Kategori
Diskusi

Laclau, Persma, dan Gerakan Sosial Baru

ERNESTO Laclau, filsuf politik post-modern itu boleh saja tersenyum dalam pusaranya. Akhir-akhir ini, rekan-rekannya di gerakan mahasiswa termutakhir tengah mengamini apa yang ia sabdakan. Gerakan sosial yang digawangi oleh mahasiswa-mahasiswa tanah air sedang berkecambah dalam partikularitas semu. Dalam sorot yang sunyi maupun hiruk, gerakan mahasiswa pelan-pelan merayap mencari momen untuk bersatu.

Apa yang publik lihat belakangan menjadi saksi atas pergeseran tersebut. Tengok saja, isu-isu besar yang digawangi dalam aksi demontrasi besar seperti diacuhkan begitu saja oleh masyarakat. Aksi-aksi yang berskala besar dan lebih mementingkan massa daripada isu lambat laun mulai dihiraukan. Gerakan massa yang sekedar mencari perhatian sesaat tak akan berumur panjang.

Beberapa waktu yang lalu, Obed Krisna dalam acara televisi Mata Najwa pernah melontarkan pendapat tentang perlunya gerakan mahasiswa berbaur dan membentuk barisan yang solid dengan masyarakat. Bagi Presiden BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) UGM ini, penting bagi mahasiswa untuk bersentuhan langsung dengan masyarakat. Karena mahasiswa adalah intermediary actor yang jadi jembatan atas terbelahnya opini dan sikap masyarakat.

Kurang lebih apa yang diucapkan oleh Obed itu selaras dengan teori gerakan sosial Ernesto Laclau. Jika Laclau memberi penekanan pada data-data dan urgensi isu dalam gerakan sosial, maka Obed mementingkan pembelajaran langsung di tengah-tengah masyarakat. Apabila gerakan mahasiswa sepenuhnya menghirup bau masyarakat, akan sangat mungkin jika isu-isu yang diangkat nantinya faktual, akurat, dan dapat memberi tekanan khusus bagi pihak terkait.

Bagi Ernesto Laclau, gerakan sosial harus cermat dalam memosisikan diri. Karena dalam perang wacana di gerakan sosial, yang terjadi sebenarnya bukan adu urat syaraf belaka, tapi juga simbol dan data-data yang diusung. Pada konteks partikularitas yang sebelumnya sempat disinggung, makna posisi menjadi sangat penting. Seperti contoh buruh yang melakukan tuntutan kenaikan upah, atau mahasiswa yang mengangkat masalah kebebasan akademik. Penguasaan materi dari basis posisinya akan menentukan keefektifan gerakan sosial.

Suatu hegemoni tertentu, dari kampus contohnya, akan merespon bentuk tekanan dengan cara-cara yang berbeda. Namun, jika pada satu kesempatan hegemoni itu menyentuh titik sensitif dalam suatu isu, fakta-fakta yang ditemukan dapat menjadi sarana untuk memperkuat posisi dalam gerakan sosial. Saat formasi sosial itu semakin kentara dalam pandangan publik, gerakan sosial dapat menggencarkan perjuangan bersama dengan penguatan isu yang perlu diperbarui setiap momen-momen advokasi.

Belakangan, disadari atau tidak, rekan-rekan di gerakan mahasiswa telah melakukan nubuat-nubuat Laclau itu. Partikularitas demi universalitas atau pemberdayaan demi kemanusiaan, menjadi acuan semangat bagi gerakan mahasiswa terkini. Di dalam gerakannya sekarang, mahasiswa tak lagi menjadi aktor tunggal. Selain karena peran dan formasi sosial dalam lingkungan, realitas medan yang kompleks membutuhkan keterlibatan banyak pihak di dalamnya.

Kasus PT RUM di Sukoharjo, kasus bandara NYIA di Kulonprogo, ataupun kasus Geothermal di Tawangmangu, dikawal oleh mahasiswa-mahasiswa yang berdomisili di wilayah tempat-tempat itu. Kesadaran kolektif yang berangkat dari kultur, identitas, sampai dengan empati terhadap masyarakat terdampak, menyuntikkan modal sosial bagi gerakan mahasiswa. Bersikap politis atau berpolitik itu kebebasan bagi tiap gerakan mahasiswa. Namun saat ini perubahan bentuk dari sekedar gerakan massa menjadi gerakan sosial baru sedang sangat diperlukan. Melihat hal itu, identitas kelompok dan lembaga perlu diltanggalkan demi kolektivitas.

Di kasus pencemaran limbah PT RUM Sukoharjo, advokasi menjadi perbincangan hangat setelah terjadi penangkapan tiga aktivis lingkungan hidup yang berkecimpung langsung di tempat kejadian perkara. Media mainstream, baik yang lokal atau pun nasional lekas berhamburan menayangkan berita-berita tersebut. Setelah berita penangkapan beredar, kasus PT RUM berekor di belakangnya. Perlahan, berkat berita-berita yang viral, kesadaran masyarakat dan formasi sosial pun mulai terbangun. Dan di luar itu, aktivisme pun masih berlanjut, meskipun diselingi dengan tekanan dari pelbagai pihak.

Saat ini, di beberapa lingkungan sengketa, kerangka kesadaran yang dicetuskan oleh Paulo Freire mampu menangkap proses tahapan yang tengah dilalui masyarakat dalam gerakan sosial baru. Biasanya pada tahapan kesadaran-naiflah mahasiswa harus dapat bergandengan bersama masyarakat menuju kebebasan esensial dari manusia. Karena pada tahap itu, biasanya masyarakat sudah paham dengan masalahnya namun gamang melihat mitra humanisasi. Maka dari itu dibutuhkan sebuah gerakan ala Laclau agar masyarakat, mahasiswa, dan agen-agen sosial lainnya dapat mencapai kesadaran kritis yang perlu diperjuangkan bersama.

Persma dan Isu Lingkungan Hidup

MEMANG, seturut Laclau, gerakan sosial baru akan melewati ketegangan tinggi yang menguji konsistensi. Sebelumnya, transformasi gerakan mahasiswa menuju gerakan sosial baru juga perlu diupayakan dengan melepas ego-ego lembaga yang terkait. Lantas dalam konteks ini, di manakah gerangan posisi pers mahasiswa? Untuk membedah itu, rasanya perlu mengingat kembali bahwa awak persma juga bagian dari jurnalis yang dibekali kode etik dan prinsip 10 elemen dasar jurnalistik.

Sayangnya dalam salah satu poin elemen jurnalistik, frase memihak pada kebenaran acap kali ditafsirkan dengan pemahaman yang tematik. Sehingga umum apabila kita mendengar banyak tuntutan yang mendorong pers mahasiswa agar mau terlibat langsung dalam gerakan sosial baru sebagai aktivis. Padahal tak semestinya pers mahasiswa ikut langsung di medan gerakan sebagai aktivis sosial. Yang diperlukan bagi awak persma adalah tetap teguh pada kaidah jurnalistik, dan konsisten melakukan kerja jurnalistik agar isu penyelewengan lingkungan hidup dapat dipotret secara berimbang dan tersampaikan secara langsung ke masyarakat.

Peran pers mahasiswa dalam isu lingkungan memang terbilang krusial. Akan tetapi tak sepantasnya jika kemudian atas dasar kemanusiaan, awak pers mahasiswa melepaskan atribut persma lalu bergabung dengan jaringan kolektif. Ataupun memakai baju persma dan menayangkan konten yang agitatif. Karena untuk mencapai kesadaran kritis ala Freire, media juga berperan langsung sebagai penyedia gagasan yang proporsional. Apabila teman-teman persma harus terjun langsung dan meihat kondisi dari lapangan, cukuplah prinsip dasar jurnalitstik dipegang kukuh, karena itu sudah mencakup dari apa yang disebut dengan sikap kemanusiaan.

Dalam gerakan mengawal isu lingkungan hidup, tak sedikit pergulatan wacana politik praktis yang terapung di medan konflik. Jika memang perlu berkecimpung di arena konflik, ada baiknya pers mahasiswa benar-benar menjaga netraltas politik dengan sikap independensi yang tegas. Karena kata-kata Laclau ada benarnya juga, dalam gerakan sosial baru, akan ditemukan sebuah antagonisme sosial. Di ruang pertarungan wacana era post-indutrial, musuh besar akan menghadang isu yang tampak kerdil namun mengancam eksistensi. Merujuk hal ini, pers mahasiswa sebaiknya benar-benar menjaga independensi. Karya jurnalistik merupakan garis tegas bagi awak persma, lantaran ia menyediakan banyak ruang bersikap tanpa harus melibas idealisme dan independensi.

Persma di era gerakan sosial baru seperti sekarang ini, baiknya dapat tumbuh dan menjadi saksi atas apa yang menimpa masyarakat. Pers dan jurnalis, terutama dari komunitas akademik seperti kampus, memiliki posisi tersendiri dalam diskursus gerakan sosial. Keterlibatan memang perlu, namun itu dengan catatan, tetap melakukan kerja sesuai dengan ranahnya. Keterlibatan yang dimaksud adalah keterlibatan yang tampaknya terpisah dari luar, dan sebenarnya dari dalam memiliki rasa dan karsa yang selaras. Karena sejatinya inilah yang sebenarnya diharapkan dari Laclau, inti dari partikularitas menjadi fungsi bagi universalitas.

Kategori
Siaran Pers

PPMI DK Yogyakarta: Polisi Adalah Provokator

Sejak tahun 2012, warga di enam desa Kecamatan Temon, Kulon Progo yang kini tergabung dalam Paguyuban Warga Penolak Penggusuran Kulon Progo (PWPP-KP) terus menolak pembangunan bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA). Penolakan terhadap perampasan ruang hidup ini kemudian memancing sikap dan gerakan solidaritas dari mahasiswa dan masyarakat umum.

Senin, 4 Desember 2017, ada kurang lebih 250 anggota jaringan solidaritas telah berkumpul di Masjid Al Hidayah, Desa Palihan Temon, bersama-sama PWPP-KP melakukan doa bersama dan demonstrasi penolakan secara damai. Tercatat, selain jurnalis media besar, ada pula beberapa jurnalis pers mahasiswa yang mendokumentasikannya.

Keesokan hari, pengepungan dan penyergapan dilakukan pihak kepolisian terhadap warga dan jaringan solidaritas. Jurnalis-jurnalis pers mahasiswa dari berbagai universitas yang meliput kejadian pun mendapat perlakuan biadab dari kepolisian.

Selasa, 5 Desember 2017, A.S. Rimbawana dan Imam Ghozali dari Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Ekspresi Universitas Negeri Yogyakarta dan Fahri Hilmi dari LPM Rhetor Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta menjadi korban penganiayaan dan penangkapan oleh polisi.

Pagi sekitar pukul 09.00 WIB, Rimbawana sampai di depan Masjid Al Hidayah, tempat yang dijadikan posko jaringan solidaritas. Melihat polisi dan aparat keamanan lainnya mengerubungi rumah Fajar Ahmadi dan Hermanto, Rimba langsung mengeluarkan gawainya untuk merekam. Bersama Imam Ghazali dan Sulthoni Ad-dzulqornain (anggota magang LPM Ekspresi), mereka hendak meliput penolakan warga PWPP-KP. Ada pula Fahri dari LPM Rhetor yang meliput kejadian pada hari tersebut.

Sekitar pukul 10.20 WIB, Rimbawana masih mendokumentasikan pengepungan dan penyergapan yang dilakukan oleh polisi hingga ke belakang rumah Fajar. Di tempat itu, ia melihat Sulthoni terpojok. Ditengah kejadian dorong-dorongan, Rimba berupaya membantu Sulthoni untuk keluar dari kerumunan, tapi ia malah ditendang jatuh oleh salah satu polisi.

“Aku jurnalis woi!” teriak Rimba ketika puluhan polisi menendang tubuhnya. “Rambut saya dijambak hingga rontok. Dada dan perut saya diinjak-injak, punggung saya juga tergores batu-batu bekas rumah yang digusur,” tambah pria yang kerap dipanggil Rimba.

Imam mendokumentasikan kekerasan yang dialami Rimba. Ia juga memanggil Sulthoni untuk menyingkir dari lokasi kejadian. Di depan kandang sapi itu pula, tempat Rimba mengalami kekerasan, Imam melihat dua puluh lima polisi melakukan pengeroyokan pada lima anggota jaringan solidaritas.

Sepanjang 30 meter jauhnya Rimba diseret, dijambak, dan kedua tangan dan kakinya dibawa layaknya binatang oleh polisi berbaju sipil. Dalam kondisi itu, Rimba sesekali mengumpat dan berkata bahwa dirinya adalah jurnalis pers mahasiswa, tapi tak ada respon sama sekali dari polisi. “Saya digotong [dari kandang sapi-Red] sampai belakang Masjid Al Hidayah, lalu diseret lagi sampai Jalan Daendels,” kata Rimba ketika dihubungi pada Rabu, 6 Desember 2017.

Tak mudah bagi Imam untuk merekam aksi yang tidak manusiawi itu. Ia selalu dihalang-halangi oleh polisi berbaju sipil. Kamera Imam sempat dipukul oleh polisi berbaju sipil tersebut. Ada pula upaya perebutan kamera dari tangan Imam. Dalam perebutan itu, Imam menyatakan bahwa ia adalah jurnalis, tapi polisi tetap melakukan intimidasi, persis seperti yang dialami oleh Rimba dan Fahri. Beruntung, kamera masih bisa diselamatkan.

Fahri juga merekam kekerasan yang diterima oleh Rimba dengan gawai yang dipinjamnya dari salah seorang kawan jaringan solidaritas. Ia merekam dari jarak dekat. “Aku rekam Rimba dijambak, meronta-ronta berkata bahwa ia adalah jurnalis persma.”

Setelah Rimba digelandang ke kantor PT. Pembangunan Perumahan, Fahri kemudian merekam ekskavator yang sedang mengeruk tanah di depan Masjid Al Hidayah. Di sana juga terlihat Dedi Suryadarma, Wakil Kepala Polisi Resort Kulon Progo. “Aku rekam wajahnya. Aku berniat membingkai begini, ketika jaringan solidaritas dan warga penolak bandara dipukuli, kenapa Wakapolres Dedi hanya diam,” jelas Fahri pada Jumat, 8 Desember 2017.

Kemudian Dedi menunjuk Fahri dan bertanya, “Kamu siapa?”, Fahri menunjukkan kartu pers mahasiswanya, “pers mana?”, “Pers mahasiswa.”, “apa nama medianya?” tanya Dedi lagi. “Ya media mahasiswa, pak,” jawab Fahri. “Kampus mana?”, “Kampus UIN.”,”tanda pengenalnya [Kartu Tanda Mahasiswa-Red] mana?” bentak Dedi, “Ya ini,” jawab Fahri sambil menunjuk kartu persnya lagi. Kegiatan Fahri di Kulon Progo adalah membuat berita, sebab itu Fahri sengaja tak menunjukkan identitas lain selain kartu persnya.

Kepala Polisi Sektor Temon, Setyo Hery Purnomo yang juga berada di lokasi menyeru pada anggotanya, “Amankan Mahasiswa yang tidak beridentitas! Bubarkan, [menjadi-Red] relawan adalah tindakan ilegal karena tak berizin.” Imam yang berada di depan Hery juga menerima perlakuan seperti Fahri. “Mana identitasmu?” tanya Hery, “Saya wartawan, pak,” jawab Imam sambil menunjukkan kartu pers. “Wartawan mana?”, “Wartawan kampus“. “Angkut!” Perintah Hery. Imam digelandang ke PT. Pembangunan Perumahan mengikuti Rimba.

Dedi kemudian menyuruh polisi berbaju sipil membawa jurnalis pers mahasiswa LPM Rhetor itu ke kantor PT. Pembangunan Perumahan. Melihat Fahri membawa gawai, beberapa Polwan berusaha merebut dari tangannya. Dan pada akhirnya, dokumentasi Fahri itu dihapus oleh polisi yang merebut gawai tersebut secara paksa.

Di dalam kantor PT. Pembangunan Perusahaan, Rimba, Imam, Fahri beserta kesembilan anggota jaringan solidaritas lainnya yang ditangkap mendapat perlakuan kurang menyenangkan. Mereka dibentak-bentak, dan juga dirundung. “Saya sudah jelasin pers, pers mahasiswa, tak tahu apa polisi memang tak tahu atau pura-pura tak tahu. Kata salah satu dari mereka, mahasiswa tak bisa jadi pers,” ungkap Fahri.

Setelah ditangkap, Fahri menceritakan bahwa kartu pers kampusnya disita oleh salah satu aparat kepolisian. Ia dianggap bukan jurnalis pers mahasiswa, tapi provokator.

Label yang salah kaprah itu diamini oleh petinggi Polres Kulon Progo. Wakapolres Kulon Progo Dedi Suryadarma yang kami kutip dari berita CNN tanggal 5 Desember 2017 menyatakan, “Tadi kami minta Kartu Tanda Mahasiswa (KTM), tapi nggak punya KTM mereka. Jadi mereka tidak punya Kartu Mahasiswa, tapi tadi menggunakan kartu pers tapi menyerupai mahasiswa. Mereka memprovokasi warga agar tidak mau diungsikan,” jelas Dedi.

Intimidasi itu berlanjut ketika kedua belas anggota jaringan solidaritas dan rekan-rekan pers mahasiswa hendak dibawa ke Polres Kulon Progo. Selain tindak kekerasan, Fahri menjelaskan, “Saya sempat ditarik dan didorong-dorong serta dibentak-bentak oleh aparat ketika dibawa ke truk.”

Pada hari yang sama, selain menangkap tiga jurnalis pers mahasiswa, aparat kepolisian juga menangkap sembilan anggota jaringan solidaritas penolak bandara NYIA. Anggota solidaritas yang ditangkap antara lain: Andrew (Anti-Tank, Seniman), Muslih (FNKSDA), Kafabi (mahasiswa UIN), Rifai (Mahasiswa Universitas Mercubuana), Wahyu (Mahasiswa UIN), Samsul dan Candra (LFSY), Mamat (Mahasiswa UIN), Yogi (Mahasiswa UNS).

Pada pukul 16.00 sore, anggota jaringan solidaritas lainnya juga ditangkap. Menambah jumlah yang tertangkap menjadi 15 orang. Tiga orang yang tercatat sebagai mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta: Khoirul Muttakim, Abdul Majid Zaelani, dan Syarif Hidayat dibawa ke Polres Kulon Progo.

Di Polres Kulon Progo, selain menggebuk Muslih, polisi juga merampas gawai anggota jaringan solidaritas, termasuk kamera Imam. Hasilnya, data liputan Imam pertanggal 4-5 Desember lenyap tak tersisa. Pukul 22.00 malam, anggota jaringan solidaritas dan rekan-rekan pers mahasiswa didampingi pengacara PWPP-KP, dibebaskan.

Pengakuan Irfan Rifai selaku Kapolres Kulon Progo pada media bahwa aparat tidak menggunakan aksi kekerasan adalah bohong belaka. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dalam rilisnya menyatakan bahwa penyerangan yang terjadi pada 5 Desember 2017, di Desa Palihan dan Desa Glagah, Temon, Kulon Progo adalah pelanggaran hukum dan dan hak asasi manusia. KontraS menyebut bahwa aparat kepolisian telah melakukan penganiayaan dan dapat diancam oleh Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tentang Penganiayaan.

Akibat penganiayaan yang diterima, Rimba mengalami luka-luka di beberapa bagian tubuh: lengan kiri, tumit kanan, kaki kiri, punggung dan kepala. “Semuanya sakit dan meninggalkan memar biru,” sebut Rimba.

Dalih kepolisian ketika menangkap anggota-anggota jaringan solidaritas dan rekan-rekan pers mahasiswa karena dianggap memprovokasi warga dan tak berizin adalah alasan yang dibuat-buat. Sebaliknya, aksi kekerasan yang dilakukan polisi itulah yang menjadi bagian upaya provokasi.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta dalam rilisnya menyatakan kegiatan pers mahasiswa dalam memperoleh dan menyebarkan informasi adalah bagian dari kebebasan berekspresi. Kebebasan itu dilindungi melalui pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB dan Pasal 28-F Undang-Undang Dasar 1945. Setiap orang bebas berpendapat, menganut pendapat tanpa gangguan, mencari dan menyampaikan informasi.

Aktivitas pers mahasiswa dalam mencari, mengelola, dan menyampaikan informasi juga lekat dengan kerja jurnalistik. Dan, kebebasan pers hanya omong kosong tanpa ada kebebasan berekspresi.

Kami tentu mengecam segala bentuk represivitas, intimidasi dan perbuatan menghalang-halangi peliputan yang dilakukan oleh kepolisian pada Jurnalis Pers Mahasiswa.

Bertolak dari kondisi di atas, Perhimpunan Pers Mahasiswa Dewan Kota Yogyakarta (PPMI DK YOGYAKARTA) menuntut kepolisian:

  1. Usut tuntas pelaku kekerasan dan penganiayaan terhadap warga, anggota jaringan solidaritas dan jurnalis pers mahasiswa.
  2. Hukum anggota polisi yang bertindak sewenang-wenang dan menghalangi-halangi peliputan jurnalis pers mahasiswa.
  3. Menolak segala bentuk kekerasan dan perbuatan tak manusiawi dalam penyelesaian konflik pembangunan NYIA dan segala upaya perenggutan ruang hidup masyarakat.

 

 

Narahubung:

Rahmat Ali (Sekjen PPMI DK Yogyakarta, 085225112626)
Arci Arfian (Litbang PPMI DK Yogyakarta, 085877994003)