambarkan sebagai sosok beringas. Mereka diposisikan seagai subjek yang bertanggung jawab atas kerusuhan. Padahal masih belum jelas, oknum mana yang memicu.

Sementara berita yang kawan saya tulis tentang Tumpang Pitu, tidak serta merta dapat terbit. Redaksi berhak mengubah arah pemberitaan, bahkan bisa saja memutuskan untuk tidak menerbitkannya. Ini membuat pemberitaan lebih banyak pada bagaimana perusahaan tambang tampak menguntungkan. Ini terjadi tak lain karena perusahaan media tempatnya bekerja, berafiliasi dengan pemerintah dan perusahaan tambang.

Usaha untuk mengangkat isu itu, justru tersendat oleh industri media sendiri. Kawan saya dilema. Ia harus memilih untuk tetap bekerja, atau keluar dari media tersebut demi menjaga idealisme.

Kinerja pers umum tentu berbeda dengan kinerja persma. Selama saya bergelut di LPM, setiap penggodokan isu melibatkan seluruh awak redaksi. Persma tidak terikat dengan industri. Kerja-kerjanya bukan berlandaskan profit. Obrolan dengan kawan saya, berlanjut mengenai apa yang tidak bisa dilakukan media umum, tapi persma bisa.

Setahun kemudian, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Ideas menerbitkan majalah IDEAS edisi XXI/Agustus 2017 bertajuk Ruang Hidup Kami Direnggut. Di mana laporan utamanya, memuat perjuangan warga di sekitar Tumpang Pitu mempertahankan ruang hidup mereka.

Tentu kisah kekangan industri media bukan hal yang baru bagi persma. Persma kenyang dengan cerita ini lewat bacaan wajib semasa magang di LPM.

Alasan saya menulis ini karena saya tercengang. Pada malam yang mengejutkan, persmahasiswa.id mengunggah tulisan dari faktasulteng.com. Disusul pemberitaan antarasulteng.com mengenai rangkaian acara Dies Natalis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) ke-25 di Palu.

Kenapa hanya antarasulteng.com dan faktasuleng.com yang memberitakan pasca dies natalis PPMI? Ke mana media umum yang lain? Setahu saya, pada agenda besar, PPMI selalu membuat siaran pers. Sehingga media umum dapat memberitakan kegiatan tersebut. Jangan-jangan tidak ada siaran pers. Atau yang lebih parah, siaran pers hanya didistribusikan pada media tertentu. Ah, semoga dugaan saya salah.

Anehnya lagi, kedua portal tersebut memuat pernyataan Dimas Oky Nugroho, Staf Ahli Kantor Kepresidenan. Dimas menginginkan agar PPMI berafiliasi dengan pemerintah. Mochamad Nur Arifin, Wakil Bupati Trenggalek juga hadir sebagai tamu undangan dan pemateri bedah buku Bung Karno Menerjemahkan Al Qur’an.

Saya tidak mempersalahkan Dimas dan Arifin. Mereka adalah aparatur negara dengan berbagai latar belakang politiknya. Ungkapan-ungkapan politis mereka merupakan hal wajar. Yang menjadi tidak wajar adalah: bagaimana bisa mereka hadir dalam agenda besar PPMI?

Pembahasan pokok dalam dies natalis adalah ancaman demokrasi dan ruang hidup. Saya tidak bisa menemukan urgensi kehadiran Dimas dalam pembahasan pokok. Apakah PPMI (atau oknum di dalamnya) memiliki kedekatan dengan politisi tersebut? Maafkan pertanyaan lancang ini. Tolong bantu saya mendapat kejelasan.

Kedekatan macam apa, yang membuat Wakil Bupati Trenggalek jauh-jauh datang ke Palu? Lalu seberapa penting buku Bung Karno Menerjemahkan Al Quran, dibedah dalam acara nasional PPMI? Kenapa Bung Karno, kenapa Alquran?

Bukan maksud saya meremehkan buku tersebut. Tapi, tidak adakah buku lain yang lebih relevan bagi persma untuk dibedah? Ada dua kemungkinan: pertama, ada tujuan politis tertentu atau kedua, persma sudah khatam dan bosan dengan semua buku yang berbau jurnalistik. Saya ragu pada kemungkinan kedua. Masa iya, persma kehabisan bahan bacaan? Menapak Jejak Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia, misalnya. Seberapa banyak persma yang tuntas membaca buku putih tersebut? Atau mungkin buku itu sudah tidak relevan lagi bagi persma zaman now.

Dulu saya pernah diancam oleh birokrasi, agar tidak boleh ‘macam-macam’ dan menulis yang ‘positif’ tentang kampus. Saya merasa intimidasi macam itu adalah kengerian terbesar yang saya alami. Sampai akhirnya muncul kengerian yang sesungguhnya, yaitu ketika persma berafiliasi dengan pemerintah.

Seketika, saya membayangkan, cerita kawan media lokal di awal tulisan terjadi pada persma. Persma berafiliasi dengan pemerintah. Bila itu terjadi, tentu persma tidak lagi menjadi media alternatif. Ia mendapat sokongan dana untuk kemudian menjadi industri media. Persma hanya memberitakan yang ‘baik-baik’ saja. Persma tidak ada bedanya dengan humas. Terjadi perpecahan. Persma mati di tangannya sendiri. Itu mimpi buruk. Semoga apa yang saya tulis di paragraf ini tidak pernah terjadi.

Melihat momentum ini, saya semakin bertanya-tanya: Pers mahasiswa mau ke mana?

Kategori
Diskusi

Dibalik Pembangunan Proyek PLTPB Baturaden

Menelisik Nasib Warga Lereng Gunung Slamet

Menjelang akhir tahun 2017, saya bersama teman-teman yang tergabung dalam Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) berhasil menerbitkan sebuah karya jurnalistik berbentuk majalah. Dalam produk tersebut, kami mengangkat dampak dan jenis-jenis deforestasi secara komprehensif. Salah satu yang menjadi titik fokus kami kali ini adalah adanya Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) Baturaden yang berada pada kawasan hutan lindung gunung Slamet.

Dalam proses penggarapannya, kami pun melakukan investigasi ke daerah yang menjadi ancaman dampak mega proyek tersebut. Beberapa warga desa di kaki Gunung Slamet –terutama yang menjadi narasumber kami, menyambut kedatangan kami dengan wajah sumringah. Seolah berharap dengan berita yang nantinya kami sajikan, dapat membuat pembangunan proyek PLTPB tersebut berhenti untuk selamanya.

Kenapa? Bukankah PLTPB merupakan sumber energi yang terbarukan? Saya pikir pertanyaan semacam itu lazim terdengar. Bahkan mungkin dapat menjadi bahan perdebatan yang mengasyikan bagi sebagian akademisi. Namun, berbeda halnya dengan warga di kawasan kaki Gunung Slamet. Mereka tak memiliki waktu untuk memperdebatkan hal tersebut. Daripada berdebat, mereka lebih memilih untuk mencari sumber air jernih untuk mencukupi kebutuhan air mereka. Sebab aliran air yang tadinya menjadi sumber kehidupan mereka mulai tercemar karena proyek PLTPB tersebut.

Tercatat sepanjang bulan Juli sampai Oktober 2017 saja, terjadi hampir 5 kali kasus air keruh yang menimpa warga lereng Gunung Slamet. Daerah yang mengalami dampak terparah adalah Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas. Aliran sungai Prukut yang bersumber pada Curug Cipendok, keruh dan mengandung lumpur pekat. Hal ini menyebabkan terganggunya keberlangsungan hidup warga sekitar yang bergantung pada aliran sungai tersebut.

Padahal sekitar 50% warga di daerah Cilongok merupakan petani yang setiap harinya membutuhkan air untuk mencukupi kebutuhan kebun dan sawahnya. Tak hanya itu, sebagian warga lainnya yang berpofesi sebagai peternak mulai dari ikan, ayam dan hewan lainya, sempat mengalami kerugian akibat matinya hewan peliharaannya, akibat mengkonsumsi air keruh dari sungai Prukut tersebut.

Sebenarnya, kasus ini telah ditangani oleh PT. Sejahtera Alam Energi (SAE) selaku perusahaan yang menggarap proyek tersebut. Setelah mengetahui banyaknya dampak negatif yang warga rasakan, pihaknya segera membuat posko pengaduan untuk mengganti rugi akibat pembangunan proyek. Namun, hal ini tidak menjawab kekhawatiran warga akan adanya proyek tersebut.

Di lain tempat, warga Desa Semaya, Kecamatan Karanglewas, mendapat serbuan hama babi hutan dan beberapa fauna lainnya yang habitatnya mulai terusik dengan adanya pembangunan PLTPB. Migrasi hewan liar ini pun menghancurkan sebagian besar kebun dan sawah petani. Mereka gagal panen. Untuk itu, mereka mengganti tanaman yang tadinya menjadi komoditas utama seperti kapulaga, menjadi tanaman lain yang sifatnya tahunan.

Minimnya sosialisasi dan edukasi tentang bahayanya proyek tersebut menjadi polemik tersendiri bagi warga. Keterbatasan akses informasi dan tertutupnya proses pembangunan, membuat warga semakin dibingungkan dengan adanya proyek yang mengatasnamakan proyek nasional tersebut. Bahkan saat saya bertemu dengan beberapa warga desa di sana, ada warga yang sama sekali tak mengetahui adanya proyek di atas desanya. Ada juga yang mengaku mendapat informasi bahwa di kawasan hutan Gunung Slamet tengah dibuat jalan TOL yang menghubungkan Kabupaten Banyumas dengan Kota Semarang. Ironis.

 

Hutan Lindung Dibabat, Kehidupan Kami Terancam

Dampak negatif serta kerugian yang warga alami merupakan dampak awal dari proses panjang pembangunan PLTPB Baturaden. Padahal saat ini proses pembangunan proyek tersebut masih dalam tahap eksplorasi. Pada tahap ini, hutan lindung yang menjadi kawasan konservasi akan dibabat untuk mempermudah akses alat-alat berat masuk dan beroperasi.

Belum lagi jika kita menelisik rencana pembangunan proyek tersebut memiliki Wilayah Kerja Proyek (WKP) di atas lahan seluas 24.660 Ha. Sedangkan gunung Slamet sendiri hanya mempunyai sisa hutan seluas 52.617 Ha dengan sepertiganya merupakan hutan lindung. Tutupan vegetasi ini merupakan yang terluas di Jawa Tengah dari total sisa hutan seluas 649 ribu Ha, atau sekitar 19,93 % dari luas daratan di provinsi Jawa Tengah. Akan menjadi ancaman besar saat deforestasi yang tidak berjalan beriringan dengan kaidah lingungan yang baik, menjadi semakin ganas melahap hutan-hutan yang setiap tahun masif terdegradasi.

Padahal, keberlanjutan ketahanan pangan di Kabupaten Banyumas, dan pemanfaatan wisata alam serta pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA) terutama air, sangat bergantung pada berfungsinya kawasan Gunung Slamet sebagai daerah penangkapan serta penyimpanan air. Fungsi hidrologi ini sangat bergantung pula pada keutuhan hutan di kawasan konservasi gunung Slamet.

Beberapa bulan lalu, sempat ramai video berdurasi pendek yang diunduh di youtube yang menggambarkan kondisi hutan lindung Rata Amba, Desa Semaya, Kecamatan Karanglewas. Video yang berjudul “PLT Panas Bumi Mengancam Ekosistem Hutan Lindung di Gunung Slamet” mempertontonkan kondisi hutan yang pohon-pohonnya sudah rata dengan tanah. Dalam video tersebut juga terlihat patok bertuliskan PT. Sejahtera Alam Energi (SAE) terpampang di bekas pohon besar dalam area hutan lindung tersebut.

Hal ini menyebabkan kegelisahan warga semakin menjadi. Sebab, menurut penurutan warga setempat, dahulu sekitar tahun 1994, saat kesadaran warga untuk menjaga lingkungan masih sedikit, mereka kerap menebang pohon secara liar. Dampaknya ladu, sebutan banjir bandang bagi warga setempat pernahh terjadi dan menerjang desa di sekitar sungai Logawa.

Kini warga  Semaya dihadapkan ancaman baru berupa pembabatan hutan secara masif yang dilakukan oleh PT. SAE. Padahal kesadaraan warga kini telah membaik, terbukti dengan keikutsertaannya menjaga alam dan tak lagi membabat hutan secara sembarangan.

Di Dusun Rinjing, Desa Gunung Lurah, Kecamatan Cilongok, puluhan ekor babi hutan turun dan memakan tanaman mulai dari padi, kapulaga, dan beberapa jenis tanaman lainnya. Warga yang kesehariannya bergantung pada sektor pertanian, kini mulai terancam kesejahteraan hidupnya.

Dampak lain dari deforestasi pembangunan PLTPB di daerah hutan lindung gunung Slamet di  bidang pertanian adalah erosi. Hal ini terjadi akibat air hujan yang jatuh ke tanah dengan energi kinetik yang besar. Dengan kecepatan tinggi dan massa yang besar, serta tidak adanya pepohonan yang menahan jatuhnya air hujan, membuat tanah menjadi butiran yang lebih ringan dan mudah hanyut terbawa air hujan. Tergerusnya lapisan tanah dipermukaan yang mengandung solum tanah yang subur, membuat tingkat produktivitas panen menurun.

Masyarakat Rinjing yang memiliki kearifan lokal dalam bertani seperti, tidak menanam tanaman yang bersifat musiman di tanah yang memiliki kemiringan tinggi, dan tidak menebang pohon yang masuk dalam kawasan hutan lindung, adalah bentuk penjagaan kelestarian ekosistem di area Gunung Slamet. Mereka memiliki prinsip bahwa, jika alam dimanfaatkan sesuai kebutuhan maka alam lestari, tetapi jika alam digunakan dengan keserakahan maka kehidupan mereka terancam.

 

Ekologi vs Investasi, Mana yang Diprioritaskan?

Deforestasi atau alih fungsi hutan guna tujuan tertentu memang tidak bisa dihindari. Hal ini dikarenakan kebutuhan manusia yang semakin kompleks. Namun, yang kita harus pahami adalah bagaimana pemanfaatan pembukaan lahan hutan agar tidak merusak siklus keanekaragaman hayati dan ekosistem di Gunung Slamet.

Kekhawatiran masyarakat apabila lahan-lahan pertanian yang subur mengalami alih fungsi dari pertanian menjadi kawasan industri atau pertambangan, menjadi alasan logis mengapa kita perlu menolak pendirian proyek PLTPB. Disaat warga tengah menjaga alam kearifan lokalnya dibidang pertanian, ancaman deforestasi di bidang pertambangan seolah berbanding terbalik dengan apa yang warga lereng Gunung Slamet lakukan.

Kini ketakutan warga lebih terfokuskan pada tingkat kesuburan tanah dan kebutuhan sumber air yang sewaktu-waktu dapat hilang akibat pemanfaatan alam secara asal. Lalu, apakah ekologi di gunung Slamet masih dapat terjaga dengan adanya pembangunan proyek tersebut?

PLTB Baturaden berencana menggunakan hutan lindung seluas  44 Ha di empat lokasi sumur di wilayah Brebes dan Banyumas. Proyek ini memiliki nilai investasi sebesar 7 triliyun. Pembangkit listrik ini ditargetkan akan memproduksi listrik sebesar 131 Mega Watt.

Sedangkan menurut Manajer PLN Area Demak Grobogan, Mudakir, di hadapan anggota Apindo Kabupaten Demak, di Hotel Amantis, Selasa (9/5/2017), Jawa Tengah sendiri ternyata memiliki surplus daya listrik sebesar 1.100 Mega Watt. Ikhwal pernyataan Mudakir di sana, membuat tanda tanya besar terhadap pembangunan proyek PLTPB Baturraden. Sebenarnya apa orientasi PLTPB tersebut? Apakah demi menujang kapasitas listrik di saat masyarakatnya surplus listrik? Atau untuk menfasilitasi para investor besar yang menacapkan modalnya di Indonesia? Hal ini memunculkan anggapan bahwa pemerintah sekarang tengah menjual hutan yang dimiliki Indonesiasaat ini, demi mempermudah program-program investasinya.

Kategori
Diskusi

Usir PT.SAE Untuk Slamet

PLTPB ADA

KRISIS AIR MELANDA

TOLAK PLTPB .USIR PT.SAE

 

Seperti itulah isi poster-poster yang tengah terpampang di berbagai sudut jalan yang penulis lewati, Purwokerto. Mungkin sebagian orang hingga kini masih tidak mengetahui mengenai apa itu Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Baturaden. Apalagi seperti Purwokerto yang bukan daerah terdampak (langsung) dari proyek tersebut.

PLTP atau Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi merupakan industri penyedia energi listrik bersumber panas bumi. Proses pembangunan ini terdiri dari tahap eksplorasi dan eksploitasi. Pada proses eksplorasi terdapat beberapa kegiatan yaitu mobilisasi kegiatan dan material untuk pembuatan infrastruktur seperti jalan, jalur pipa, embung dan landasan sumur pengeboran. Setelah itu dilakukan pengeboran untuk uji panas bumi.

Sejak Oktober 2016 tahap eksplorasi berupa pembabatan hutan di wilayah Gunung Slamet untuk pembangunan PLTP Baturaden sudah mulai dilakukan. PT. Sejahtera Alam Energy (SAE), pemrakarsa proyek ini mengantongi izin per-Agustus 2016 untuk menggunakan lahan seluas 488.288 hektar. Hal tersebut dalam Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) tahap eksplorasi nomor 20/1/IPPKH/PMA/2016 diterbitkan pada 5 Oktober 2016. Sedangkan keseluruhan Wilayah Kerja Panas Bumi Baturaden sesuai dengan keputusan Menteri ESDM Nomor 1557.K/30/MEM/2010 seluas 24.660 hektare

Berdasarkan data kesatuan pemangku hutan Banyumas Timur, Gunung Slamet mempunyai ketinggian 3.428 mdpl dan sisa hutan 52.617 hektare, sepertiganya berupa hutan lindung.

Gunung Slamet merupakan gunung terbesar ke dua di pulau Jawa setelah Gunung Semeru. Secara geografis Gunung Slamet terletak di antara lima kabupaten yaitu Banyumas, Tegal, Pemalang, Brebes, dan Purbalingga. Jika dilihat gunung slamet tepat berada di tengah pulau jawa dan membentang dari utara ke selatan. Karena itulah gunung slamet merupakan kehidupan bagi pulau Jawa.

 

Slametku, Kini

Gunung Slamet bukan hanya sebagai sumber kehidupan bagi masyarakat namun sebagai habitat flora dan fauna di dalamnya. Keindahannya juga menarik untuk dijelajahi, namun semua berubah ketika PLTP Baturaden masuk dan mulai meng-eksplorasi wilayah lereng selatan Gunung Slamet. Wilayah tersebut masuk ke dalam zona merah atau rawan bencana. Tahap eksplorasi yang sedang dilakukan yaitu pembukaan lahan memenggunakan alat-alat berat dengan membabat hutan lindung yang ada di kawasan Gunung Slamet.

Dalam Peraturan Daerah (perda) Kabupaten Banyumas Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banyumas Tahun 2011-2031, pada BAB V Rencana Pola Ruang Bagian Kedua Paragraf 1 menjelaskan Wilayah Kecamatan Cilongak (tempat pembuatan jalan) dan Baturraden (lokasi PT SAE) adalah kawasan yang harus dilindungi. Berdasarkan data dari Aliansi Selamatkan Slamet melalui leaflet yang disebarkan di desa-desa sekitar dampak dari eksplorasi tersebut diantaranya.

  1. Berdasarkan Peta Kerentanan Tanah yang diterbitkan oleh Dinas ESDM Banyumas, lereng selatan slamet berada di zona merah. Artinya, zona ini selalu bergerak sehingga rawan bencana. Sewaktu-waktu dapat terjadi longsor meskipun tanpa aktivitas apapun. Zona ini mencakup sebagian besar kecamatan Cilongok, dan sebagian lagi di Kedungbanteng, Karanglewas, Baturraden, dan Sumbang di sisi utara. Proses  eksplorasi dan eksploitasi panas bumi seperti mobilisasi alat berat dan pengeboran tanah, menghasilkan getaran yang besar. Penelitian dari Bosman Batubara (ahli geologi/ilmu bumi) menyatakan pada umumnya proses pengeboran dapat menghasilkan gempa minor 3 sampai 4 skala richter. Gerakan seukuran itu tergolong berdampak serius bagi area di lereng selatan Slamet, mengingat kemiringannya yang curam, dan posisinya yang berada di zona merah.
  1. Saat proses pengeboran, pada umumnya kedalaman yang akan dibor ialah mencapai 3000 meter di bawah permukaan bumi. Dibutuhkan air permukaan untuk membantu pengeboran dalam memecah bebatuan di dalam bumi. Air yang akan diambil berasal dari sungai logawa dan sungai Banjaran, serta air tanah yang lokasinya belum diketahui. Dalam dokumen lingkungan hidup PT SAE juga belum jelas  berapa jumlah air yang akan diambil untuk pengeboran. Yang jelas air di lereng selatan Slamet akan berkurang. Padahal air adalah sumber kehidupan bagi warga lereng selatan Gunung Slamet.
  2. Hutan di Slamet adalah tempat tinggal berbagai hewan liar. Ketika hutan lindung dibabat dengan area seluas itu, wilayah jelajah hewan akan semakin menyempit. Hewan-hewan liar terpaksa menyingkir dan mencari tempat hidup lain, termasuk ke pemukiman masyarakat. Bahkan warga pinggiran hutan lereng gunung slamet kini mulai mengeluh karena kebunnya dirusak oleh turunnya babi hutan yang biasanya hidup di tengah hutan.
  3. Berdasarkan rilis aksi 9 Oktober 2017, kerugian yang diakibatkan oleh dampak keruhnya kali Prukut terus terjadi. Sebagian besar warga mengalami krisis air bersih, sehingga cukup mengganggu aktivitas harian rumah tangga. Sektor ekonomi ikut terganggu pula, mulai dari sektor pertanian, peternakan ikan dan ayam, serta industri tahu di Kalisari.

Demi mendapatkan listrik 220 megawatt yang entah siapa konsumennya, pemerintah daerah mengorbankan kehidupan banyak orang. Belum tentu listrik yang dihasilkan akan kembali kepada rakyat atau justru akan semakin mengaliri gedung-gedung dan supermarket yang semakin manjamur di sekitar Banyumas.

 

Aksi Penolakan

Masyarakat Banyumas baik yang terdampak maupun tidak menunjukkan kepeduliannya terhadap Gunung Slamet yang sedang tidak baik-baik saja. 18 Juli 2017 kurang lebih 500 orang massa aksi mengepung kantor kabupaten Banyumas. Dengan tujuan memepertanyakan hal-hal berikut.

  1. Apakah pemerintah dan PT SAE akan menjamin proyek ini tidak akan mengakibatkan bencana longsor maupun banjir bandang?
  2. Apakah sistem perairan di Gunung Slamet tidak akan terganggu dengan adanya proyek ini?
  3. Pada proyek ini, PT SAE hanya berbekal dokumen lingkungan yang seadanya, yaitu UKL-UPL. Apakah dokumen ini sudah layak dan tepat sebagai landasan perencanaan untuk proyek PLTPB di Gunung Slamet? Mengingat, ada banyak sekali kekeliruan data dan potensi kebencanaan yang tidak dimuat dalam dokumen lingkungan PT SAE.

Maka dari itu Bupati Banyumas berjanji kepada massa bahwa PT SAE akan menjawab semua pertanyaan massa dalam forum yang diadakan di Universitas Jenderal Soedirman yaitu Seminar series on New and Renewable Energy bertajuk “Geotermal sebagai Sumber Energi Terbarukan yang Ramah Lingkungan.”

Karena tidak mendapatkan hasil yang diharapkan dari pertemuan tersebut serta dampak kerugian yang makin hari semakin dirasa masyarakat maka berbagai elemen yang tergabung dalam alians Selamatkan Slamet melakukan aksi damai . pada 09 Oktober di depan Kantor Bupat Banyumas dengan memberikan tuntutan:

  1. Cabut izin eksplorasi panas bumi PT SAE
  2. Hentikan seluruh aktivitas eksplorasi di Gunung Slamet
  3. Segera tarik mundur alat berat dari Gunung Slamet

Bupati Banyumas menjawab tuntutan aksi melalui pesan singkat bahwa yang dapat menghentikan proyek PLTP Baturraden hanyalah Gubernur Jawa Tengah. Ia juga menyatakan bahwa telah mengirimkan surat rekomendasi untuk evaluasi proyek PLTP Baturraden.

Dari perihal surat yang dikirimkan kepada Gubernur, jelas bahwa pemerintah daerah akan mengevaluasi proyek bukan dampak-dampak yang telah meresahkan masyarakat terkait PLTP Baturraden.

 

Slametku, Tanggungjawab Siapa

Berbekal dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL) pemerintah memberikan izin pembangunan proyek PLTP. Padahal UKL-UPL digunakan untuk usaha yang tidak memiliki dampak panjang dan termasuk dalam skala usaha kecil. Sekelas proyek PLTP Baturaden seharusnya pemrakarsa mengeluarkan AMDAL (Analisisn Mengenai Dampak Lingkungan) sebagai rujukan perencanaan pembangunan.

Pada PP No 27 Tahun 2012 Bab I Pasal 1 poin 2 yang dimaksud AMDAL adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggara usaha dan/atau kegiatan. Jadi semua usaha yang berdampak penting wajb memiliki AMDAL.

Usaha yang wajib menggunakan AMDAL yaitu usaha yang bersifat strategis. Dalam pasal 54 ayat 6 dalam penjelasan, PLTP merupakan salah satu usaha yang bersifat strategis. Selain itu dilihat juga dari cakupan wilayah usaha, penduduk terdampak serta jangka panjang dari pengelolaan usaha. PLTP Baturraden merupakan usaha yang wajib mengeluarkan dokumen AMDAL dalam pelaksanannya.

PT SAE menggunakan Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) yang berarti pihaknya harus mengembalikan seperti semula apa yang dipinjamnya. Walaupun dari menteri kehutanan mengharuskan PT SAE mengganti dua kali lipat lahan yang dipakai, namun apakah akan sama seperti semula? Penanaman tersebut bukan dalam waktu yang singkat. Dapat memakan waktu berpuluh bahkan beratus tahun. Lalu selama itukah membiarkan penopang kehidupan nasional ini terus gundul? Apalagi PT SAE mendapatkan izin untuk mengeksploitasi panas bumi Baturraden selama 35 tahun.

Dalam seminar tanggal 24 juli di UNSOED, PT SAE yang diwakili Bintang Sasongko tidak dapat menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan oleh Aliansi Selamtkan Slamet yang diwakili Muflih Fuady. Masyarakat juga meminta ada pernyataan hitam di atas putih, bahwa pemerintah dan PT SAE akan bertanggungjawab terhadap bencana yang akan terjadi. Akan tetapi permintaan ini tidak disanggupi. Lalu jika sudah seperti ini, Slametku yang sudah rusak tanggungjawab siapa?

Kategori
Diskusi

Merawat Perlawanan

Problematika pers mahasiswa (persma) seakan tak pernah usang untuk dibahas dan dikaji. Lika-liku mewujudkan demokrasi dihampir semua lini kehidupan masyarakat baik di ranah isu nasional seperti agraria, pendidikan, politik, ekonomi maupun isu daerah seperti isu kampus, lingkungan, sosial serta isu lainnya menuntut kerja-kerja jurnalistik yang tak mudah. Pemilihan angle pun seringkali mengharuskan persma membingkai data dan mengoposisikan pihak atau oknum yang dianggap semena-mena dalam kehidupan bermasyrakat. Misalnya saja para birokrat kampus yang tak pernah absen diwawancarai untuk menampilkan cover both side atas apa yang diberitakan. Begitu pula dengan para aktor korupsi dan cukong pencaplok lahan. Walau tak sedikit pula rekan persma yang memilih bermain aman dengan tak melulu mengkritik atau bahkan malah menjadi bagian dari hubungan masyarakat (humas) kampusnya.

Bicara mengenai fungsi advokasi dalam mengidentifikasi siapa saja yang menjadi lawan atau berpotensi merugikan persma, juga tak lepas dari sikap redaksi dan rekan-rekan persma menanggapi masalah sosial yang ada. Hasil riset BP litbang PPMI nasional periode 2014-2016 telah berhasil mendata jenis tindakan kekerasan terhadap persma seperti intimidasi, pembredelan, pembubaran acara, pembekuan, perusakan karya, fitnah, kriminalisasi, pembatalan izin, dan pelecehan yang dialami persma. Baiklah mari kita tinjau siapa yang berpotensi menjadi lawan kita jika kita benar-benar melawan.

Pertama ialah Aparat keamanan, baik polisi maupun TNI. Meraka memang ada untuk menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat. Namun bagaimana jika malah meresahkan atau membatasi aktivitas berdemokrasi. Contoh kongkret adalah apa yang dialami oleh Fadel Muhammad Harahap dan Fikri Arif dari LPM BOM yang ditahan dengan tuduhan melakukan pemukulan terhadap aparat saat terjadinya aksi hardiknas di depan gerbang universitas sumatera utara. Sidang perdana yang direncanakan etanggal 7 agustus pun diundur. Karena tuduhan yang sepihak itu, keduanya hingga saat ini masih mendekam di lapas. Walau catatan sementara hanya 5 kasus yang dilakukan oleh TNI/Polri, namun Aliansi Jurnalis Independen (AJI)  mencatat jumlah kasus kekerasan yang dialami wartawan media komersil sejak januari 2014 hingga agustus 2017, polisi menjadi pelaku sebanyak 35 kasus, dan TNI sebanyak 12 kasus. Korps bhayangkara memang seakan tak mau insititusinya tercoreng. Segala cara dihalalkan mulai dari perampasan alat peliputan, hingga kekerasan fisik secara langsung.

Bagaimana dengan pihak kampus? Aparat tentu bukan satu-satunya yang masif melakukan tindak kekerasan pada persma. Birokrat kampus ternyata jadi ranking nomor wahid dalam survei tahun lalu. Sebanyak 65 kasus dialami oleh persma disebabkan ulah para pejabat kampus. Bentuk kekerasannya beragam, mulai dari intimidasi dengan pemanggilan, pengurangan nilai, ancaman pembekuan organisasi bahkan pencabutan SK LPM sebagai bentuk pembredelan. Sebagai pemegang kuasa anggaran negara, rektor dan jajarannya tak jarang melakukan pemotongan anggaran, bahkan menutup anggaran LPM. Sebagian kalangan berkata wajar saja jika kampus menjadi aktor yang paling mengancam eksistensi persma. Ruang lingkup peliputan kampus yang jadi porsi lebih banyak dan adanya rasa “berkuasa” pihak rektorat tentu sulit jika kita mengimpikan kata damai. Tapi saya yakin ada juga yang memilih berdamai dengan alasan regenerasi dan keselamatan lembaga.

Suatu perdebatan menarik ketika rekan-rekan diskusi bercerita adanya proses pelemahan dari dalam lembaga persma itu sendiri. Mereka mensinyalir oknum organisasi tertentu masuk dan mulai melakukan tindakan persuasif untuk menumpulkan media persma tersebut. Sangat disayangkan memang, namun hal itu sebenarnya bisa saja ditangani jika teman-teman persma tetap meneguhkan identitasnya melalui produk media yang dihasilkan. Bicara pers mahasiswa yang sering disebut atau menyebut diri sendiri dengan media altenatif, Yosep Adi Prasetyo, Ketua Dewan Pers pun sempat membahasnya dalam artikel berjudul “Pers Mahasiswa dan Upaya Membonsai Daya Kritis” bahwa kini tak ada lagi sebutan pers alternatif yang dulu disematkan pada pers mahasiswa. Semua pers kini bisa menjadi alternatif, baik dari isi, penyajian dan angle tulisan.

Pertanyaan menarik yang terlontar kemudian, Apakah pers mahasiswa akan tetap percaya diri menyebut dirinya pers alternatif? Apa persma masih benar-benar sebagai oposisi? Tak berniat menghitamputihkan sebuah fenomena, namun sampai saat ini saya masih yakin netralitas itu tak benar-benar ada. Kemana rekan-rekan persma berpihak? Masih adakah yang mau dilawan? Jika jawabannya tidak, lalu apakah karena trend  kritis, melawan atau kiri itu keren? Mungkin artikel sesepuh DK Yogyakarta dengan judul Idealisme persma atas nama kebutuhan bisa sedikit mencerahkan.

Tapi kecemasan saya kali ini bukan soal tujuan rekan-rekan berpersma. Pola oposisi yang kian dilebur dalam masyarakat yang afirmatif terhadap penguasa, baik negara maupun tataran kampus. Herbert Marcuse dalam bukunya yang berjudul one dimensional man atau manusia satu dimensi menyebut jika masyarakat yang dulunya terbagi menjadi dua dimensi, yang pertama dimensi positif atau afirmatif pada keberlangsungan negara dan satunya dimensi negatif yang menentang struktur dan sistem yang ada berdasarkan ketimpangan yang ada, kini telah berusaha dilebur jadi satu. Kebutuhan akan modernitas yang didukung para teknokrat dan cara-cara kapitalisnya membuat dimensi negatif bukan lagi oposisi, tapi bagian dari masyarakat yang satu. Penekanan terhadap kubu negatif jelas dilakukan. Sistem kapitalis yang tetap bermamah biak dijadikan alasan untuk menaikkan taraf hidup masyarakat.

Contoh kongkrit, saat kasus pabrik semen di kendeng diangkat ke publik. Ada rekan persma yang berujar, “ngapain kita melawan, setelah lulus kita juga butuh pekerjaan. Mending dibangun pabrik lalu jadi pegawai.” Pikiran yang tak pro rakyat atau petani ini memang rasional dari sisi mahasiswa yang bingung setelah lulus jadi apa. Bayangkan jika hampir semua mahasiswa berpikiran begitu. Sungguh bahagianya hati para pemilik perusahaan. Satu sisi negara juga tak perlu susah-susah membungkam mereka. Wajar karena sejak mahasiswa baru doktrin seperti itu begitu kuat. Kuliah yang cepat lalu kerja. Pengkondisian itu kian masif dan tak dapat lagi dirasakan. Saya jadi teringat kutipan dari pemantik diskusi dalam sebuah launching majalah persma di malang walau agak lupa diksinya seperti apa. “Penindasan yang parah adalah ketika yang ditindas sudah tak merasa ditindas lagi.”

Sudah cukup kiranya saya berargumen. Kembali ke siapa lawan persma, masih adakah yang menjadi aktor kekerasan terhadap persma? Bicara masalah organ ekstra, komunitas, mahasiswa nonpersma dan masyarakat umum tentu dapat dilihat dari berbagai perspektif. Silakan berpendapat.