PPMI Mengecam Tindakan Represif Kepolisian terhadap Relawan Solidaritas dan Warga Penolak NYIA di Kulon Progo

0
676

Kabar duka kembali menyelimuti wajah demokrasi Indonesia. Warga dan anggota jaringan solidaritas anti penggusuran; yang  di dalamnya bergabung juga rekan-rekan pers mahasiswa mendapat perlakuan sewenang-wenang dari aparat kepolisian kemarin pagi (5/12/2017).

Dengan dalih tak berizin dan kegiatan solidaritas adalah bentuk provokasi, sekitar pukul 10.00 WIB, aparat mendatangi warga dan meminta seluruh jaringan solidaritas  keluar dari rumah. Karena tak berhasil, beberapa saat kemudian, aparat kembali datang bersama aparat desa dan meminta identitas anggota jaringan solidaritas.

Sekitar pukul 10.30 WIB, sempat terjadi saling dorong antara aparat, warga, dan jaringan solidaritas yang berujung pada penangkapan 12 orang relawan jaringan solidaritas dan mahasiswa yang dibawa ke kantor PT. Pembangunan Perumahan dan akhirnya ditahan di markas Polres Kulon Progo. Mereka adalah Andre; Imam dan Rimba (UNY); Muslih (FKNSDA), Rifai (Univ. Mercubuana); Mamat, Kafabi, Wahyu, dan Fahri (UIN Sunan Kalijaga); Samsul dan Chandra (LFSY); dan Yogi (UNS).  Pada sore harinya, aparat kepolisian kembali menangkap tiga orang mahasiswa UIN Sunan Kalijaga atas nama Khoirul Muttakim, Abdul Majid Zaelani, dan Syarif Hidayat yang dipindahkan dari Polsek Wates ke Polres Kulon Progo. Sehingga total yang diperiksa kepolisian berjumlah 15 orang.

Berdasarkan rilis Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta, selain 15 relawan tersebut, tiga warga terluka (Fajar, Agus, dan Hermanto) akibat diseret aparat dan terkena lemparan batu.

Rekan-rekan pers mahasiswa yang sedang melakukan peliputan dan berkumpul bersama jaringan solidaritas juga mendapat kekerasan fisik dari kepolisian. Hal tidak menyenangkan tersebut telah menimpa A.S. Rimba dan Imam Ghozali dari LPM Ekspresi UNY, serta Fahri dari LPM Rethor UIN Sunan Kalijaga yang saat kejadian berada di Masjid Al Hidayah dan berusaha mendokumentasikan peristiwa kekerasan aparat terhadap warga dan anggota solidaritas.

Dalam kronologi yang disebutkan AJI, Rimba sempat merekam upaya negosiasi warga terhadap aparat. Negosiasi gagal sehingga warga terdesak aparat dan alat berat terus merangsek hingga ke sebuah kandang sapi di belakang masjid. Rimba, yang berada di tengah massa dan aparat, terkena tendangan aparat dan tersungkur ke tanah. Dengan brutal, aparat segera meringkus dan menginjak-injak sekujur tubuh Rimba. Telepon genggam miliknya dirampas. Selain ketiga orang tersebut, terdapat 2 orang anggota LPM Didaktika UNJ yang dihalang-halangi masuk ke lokasi posko solidaritas warga menolak penggusuran lahan NYIA.

Berdasarkan keterangan LBH Yogyakarta dan kesaksian Muslih (FNKSDA), ketika ia  pertama kali tiba di Polres disambut dengan pukulan oleh polisi di bagian leher, dagu dan perutnya. Sekitar pukul 21.00, para relawan baru diperbolehkan pulang setelah diinterogasi. Berdasarkan keterangan rekan-rekan PPMI Yogyakarta, Rimba mengalami memar di punggung dan tangan. Beberapa orang dikabarkan mengalami trauma psikis. LBH Yogyakarta pun baru diizinkan mendampingi relawan yang ditangkap pada pukul 13.00; setelah sebelumnya berdebat dengan kepolisian. Itupun, yang diperbolehkan masuk hanya penasihat hukum dari LBH Yogyakarta ada 4 orang dan PBHI ada 1 orang. Selain pers mahasiswa, disebutkan salah seorang wartawan televisi bahkan nyaris dihajar polisi lantaran mendokumentasikan penggusuran di Kulon Progo.

Dalih kepolisian ketika menangkap para aktivis dan rekan-rekan pers mahasiswa karena dianggap memprovokasi warga dan tak berizin adalah alasan yang dibuat-buat. Undang-Undang HAM no 39 tahun 1999 pasal 100 telah menegaskan bahwa setiap orang berhak berpartisipasi (bersolidaritas) dalam rangka pemenuhan hak asasi manusia dan pada Undang-Undang  lingkungan hidup no. 32 th 2009 pasal 66 juga menyebutkan bahwa hak imunitas pejuang untuk mempertahankan lingkungan hidup. Aparat dalam hal ini jelas melakukan pelanggaran-pelanggaran hak-hak atas nama kebebasan berekspresi, mencari dan mengolah informasi di ruang publik sesuai dengan Kebebasan itu dilindungi melalui pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB dan Pasal 28-F Undang-Undang Dasar 1945.

Pengakuan Kapolres Kulon Progo pada media bahwa aparat tidak menggunakan aksi kekerasan dan luka-luka yang dialami adalah  karena benturan kamera tentu sangat bertolak belakang dengan apa yang terjadi sebenarnya dan menjadi sebuah kebohongan publik. Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dalam pernyataan sikap yang diterbitkan kemarin sore menyebut sebagai pelanggaran hukum dan hak asasi manusia. Selain pasal-pasal yang telah disebutkan di atas, Kontras menyebutkan bahwa aparat kepolisian telah melanggar Pasal 351 Kita Undang – Undang Hukum Pidana tentang tindakan Penganiayaan. Peraturan Kapolri No. 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaran Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Peraturan Kapolri No. 8 tahun 2010 tentang Tata Cara Lintas Ganti dan Cara Bertindak dalam Penanggulangan Huru-Hara.

 

Oleh karena itu, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI)  menyatakan:

  • Mengecam tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap warga dan jaringan solidaritas menolak penggusuran rumah untuk pembangunan NYIA.
  • Menuntut kepolisian mengusut dan menghukum anggotanya yang melakukan tindakan represif terhadap pers mahasiswa dan aktivis lainnya.
  • Menolak segala bentuk kekerasan dan perbuatan tak manusiawi dalam penyelesaian konflik pembangunan NYIA dan segala upaya yang nyatanya malah merenggut ruang hidup masyarakat.

 

Narahubung

Imam Abu Hanifah (BP Advokasi PPMI: 085604903135)

Irwan Sakkir (Sekjend PPMI: 081248771779)