Kategori
Siaran Pers

PPMI DK Yogyakarta: Polisi Adalah Provokator

Sejak tahun 2012, warga di enam desa Kecamatan Temon, Kulon Progo yang kini tergabung dalam Paguyuban Warga Penolak Penggusuran Kulon Progo (PWPP-KP) terus menolak pembangunan bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA). Penolakan terhadap perampasan ruang hidup ini kemudian memancing sikap dan gerakan solidaritas dari mahasiswa dan masyarakat umum.

Senin, 4 Desember 2017, ada kurang lebih 250 anggota jaringan solidaritas telah berkumpul di Masjid Al Hidayah, Desa Palihan Temon, bersama-sama PWPP-KP melakukan doa bersama dan demonstrasi penolakan secara damai. Tercatat, selain jurnalis media besar, ada pula beberapa jurnalis pers mahasiswa yang mendokumentasikannya.

Keesokan hari, pengepungan dan penyergapan dilakukan pihak kepolisian terhadap warga dan jaringan solidaritas. Jurnalis-jurnalis pers mahasiswa dari berbagai universitas yang meliput kejadian pun mendapat perlakuan biadab dari kepolisian.

Selasa, 5 Desember 2017, A.S. Rimbawana dan Imam Ghozali dari Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Ekspresi Universitas Negeri Yogyakarta dan Fahri Hilmi dari LPM Rhetor Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta menjadi korban penganiayaan dan penangkapan oleh polisi.

Pagi sekitar pukul 09.00 WIB, Rimbawana sampai di depan Masjid Al Hidayah, tempat yang dijadikan posko jaringan solidaritas. Melihat polisi dan aparat keamanan lainnya mengerubungi rumah Fajar Ahmadi dan Hermanto, Rimba langsung mengeluarkan gawainya untuk merekam. Bersama Imam Ghazali dan Sulthoni Ad-dzulqornain (anggota magang LPM Ekspresi), mereka hendak meliput penolakan warga PWPP-KP. Ada pula Fahri dari LPM Rhetor yang meliput kejadian pada hari tersebut.

Sekitar pukul 10.20 WIB, Rimbawana masih mendokumentasikan pengepungan dan penyergapan yang dilakukan oleh polisi hingga ke belakang rumah Fajar. Di tempat itu, ia melihat Sulthoni terpojok. Ditengah kejadian dorong-dorongan, Rimba berupaya membantu Sulthoni untuk keluar dari kerumunan, tapi ia malah ditendang jatuh oleh salah satu polisi.

“Aku jurnalis woi!” teriak Rimba ketika puluhan polisi menendang tubuhnya. “Rambut saya dijambak hingga rontok. Dada dan perut saya diinjak-injak, punggung saya juga tergores batu-batu bekas rumah yang digusur,” tambah pria yang kerap dipanggil Rimba.

Imam mendokumentasikan kekerasan yang dialami Rimba. Ia juga memanggil Sulthoni untuk menyingkir dari lokasi kejadian. Di depan kandang sapi itu pula, tempat Rimba mengalami kekerasan, Imam melihat dua puluh lima polisi melakukan pengeroyokan pada lima anggota jaringan solidaritas.

Sepanjang 30 meter jauhnya Rimba diseret, dijambak, dan kedua tangan dan kakinya dibawa layaknya binatang oleh polisi berbaju sipil. Dalam kondisi itu, Rimba sesekali mengumpat dan berkata bahwa dirinya adalah jurnalis pers mahasiswa, tapi tak ada respon sama sekali dari polisi. “Saya digotong [dari kandang sapi-Red] sampai belakang Masjid Al Hidayah, lalu diseret lagi sampai Jalan Daendels,” kata Rimba ketika dihubungi pada Rabu, 6 Desember 2017.

Tak mudah bagi Imam untuk merekam aksi yang tidak manusiawi itu. Ia selalu dihalang-halangi oleh polisi berbaju sipil. Kamera Imam sempat dipukul oleh polisi berbaju sipil tersebut. Ada pula upaya perebutan kamera dari tangan Imam. Dalam perebutan itu, Imam menyatakan bahwa ia adalah jurnalis, tapi polisi tetap melakukan intimidasi, persis seperti yang dialami oleh Rimba dan Fahri. Beruntung, kamera masih bisa diselamatkan.

Fahri juga merekam kekerasan yang diterima oleh Rimba dengan gawai yang dipinjamnya dari salah seorang kawan jaringan solidaritas. Ia merekam dari jarak dekat. “Aku rekam Rimba dijambak, meronta-ronta berkata bahwa ia adalah jurnalis persma.”

Setelah Rimba digelandang ke kantor PT. Pembangunan Perumahan, Fahri kemudian merekam ekskavator yang sedang mengeruk tanah di depan Masjid Al Hidayah. Di sana juga terlihat Dedi Suryadarma, Wakil Kepala Polisi Resort Kulon Progo. “Aku rekam wajahnya. Aku berniat membingkai begini, ketika jaringan solidaritas dan warga penolak bandara dipukuli, kenapa Wakapolres Dedi hanya diam,” jelas Fahri pada Jumat, 8 Desember 2017.

Kemudian Dedi menunjuk Fahri dan bertanya, “Kamu siapa?”, Fahri menunjukkan kartu pers mahasiswanya, “pers mana?”, “Pers mahasiswa.”, “apa nama medianya?” tanya Dedi lagi. “Ya media mahasiswa, pak,” jawab Fahri. “Kampus mana?”, “Kampus UIN.”,”tanda pengenalnya [Kartu Tanda Mahasiswa-Red] mana?” bentak Dedi, “Ya ini,” jawab Fahri sambil menunjuk kartu persnya lagi. Kegiatan Fahri di Kulon Progo adalah membuat berita, sebab itu Fahri sengaja tak menunjukkan identitas lain selain kartu persnya.

Kepala Polisi Sektor Temon, Setyo Hery Purnomo yang juga berada di lokasi menyeru pada anggotanya, “Amankan Mahasiswa yang tidak beridentitas! Bubarkan, [menjadi-Red] relawan adalah tindakan ilegal karena tak berizin.” Imam yang berada di depan Hery juga menerima perlakuan seperti Fahri. “Mana identitasmu?” tanya Hery, “Saya wartawan, pak,” jawab Imam sambil menunjukkan kartu pers. “Wartawan mana?”, “Wartawan kampus“. “Angkut!” Perintah Hery. Imam digelandang ke PT. Pembangunan Perumahan mengikuti Rimba.

Dedi kemudian menyuruh polisi berbaju sipil membawa jurnalis pers mahasiswa LPM Rhetor itu ke kantor PT. Pembangunan Perumahan. Melihat Fahri membawa gawai, beberapa Polwan berusaha merebut dari tangannya. Dan pada akhirnya, dokumentasi Fahri itu dihapus oleh polisi yang merebut gawai tersebut secara paksa.

Di dalam kantor PT. Pembangunan Perusahaan, Rimba, Imam, Fahri beserta kesembilan anggota jaringan solidaritas lainnya yang ditangkap mendapat perlakuan kurang menyenangkan. Mereka dibentak-bentak, dan juga dirundung. “Saya sudah jelasin pers, pers mahasiswa, tak tahu apa polisi memang tak tahu atau pura-pura tak tahu. Kata salah satu dari mereka, mahasiswa tak bisa jadi pers,” ungkap Fahri.

Setelah ditangkap, Fahri menceritakan bahwa kartu pers kampusnya disita oleh salah satu aparat kepolisian. Ia dianggap bukan jurnalis pers mahasiswa, tapi provokator.

Label yang salah kaprah itu diamini oleh petinggi Polres Kulon Progo. Wakapolres Kulon Progo Dedi Suryadarma yang kami kutip dari berita CNN tanggal 5 Desember 2017 menyatakan, “Tadi kami minta Kartu Tanda Mahasiswa (KTM), tapi nggak punya KTM mereka. Jadi mereka tidak punya Kartu Mahasiswa, tapi tadi menggunakan kartu pers tapi menyerupai mahasiswa. Mereka memprovokasi warga agar tidak mau diungsikan,” jelas Dedi.

Intimidasi itu berlanjut ketika kedua belas anggota jaringan solidaritas dan rekan-rekan pers mahasiswa hendak dibawa ke Polres Kulon Progo. Selain tindak kekerasan, Fahri menjelaskan, “Saya sempat ditarik dan didorong-dorong serta dibentak-bentak oleh aparat ketika dibawa ke truk.”

Pada hari yang sama, selain menangkap tiga jurnalis pers mahasiswa, aparat kepolisian juga menangkap sembilan anggota jaringan solidaritas penolak bandara NYIA. Anggota solidaritas yang ditangkap antara lain: Andrew (Anti-Tank, Seniman), Muslih (FNKSDA), Kafabi (mahasiswa UIN), Rifai (Mahasiswa Universitas Mercubuana), Wahyu (Mahasiswa UIN), Samsul dan Candra (LFSY), Mamat (Mahasiswa UIN), Yogi (Mahasiswa UNS).

Pada pukul 16.00 sore, anggota jaringan solidaritas lainnya juga ditangkap. Menambah jumlah yang tertangkap menjadi 15 orang. Tiga orang yang tercatat sebagai mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta: Khoirul Muttakim, Abdul Majid Zaelani, dan Syarif Hidayat dibawa ke Polres Kulon Progo.

Di Polres Kulon Progo, selain menggebuk Muslih, polisi juga merampas gawai anggota jaringan solidaritas, termasuk kamera Imam. Hasilnya, data liputan Imam pertanggal 4-5 Desember lenyap tak tersisa. Pukul 22.00 malam, anggota jaringan solidaritas dan rekan-rekan pers mahasiswa didampingi pengacara PWPP-KP, dibebaskan.

Pengakuan Irfan Rifai selaku Kapolres Kulon Progo pada media bahwa aparat tidak menggunakan aksi kekerasan adalah bohong belaka. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dalam rilisnya menyatakan bahwa penyerangan yang terjadi pada 5 Desember 2017, di Desa Palihan dan Desa Glagah, Temon, Kulon Progo adalah pelanggaran hukum dan dan hak asasi manusia. KontraS menyebut bahwa aparat kepolisian telah melakukan penganiayaan dan dapat diancam oleh Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tentang Penganiayaan.

Akibat penganiayaan yang diterima, Rimba mengalami luka-luka di beberapa bagian tubuh: lengan kiri, tumit kanan, kaki kiri, punggung dan kepala. “Semuanya sakit dan meninggalkan memar biru,” sebut Rimba.

Dalih kepolisian ketika menangkap anggota-anggota jaringan solidaritas dan rekan-rekan pers mahasiswa karena dianggap memprovokasi warga dan tak berizin adalah alasan yang dibuat-buat. Sebaliknya, aksi kekerasan yang dilakukan polisi itulah yang menjadi bagian upaya provokasi.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta dalam rilisnya menyatakan kegiatan pers mahasiswa dalam memperoleh dan menyebarkan informasi adalah bagian dari kebebasan berekspresi. Kebebasan itu dilindungi melalui pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB dan Pasal 28-F Undang-Undang Dasar 1945. Setiap orang bebas berpendapat, menganut pendapat tanpa gangguan, mencari dan menyampaikan informasi.

Aktivitas pers mahasiswa dalam mencari, mengelola, dan menyampaikan informasi juga lekat dengan kerja jurnalistik. Dan, kebebasan pers hanya omong kosong tanpa ada kebebasan berekspresi.

Kami tentu mengecam segala bentuk represivitas, intimidasi dan perbuatan menghalang-halangi peliputan yang dilakukan oleh kepolisian pada Jurnalis Pers Mahasiswa.

Bertolak dari kondisi di atas, Perhimpunan Pers Mahasiswa Dewan Kota Yogyakarta (PPMI DK YOGYAKARTA) menuntut kepolisian:

  1. Usut tuntas pelaku kekerasan dan penganiayaan terhadap warga, anggota jaringan solidaritas dan jurnalis pers mahasiswa.
  2. Hukum anggota polisi yang bertindak sewenang-wenang dan menghalangi-halangi peliputan jurnalis pers mahasiswa.
  3. Menolak segala bentuk kekerasan dan perbuatan tak manusiawi dalam penyelesaian konflik pembangunan NYIA dan segala upaya perenggutan ruang hidup masyarakat.

 

 

Narahubung:

Rahmat Ali (Sekjen PPMI DK Yogyakarta, 085225112626)
Arci Arfian (Litbang PPMI DK Yogyakarta, 085877994003)

Kategori
Siaran Pers

PPMI Mengecam Tindakan Represif Kepolisian terhadap Relawan Solidaritas dan Warga Penolak NYIA di Kulon Progo

Kabar duka kembali menyelimuti wajah demokrasi Indonesia. Warga dan anggota jaringan solidaritas anti penggusuran; yang  di dalamnya bergabung juga rekan-rekan pers mahasiswa mendapat perlakuan sewenang-wenang dari aparat kepolisian kemarin pagi (5/12/2017).

Dengan dalih tak berizin dan kegiatan solidaritas adalah bentuk provokasi, sekitar pukul 10.00 WIB, aparat mendatangi warga dan meminta seluruh jaringan solidaritas  keluar dari rumah. Karena tak berhasil, beberapa saat kemudian, aparat kembali datang bersama aparat desa dan meminta identitas anggota jaringan solidaritas.

Sekitar pukul 10.30 WIB, sempat terjadi saling dorong antara aparat, warga, dan jaringan solidaritas yang berujung pada penangkapan 12 orang relawan jaringan solidaritas dan mahasiswa yang dibawa ke kantor PT. Pembangunan Perumahan dan akhirnya ditahan di markas Polres Kulon Progo. Mereka adalah Andre; Imam dan Rimba (UNY); Muslih (FKNSDA), Rifai (Univ. Mercubuana); Mamat, Kafabi, Wahyu, dan Fahri (UIN Sunan Kalijaga); Samsul dan Chandra (LFSY); dan Yogi (UNS).  Pada sore harinya, aparat kepolisian kembali menangkap tiga orang mahasiswa UIN Sunan Kalijaga atas nama Khoirul Muttakim, Abdul Majid Zaelani, dan Syarif Hidayat yang dipindahkan dari Polsek Wates ke Polres Kulon Progo. Sehingga total yang diperiksa kepolisian berjumlah 15 orang.

Berdasarkan rilis Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta, selain 15 relawan tersebut, tiga warga terluka (Fajar, Agus, dan Hermanto) akibat diseret aparat dan terkena lemparan batu.

Rekan-rekan pers mahasiswa yang sedang melakukan peliputan dan berkumpul bersama jaringan solidaritas juga mendapat kekerasan fisik dari kepolisian. Hal tidak menyenangkan tersebut telah menimpa A.S. Rimba dan Imam Ghozali dari LPM Ekspresi UNY, serta Fahri dari LPM Rethor UIN Sunan Kalijaga yang saat kejadian berada di Masjid Al Hidayah dan berusaha mendokumentasikan peristiwa kekerasan aparat terhadap warga dan anggota solidaritas.

Dalam kronologi yang disebutkan AJI, Rimba sempat merekam upaya negosiasi warga terhadap aparat. Negosiasi gagal sehingga warga terdesak aparat dan alat berat terus merangsek hingga ke sebuah kandang sapi di belakang masjid. Rimba, yang berada di tengah massa dan aparat, terkena tendangan aparat dan tersungkur ke tanah. Dengan brutal, aparat segera meringkus dan menginjak-injak sekujur tubuh Rimba. Telepon genggam miliknya dirampas. Selain ketiga orang tersebut, terdapat 2 orang anggota LPM Didaktika UNJ yang dihalang-halangi masuk ke lokasi posko solidaritas warga menolak penggusuran lahan NYIA.

Berdasarkan keterangan LBH Yogyakarta dan kesaksian Muslih (FNKSDA), ketika ia  pertama kali tiba di Polres disambut dengan pukulan oleh polisi di bagian leher, dagu dan perutnya. Sekitar pukul 21.00, para relawan baru diperbolehkan pulang setelah diinterogasi. Berdasarkan keterangan rekan-rekan PPMI Yogyakarta, Rimba mengalami memar di punggung dan tangan. Beberapa orang dikabarkan mengalami trauma psikis. LBH Yogyakarta pun baru diizinkan mendampingi relawan yang ditangkap pada pukul 13.00; setelah sebelumnya berdebat dengan kepolisian. Itupun, yang diperbolehkan masuk hanya penasihat hukum dari LBH Yogyakarta ada 4 orang dan PBHI ada 1 orang. Selain pers mahasiswa, disebutkan salah seorang wartawan televisi bahkan nyaris dihajar polisi lantaran mendokumentasikan penggusuran di Kulon Progo.

Dalih kepolisian ketika menangkap para aktivis dan rekan-rekan pers mahasiswa karena dianggap memprovokasi warga dan tak berizin adalah alasan yang dibuat-buat. Undang-Undang HAM no 39 tahun 1999 pasal 100 telah menegaskan bahwa setiap orang berhak berpartisipasi (bersolidaritas) dalam rangka pemenuhan hak asasi manusia dan pada Undang-Undang  lingkungan hidup no. 32 th 2009 pasal 66 juga menyebutkan bahwa hak imunitas pejuang untuk mempertahankan lingkungan hidup. Aparat dalam hal ini jelas melakukan pelanggaran-pelanggaran hak-hak atas nama kebebasan berekspresi, mencari dan mengolah informasi di ruang publik sesuai dengan Kebebasan itu dilindungi melalui pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB dan Pasal 28-F Undang-Undang Dasar 1945.

Pengakuan Kapolres Kulon Progo pada media bahwa aparat tidak menggunakan aksi kekerasan dan luka-luka yang dialami adalah  karena benturan kamera tentu sangat bertolak belakang dengan apa yang terjadi sebenarnya dan menjadi sebuah kebohongan publik. Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dalam pernyataan sikap yang diterbitkan kemarin sore menyebut sebagai pelanggaran hukum dan hak asasi manusia. Selain pasal-pasal yang telah disebutkan di atas, Kontras menyebutkan bahwa aparat kepolisian telah melanggar Pasal 351 Kita Undang – Undang Hukum Pidana tentang tindakan Penganiayaan. Peraturan Kapolri No. 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaran Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Peraturan Kapolri No. 8 tahun 2010 tentang Tata Cara Lintas Ganti dan Cara Bertindak dalam Penanggulangan Huru-Hara.

 

Oleh karena itu, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI)  menyatakan:

  • Mengecam tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap warga dan jaringan solidaritas menolak penggusuran rumah untuk pembangunan NYIA.
  • Menuntut kepolisian mengusut dan menghukum anggotanya yang melakukan tindakan represif terhadap pers mahasiswa dan aktivis lainnya.
  • Menolak segala bentuk kekerasan dan perbuatan tak manusiawi dalam penyelesaian konflik pembangunan NYIA dan segala upaya yang nyatanya malah merenggut ruang hidup masyarakat.

 

Narahubung

Imam Abu Hanifah (BP Advokasi PPMI: 085604903135)

Irwan Sakkir (Sekjend PPMI: 081248771779)

Kategori
PPMI di Media

Pers Mahasiswa Ditengah Darurat Demokrasi dan Ruang Hidup

Palu, Faktasulteng.com – Pembukaan Dies Natalis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) ke 25  yang dilaksanakan di Palu, Sulawesi Tengah Pada Kamis 26 Oktober 2017 dihadiri oleh ratusan pers mahasiswa se-Indonesia.

Peserta yang hadir pada umumnya tertarik dengan tema yang diusung. “Sekitar 80% yang hadir pada kesempatan kali ini, Salah satu alasannya terkait tema yang diusung yaitu darurat demokrasi dan ruang hidup,” Ungkap Moh Apriawan selaku Sekjen PPMI Kota Palu,  Kamis (26/10/17).

Sementara itu, Irwan Syakkir selaku Sekjen PPMI Nasional menyampaikan bahwa sampai milad ke 25 Pers Mahasiswa belum merasakan indahnya udara segar “genap sudah 25 tahun perhimpunan pers ini, di angka 25 ini kami belum merasakan indahnya udara segar,” tuturnya.

“Makanya kita mengangkat tema kali ini, kita berkumpul bukan merayakan. Kita hadir di sini membahas, berbicara tentang bagaimana kedepannya ruang demokrasi atau ruang hidup pers mahasiswa. Saya harap kita di internal pers mahasiswa ini, bukan hanya menjadi sebuah media alternatif tapi kita benar-benar memberikan informasi yang bisa dipertanggungjawabkan”, Jelas Pemuda yang akrab di sapa Vito itu.

Prof. Dr. Sutarman Yodo, SH MH yang hadir mewakili pihak kampus juga berpesan kepada peserta Diesnatalis PPMI ke-25 agar dapat menjadi insan pers yang dihormati oleh masyarakat “pers mahasiswa artinya kalian berada dalam jenjang pendidikan tinggi sehingga sangat diharapkan bagaimana pers mahasiswa itu bisa lebih mewarnai nilai-nilai dan etika yang ada dilingkungan pers. Kepada anak-anakku mahasiswa, hendaklah menjadi perhatian utama bagaimana menjadikan pribadi sebagai insan pers yang dihormati oleh masyarakat” tutupnya. (Tnh/faktasulteng.com)

Kategori
Siaran Pers

Pembubaran Seminar dan Pengepungan LBH-YLBHI Jakarta: Darurat Demokrasi Kita

Aksi paksa pembubaran kegiatan Seminar Sejarah 65 dengan tema “Pengungkapan Kebenaran Sejarah 1965/66” yang diadakan pada Sabtu-Minggu, 16-17 September 2017 di gedung Lembaga Bantuan Hukum (LBH)-Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Jl. Diponegoro No. 74, Jakarta oleh kepolisian menjadi catatan yang menggambarkan betapa kritisnya kondisi demokrasi di Indonesia saat ini. LBH-YLBHI Jakarta sebagai pelaksana seminar sebenarnya telah mengklarifikasi tujuan diskusi kepada kepolisian bahwa diskusi tersebut merupakan diskusi akademis dan menyepekati adanya perwakilan pihak  kepolisian untuk mengikuti diskusi serta menampilkan secara live streaming diskusi tersebut. Seminar dengan peserta terbatas untuk 50 orang merupakan diskusi pelurusan sejarah sebagai upaya awal untuk pemulihan kejahatan hak asasi manusia yang berat di masa lalu, yang telah menjadi komitmen pemerintah.

Tanggal 16 september, sekitar jam 06.00 WIB kepolisian telah terlihat berjaga-jaga didepan gedung LBH-YLBHI. Polisi pun akhirnya ingkar janji. Pihak kepolisian yang dikoordinasikan oleh kapolsek Menteng membrikade jalan diponegoro menuju arah mendit. Para peserta yang terdiri dari lansia bahkan anggota LBH-YLBHI jakarta tak diizinkan masuk gedungnya sendiri. LBH-YLBHI Jakarta yang sudah memberitahukan hasil pertemuan dengan pihak kepolisian sehari sebelumnya juga tak digubris.

Berdasarkan rilis tim advokasi LBH-YLBHI Jakarta, pada pukul 08.30, berlangsung negosisasi antara pihak panitia dan kuasa hukum dengan pihak kepolisian, yaitu diwakili perwakilan dari Mabes Polri, Polda Metro Jaya, Polres Jakarta Pusat, dan Polsek Menteng. Mereka meminta diskusi ditunda dengan alasan tidak memiliki izin keramaian dan pemberitahuan, yang mana menurut hukum tidak diperlukan. Diskusi selama 2 jam tersebut bersepakat untuk menunda dan para peserta dibolehkan masuk gedung. Namun nyatanya polisi tetaplah ingkar janji. Setelah diskusi ditunda, para peserta tetap tak diperbolehkan masuk.

Sekitar pukul 15.58, pihak kepolisian baik Kapolres Jakarta Pusat, Kapolsek Menteng, dan jajaran Polda malah memaksa masuk ke gedung LBH-YLBHI Jakarta untuk melakukan penggeledahan tanpa adanya surat penggeledahan. Menurut rilis, Kapolsek Menteng justru mengintimidasi pengabdi bantuan hukum LBH Jakarta dengan mengatakan bahwa ia akan membonyoki mukanya. Lalu Kapolres Jakarta Pusat dan Kapolsek Menteng beserta jajarannya masuk ke lantai 4 dan melakukan pengrusakan barang. Mereka juga mencopot spanduk dan merusak plafon. Kepolisian pun menyita spanduk tanpa adanya surat penyitaan.

 

Tindakan yang mencacati ruang demokrasi ini tidak berhenti di situ saja. Menurut Siaran Pers LBH-YLBHI  Tentang Penyerangan Ke Gedung LBH-YLBHI , keadaan kembali memanas pada hari Minggu, 17 september 2017. Dalam rangkaian acara yang berisi penampilan seni, puisi, menyanyi, dll. Puluhan orang terkurung dan bertahan di dalam gedung LBH-YLBHI karena terdapat ratusan massa di luar gedung yang meneriakkan ancaman, melakukan tuduhan yang tidak berdasar, hingga melempari dengan batu.

Ancaman terhadap demokrasi di Indonesia telah mencapai titik kritis walau telah dilindungi oleh Undang-Undang. Landasan hukum kebebasan berpendapat, berekspresi dan berkumpul tertera dalam pasal 28 undang-undang dasar 1945, undang-undang no. 12 tahun 2005 tentang pengesahan instrumen HAM internasional terkait hak sipil politik warga negara yang dalam Deklarasi Universal HAM pasal 13 ayat (1), serta pasal 19 dan 20 bahwa setiap manusia diberikan pengakuan dan perlindungan terhadap kebebasan dasar setiap manusia yang meliputi hak kebebasan berpendapat, berekspresi, berkumpul dan berserikat. Ancaman secara langsung juga ditunjukkan dari banyaknya penggunaan delik UU ITE pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik bahkan masalah ujaran kebencian yang kian marak digunakan untuk menjerat masyarakat yang beropini melalui media sosial.

Pada tahun 2017 saja, rekam jejak atas buruknya kebebasan berpendapat dan makin diberangusnya ruang demokrasi masyarakat telah puluhan kali terjadi. Sebagai contoh, kasus persekusi oleh ormas reaksioner, pembubaran diskusi lentera negeri, pembubaran Pameran seni soal Wiji Thukul, represi dan pelanggaran HAM di papua oleh aparat, kasus kriminalisasi petani Surokonto Wetan, kriminalisasi petani Kendeng dan warga Tumpang Pitu, kriminalisasi petani Deli Serdang, termasuk kriminalisasi Dandhy Dwi Laksono.

Dalam lingkup pers mahasiswa sendiri, Fadel Muhammad Harahap dan Fikri Arif, dua wartawan lembaga pers mahasiswa (LPM) Bursa Obrolan Mahasiswa (BOM) bahkan ditangkap polres medan saat melakukan peliputan aksi hari pendidikan nasional di depan universitas sumatera utara. Mereka dituduh melakukan pemukulan terhadap polisi tanpa adanya bukti pemukulan. Alhasil mereka pun harus mendekam di penjara dan terpaksa menjalani persidangan hingga saat ini.

Atas ancaman represifitas dan kebebasan demokrasi yang makin memprihatinkan, maka Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia yang terdiri dari 20 dewankota/kota dan 8 cartaker menyatakan :

  1. Mengecam pembubaran seminar pengungkapan kebenaran sejarah 1965/66 di gedung LBH Jakarta yang dilakukan oleh kepolisian (mabes polri dan jajarannya) dimana kepolisian juga melakukan penggeledahan dan penyitaan barang tanpa izin/illegal
  2. Menuntut agar pemerintah menghentikan segala bentuk represifitas terhadap ruang demokrasi masyarakat baik dalam hal berkumpul, berpendapat dan berekspresi di muka umum sesuai dengan amanat undang-undang
  3. Menuntut Kapolri bersikap objektif dengan menindak tegas jajarannya yang telah melakukan tindakan ilegal yang melawan hukum/undang-undang dan menghukum organisasi masyarakat dan kelompok reaksioner yang melakukan tindakan sewenang-wenang.
  4. Menuntut kepolisian Medan Sumatera Utara yang membebaskan awak redaksi lembaga pers mahasiswa bom ITM Medan yang dipenjara dengan tuduhan yang tidak jelas.

 

Narahubung:

Irwan Syakkir (Sekretaris Jendral PPMI Nasional) : 0812 4877 1779

Imam Abu Hanifah (Badan Pekerja Advokasi PPMI Nasional) : 0856 9693 1450

 

Daftar Dewan Kota/Kota Anggota PPMI:

  1. PPMI Kota Jember
  2. PPMI Kota Malang
  3. PPMI Kota Palu
  4. PPMI Kota Pekalongan
  5. PPMI Tasikmalaya
  6. PPMI Dewan Kota Muria
  7. PPMI Dewan Kota Madura
  8. PPMI Dewan Kota Surabaya
  9. PPMI Dewan Kota Tulungagung
  10. PPMI Dewan Kota Madiun
  11. PPMI Dewan Kota Yogyakarta
  12. PPMI Dewan Kota Makassar
  13. PPMI Dewan Kota Mataram
  14. PPMI Dewan Kota Banjarmasin
  15. PPMI Dewan Kota Semarang
  16. PPMI Dewan Kota Manado
  17. PPMI Dewan Kota Bali
  18. PPMI Dewan Kota Surakarta
  19. PPMI Dewan Kota Palopo
  20. PPMI Dewan Kota Kediri

 

Daftar Cartaker PPMI:

  1. Purwokerto
  2. Salatiga
  3. Banten
  4. Jakarta
  5. Ambon
  6. Pontianak
  7. Riau
  8. Mojokerto