Kategori
Diskusi

Keburaman dan Kejelasan Jurnalisme

Jurnalisme kini nyaris mengalami “senjakala” seiring “senjakala media cetak”. Isme (paham) yang satu ini, pada masanya bernilai luhur. Yakni, saat kebutuhan manusia akan informasi dipenuhi dengan kedisiplinan empiris dari jurnalis. Namun kita harus jujur mengenai sejarah jurnalisme sampai bisa menjadi bagian dari kepercayaan umat manusia. Kisahnya tidak begitu heroik dan dramatis seperti anggapan pada kata mutiara ini: “Siapa yang menguasai informasi, maka dia menguasai dunia”.

Dahulu kala, setelah acta diurna menjadi rujukan orang-orang romawi yang ingin mengetahui pengumuman penting dari kerajaan, candu akan informasi pun terus meningkat seiring dengan temuan baru untuk menyesuaikan dengan perubahan zaman. Informasi tak bisa lepas dari teknologi. Manusia akan selalu menemukan cara untuk meraih apa yang mereka inginkan. Tak terkecuali jurnalisme.

Evolusi komunikasi terjadi dengan skala besar, namun kurang disadari. Dari temuan lukisan pada dinding gua, kemudian bahasa lisan, juga tulisan. Manusia kemudian terus berkomunikasi dengan lisan dan tulisan menggunakan media ala kadarnya, sampai muncul mesin cetak pada abad ke-15 yang ditemukan oleh Johannes Gutenberg.

Dari sinilah evolusi komunikasi yang ‘tak wajar’ berkembang pesat. Seketika orang-orang terserang wabah baru: aktivitas baca-tulis massal. Buku-buku mulai disalin dan dicetak dalam jumlah banyak. Orang-orang mulai terbiasa dengan aktivitas komunikasi secara massal. Pada abad ke-17 dan ke-18 jurnalisme atau berita pun lahir dengan wujud selebaran, membawa kepentingan oposisi politik. Toh, sejak lahirpun berita sudah ternodai dengan kepentingan sekelompok orang.

Mungkin wajar saja, berita pada masa kelahirannya masih butuh perawatan. Beberapa waktu setelahnya, seiring kian banyaknya berita, lembaran-lembaran berita menjadi berlipat ganda, dan konsumen semakin banyak. Dengan kondisi seperti itu, berita menjadi laku di pasaran, maka independensi jurnalisme mulai terbentuk, jurnalisme tumbuh dewasa dengan independen.

Demokratisasi, Reorganisasi, dan Ketegangan

Ketika jurnalisme mulai independen, para pekerjanya (jurnalis) mulai terbentuk secara professional. Namun kerentanan masih terus menghantui. Evolusi terus saja terjadi, terutama pada 3 aspek: demokratisasi, reorganisasi, dan ketegangan. Wajar saja, informasi sudah menjadi konsumsi publik, dari para elite sampai ke kaum akar rumput.

Informasi yang mewabah ini tentu menggelitik semua orang untuk berbuat sesuatu, informasi menjadi landasan seseorang maupun kelompok untuk berbuat sesuatu. Efek domino informasi yang tersebar berkat jurnalisme, terus membentuk komunitas baru yang percaya pada satu hal dan berbuat berdasarkan hal itu.

Bahwa dari pemberitaan pers perjuangan pada tahun 1945 sampai 1950-an masyarakat Indonesia mempunyai wacana tentang liberalisme, parlementarisme, demokrasi, dan lain sebagainya. Inilah yang disebut sebagai demokratisasi.

Teknologi yang juga membantu penyebaran informasi melalui jurnalisme menimbulkan perubahan bentuk dan sistemnya. Jika pada masa sebelum munculnya mesin cetak, Bible (Alkitab) hanya bisa dinikmati melalui para rohaniawan, setelahnya orang-orang bisa membelinya sendiri di toko-toko buku. Koran dengan bentuk tulisan dan batasan kertas membuat orang harus meluangkan waktu untuk menghabiskannya. Setelah muncul radio, televisi, dan internet orang-orang bisa memilih mana yang dibutuhkannya. Inilah yang dinamakan reorganisasi.

Bukan hanya itu, dengan adanya radio, raja-raja tidak membutuhkan jurnalis untuk berbicara dengan rakyatnya. Koran, televisi, dan internet memberikan akses kepada berbagai kalangan, bukan hanya sebagai konsumen tapi prosumen (produsen-konsumen). Iklan nyaris tak lagi butuh untuk “numpang” di koran sebagaimana di masa awal kemunculan koran. Para pemilik kepentingan: pemerintah, perusahaan, dan kelompok-kelompok tertentu menggunakan teknologi komunikasi untuk mendominasi informasi. Jurnalis sudah bukan menjadi domain utama pada era banjir informasi ini.

Setelah demokratisasi dan reorganisasi, orang-orang lalu bertanya, informasi mana yang harus dipercayai. Fakta dan keyakinan menjadi kabur. Seperti saat filsuf klasik yang memperdebatkan antara kebenaran relatif dan kebenaran mutlak. Informasi yang mulai menumpuk membuat suatu ketegangan, yang mempertanyakan kebenaran. Jurnalisme seperti terjebak, dan mulai memasuki area berbahaya, banyak jurnalis yang menjadi partisan kelompok politik tertentu. Walau kadangkala tidak seekstrem itu, jurnalis pada praktiknya mengabaikan cara-cara tradisional dalam mencari, mengolah, dan menyajikan berita. Independensi jurnalisme mulai goyah. Hidup segan mati tak mau.

Keburaman dan Kejelasan

Jurnalisme hanya menjadi kedok agar kegiatan mencari, mengolah, dan menyebarkan berita ini masih menjadi pekerjaan profesional. Namun inti dari jurnalisme belum dan tidak akan pernah hilang, yakni kebutuhan akan informasi yang benar. Benar dalam artian yang sebenarnya. Kebenaran yang sebenarnya tidak akan didapatkan saat independensi hilang.

Independensi pun menjadi korban ketegangan di kalangan wartawan. Banyak yang mengartikan bahwa iklan atau advertorial serta halaman kontrak pada koran adalah satu-satunya cara untuk independen. Akibatnya mereka tidak bisa membedakan mana berita dan mana iklan. Independensi jurnalisme sebenarnya bukan pada bentuk yang tidak substansial itu, berita adalah berita dan iklan adalah iklan. Orang bisa saja menaruh iklan di koran, tapi koran punya cara sendiri untuk menyajikan berita. Sekalipun berita tentang perusahaan yang menaruh iklan di korannya.

Kalau begitu untuk apa ada jurnalisme? Kita harus fair, mengatakan identitas kita. Independensi jurnalisme bukan diperuntukkan sebagai penyedia jasa tukang ketik. Jika jurnalisme kurang menjanjikan untuk memenuhi uang saku Anda, maka jangan pakai kata jurnalisme sebagai pekerjaan Anda.

Sumber pembiayaan dalam jurnalisme bukanlah hal penting yang harus dibela sampai mati. Jurnalisme itu adalah kebenaran, kebenaran tidak selalu ada pada wartawan dan lembaga pers, kebenaran itu ada pada berita yang benar. Seharusnya wartawan menyadari ini, sekalipun teknologi komunikasi berubah, tidak peduli seberapa cepatnya, dia harus bisa menerima kebenaran, karena kebenaran tidak membutuhkan wartawan dan teknologi. Sekali saja dia sengaja membohongi masyarakat, maka dia sendiri yang akan rugi, tidak akan ada lagi yang mempercayainya.

Wujud dari keburaman informasi ini, bisa kita lihat sekarang, media mainstream yang mempunyai jangkauan luas, pendapatan yang lebih dari cukup, tapi memilih melanggar etika jurnalistik, membuat masyarakat semakin ragu. Banyaknya konsumen yang dihitung melalui rating, tidak menjamin kepercayaan publik. Publik hanya tidak punya pilihan untuk mengakses informasi. Kebenaran akan jelas terlihat di antara kebohongan yang banyak, seperti secuil jarum mengkilap di atas tumpukan jerami.

Revolusi Harus Terjadi

Menyadari hal ini, media-media alternatif bermunculan untuk memikat hati masyarakat. Mereka mempraktikkan independensi jurnalisme dan kebenaran hati nurani. Layaknya Watchdoc yang merupakan rumah produksi audio-visual, mereka memproduksi dokumenter dan feature televisi serta video komersial. Sponsor mereka tidak menjadi satu hal penting yang mempengaruhi kualitas produk jurnalistik mereka. Demikian halnya, pers mahasiswa, walaupun ‘di bawah’ otoritas kampus lantas tak membuat independensi jurnalismenya hilang. Lagi-lagi yang dimaksud dengan independensi jurnalisme itu bukan pada sumber biayanya, tapi ada pada produknya.

Berangkat dari independensi dan kebenaran jurnalisme ini, maka sebaiknya definisi pers (lembaga jurnalisme) di negara kita harus diperbaiki lagi. Dalam UU Pers nomor 40 tahun 1999, pasal 9 dan pasal 10 menyatakan bahwa perusahaan pers harus berbadan hukum dan berbentuk perusahaan. Harus berbadan hukum, berkolerasi dengan ‘kesejahteraan’ wartawan. Dua hal yang bentuknya tidak substansial jika memandang keluhuran jurnalisme. Hal ini akan membuat ketegangan baru. Media mainstream menjadi lupa, bahwa tugas mereka mutlak ada pada kebenaran, dan menomorsatukan ‘kesejahteraan’ pekerjanya. Sedang media alternatif, seperti pers mahasiswa yang berusaha menyajikan produk jurnalisme secara benar, justru merasa dihantui dengan pembredelan dan hukum pidana.

Revolusi harus terjadi di dunia jurnalisme. Jangan takut, karena pada sejarah tadi, manusia menghadapi perubahan besar-besaran dalam rentang waktu yang relatif singkat. Kita harus bisa menerima kebenaran. Kebenaran dan independensi jurnalisme itu harga mati, konsep ini di luar teks hukum-hukum yang ada. Melampaui otoritas media manapun.

Kategori
Diskusi

Pers Mahasiswa dan Segala Kengeriannya

Membaca tulisan dari seorang teman tentang gaya penyajian berita di media Tegalboto cukup membuat tidur saya kurang nyenyak. Kegiatan kami selama ini, menyusun media kepada pembaca dengan proses yang cukup panjang, mulai dipertanyakan. Proses editing semalaman, dengan sebotol kopi pahit dan beberapa linting rokok agar teman-teman saya bertahan tanpa tumbang demi menjamin tulisan yang layak diterima oleh pembaca, dipertaruhkan. Bahkan butuh berhari-hari, tulisan itu disunting dan diperbaiki lagi. Lalu seseorang mengatakan jika berita yang kami buat disajikan dengan ‘banyak gaya’.

Saya mulai bertanya-tanya. Gaya apa yang dimaksudkan dalam tulisan tersebut? Saya sebagai orang awam yang masih butuh banyak belajar mulai kembali membuka-buka materi yang pernah saya pelajari waktu masih menjadi anggota magang kala itu.

Setiap berita memang memerlukan gaya yang berbeda dalam penyajiannya. Sebut saja Straight News dan Features, atau mungkin penulisan opini dengan berita di media buletin yang kami terbitkan secara rutin. Mereka memerlukan gaya penulisan yang berbeda, dengan tetap mempertahankan kelengkapan isinya. Bukan berarti karena berbentuk Features, maka diksi yang digunakan mendayu-dayu, atau mungkin karena Straight News kami bisa memasukkan data-data seenaknya tanpa mempertimbangkan keluwesan kata-kata yang digunakan. Sekali lagi saya masih bingung ‘banyak gaya’ yang dimaksudkan itu gaya yang seperti apa?

Setiap media yang kami susun memiliki karakteristiknya masing-masing. Dari majalah, Newsletter, yang akan diluncurkan Sabtu ini, hingga buletin yang diterbitkan memiliki ciri sendiri yang membuatnya berbeda satu sama lain. Tidak perlu kami berkoar-koar tentang gaya yang kami gunakan di setiap tulisan yang ada di media tersebut. Kami sudah berusaha memastikannya agar sampai di tangan pembaca dengan istimewa.

Jika hasilnya masih belum memuaskan mereka, maafkan kami yang tidak berpedoman pada permintaan pasar. Media kami bukan barang dagangan yang bisa dijadikan komoditas demi menguasai dan memenuhi permintaan pasar. Kami masih mempertahankan disiplin verifikasi, seni mempertanyakan kebenaran dengan proses berkelanjutan. Kami mencoba memahami hal yang disampaikan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku Sembilan Elemen Jurnalisme bahwa kebenaran adalah prinsip pertama, sekaligus sesuatu yang paling membingungkan. Tidak bisa sekali wawancara pada satu narasumber lalu menuliskannya begitu saja sebagai kebenaran.

Tidak perlu jauh-jauh berbicara tentang mau dibawa ke mana, genre apa yang paling ideal bagi pers mahasiswa, dan apa-apa yang diperjuangkan oleh mereka. Kita saja masih sering lupa memastikan apakah penulisan ejaan yang digunakan sudah sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Tentang penulisan kata ‘verifikasi’, misalnya yang kadang tertukar antara huruf ‘f’ dengan ‘v’. Sebagai salah satu anggota amatir yang setiap editing harus jeli mengoreksi tulisan kawan-kawan saya dari tanda titik, koma, hingga huruf-hurufnya, mata saya cukup merasa tersiksa dengan kejanggalan itu. Tapi saya masih memakluminya, penulis juga manusia. Atau mungkin si penulis sengaja menuliskannya untuk menciptakan suatu gaya yang berbeda, saya juga tak begitu paham maksudnya.

Berbicara tentang genre jurnalisme mahasiswa yang dianggap paling “ngeri”, sarapan saya pagi ini mulai terhenti sejenak. Jika dibandingkan dengan sejarahnya, gerak pers mahasiswa yang mulai mengabur memang sudah tidak bisa disamakan lagi. Namun juga tak bisa dipukul rata jika posisinya tak jauh beda dengan pers umum lainnya. Pers mahasiswa bukan karyawan yang bekerja demi gaji, sekalipun memiliki jam terbang yang berbeda dengan wartawan umum kebanyakan, mereka masih bisa teriak merdeka dari intervensi. Tiada pemilik modal yang bisa mengusik independensi. Mereka, termasuk kami, menulis untuk masyarakat, dengan sesekali nyambi nugas perkuliahan di sela kegiatan liputan. Maafkan jika kami masih berani berteriak sekeras ini.

Belajar bekerja di bawah tekanan dengan aneka media yang dihasilkan menjadikan setiap pers mahasiswa menemukan gayanya. Layaknya pers umum kebanyakan, pers mahasiswa juga bebas menentukan gayanya dengan pedoman pada kode etik jurnalistik. Bukan berarti mereka bekerja tak dibayar lalu tidak bertindak secara profesional. Hanya saja terkadang langkahnya masih sering tersandung batu di tengah jalan.

Tiap media punya gaya yang berbeda dan di situlah keunikannya. Ukuran ideal ataupun tidaknya suatu media bukan hanya dari gaya penulisannya, tapi juga bagaimana suatu media mampu menyajikan tulisan yang menyehatkan pembaca.

Kita hidup di negara yang bernafaskan keanekaragaman di dalamnya. Mengapa memaksa harus mengidentikkan sesuatu yang jelas-jelas memiliki irama yang berbeda? Jika ukuran berat badan ideal yang dimiliki seseorang harus berpatok dengan hasil dari selisih antara tinggi dan berat badannya, bukankah media, khususnya yang ada di pers mahasiswa, harusnya juga memiliki indikator?

Jurnalisme ideal atau yang sering disebut sebagai jurnalisme profesional yang lebih cenderung beraliran positivistik mempersyaratkan adanya obyektivitas dalam penulisan berita. Istilah obyektif dalam buku Sembilan Elemen Jurnalisme juga sering disalahpahami. Bukan wartawannya tapi lebih pada metodenya yang harus obyektif dalam menggali data.

Kenyataannya, setiap media punya cara membingkai berita untuk disajikan kepada pembaca dengan cara yang berbeda. Namun demikian, kita masih punya pedoman dan kode etik sama yang harus dipegang teguh, apapun bentuk media yang dihasilkan oleh pers mahasiswa.

Jika sudah tahu bahwa esensi jurnalisme adalah pada disiplin verifikasi, mengapa masih mempertanyakan gaya, identitas, ataupun arah pergerakannya? Semuanya penting namun jangan sampai kita melupakan hal-hal yang lebih mendasar. Benahi rasa, tingkat kebersihan, dan kesehatan masakanmu dulu, baru belajar bagaimana cara penyajiannya agar enak dipandang mata. Rasa sakit akibat keracunan memerlukan penyembuhan lebih lama daripada rasa sepat di mata saat melihat penampilan luarnya. Sesekali kita perlu belajar banyak membaca KBBI, sebelum memandang tulisan suatu media disajikan dengan ‘banyak gaya’.

Terimakasih atas perhatiannya. Biarkan saya melanjutkan sarapan dan tidur saya yang sempat terganggu sebelumnya.

Kategori
Diskusi

Memahami Karakter Jurnalisme Pers Mahasiswa

Setiap media, jika dibandingkan satu dengan yang lainya, akan kentara perbedaan bagaimana sebuah berita disajikan. Tempo misalnya, cenderung menyajikan berita dengan liputan-liputan mendalam. Membuka apa yang ditutup-tutupi, atau sebut saja bergenre Jurnalisme Investigasi.

Meminjam istilah komodifikasi, katakanlah pilihan genre jurnalisme ini ada sebagai “nilai jual” sebuah media. Semakin terjual, semakin dibaca. Semakin dibaca, maka semakin berpengaruh. Keluasan pengaruh itu yang kemudian dijadikan tolak ukur, sejauh mana salah satu peran jurnalisme, yakni kontrol sosial, dapat diwujudkan.

Tapi perlu diketahui, setiap genre punya pemetaan pasarnya sendiri. Kemudian penentuan pasar adalah politik redaksi. Bergantung kemana arah gerak media tersebut. Dari sekian banyak genre jurnalisme, jurnalisme mahasiswa bisa dibilang paling ngeri! Kalau eksis, genre jurnalisme yang satu itu sulit dicari definisinya.

Definisi Pers Mahasiswa
*Grafik hasil analisa menunjukkan tidak ditemukanya “Definisi Jurnalisme Mahasiswa” pada mesin pencari Daum.net. Data ini menggunakan margin error 0%.

Dari analisis saya pada 6 April 2016 mulai pukul 21:40 hingga 22:41 WIB, 0 data ditemukan terkait “Definisi Jurnalisme Mahasiswa”  pada mesin pencari Daum.net, mesin pencari populer berbahasa Korea Selatan.

Tapi dalam pandangan penulis, genre jurnalisme satu ini sulit didefinisikan. Setiap Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) punya cara yang berbeda-beda dalam menyajikan berita. Unit Aktivitas Pers Mahasiswa (UAPM) Inovasi misalnya, menyajikan berita kelompok marjinal dengan gaya narasi. Atau Unit Kegiatan Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Tegal Boto, menyajikan berita dengan banyak gaya.

Selain cara penyajian berita yang beragam di tiap LPM, pembeda antara jurnalisme mahasiswa dan genre jurnalisme lainya juga kabur, terlebih paska reformasi. Sebelumnya, pada masa orde baru, begitu mudah membedakan antara jurnalisme mahasiswa dan jurnalisme lain. Jurnalisme mahasiswa tajam ke atas, yang lainnya masih cenderung malu-malu luwak. Paska orde baru, keadaan mulai berubah. Semua sudah mulai tajam keatas. Dengan mulai samarnya pembeda jurnalisme mahasiswa dan jurnalisme lain, pendefinisian makin sulit dilakukan. Sekaligus arah gerak makin kabur.

Menurut paparan buku 9 Elemen Jurnalisme karya  Bill Kovach dan Tom Rosentiels yang dikutip Andreas Harsono. Disiplin verivikasi adalah esensi dari jurnalisme. Bukan identitas, genre, bahkan arah gerak. Jika pandangan tersebut diamini, bisa saya simpulkan bahwa apapun genre jurnalismenya, verivikasi data adalah yang utama. Kecuali bagi jurnalis yang tunduk pada himbauan perusahaan konstruksi baja, “Utamakan Sholat dan keselamatan kerja!”.

Foto: dok. Artha Mas Graha Andalan (http://news.detik.com/tokoh/3112887/utamakan-salat-dan-selamat-kunci-kesuksesan-budi-harta-winata)

Verivikasi sendiri menurut saya juga beragam tingkatnya. Verivikasi menggunakan paradigma rasio, paradigma empiris, paradigma positifisme, dan lainya. Sementara, tiga paradigma itu saja yang mampu dicocokologikan dan terdengar cukup saintifik di telinga.

Dalam paradigma rasio, verivikasi dihentikan cukup pada keputusan rasio meng(iya)kan. Misalkan sang narasumber menyatakan bahwa api itu membakar kulit, kemudian karena rasio sang jurnalis sejalan, maka pernyataan dari narasumber dianggap valid, dan tidak diverivikasi lebih lanjut. Padahal, pengikut Nabi Ibrahim punya rasio yang berbeda, bahwa api tak selalu membakar kulit.

Mengetahui kebobrokan rasio itu, paradigma empiris kemudian menambalnya dan tak berhenti disitu saja. Jadi kalau anda jurnalis yang berparadigma empiris, anda bakal memverivikasinya dengan menyentuh api, setelah kulit anda terbakar, baru anda tulis sebagai karya jurnalistik.

Tapi ternyata, ada dua orang jurnalis yang mencoba menyentuh api dan hasilnya berbeda. Seorang jurnalis yang merasakan tangannya terbakar kemudian tanpa ragu mengamini pernyataan narasumber. Seorang lagi, karena tak merasakan tangannya terbakar, ia kembali memburu narasumber, guna mendekati “kebenaran”. Dia tak merasakan sensasi terbakar, sama seperti saat telunjuk kita menyentuh api dari lilin secara cepat.

Verivikasi empiris ternyata kemudian juga belum mendekati “kebenaran”, pasalnya metode pengujiannya berbeda-beda. Lantas paradigma positivisme kemudian berupaya membakukan metode pengujian. Jadi ketika dua jurnalis itu hendak memverivikasi apakah api membakar kulit secara empiris. Mereka bakal dipandu untuk mengujinya dengan variabel-variabel pengujian yang sama. Misalkan, dengan lilin yang sama, dan dengan kecepatan menyentuh api yang sama. Hasilnya, semakin mendekati “kebenaran”.

Parahnya, kemudian pengetahuan hasil positivisme ini kembali mengakar sebagai “rasio” tanpa tanda tanya. “Rasio” yang dibangun, tak menyertakan adanya pembatasan variabel dalam paradigma positivisme. Pada metode yang digunakan dalam studi kasus di atas, hanya menguji kebenaran “api itu membakar kulit” dengan dua variabel saja, yaitu jenis lilin dan kecepatan menyentuh api.  Padahal, jenis kulit berpengaruh. Kalau kita tambah lagi jenis kulit sebagai variabel pengujian, masih banyak lagi variabel-variabel lain, seperti suhu atau kelembapan udara. Berapa banyak variabel yang berpengaruh juga tak bisa didefinisikan, karena itu margin error juga tak terdefinisikan. Kemudian, muncul istilah “pembatasan masalah” karena keterbatasan indra manusia tuk menelaah keadaan.

Lebih parahnya lagi, semangat positivisme kemudian menjamur dan menjangkiti kehidupan sosial. Padahal, yang saya yakini bahwa setiap makhluk itu berbeda dan kehidupan sosialnya begitu kompleks. Membelenggu kekompleksan dengan batasan masalah, bisa dibilang kejahatan intelektual yang terstruktur, masif, dan sistematis. Tak ayal, menundukan keragaman dengan saintifikasi ilmu sosial menimbulkan banyak korban.

Mungkin sebagian kelompok tidak begitu ngeh, atau enggan dengan penjelasan yang bersifat filosofis. Jadi baiklah, saya berikan contoh nyatanya. Mungkin ilustrasi di bawah ini bisa membantu memahami akan adanya perbedaan metode verivikasi data.

Sumber Sama, SINDO Tulis “Ekonomi Lesu”, KOMPAS Kasih Judul “Ekonomi Membaik”, Tanya Kenapa? Sumber: http://www.posmetro.info/2016/01/sumber-sama-sindo-tulis-ekonomi-lesu.html (Jangan dibuka, bahaya!)

Di luar itu, katakanlah kita mengamini saintifikasi ilmu sosial di tengah hingar-bingar jurnalisme data dan segala jenis verivikasinya. Pemerintah misalanya, menerbitkan data masyarakat miskin yang pengolonganya didapat dengan batasan 4 variabel atau lebih, yang dipilih atau yang mampu dipikirkan. Kemudian kita mengutip data-data sensus pemerintah, yang sudah dibandingkan dengan data-data lembaga independen, hasilnya sama. Kemudian kita mengutipnya bak dewa, dengan perasaan yang begitu mendekati “kebenaran”. Katakanlah semua orang juga mengamini datanya, terverivikasi dan selesai sudah esensi jurnalismenya. Tapi ternyata dunia memang begitu beragam, coba saja tengok ilustrasi hasil visualisasi data kedua jurnalis ini.

Ilustrasi hasil visualisasi data yang sama di tangan dua jurnalis yang berbeda.
Ilustrasi hasil visualisasi data yang sama di tangan dua jurnalis yang berbeda.

Kedua ilustrasi visualisasi data diatas mengunakan data-data yang diamini bersama, tak ada yang meragukan kevalidanya, namun hasil visualisasinya berbeda. Bisa jadi hasil interpretasinya nanti juga berbeda.

 “Dan pada dasarnya memang tidak ada media yang netral. Media selalu berpihak dan memperjuangkan kepentingan tertentu. Tapi ketika ia menunjukkan kebencian dan penghakiman dengan begitu vulgar terhadap kelompok tertentu, patut kita pertanyakan kepentingan macam apa yang sedang diperjuangkan.” Wisnu Prasetya Utomo, dalam blog Pindai.

Jadi ketika kita sudah selesai dengan pekerjaan auditor (verivikasi) yang dianggap sebagai esensi jurnalisme. Lalu apa? Siapa kita? Ke mana kita? Kepentingan apa yang kita perjuangan? Bagaimana menjadi jurnalisme mahasiswa yang ideal, menjadi Inovasi atau menjadi Tegal Boto? Atau kenapa perlu keragaman yang ada disatukan dalam satu genre yang sama. Adakah yang tahu jawabanya, selain “Ntabs teori, kaget realita!” ?