Laclau, Persma, dan Gerakan Sosial Baru

0
955
Foto: Setya Adhi W/ LPM Pabelan

ERNESTO Laclau, filsuf politik post-modern itu boleh saja tersenyum dalam pusaranya. Akhir-akhir ini, rekan-rekannya di gerakan mahasiswa termutakhir tengah mengamini apa yang ia sabdakan. Gerakan sosial yang digawangi oleh mahasiswa-mahasiswa tanah air sedang berkecambah dalam partikularitas semu. Dalam sorot yang sunyi maupun hiruk, gerakan mahasiswa pelan-pelan merayap mencari momen untuk bersatu.

Apa yang publik lihat belakangan menjadi saksi atas pergeseran tersebut. Tengok saja, isu-isu besar yang digawangi dalam aksi demontrasi besar seperti diacuhkan begitu saja oleh masyarakat. Aksi-aksi yang berskala besar dan lebih mementingkan massa daripada isu lambat laun mulai dihiraukan. Gerakan massa yang sekedar mencari perhatian sesaat tak akan berumur panjang.

Beberapa waktu yang lalu, Obed Krisna dalam acara televisi Mata Najwa pernah melontarkan pendapat tentang perlunya gerakan mahasiswa berbaur dan membentuk barisan yang solid dengan masyarakat. Bagi Presiden BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) UGM ini, penting bagi mahasiswa untuk bersentuhan langsung dengan masyarakat. Karena mahasiswa adalah intermediary actor yang jadi jembatan atas terbelahnya opini dan sikap masyarakat.

Kurang lebih apa yang diucapkan oleh Obed itu selaras dengan teori gerakan sosial Ernesto Laclau. Jika Laclau memberi penekanan pada data-data dan urgensi isu dalam gerakan sosial, maka Obed mementingkan pembelajaran langsung di tengah-tengah masyarakat. Apabila gerakan mahasiswa sepenuhnya menghirup bau masyarakat, akan sangat mungkin jika isu-isu yang diangkat nantinya faktual, akurat, dan dapat memberi tekanan khusus bagi pihak terkait.

Bagi Ernesto Laclau, gerakan sosial harus cermat dalam memosisikan diri. Karena dalam perang wacana di gerakan sosial, yang terjadi sebenarnya bukan adu urat syaraf belaka, tapi juga simbol dan data-data yang diusung. Pada konteks partikularitas yang sebelumnya sempat disinggung, makna posisi menjadi sangat penting. Seperti contoh buruh yang melakukan tuntutan kenaikan upah, atau mahasiswa yang mengangkat masalah kebebasan akademik. Penguasaan materi dari basis posisinya akan menentukan keefektifan gerakan sosial.

Suatu hegemoni tertentu, dari kampus contohnya, akan merespon bentuk tekanan dengan cara-cara yang berbeda. Namun, jika pada satu kesempatan hegemoni itu menyentuh titik sensitif dalam suatu isu, fakta-fakta yang ditemukan dapat menjadi sarana untuk memperkuat posisi dalam gerakan sosial. Saat formasi sosial itu semakin kentara dalam pandangan publik, gerakan sosial dapat menggencarkan perjuangan bersama dengan penguatan isu yang perlu diperbarui setiap momen-momen advokasi.

Belakangan, disadari atau tidak, rekan-rekan di gerakan mahasiswa telah melakukan nubuat-nubuat Laclau itu. Partikularitas demi universalitas atau pemberdayaan demi kemanusiaan, menjadi acuan semangat bagi gerakan mahasiswa terkini. Di dalam gerakannya sekarang, mahasiswa tak lagi menjadi aktor tunggal. Selain karena peran dan formasi sosial dalam lingkungan, realitas medan yang kompleks membutuhkan keterlibatan banyak pihak di dalamnya.

Kasus PT RUM di Sukoharjo, kasus bandara NYIA di Kulonprogo, ataupun kasus Geothermal di Tawangmangu, dikawal oleh mahasiswa-mahasiswa yang berdomisili di wilayah tempat-tempat itu. Kesadaran kolektif yang berangkat dari kultur, identitas, sampai dengan empati terhadap masyarakat terdampak, menyuntikkan modal sosial bagi gerakan mahasiswa. Bersikap politis atau berpolitik itu kebebasan bagi tiap gerakan mahasiswa. Namun saat ini perubahan bentuk dari sekedar gerakan massa menjadi gerakan sosial baru sedang sangat diperlukan. Melihat hal itu, identitas kelompok dan lembaga perlu diltanggalkan demi kolektivitas.

Di kasus pencemaran limbah PT RUM Sukoharjo, advokasi menjadi perbincangan hangat setelah terjadi penangkapan tiga aktivis lingkungan hidup yang berkecimpung langsung di tempat kejadian perkara. Media mainstream, baik yang lokal atau pun nasional lekas berhamburan menayangkan berita-berita tersebut. Setelah berita penangkapan beredar, kasus PT RUM berekor di belakangnya. Perlahan, berkat berita-berita yang viral, kesadaran masyarakat dan formasi sosial pun mulai terbangun. Dan di luar itu, aktivisme pun masih berlanjut, meskipun diselingi dengan tekanan dari pelbagai pihak.

Saat ini, di beberapa lingkungan sengketa, kerangka kesadaran yang dicetuskan oleh Paulo Freire mampu menangkap proses tahapan yang tengah dilalui masyarakat dalam gerakan sosial baru. Biasanya pada tahapan kesadaran-naiflah mahasiswa harus dapat bergandengan bersama masyarakat menuju kebebasan esensial dari manusia. Karena pada tahap itu, biasanya masyarakat sudah paham dengan masalahnya namun gamang melihat mitra humanisasi. Maka dari itu dibutuhkan sebuah gerakan ala Laclau agar masyarakat, mahasiswa, dan agen-agen sosial lainnya dapat mencapai kesadaran kritis yang perlu diperjuangkan bersama.

Persma dan Isu Lingkungan Hidup

MEMANG, seturut Laclau, gerakan sosial baru akan melewati ketegangan tinggi yang menguji konsistensi. Sebelumnya, transformasi gerakan mahasiswa menuju gerakan sosial baru juga perlu diupayakan dengan melepas ego-ego lembaga yang terkait. Lantas dalam konteks ini, di manakah gerangan posisi pers mahasiswa? Untuk membedah itu, rasanya perlu mengingat kembali bahwa awak persma juga bagian dari jurnalis yang dibekali kode etik dan prinsip 10 elemen dasar jurnalistik.

Sayangnya dalam salah satu poin elemen jurnalistik, frase memihak pada kebenaran acap kali ditafsirkan dengan pemahaman yang tematik. Sehingga umum apabila kita mendengar banyak tuntutan yang mendorong pers mahasiswa agar mau terlibat langsung dalam gerakan sosial baru sebagai aktivis. Padahal tak semestinya pers mahasiswa ikut langsung di medan gerakan sebagai aktivis sosial. Yang diperlukan bagi awak persma adalah tetap teguh pada kaidah jurnalistik, dan konsisten melakukan kerja jurnalistik agar isu penyelewengan lingkungan hidup dapat dipotret secara berimbang dan tersampaikan secara langsung ke masyarakat.

Peran pers mahasiswa dalam isu lingkungan memang terbilang krusial. Akan tetapi tak sepantasnya jika kemudian atas dasar kemanusiaan, awak pers mahasiswa melepaskan atribut persma lalu bergabung dengan jaringan kolektif. Ataupun memakai baju persma dan menayangkan konten yang agitatif. Karena untuk mencapai kesadaran kritis ala Freire, media juga berperan langsung sebagai penyedia gagasan yang proporsional. Apabila teman-teman persma harus terjun langsung dan meihat kondisi dari lapangan, cukuplah prinsip dasar jurnalitstik dipegang kukuh, karena itu sudah mencakup dari apa yang disebut dengan sikap kemanusiaan.

Dalam gerakan mengawal isu lingkungan hidup, tak sedikit pergulatan wacana politik praktis yang terapung di medan konflik. Jika memang perlu berkecimpung di arena konflik, ada baiknya pers mahasiswa benar-benar menjaga netraltas politik dengan sikap independensi yang tegas. Karena kata-kata Laclau ada benarnya juga, dalam gerakan sosial baru, akan ditemukan sebuah antagonisme sosial. Di ruang pertarungan wacana era post-indutrial, musuh besar akan menghadang isu yang tampak kerdil namun mengancam eksistensi. Merujuk hal ini, pers mahasiswa sebaiknya benar-benar menjaga independensi. Karya jurnalistik merupakan garis tegas bagi awak persma, lantaran ia menyediakan banyak ruang bersikap tanpa harus melibas idealisme dan independensi.

Persma di era gerakan sosial baru seperti sekarang ini, baiknya dapat tumbuh dan menjadi saksi atas apa yang menimpa masyarakat. Pers dan jurnalis, terutama dari komunitas akademik seperti kampus, memiliki posisi tersendiri dalam diskursus gerakan sosial. Keterlibatan memang perlu, namun itu dengan catatan, tetap melakukan kerja sesuai dengan ranahnya. Keterlibatan yang dimaksud adalah keterlibatan yang tampaknya terpisah dari luar, dan sebenarnya dari dalam memiliki rasa dan karsa yang selaras. Karena sejatinya inilah yang sebenarnya diharapkan dari Laclau, inti dari partikularitas menjadi fungsi bagi universalitas.