Kategori
Diskusi

Gorontalo: Jalan Sunyi dan Sikap yang Dipilih

Menjelang siang, peserta yang tadinya berada di dalam ruangan Auditorium Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Tadulako, mulai keluar satu demi satu bosan menunggu acara tak kunjung dibuka. Yang hadir pada saat itu pun terhitung sedikit mengingat stereotip terhadap kegiatan skala nasional yang penuh gegap gempita dan keramaian.

Di meja registrasi panitia, peserta berdatangan mengisi nama mereka dan mengambil dus kue. Tampaknya peserta seminar ini bukan hanya dari kalangan pers mahasiswa, ada juga yang dari Himpunan Mahasiswa Jurusan setempat. Herannya, kursi yang disediakan tak kunjung terisi penuh. Padahal Palu yang sebagai tuan rumah kegiatan ini mempunyai 15 Lembaga Pers Mahasiswa dan jika 10 orang saja yang hadir dari tiap-tiap LPM kegiatan ini bisa ramai. Namun belakangan Apriawan, Sekjend DK Palu mengaku LPM yang aktif hanya 5, tapi kan tetap saja, ah sudahlah.

Ekspektasi Kami

Dies Natalis yang menjadi salah satu agenda berkumpulnya Lembaga Pers Mahasiswa seluruh Indonesia menjadi sama sekali tidak menarik, khususnya seperti kami yang dari Gorontalo yang masih menaruh ekspektasi tinggi terhadap satu-satunya organisasi pers mahasiswa berskala nasional ini. Sebelumnya kami, lebih tepatnya saya dan Elias kawan saya, pernah ‘mewakili’ Gorontalo di Dies Natalis yang ke-23 di Semarang. Dan seorang kawan perempuan, Okta juga April kemarin berangkat seorang diri ke Bali untuk mengikuti Mukernas ke-11. Kali ini kami tak tanggung-tanggung datang 10 orang. Perlu dicatat, Gorontalo sampai saat ini belum tergabung secara resmi (kota/dewan kota) dengan PPMI.

Ekspektasi kami sebenarnya tidak ada hubungannya dengan ramai atau meriahnya sebuah kegiatan yang diadakan oleh PPMI. Bukan itu. Kami justru mengharapkan di setiap kegiatan PPMI ada ‘kesenyapan’, sebagaimana jargon yang kita sering dengar bahwa pers mahasiswa itu adalah jalan sunyi.

Widyanuari Eko Putra, seorang juri pada lomba essay yang diadakan pada momen Dies Natalis di Semarang, yang pada waktu itu saya ikut dan kebetulan secara mengejutkan saya terpilih menjadi juara 1 di tema “Mahasiswa Bangkit dan Melawan Pembungkaman”, menilai banyak peserta lomba yang menganggap menulis dengan tema itu adalah ‘mimbar pidato’ akibatnya terlalu “berisik” dan “berteriak”. Satu hal yang menegaskan penilain saya terhadap kekhasan pers mahasiswa bahwa gerakannya harus mulus nan elegan dengan cara menulis, berbeda dengan kebanyakan organisasi mahasiswa lainnya yang selalu mengandalkan aksi lapangan.

Bahkan di buku putihnya PPMI “Menapak Jejak Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia: Bila Mulutmu Disumpal Angkatlah Penamu!”, diceritakan pada saat semua elemen mahasiswa turun ke jalan ingin merobohkan rezim Orde Baru, beberapa pers mahasiswa rela diejek karena masih saja membandel dan menaruh sikap skeptis terhadap gerakan itu. Sekilas, buku ini dihadiahkan kepada kami untuk dibawa pulang ke Gorontalo oleh bang Ivan, Koordinator Wilayah 5 saat itu.

Cocok dengan dua buku karya om Bill Kovach dan om Tom Rosentiel, “Elemen-elemen Jurnalisme” dan “Blur”, selalu mengulang-ngulang seorang jurnalis harus independen agar diperhitungkan. Karena hanya dengan cara ini kita bisa berbeda dengan yang lain, sebut saja berbeda dengan organisasi mahasiwa lain. Kita mengemban tugas selayaknya jurnalis yang menjadi pencerah di tengah keburaman. Saat semua rajin demo namun masalah tak kelar-kelar, kita seperti pahlawan mengungkap suatu kasus lewat berita investigasi, di saat banyak mahasiswa zaman now yang tak peduli lagi dengan kaum terpinggirkan, kita menulis feature tentang mereka, atau paling tidak dengan straight news kita selalu dipanggil untuk sekedar meliput kegiatan.

Perdebatan telah selesai tentang bagaimana arah gerak pers mahasiswa ‘yang baik dan benar’ itu, namun kembali diperdebatkan di kalangan kita pers mahasiswa. Masalahnya banyak yang masih gagap menyebut diri kita sebagai apa, aktivis pers mahasiswa? wartawan kampus? pegiat pers mahasiswa? jurnalis kampus? seperti ragu menyandang identitas jurnalis. Persoalannya terlampau tak penting, yakni karena kita masih di kampus, kita tak dipayungi UU Pers, serta kita tak profesional karena tak digaji. Sungguh kawan, jurnalisme itu luhur dan keluhurannya tak bisa kita batasi dengan persoalan gaji dan UU yang cacat itu. Sekali kita mematuhi prinsip-prinsip jurnalisme, kita adalah jurnalis.

Kewajiban pertama jurnalime adalah kebenaran, loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga, esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi, jurnalis harus tetap independen dari pihak yang mereka liput, jurnalis sebagai pemantau independen terhadap kekuasaan, jurnalisme menyediakan forum bagi kritik atau komentar dari publik, jurnalisme harus berupaya membuat hal yang penting itu menarik dan relevan, jurnalis harus menjaga agar beritanya komprehensif dan proporsional, jurnalis memiliki kewajiban untuk mengikuti suara nurani mereka, warga juga memiliki hak dan tanggung jawab dalam hal-hal yang terkait dengan berita. Itulah 9 tambah 1 elemen-elemen jurnalisme oleh om Kovach dan om Rosenstiel. Dengan ini UU Pers seperti hanya produk zaman batu.

Kemudian hal ini diatur dalam kode etik jurnalistik oleh dewan pers, bahkan salah satu organisasi profesi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) misalnya memiliki poin kode etik lebih banyak, bahkan juga kode perilaku. AJI juga bahkan memayungi blogger sebagai anggotanya, syaratnya harus menulis karya jurnalistik 12 kali dalam setahun. Tak ada besaran gaji disebut, tak ada yang mengharuskan berbadan hukum. Yang diharuskan adalah saya, kalian dan kita harus menulis, berkarya!

Apakah kita di organisasi pers mahasiswa (PPMI) ini membahas tuntas hal ini. Alih-alih membahas, kita sadar bahwa masalah kita belum sampai di sana, karena kita sendiri malas berkarya.

Dalam seminar Dies Natalis di Semarang kemarin, ada hal lucu terjadi, peserta entah dari LPM mana mengajukan pertanyaan bernada menuding kepada anggota Dewan Pers yang menjadi pembicara waktu itu, “kenapa kita tidak bisa dipayungi UU Pers?” kira-kira begitulah pertanyaannya, lalu dijawab, “kita memayungi kok, dalam artian ketika kalian ada sengketa pers kami tetap membela, tapi bukan melalui prosedur hukum, atau kalau mau dipaksakan kalian bisa dilindungi secara hukum, tapi pertanyaannya, apakah adik-adik sanggup menjaga frekuensi terbitan?” atau bahasa kasarnya apa yang harus dilindungi?

Sejauh ini yang saya ketahui ada beberapa LPM yang sudah berada di posisi top karena karyanya, Majalah Lentera edisi Salatiga Kota Merah misalnya yang ditarik peredarannya karena berani menulis isu sensitif. Juga LPM-LPM lain yang sempat terdata oleh BP Litbang PPMI dari Februari tahun kemarin. Menurut saya, kita bisa kuat hanya dengan karya. Namun di setiap pertemuan nasional hal ini jarang sekali kita bahas secara serius. Bahkan saya sempat berpikir mungkin alasan inilah yang membuat beberapa LPM yang terhitung ‘mapan’ enggan bergabung dengan PPMI.

Itulah sejumlah ekspektasi kami tentang PPMI, dan seperti fenomena yang lazim terjadi, ekspektasi tidak sesuai dengan kenyataan. Apalagi di Dies Natalis di Palu kemarin, ekspektasi kami hancur oleh kejanggalan-kejanggalan yang seharusnya tidak terjadi di hajatan PPMI. Mulai dari Pembicara Seminar yang terkesan gak nyambung dan merapuhkan independensi, agenda yang berantakan, dan adanya aksi lapangan di momen sumpah pemuda.

Cerita Kami di Palu

Hari pertama seperti yang saya ceritakan di atas, telah terlihat ketidaksiapan panitia dan tuan rumah. Maaf bukan panitia yang harus disalahkan, tapi kita semua yang merasa bertanggung jawab, mengingat kerja kita adalah kerja kolektif. Di sisi lain kami dari Gorontalo harus berterima kasih kepada panitia karena bersedia menampung 5 orang dari kami yang tidak membayar uang registrasi.

Selain ketidaksiapan panitia dalam hal teknis kegiatan yang bisa dimaklumi itu, ada hal yang mengganggu ekspektasi kami, yakni pembicara yang gak nyambung dengan tema kegiatan. Staf Ahli Kepresidenan yang berbicara bahwa pers mahasiswa harus bermitra agar mampu bersaing, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulteng yang tentu saja berbicara tentang persoalan lingkungan hidup, kecuali pembicara yang dari Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) yang berbicara tentang ancaman demokrasi karena pasal karet pencemaran nama baik dan UU ITE. Yang paling susah dicerna adalah bedah buku karangan Wakil Bupati Trenggalek, yang berjudul, “Bung Karno Menerjemahkan Al-Quran” , what the…?

Kata teman saya usai kegiatan, “tidak apa-apa, besok acara kerennya ini”. Yang dimaksud acara keren itu karena ada kelas jurnalisme investigasi dari Wahyu Dhyatmika Komang (Tempo), dan kelas pengembangan SDM Persma dari Agung Sedayu (Tempo/FAA PPMI). Tapi ternyata itu tidak terjadi. Kelas setelah seminar pun tidak terlaksana, karena seminar sendiri baru dimulai siang dan selesai sore, tak perlu ditanya paginya ngapain, yah menunggu pejabat buat membuka acara.

Malamnya kami kembali ke tempat nginap di Disporda Palu, di sana kami diajak ngumpul dan diskusi. Bahasan malam itu salah satunya mencari solusi dari kosongnya agenda hari kedua dan ketiga. Sekjend Nasional, Sekjend DK Palu dan panitia menyampaikan kepada forum usulan agenda hari kedua adalah berkunjung ke LPM-LPM di Palu dan tempat-tempat wisata, hari ketiga adalah aksi mengingat momen Hari Sumpah Pemuda juga agar ekstitensi PPMI bisa muncul ke permukaan.

Masalah-masalah teknis pun dibahas satu-persatu. Di tengah pembahasan ini saya sendiri merasa ganjil dengan agenda-agenda yang ditawarkan. Untuk apa kunjungan ke LPM-LPM sedangkan mereka semestinya ada dengan kita sekarang? Apalagi ke tempat-tempat wisata, yang seharusnya menjadi agenda terakhir setelah agenda-agenda penting dipikirkan dan terlaksana? Lebih-lebih aksi, haruskah itu? Perdebatan batin muncul antara mengkritisi demi kebaikan bersama atau konformis mengingat kondisi fisik dan psikis panitia yang ‘kelelahan’.

Saya lalu menanyakan semua itu lantas memberi usulan, sembari terus menekankan bahwa ini hanyalah usulan yang bisa diterima ataupun tidak. Saya menawarkan untuk mengganti agenda ‘jalan-jalan’ dengan liputan bersama di salah satu tempat menarik di Palu, entah topik liputannya lingkungan atau kemanusiaan, yang jelas meliput. Usulan saya ini tidak ditolak juga tidak diiyakan saat itu, hanya anggukan dan senyuman yang saya terima. Besoknya baru saya tahu, ternyata usul saya ditolak.

Mengenai agenda hari ketiga yang membuat ubun-ubun saya berurat, sakit kepala, pasalnya untuk mengkritisi ini saya perlu solusi. Setelah diskusi, saya mengumpulkan teman-teman saya dari Gorontalo, kami pun mengadakan diskusi tertutup ala-ala perkumpulan rahasia di salah satu teras rumah panggung Disporda yang gelap dan berjarak dengan panitia dan peserta lain. Kami saling mencurahkan isi hati di situ, suara kami nyaris berbisik agar tidak terdengar oleh orang lain, kami kecewa dengan agenda jalan-jalan dan aksi itu. Arif, Ketua LPM Bintang, Bina Taruna Gorontalo, orang yang paling semangat mengikuti kegiatan ini berubah menjadi orang paling kecewa. Dia menawarkan solusi sebagai pengganti aksi dengan membuat proyek antologi tulisan sesuai tema Dies Natalis, masing-masing perwakilan kota menyumbang tulisan lalu dicetak. Namun dia terlihat pesimis dan hanya bisa menghembuskan napas mengingat aksi telah disepakati oleh peserta lain.

Kami pun tak putus asa, setelah diskusi rahasia itu bubar, malam mulai larut, kami rencananya akan ‘menculik’ peserta lain untuk meminta pendapatnya dan ikut menolak bersama kami. Saya lalu menemui Audi, Sekjend DK Tulungagung dan Ade Sekjend DK Malang. Audi ternyata juga kurang bersimpati dengan aksi itu, “Saya tidak biasa orasi masalahnya mas,” dengan logat medoknya. Namun dia memilih mengikuti saja dengan anggapan aksi dengan mungkin kultur di Palu atau Sulawesi pada umumnya. Cepat saja saya membantahnya, saya katakan ini bukan kultur Palu atau Sulawesi, ini bentuk kekeliruan yang harus diperbaiki, saya berpendapat mumpung pers mahasiswa se-Indonesia berkumpul, kita harus membuat tulisan bersama daripada harus aksi. Ade malah setuju, “Boleh-boleh saja, asalkan strateginya jelas dan terukur,” kira-kira begitulah katanya. Kesimpulannya kami hanya angguk-angguk menyimpan tanya, menyerah pada kondisi. Konsolidasi gagal.

Hari kedua dan ketiga semangat saya dan kawan-kawan menurun drastis, terbukti bus beserta rombongan harus menunggu kami yang baru mandi jam 10 pagi dengan satu kamar mandi, akhirnya dua orang dari kami ketinggalan bus. Panitia hanya bisa mengomel dan geleng-geleng kepala. Maafkan kami panitia.

Kategori
Diskusi

Jawaban Dari Palu: Tetap Independen

Sungguh dramatis pembahasan yang bergulir pada kegiatan Dies Natalis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) ke-25, yang dilaksanakan di Palu, kemarin (26/10/2017). Mulai dari pemilihan waktu yang menuai pro-kontra, sampai pemilihan pemateri dalam rangkaian agenda yakni Seminar Nasional.

Kegiatan yang seharusnya menjadi pemersatu justru membuat persma kebali terpetak-petak, semboyan “Berjejaring dan Saling Menguatkan” pun kini tinggal sebuah untaian kalimat yang menjadi utopis, -menurutku.

Pasca kegiatanpun berbagai kritikan masih saja terus bermunculan. Terutama terkait dua pejabat pemerintahan yang hadir dalam seminar nasional dengan tema “Darurat Demokrasi dan Ruang Hidup”. Dalam hal tersebut Panitia pelaksana memilih kedua pemateri telah berdiskusi dengan pengurus Nasional PPMI dan Steering Committee (SC). Terjadi dialektika, ada yang pro dan kontra, sedangkan yang kontra tak memberikan alternatif, sehingga hal tersebut saya anggap sebagai angin lalu. Yah, begitulah kita, suka mengkritisi jika ditanya solusinya “Tong kosong nyaring bunyinya”.

Lalu terkaitlah tulisan terbaru di persmahasiswa.id yang membuat saya tercengang, tulisan dari anggota persma yang berdomisili di Jember tepatnya LPM IDEAS yang dipublikasi 30 Oktober 2017. Iya mempertanyakan berbagai hal yang berkaitan dengan kegiatan dies natalis. Menurutku hal tersebut omong kosong semua, jika mengkritisi tanpa tahu keadaan yang sebenarnya. Seorang persma yang seharusnya menulis dengan berimbang namun tidak sapatah katapun yang tertulis terdapat klarifikasi dari tuan rumah pelaksana.

Yah, kalaupun itu tulisan opini setidaknya memuat keberimbangan agar jelas permasalahan yang terjadi sebenarnya. Sehingga tulisan tersebut akan berupaya sedikit mengklarifikasi.

Menjelaskan sedikit tentang Dimas Oky Nugroho, merupakan seorang mantan jurnalis yang kini sukses menata karirmya di pemerintahan.  Hal tersebut menjadi bahan perdebatan utama setelah diundang sebagai pembicara dalam seminar nasional PPMI, 26 Oktober 2017. Menurut Tulisan anggota persma IDEAS, kehadiran Dimas sama sekali tidak ada relevansinya dengan tema yang diangkat dalam seminar tersebut. Inilah kelemahan kita, menilai hal yang kita sendiri tidak tahu pasti bagaimana tepatnya peristiwa itu.

Dalam pemberitaan media faktasulteng.com dan antarasulteng,com, dua media lokal yang menuliskan ajakan Dimas untuk berafiliasi itu sedikit diplintir, sebab yang sebenarnya iya katakan adalah “bermitra”. Dan mengenai ungkapan itu saya secara pribadi juga tidak sepakat, Sebab “Roh” pers mahasiswa adalah ketajaman tulisan dan independensinya. Disamping itu banyak hal positif yang iya sampaikan namun tidak dimuat dalam dua media lokal tersebut. Seperti penjelasan mengenai pemerintah yang membuka “Ruang Hidup” bagi masyarakat Papua yang selama ini terisolasi, yang kini telah dibangunkan akses jalan Trans Papua, dan bandara udara yang dalam catatan sejarahnya tidak pernah terjadi dienam masa kepemimpinan presiden sebelumnya. Menurutku hal ini sangatlah positif, untuk menjaga keutuhan bangsa ini, melihat geliat Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang terus bergerak di akar rumput.

Rosi juga mempertanyakan Wakil Bupati Trenggalek yang diundang dalam agenda bedah buku. Dia menyayangkan hal tersebut, menurutnya seharusnya yang dibedah adalah bacaan wajib “Persma Menapak Jejak PPMI”. Kalau ini sudah menjadi bacaan wajib kenapa mesti dibedah lagi, sehingga yang muncul seketika di benakku mungkin adik saya Rosi belum tuntas dengan buku tersebut.  25 tahun kita hadir dengan nama PPMI masih juga belum tuntas dengan bacaan wajib ini.

Persma zaman now harus membuka diri biar kaya akan referensi. Stagnasi terjadi karna kita terus seperti ini. Membuka diri bukan berarti berafiliasi.

Mengenai Siaran Pers, sekiranya ini juga sudah didiskusikan. Bahkan Sekjen Nasional, Saudara Irwan, juga sudah mengirim rilis kegiatan ini kepada kawan-kawan persma namun tidak mendapat tanggapan.

Yah, semoga dalam agenda-agenda nasional selanjutnya hal serupa tidak terjadi, sehingga semboyan kita tetap terlindungi “Berjejaring dan Saling Menguatkan” bukan justru “Berjejaring dan Saling Menjatuhkan”.

Semoga klarifikasi singkat bisa sedikit membuka mata kita, dan bagi yang belum terjawab dengan penjelasan saya, semoga nanti kita bisa bersua di agenda PPMI berikutnya yaitu Rapat pimpinan nasional (Rapimnas).

 

Salam Persma !!!

Kategori
Siaran Pers

Sumpah Pemuda: Pers Mahasiswa Keluarkan Tuntutan Terkait Ancaman Demokrasi dan Ruang Hidup

Titik balik keran demokrasi di Indonesia dibuka seluas-luasnya pada saat reformasi 19 tahun silam. Pemerintah mulai belajar untuk terbuka pada rakyat begitu pula rakyat yang mulai belajar memberikan kritikan pada pemerintah. Namun beberapa kasus yang terjadi akhir-akhir ini, menujukkan bahwa pemerintah seolah-olah kembali ke masa orba yang lebih baru lagi. Kasus Dandy Dwi Laksono, kemudian kasus pelarangan peredaran buku “Jokowi Undercover” dan penyerangan LBHI di Jakarta, menjadi rapor merah pemerintah. Belum lagi persoalan tentang ruang hidup yang menimpa para petani Kendeng, kemudian masyarakakat Bali di Teluk Bonoa dan Sunda Wiwitan, Pemerintah terkesan memihak pemodal ketimbang rakyat.

Sejak diberlakukannya UU ITE pada tahun 2008, SAFEnet mencatat telah menjerat 225 kasus, dengan jumlah 177 kasus yang berkasnya lengkap. 15 desember 2016. 65% penguasa, 22% profesional, 1,69% pengusaha, 18,6% warga biasa. Sehingga  seolah-olah UU ITE dijadikan senjata untuk menjerat masyarakat yang menyuarakan aspirasinya

Pembungkaman upaya demokrasi juga menimpa pers sebagai pilar keempat demokrasi. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat selama Januari-Desember 2016 saja, terjadi 78 kasus kekerasan terhadap jurnalis dan 1 kasus pembunuhan. Hal serupa pun menimpa pers mahasiswa yang notabenenya sebagai media alternatif yang tidak hanya mengawa isu kampus, namun juga isu lokal dan nasional. Termasuk perebutan ruang hidup masyarakat.

Badan Pekerja Litbang PPMI Nasional 2015/2016 dalam riset berjudul “Dinamika Pers Mahasiswa Tahun 2013-2016: Gerakan Bermedia dan Resiko Pembungkaman” menyebutkan 88 pers mahasiswa mengalami tindak kekerasan dan 20 pers mahasiswa tidak mengalami kekerasan dari 108 lembaga pers mahasiswa. Sebanyak 88 kasus kekerasan yang diterima oleh pers mahasiswa, ada 9 jenis bentuk kekerasan. Di antara 9 jenis kasus tersebut adalah fitnah, intimidasi, kriminalisasi, pelecehan, Pembatalan izin, pembekuan, pembredelan, pembubaran acara dan perusakan karya. Jenis kekerasan yang paling banyak menimpa pers mahasiswa adalah intimidasi, sejumlah 66 kasus. Pembredelan sejumlah 13 kasus, pelecehan 12 kasus, pembekuan 9 kasus, kriminalisasi 6 kasus, pembubaran acara 2, sedangkan fitnah, pembatalan izin dan perusakan karya sejumlah 1 kasus.Kasus ruang hidup, potensi lahan, penguasaan atas tanah melalui mekanisme dan ide pembangunan yang bersinggungan dengan upaya masyarakat menyerukan aspirasinya sebagai penyelenggaraan ruang demokrasi yang telah diatur oleh Undang-Undang Dasar 1945 perlu dikaji secara mendalam dalam ranah diskusi terbuka.

Beberapa poin seperti karateristik geografis, suku dan etnis yang membangun kebudayaan adat di suatu wilayah, faktor historis, perlu diperhatikan mengingat upaya serta sentralisasi kekuasaan negara yang coba dikurangi dengan adanya otonomi daerah yang justru malah mereproduksi kelas-kelas perampas ruang hidup di daerah. Wiji Thukul, seorang pejuang demokrasi menyebut dalam puisinya yang berjudul Peringatan, “Ketika masyarakat bersembunyi dan berbisik-bisik ketika membicarakan masalahnya sendiri, penguasa harus waspada dan belajar mendengar”.

Melihat kondisi tersebut, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia menuntut untuk:

  1. Hentikan Tindakan Represifitas terhadap awak pers diseluruh Indonesia
  2. Selesaikan Kasus sengketa pers yang telah terjadi seperti, kasus wartawan Udin
  3. Pemerintah harus berpihak pada rakyat, dalam konflik Agraria
  4. Mengkaji Ulang UU ITE No 19 Tahun 2016
  5. Hentikan kriminalisasi dan tindak kekerasan aparat kepada petani ataupun mahasiswa
  6. Pemerintah harus membuka ruang diskusi seluas-luasnya
  7. Pemerintah harus mengkaji ulang Amdal dan perijinan yang berkaitan dengan aktivitas eksploitasi lingkungan
  8. Pers mahasiswa menyatakan secara tegas bahwa PPMI merupakan lembaga independent dan menjunjung tinggi suara rakyat

 

 

Korlap : Andika ASB ( LPM Perska Pangkep)

Penanggung Jawab :

  1. Irwan Sakkir 081248771779
  2. Moh. Apriawan 082345108646
Kategori
PPMI di Media

Pers Mahasiswa Ditengah Darurat Demokrasi dan Ruang Hidup

Palu, Faktasulteng.com – Pembukaan Dies Natalis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) ke 25  yang dilaksanakan di Palu, Sulawesi Tengah Pada Kamis 26 Oktober 2017 dihadiri oleh ratusan pers mahasiswa se-Indonesia.

Peserta yang hadir pada umumnya tertarik dengan tema yang diusung. “Sekitar 80% yang hadir pada kesempatan kali ini, Salah satu alasannya terkait tema yang diusung yaitu darurat demokrasi dan ruang hidup,” Ungkap Moh Apriawan selaku Sekjen PPMI Kota Palu,  Kamis (26/10/17).

Sementara itu, Irwan Syakkir selaku Sekjen PPMI Nasional menyampaikan bahwa sampai milad ke 25 Pers Mahasiswa belum merasakan indahnya udara segar “genap sudah 25 tahun perhimpunan pers ini, di angka 25 ini kami belum merasakan indahnya udara segar,” tuturnya.

“Makanya kita mengangkat tema kali ini, kita berkumpul bukan merayakan. Kita hadir di sini membahas, berbicara tentang bagaimana kedepannya ruang demokrasi atau ruang hidup pers mahasiswa. Saya harap kita di internal pers mahasiswa ini, bukan hanya menjadi sebuah media alternatif tapi kita benar-benar memberikan informasi yang bisa dipertanggungjawabkan”, Jelas Pemuda yang akrab di sapa Vito itu.

Prof. Dr. Sutarman Yodo, SH MH yang hadir mewakili pihak kampus juga berpesan kepada peserta Diesnatalis PPMI ke-25 agar dapat menjadi insan pers yang dihormati oleh masyarakat “pers mahasiswa artinya kalian berada dalam jenjang pendidikan tinggi sehingga sangat diharapkan bagaimana pers mahasiswa itu bisa lebih mewarnai nilai-nilai dan etika yang ada dilingkungan pers. Kepada anak-anakku mahasiswa, hendaklah menjadi perhatian utama bagaimana menjadikan pribadi sebagai insan pers yang dihormati oleh masyarakat” tutupnya. (Tnh/faktasulteng.com)