Kategori
Diskusi Esai

Kado Kemerdekaan: Mati Massal Dibunuh Pemerintah

Jika pemerintah terus salah mengambil kebijakan, rakyat bisa berjatuhan mati masal. Tercatat pertanggal 15 Agustus 2021, di laman covid19.go.id menunjukkan jumlah rakyat Indonesia mati karena Covid-19 mencapai 117.588. Tentu saya yakin data tersebut bukan data asli. Dapat dipastikan data yang tidak tercatat jauh lebih banyak. Berdasarkan pemantauan lapor covid data yang masuk ada perselisihan antara data daerah dan pusat. Banyaknya saudara kita yang meninggal dunia dan pendataan yang amburadul menunjukkkan ada masalah yang serius dalam penanganan dan kebijakan yang diambil pemerintah dalam menangani pandemi. Ribuan nyawa orang yang meninggal semestinya mendapat perhatian serius, bukan hanya sekedar data angka, karena setiap warga negara hidup, keselamatan, dan kesehatannya semestinya dijamin dalam undang-undang.

Tak terbilang berapa kali pemerintah melakukan pergantian nama kebijakan dalam menangani pandemi. Berganti siapa yang bertanggung jawab atas kebijakan tersebut, kepemimpinan Satgas tak pernah sama sekali diserahkan kepada ahli kesehatan masyarakat atau epidemiolog. Beberapa pekan terakhir pun dunia Internasional menyoroti Indonesia menjadi episentrum pandemi dunia dengan penanganan yang carut marut. Sempat banyak ketidaktersediaan rumah sakit, kelangkaan oksigen, rencana vaksin berbayar, banyak tenaga kesehatan yang gugur, bahkan kematian anak Indoneisa akibat covid tertinggi di dunia. Seolah kebijakan pemerintah tersebut tak menunjukkan hasil yang signifikan.

Sebagai warga negara patut kita semua mengerti, kenapa kebijakan pemerintah dalam menangani pandemi tidak membuahkan hasil? Apakah pemerintah membuat kebijakan tidak mempertimbangkan kebutuhan rakyatnya? Atau memang sengaja pemerintah tidak memprioritaskan kebutuhan rakyat, sehingga menyebabkan kematian massal? Jika demikian pantaskah kita menyebut pemerintah sebagai pembunuh rakyat di tengah pandemi? Berikut sedikit catatan dari saya menyoal kematian massal yang disebabkan oleh  kebijakan pemerintah.

PPKM Tanpa Jaminan Hidup

PPKM atau Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat tanpa jaminan hidup adalah sebuah kebijakan pemerintah yang sangat tidak manusiawi, pasalnya tidak semua rakyat  siap melindungi dirinya dengan berbagai jenis keamanan di tengah pandemi, tidak semua mampu mempersiapkan kebutuhan makanan pokok. Banyak rakyat yang mengantungkan hidupnya dengan berjualan di pasar, menjadi tukang becak, tukang ojek, dsb. Mereka tidak bisa untuk tetap dirumah saja, untuk bisa bertahan hidup ia harus bekerja, jika tidak bekerja ia tidak makan dan bisa mati kelaparan. Maka dari itu tak salah jika banyak masyarakat di berbagai daerah beberapa waktu yang lalu berdemonstrasi menolak PPKM, tidak salah pula masyarakat di berbagai daerah mengibarkan bendera putih sebagai tanda bahwa masyarakat sudah tidak kuat bertahan dalam himpitan masalah ekonomi saat pandemi.

Kejamnya pemerintah dan aparat di tengah pandemi juga dipertontonkan dengan banyaknya pembubaran usaha warga di berbagai daerah oleh Satpol PP dengan menggunakan kekerasan. Diantaranya terjadi di Semarang, pada 7 Juli 2021, Satpol PP melakukan penyemprotan lapak pedagang di pinggir jalan yang melanggar aturan PPKM dengan menggunakan mobil pemadam kebakaran. Petugas juga bergerak cepat menyita dagangan dan peralatan dagang milik pedagang tersebut. Kemudian di Surabaya, pada 11 Juli 2021, petugas menyita tabung LPG 3 Kg milik pedagang di sebuah warung di Kecamatan Kenjeran. Tak hanya itu, petugas juga menyita e-KTP pemilik warung tersebut. Sedangkan di Tasikmalaya seorang penjual bubur didenda 5 juta rupiah karena melayani pembeli yang ingin makan di tempat. Penjual mengaku tidak tahu aturan PPKM. Namun, hakim tetap menjatuhkan hukuman denda. Beberapa kejadian tersebut adalah bukti nyata kekerasan yang dilakukan pemerintah melalui aparat negara.

Pemerintah dan aparat tidak menjamin kebutuhan hidup warga negaranya. Sementara Pendekatan yang dilakukan pemerintah dan aparat terhadap warga melanggar peraturan selama pandemi ini cenderung represif. Pemerintah berpikir dengan pikiran yang sangat kolot, menganggap situasi darurat kesehatan ini sama dengan darurat sipil atau militer. Sehingga warga banyak yang direpresi dan menerima berbagai tindak kekerasan, sedangkan warga butuh uang untuk mencukupi kebutuhan hidup. Dengan ini, jelas kita mengerti pemerintah memang tak peduli dengan kekhawatiran rakyat Indonesia yang takut mati kelaparan. Barangkali memang benar kelaparan tidak ramai diperbincangkan oleh pemerintah ataupun media mainstream, karena kelaparan tidak akan membunuh orang kaya, terlebih seperti pejabat pemerintah.

Jika pemerintah memiliki hati nurani, maka sudah semestinya pemerintah menyuplai kebutuhan hidup dasar masyarakat dan makanan hewan ternak yang ada di wilayah karantina tersebut. Sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-undang nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, “Dengan begitu masyarakat bisa berdiam diri ditempat tinggal dan setidaknya bisa tetap tenang karena ada yang mencukupi biaya kehidupan dasarnya.” Undang-undang Kekarantinaan Kesehatan tersebut sangat progresif dan berpihak kepada rakyat di situasi pandemi seperti ini, namun pada kenyataannya pemerintah tidak mau melaksanakan apa yang sudah diundangkan tersebut.

Pemerintah Melanggar Hak Kesehatan Masyarakat

Secara konstitusional, hak atas kesehatan merupakan hak asasi manusia yang menjadi kewajiban pemerintah untuk memenuhinya. Di antaranya disebutkan dalam Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia: yang berbunyi “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”

Namun apa yang terjadi di Indonesia saat pandemi covid meledak dan menjadi episentrum pandemi dunia, beberapa masyarakat tidak bisa dirawat di rumah sakit karena rumah sakit penuh, sehingga harus menunggu diluar atau harus berkeliling mencari rumah sakit lewat Aplikasi/telephone. Beberapa dari mereka tak kunjung mendapatkan rumah sakit, sehingga harus berkeliling secara manual. Hal itulah yang membuat banyak pasien covid meninggal dunia di jalan, di rumah sakit saat menunggu kamar, atau meninggal saat memilih melakukan perawatan di rumah karena kelelahan menunggu rumah sakit.

Ketika rumah sakit atau fasilitas kesehatan tidak lagi dapat menampung pasien, isolasi mandiri di rumah diharapkan bisa menjadi alternatif untuk perawatan pasien, tapi  pada kenyataannya banyak pasien yang tidak tertolong. Berdasarkan data laporcovid19 pada 24 Juli 2021, ada sebanyak 2.491 orang meningal dunia saat isolasi mandiri/di luar fasilitas kesehatan. Pasien isolasi mandiri dirawat tanpa pemberian pengawasan dan pelayanan kesehatanyang memadai. Banyaknya pasien isolasi mandiri yang meninggal dunia menandakan tidak ada perhatian serius kepada pasien  yang melakukan isolasi mandiri di rumah.

Tak hanya pasien, berdasarkan data dari laporcovid19 pada 10 Agustus 2021, ada 1646 tenaga kesehatan yang meninggal dunia karena covid. Hal ini dikarenakan kelelahan tak sanggup menangani pasien yang membludak.

Komitmen  pemerintah masih lemah dalam menjalankan 3T, yaitu testing (pemeriksaan), tracing (pelacakan), dan treatment (perawatan). Vaksin di beberapa daerah kehabisan, sementara di daerah lain bisa melakukan vaksin dengan leluasa. Hal tersebut tentu tidak bijak, karena sesungguhnya semua masyarakat harus mendapatkan vaksin, kelompok lansia sabagai prioritas vaksin harus ditingkatkan terus. Pada dasarnya kita tidak akan mencapai herd immunity jika masih banyak kalangan yang tidak mendapatkan vaksin. Selain itu di berbagai daerah muncul vaksinasi berbayar yang tidak hanya dilakukan oleh oknum individu, tetapi juga perusahaan.

Selain itu Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 mencatat lonjakan kasus covid mulai terjadi di enam provinsi di luar Pulau Jawa dan Bali dalam sebulan terakhir. Enam provinsi tersebut meliputi, Sumatera Utara, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sumatera Barat, Riau, dan Kalimantan Selatan. Menteri Koordinator bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan mengungkapkan penanganan di luar Pulau Jawa dan Bali berbeda karena lebih sulit. Hal tersebut disebabkan dukungan infrastruktur kesehatan yang belum memadai dan tantangan lainnya yang cukup besar di luar Jawa-Bali. Ini akan menjadi memperpanjang adanya ketimpangan kesehatan dan kematian massal yang tidak terbayangkan.

Ini adalah beberapa catatan buruk dunia kesehatan Indonesia yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah, bisa jadi masih ada banyak catatan yang mungkin belum tercatat di sini.

Tidak ada Keterbukaan Informasi Publik

Informasi tentang pandemi covid adalah informasi yang wajib diumumkan secara serta merta oleh badan publik yang memiliki kewenangan dan menguasai informasi tentang covid, karena covid dapat mengancam hajat hidup orang banyak dan ketertiban umum. Dasar hukum mengenai ketentuan ini, sebagaimana diatur dalam Undang-undang No 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Namun pada kenyataannya keterbukaan informasi publik dalam masa pandemi ini, masih dianggap menjadi momok  berbahaya, dalam penanganan pandemi Covid di Indonesia. Aparat dan pemerintah melakukan represi terhadap jurnalis, sehingga menghambat peran media sebagai pengawas kebijakan pemerintah dalam menangani pandemi.

Inisiator LaporCovid-19 sekaligus jurnalis Kompas, Ahmad Arif, artikelnya seputar Covid-19 diberi label hoaks selama 2020-2021. Salah satu artikelnya berjudul ”63 Pasien di RSUP Dr Sardjito Meninggal dalam Sehari” tayang pada 4 Juli 2021. Padahal kerja Jurnalis dilindungi UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Selanjutnya Melalui Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan, saat mengumumkan perpanjangan PPKM, Senin (9/8/2021). Pemerintah memutuskan untuk mengeluarkan angka kematian dari indikator penanganan Covid-19. Pasalnya, ditemukan masalah dalam input data sehingga menyebabkan akumulasi dari kasus kematian di beberapa minggu sebelumnya.

Menanggapi hal tersebut, epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman mengatakan bahwa kebijakan itu jelas keliru, selain itu juga berbahaya karena indikator kematian adalah indikator kunci adanya suatu wabah untuk melihat bukan hanya performa intervensi di hulu, tapi juga menilai derajat keparahan suatu wabah. Alih-alih data kematian yang menumpuk dan memunculkan ketidakakuratan, seharusnya tidak membuat pemerintah menghilangkannya begitu saja. Data kematian tersebut cukup diperbaiki dengan secepat dan seakurat mungkin tanpa perlu menghilangkannya.  tujuan penanganan pandemi adalah untuk meminimalisir angka kematian. Bahkan harus menghilangkan angka kematian yang diakibatkan oleh pandemi.

Berdasarkan hal ini, harusnya pemerintah sejak awal melakukan komunikasi krisis yang baik di masa pandemi. Komunikasi krisis membutuhkan keterbukaan informasi tentang Covid-19, pengakuan dan kejujuran dari pemerintah terkait penanganan, sehingga bisa menciptakan edukasi risiko kepada masyarakat luas.

Masyarakat tidak menjadi prioritas Utama

Beberapa catatan di atas adalah bukti bahwa di tengah pandemi, masyarakat bukanlah prioritas utama dalam kinerja pemerintah. Hal ini diperjelas dengan pemerintah yang mengesahkan Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja yang tergesa-gesa pada 5 oktober 2020, tanpa melibatkan partisipasi masyarakat. Membangun PLTU di tengah pandemi, pemerintah menyisihkan anggaran untuk mengecat pesawat Jokowi, dana bansos dikorupsi oleh menteri sosial, sementara banyak masyarakat yang menderita dibatasi PPKM tanpa tunjangan hidup, kesulitan mencukupi kebutuhan dasar dan terancam terinveksi virus covid.

Jika pemerintah memang memprioritaskan kepentingan masyarakat, harusnya pemerintah menerapkan lockdown yang sudah diatur oleh Undang-undang Kekarantinaan Kesehatan. Membuka informasi seluas-luasnya, karena informasi informasi bisa mengedukasi masyarakat, bukan malah meminta rakyat untuk menelan ludah dan bersabar mengahadapi wabah yang hadir di tengah kita. Sungguh ini adalah masalah yang serius, kita tidak bisa menjamin kesalamatan kita dalam pandemi ini, pun kita tidak tahu sampai kapan kebijakan pemerintah membatasi kegiatan masyarakat yang membuat rakyat kecil hanya ada pada dua pilihan, mati kelaparan atau mati karena virus. Untuk itu penting bagi kita untuk saling bersolidaritas dan saling menguatkan, perkuat pertahanan rakyat bantu rakyat, warga bantu warga, mengumpulkan donasi, membantu kebutuhan umum, membantu pasien yang sakit, kita tidak bisa berharap lagi pada pemerintah. Ini adalah perayaan kemerdekaan Indonesia yang muram, dan kado kemerdekaan dari pemerintah kita kali ini adalah kematian massal saudara-saudara kita, akibat salah mengambil kebijakan.

Penulis: Najmu Tsaqiib

Kategori
Diskusi

Demonstrasi Biaya Kuliah Saat Pandemi dan Pentingnya Belajar dari Gerakan Mahasiswa Chile

“Pembangkangan, bagi mereka yang pernah membaca sejarah adalah kualitas terbaik manusia. Melalui pembangkanganlah kemajuan dicapai, melalui ketidakpatuhan dan pemberontakan,” ~Oscar Wilde.

Sebulan terakhir di negeri ini sedang terjadi gelombang demonstrasi mahasiswa menyoal biaya kuliah. Tuntutan mahasiswa dari berbagai kampus pun berbeda-beda, ada yang hanya sebatas menuntut pengurangan biaya kuliah dan sebatas keberatannya membeli kuota internet, hingga ada yang menuntut biaya pendidikan gratis dan melakukan mogok bayar. Meskipun berbeda-beda tuntutan, pada dasarnya para mahasiswa di berbagai daerah itu memiliki latar belakang yang sama, mereka diseru untuk membayar biaya kuliah, sementara  situasi perekonomian sedang krisis, sehingga mereka keberatan atau bahkan tak mampu untuk membayarnya.

Saya pribadi lebih setuju dengan tuntutan mahasiswa yang menuntut biaya pendidikan gratis dan melakukan mogok bayar, menurut saya hal ini lebih realistis dan layak dijadikan sebagai gerakan bersama. Saya menganggap bahwa rata-rata dari mahasiswa membayar biaya kuliah dari penghasilan orang tua, dan rata-rata orang tua mereka adalah dari kalangan strata rendah, mayoritas dari keluarga kelas pekerja, entah itu pekerja formal/informal, buruh industri/non industri, guru honorer dan sebagainya, yang saat ini merasakan krisis perekonomian, sebagai dampak dari pandemi. Untuk makan sehari-hari saja mereka kesusahan, apalagi untuk membayar biaya kuliah tunggal. Tentunya wacana menormalkan kembali perekonomian seperti sebelum pandemi itu tidak semudah membalik telapak tangan, perlu waktu bertahun-tahun untuk menyetabilkan perekonomian. Karena banyak dari kelas pekerja yang sudah kehilangan pekerjaan dan dirumahkan. Selebihnya lagi, pandemi di Indonesia tidak bisa diprediksi kapan berakhirnya.

Demonstrasi mahasiswa akibat resah dengan biaya uang kuliah, di beberapa tempat pun tak mendapat sambutan yang baik dari birokrasi kampus, beberapa di antaranya menyuruh mahasiswa untuk pindah kuliah, lebih tragisnya lagi ada mahasiswa yang dihadapkan dengan berbagai ancaman, represi bahkan drop out. Sebanyak 34 mahasiswa Universitas Nasional diancam dilaporkan pidana UU ITE dan diancam drop out kampus. Togi mahasiswa Universitas Bunda Mulia drop out gara-gara menuntut transpransi biaya, seorang mahasiswa Universitas Islam Negri Imam Bonjol menerima pukulan sampai harus dirawat di rumah sakit, sembilan mahasiswa Universitas Bina Insan Lubuk Linggau di drop out dari kampusnya. Itu adalah contoh kecil yang saya sebutkan, masih banyak yang belum disebutkan di sini. Namun dari situ saja kita sudah bisa melihat dengan jelas bagaimana watak kampus di Indonesia yang tidak mau mengerti penderitaan mahasiswa di tengah pandemi.

Menyikapi hal itu, beberapa pekan ini mencuat berbagai wacana konsolidasi nasional yang digulirkan oleh kelompok mahasiswa, untuk merespons kebijakan biaya pendidikan karena dampak pandemi pada perguruan tinggi. Letupan-letupan protes yang terjadi di berbagai kampus di Indonesia dan sosial media, menurut saya sampai saat belum mampu—jika tidak mau disebut gagal—memberikan perubahan yang signifikan terhadap kebijakan biaya pendidikan dalam skala nasional. Berbagai letupan protes tersebut, ironisnya yang sampai saat ini hanya mampu menghiasi media. Besar harapan saya, jangan sampai wacana ini ramai dipermukaan tanpa pengonsolidasian dan tuntutan yang lebih lanjut.

Penting menurut saya, kita perlu mengoreksi, mengapa tuntutan mahasiswa terhadap pembayaran biaya pendidikan di Indonesia sejauh ini masih terhenti sebatas judicial review dan letupan-letupan protes secara sporadis di masing-masing perguruan tinggi. Di Chile gerakan penuntutan dapat direspon dengan sangat masif oleh mahasiswa dan menjadi gerakan rakyat untuk menekan pemerintah melakukan perubahan kebijakan pada sektor pendidikan. Nah, disini saya ingin mengajak kawan-kawan semua untuk belajar dari gerakan mahasiswa Chile, sebuah gerakan masif yang menyita perhatian dunia pada abad ini.

Gerakan Mahasiswa Chile: Pendidikan tidak untuk dijual

“Universitas tidak bisa menjadi bisnis dan pendidikan tidak bisa menjadi komoditas. Masa depan Universitas dipertaruhkan, dan dalam pertempuran ini kita tidak akan meletakkan tangan kita ke bawah,” ~Camila Vallejo, Presiden Confederación de Estudiantes de Chile (CONFECH).

Gerakan mahasiswa Chile yang terjadi pada kisaran tahun 2011, merupakan salah satu gerakan sosial yang cukup besar dan menyita perhatian dunia pada abad ini. Gerakan itu dipantik oleh mahasiswa, yang didasari adanya kondisi ekonomi politik Chile sebagai Negara Kapitalis atau bisa juga disebut sebagai Negara Dunia Ketiga, yang terdapat jurang ketimpangan antara si kaya dan si miskin semakin jelas. Gerakan tersebut menentang kebijakan neoliberalisme pendidikan, yang menghambat orang miskin tidak bisa mendapat akses pendidikan.

Proses reformasi neoliberal di Chile, mulai dilakukan saat presiden sayap Kiri yang bernama Allende dikudeta oleh kelompok militer di bawah komando Pinochet pada kisaran tahun 1973. Proses kudeta itu sering disebut dengan “Peristiwa Jakarta”. Karena memiliki kesamaan proses kudeta dari Pinochet dengan kudeta dari Soeharto, sehingga menjadi penyebab munculnya term itu. Seperti adanya peran CIA, proses kudeta yang dibangun atas dalih membasmi kelompok yang dituduh akan melakukan kudeta, proses untuk menangkal paham komunis, dan juga penggunaan berbagai aksi massa untuk memberi legitimasi pemerintahan militer.

Neoliberalisasi di Chile telah membentuk sektor pendidikan sebagai komoditas dan barang mewah yang hanya bisa dinikmati oleh orang tertentu dan menjadi lumbung meraih keuntungan yang besar bagi pengelola lembaga pendidikan. Kemudian menimbulkan perlawanan dari para pelajar sekolah menengah atas pada kisaran tahun 2006, yang sering disebut sebagai “Revolusi Pinguin”, karena mereka menggunakan seragam putih-hitam pada aksi tersebut. Mereka menuntut adanya pendidikan gratis, adanya demokratisasi dalam dunia pendidikan. Gerakan yang dilakukan para pelajar menengah atas tersebut cukup masif, meskipun gerakan tersebut belum mampu untuk mendorong perubahan dalam undang-undang pendidikan di Chile.

Lima tahun kemudian, ada gerakan mahasiswa yang melakukan aksi dengan skala yang lebih besar. Gerakan ini sering disebut sebagai gerakan musim dingin (Chilean Winter), karena pergerakan dilakukan ketika Chile memasuki musim dingin. Dalam gerakan tersebut menurut saya, terdapat beberapa faktor penting untuk di garis-bawahi dan menarik untuk dicontoh gerakan mahasiswa yang menuntut penggratisan biaya pendidikan pada masa pandemi ini, terlebih mempunyai latar belakang yang sama, yaitu pendidikan menjadi komoditas, yang terlihat lebih jelas ketimpangannya di tengah pandemi ini.

Pertama, gerakan mahasiswa Chile bukanlah gerakan yang diciptakan dari atas ke bawah dari aktor politik yang mapan maupun lembaga politik elit, melainkan gerakan kolektif akar rumput, yang mampu menyatukan berbagai kepentingan. Mereka menolak disebut sebagai gerakan mahasiswa atau gerakan pelajar, mereka memilih disebut sebagai gerakan rakyat. Tak salah jika tuntutan para mahasiswa tentang pendidikan yang gratis telah menembus sekat-sekat antara universitas, ruang kelas tempat di mana para guru mengajar, ladang-ladang pertanian, hingga gudang tempat para buruh bekerja. Gerakan itu dibentuk oleh kegelisahan rakyat tentang pendidikan anak-anak mereka dan juga kegelisahan siswa mengenai masa depan mereka yang tidak menjanjikan sebagai pekerja, yang memantik terbentuknya Aliansi Blok Historis yang berkesadaran politik. Hasilnya dalam gerakan itu terdapat Front Populer yang berisi aktor yang heterogen dengan ideologi politik yang beragam seperti marxis, komunis, anarko bahkan kaum agamawan.

Kedua, Adanya Confederación de Estudiantes de Chile (CONFECH) sebagai pelopor pergerakan dan inisiator konfederasi mahasiswa dari berbagai universitas di Chile, yang awalnya terdiri dari perwakilan asosiasi mahasiswa dari sekitar 30 universitas di Chile, baik universitas negeri ataupun swasta, membuat gerakan protes tersebut menjadi masif, kuat dan tidak terpecah-bela. Mereka meminimalkan struktur hierarki dalam model gerakan. Gerakan protes tersebut merupakan gerakan ‘horizontalisme’ di antara mereka sendiri. Gerakan tersebut merupakan suatu model gerakan baru—yang di Amerika Latin sering disebut dengan “horizontalidad”—yang ditemukan pada gerakan-gerakan radikal buruh yang termarginalisasi di Argentina pada Desember 2001. Horizontalidad sebagai metode gerakan merupakan pengorganisasian orang dalam model di mana mereka menciptakan sebuah hubungan yang terbuka antara peserta, tanpa dewan perwakilan. Meskipun demonstrasi tersebut dikoordinasi oleh CONFECH, Camila Vallejo sebagai ketua dari CONFECH sekaligus sosok yang paling terlihat dalam gerakan tersebut hanya berperan sebagai juru bicara bukan perwakilan gerakan. Selain itu, horizontalisme di dalam internal gerakan memberikan kesempatan bagi semua orang untuk berpartisipasi menyuarakan pendapat mereka. Sehingga keputusan yang diambil terkait gerakan tersebut mendapatkan legitimasi yang kuat dari internal itu sendiri.

Ketiga, gerakan mahasiswa Chile tidak hanya fokus terhadap tuntutan sistem pendidikan, namun mereka juga memberikan solusi terkait masalah tersebut. Selain aksi turun ke jalan, mahasiswa Chile sebagai motor gerakan tersebut mengajukan proposal-proposal yang berisi langkah-langkah yang seharusnya diambil pemerintah untuk membiayai pendidikan gratis di Chile. Di antaranya dengan menasionalisasi tambang tembaga, memotong anggaran belanja militer, melakukan reformasi pajak dan lain sebagainya.

Keempat, strategi aksi yang mereka lakukan beragam. Selain melakukan demonstrasi turun ke jalan dengan orasi. Mereka juga melakukan aksi populer dan kreatif, membangun wacana kekinian, flash-mob masal, aksi dengan kostum menarik dan boneka raksasa, aksi bersepeda hingga aksi berciuman masal di depan istana kepresidenan yang menarik perhatian khalayak, yang membuat orang yang awalnya apatis menjadi turut bergerak bersolidaritas dalam aksi (Meskipun masih belum ada kesadaran politik secara penuh). Lebih dari pada itu, gerakan tersebut berhasil menarik perhatian media massa internasional.

Terakhir, Meskipun belum membuahkan hasil tuntutan pendidikan gratis sepenuhnya, namun mahasiswa Chile telah banyak memberi pelajaran kepada kita semua tentang; bagaimana mahasiswa harusnya mengorganisir dirinya, bergabung dengan gerakan rakyat dan bagaimana mahasiswa menunjukkan dirinya sebagai kekuatan penekan yang layak diperhitungkan dalam membuat kebijakan, bagaimana mahasiswa mempertahankan nafas perjuangan meski memakan waktu yang cukup lama.

Di situasi saat ini sangat tidak mustahil untuk bisa meniru gerakan mahasiswa Chile, menyatu dengan gerakan rakyat, terlebih saat ini banyak rakyat yang mengalami multi krisis yang diakibatkan oleh pandemi. Ditambah lagi pemerintah yang semakin sewenang-wenang bertindak tanpa memperhatikan dampak buruknya, seperti mengesahkan rancangan undang-undang minerba, mencabut rancangan undang-undang penghapusan kekerasan seksual dari prolegnas prioritas 2020, dan berencana mengesahkan undang-undang omnibus law di tengah pandemi seperti ini. Yang tidak mustahil akan melakukan berbagai aksi besar pada masa pandemi ini.

Gerakan mahasiswa mustahil bisa mencapai tuntutan penggratisan biaya kuliah tanpa dukungan rakyat lainnya, mahasiswa adalah anak dari rakyat, biaya kuliahnya dibiayai dari hasil dari jeri payah keringat orang tua yang bekerja di berbagai sektor. Untuk itu baiknya kita harus saling solidaritas dan saling menguatkan sesama gerakan. Karena itu kita perlu kerjasama, berdiskusi, musyawarah untuk membangun kesadaran politik bersama dan membangun gerakan yang lebih masif. Perlulah menyadari bahwa kita semua sama, Slavoj Zizek mengatakan dalam bukunya yang berjudul Pandemi “we are now in the same boat (kita sekarang sedang berada di perahu yang sama).”

Referensi
[1] Umar, A. R. M.  Indoprogress (online). Maret 2013. Undang-Undang Pendidikan Tinggi dalam Jerat Kapitalisme. http://indoprogress.com/2013/03/uu-pendidikan-tinggi-dalam-jerat-kapitalisme/. Diakses, 5 Juli 2020.
[2] Novianto, Arif. majalahsedane.org. 17 Mei 2017. Revolusi Penguin dan Gerakan Musim Dingin Belajar dari Pengalaman Perlawanan Pelajar di Chile. http://majalahsedane.org/revolusi-penguin-dan-gerakan-musim-dingin-belajar-dari-pengalaman-perlawanan-pelajar-di-chile/ diakses, 5 Juni 2020.
[3] Yerry, anarkis.org. Maret 2017. No Se Vende Education Belajar dari Gerakan Mahasiswa Chile. https://anarkis.org/no-se-vende-educacion-belajar-dari-gerakan-mahasiswa-chile/ diakses, 5 juli 2020.

Kategori
Diskusi Esai

Covid-19 Belum Berakhir, Pangan: Krisis, Ekologis dan Tangis

Pembatasan sosial dan skema penguncian (lockdown) yang diterapkan di banyak negara akan mempengaruhi produksi pertanian global. Food and Agriculture Organization (FAO) telah memperingatkan terjadinya kelangkaan pangan di tengah pandemi Covid-19. Pemerintahan harus secara cepat mampu mengantisipasi peringatan FOA untuk menjaga ketersediaan pangan dan menyelamatkan petani.

Soal kebutuhan pangan khususnya bahan pokok seperti beras, Indonesia masih menggantungkan hidupnya dengan negara lain. Tentu ada banyak sekali bahan pokok lainnya yang diimpor oleh Indonesia. Namun beras bisa jadi contoh yang mudah untuk menggambarkan bagaimana krisis pangan akan terjadi di Indonesia.

Setidaknya ada dua negara pengekspor beras yang menjadi langganan Indonesia,  yakni Thailand dan Vietnam. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada bulan Oktober 2019, impor beras dari Vietnam mengalami kenaikan dari tahun 2017 sebesar 16.599,9 ton menjadi 767.180,9 ton di tahun 2018. Diikuti jumlah impor dari Thailand 108.944,8 ton di tahun 2017 menjadi 795.600,1 ton pada 2018.

Ketergantungan impor beras Indonesia telah menjadi lagu lama. Sejak krisis ekonomi 1998, ketergantungan akan beras impor menjadi solusi dalam pemenuhan kebutuhan sekaligus menekan kenaikan harga.

Ketika emak-emak di pasar berteriak harga beras naik akibat gagal panen, dll- sejurus kemudian pemerintah keluarkan kebijakan impor beras. Logika ekonomi yang sederhana, semakin banyak barang yang beredar di pasar maka semakin murah harganya.

Thailand dan Vietnam seolah menjadi dewi fortuna Indonesia khususnya dalam hal beras. Celakanya kini, kedua negara ini telah membatasi ekspor beras mereka ke negara lain. Motifnya sederhana, beras tersebut dipakai untuk memberikan makan rakyatnya. Karena, baik Thailand maupun Vietnam sedari awal kejadian Covid-19 di Wuhan telah meng–karantina wilayahnya.

Negara penyetok pangan ke Indonesia, kini harus membatasi pengiriman beras. Alhasil kelangkaan beras di negeri agraris ini pasti akan terjadi. Jika berkelanjutan, defisit stok pangan dapat berubah menjadi krisis pangan. Sebagai solusinya, Presiden Joko Widodo memerintahkan Kementerian Pertanian bersama beberapa BUMN untuk mencetak lahan sawah baru dengan target seluas 900.000 hektar, termasuk lahan gambut, lahan basah, dan lahan kering. Namun, wacana tersebut menuai polemik di ranah publik.

Seperti sebelumnya, lahan selama ini menjadi masalah besar di sektor pertanian. Banyak lahan pertanian yang telah dikonversi untuk pengembangan industri, infrastruktur dan lainnya. Dilaporkan oleh Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS) yang dipublikasi pada April 2019 lalu dengan judul “Tol Terbilang, Sawah Hilang: Harga Mahal Trans Jawa“.

Dalam laporan tersebut IDEAS menyebutkan, sepanjang tahun 2015 hingga 2018 tercatat 680,4 Km jalan tol di Jawa yang telah dibangun. Sebagian besar jalan tol tersebut dibangun diatas lahan pertanian, terutama sawah. Lahan sawah yang dikorbankan untuk pembangunan jalan tol tersebut seluas 4.457 hektar.

Tak berhenti sampai di sini, ambisi pemerintah dalam membangun jalan tol pada periode 2019 hingga 2021 (saat ini dalam proses konstruksi) mencapai 766,1 km. Angka 766,1 km ini pun harus dibayar dengan hilangnya lahan pertanian (sawah) seluas 9.475 hektar.

Angka ini belum termasuk dalam perhitungan konservatif lahan,  akibat adanya jalan tol yang dibangun. Tentunya lahan pertanian yang berada di sekeliling pintu gerbang tol menjadi sangat strategis.

IDEAS memperkirakan, dari 680,4 Km jalan tol yang dibangun sepanjang 2015-2018, akan memicu konversi lahan pertanian hingga 49 ribu hektar atau setara dengan luas seluruh sawah di Kabupaten Sukabumi.

Sementara 766,1 Km jalan tol yang akan beroperasi pada 2019-2021, diperkirakan akan memicu konversi lahan pertanian hingga 70 ribu hektar, setara dengan luas seluruh sawah di Kabupaten Bojonegoro.

Data lain menyebutkan, sepanjang tahun 2013 hingga 2018, terjadi konversi lahan sawah seluas 181 ribu hektar di seluruh Jawa. Sepuluh kabupaten yang kehilangan sawah terbesar atau ± 5 ribu hektar, adalah Banyuwangi, Bandung, Serang, Demak, Jember, Cirebon, Bangkalan, Grobogan, Lamongan dan Brebes. Atau dengan kata lain, pulau Jawa kehilangan hampir 100 ribu hektar sawah dalam 5 tahun terakhir.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat antara 2018 dan 2019, luas panen padi berkurang dari 11,4 juta hektar menjadi 10,7 juta hektare.

Dampak dari lahan pertanian yang berkurang dan tingginya impor beras Indonesia, membuat ratusan petani beralih profesi. Bahkan data dari BPS menunjukan, selama 10 tahun terakhir setidaknya ada 5 juta petani yang beralih profesi ke sektor lain, khususnya menjadi buruh.

Tak hanya itu, kuota pupuk bersubsidi dari pemerintah yang diberikan kepada petani pun tiap tahunnya ikut menurun. Tahun 2018 kuota pupuk yang diberikan menurun dari tahun sebelum yakni dari 22-24 ribu ton menjadi 20 ribu ton. Angka ini terus menurun di tahun selanjutnya atau hanya sekitar 18 ribu ton di tahun 2019 dan tahun 2020 menurun menjadi 15 ribu ton.

***

Upaya pemerintah untuk memperluas lahan pertanian perlu diapresiasi, namun langkah ini tidak bisa diharapkan sebagai solusi cepat untuk mengatasi krisis pangan selama pandemi Covid-19.

Mencetak lahan pertanian baru membutuhkan waktu yang lama, mulai dari pengelolaan lahan dan proses pertaniannya, apalagi di lahan gambut. Peneliti CIPS Felippa Ann Amanta mengatakan bahwa mencetak lahan pertanian baru tidak bisa membantu kekurangan stok pangan yang terjadi saat ini, bahkan untuk selama Ramadan hingga sampai akhir tahun.  Karakteristik lahan yang dibuka untuk digunakan sebagai lahan pertanian juga belum tentu cocok dan berisiko mengakibatkan gagal panen.

Pengalaman Proyek Pengembangan Lahan Gambut Satu Juta Hektar di Kalimantan Tengah di rezim pemerintahan Soeharto seharusnya bisa jadi pembelajaran bahwa yang terjadi adalah gagal panen dan kerugian besar. Program cetak sawah dengan membuka lahan juga berresiko mengancam ekosistem yang ada.

Pangan memang merupakan kebutuhan mendesak dan prioritas saat ini, namun nasib keberlanjutan lingkungan tentu harus diperhatikan.Pangan dan lingkungan, keduanya mestinya tidak saling dibenturkan. Keduanya bagai dua sisi mata uang yang sangat dibutuhkan bagi manusia. Keduanya justru harus saling mendukung dan bersama-sama menjamin keberlangsungan hidup makhluk hidup termasuk manusia.

Pangan merupakan penjamin kehidupan, sedangkan lingkungan merupakan penjamin keberlanjutan pembangunan. Penyelamatan pangan dan jaminan keberlanjutan lingkungan (ekologis) merupakan dua hal yang harus dihadirkan bersama. Dalam kondisi pandemi Covid-19 ini, tantangan semakin berat dalam menghadirkan keduanya sekaligus.

Keterpenuhan sekarang dan ancaman kerusakan ke depan tentu kurang bijaksana dan hanya menjadi ‘bom waktu’ ancaman selanjutnya. Indonesia sebagai negeri agraris mesti terselamatkan dari darurat pangan.

***

Kendati begitu dalam menghadapi krisis pangan kali ini, pemerintah nampaknya cukup optimis. Terlihat dari pernyataan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto yang menjamin pasokan pangan akan aman selama 3 bulan kedepan.  Optimis serupa pun ditujukan oleh Luhut Panjaitan, bahkan ia tak hanya menjamin beras dan sembako, BBM dan listrik pun dijamin akan aman sentosa selama pandemi.

Namun optimisme kedua menteri ini sejalan dengan kondisi masyarakat dan pasar yang tak beraturan seperti ini? Awal kejadian Covid-19, masker dan hand sanitizer sempat langka, harganya pun ikut melambung tinggi. Pemerintah bahkan tidak mampu mengontrol.

Meningginya harga mungkin tidak dirasakan oleh beberapa pihak. Ketika krisis pangan terjadi, mereka masih mampu untuk membeli bahkan menimbun bahan pangan. Alhasil yang menjadi korban adalah masyarakat kecil yang sedari awal mengagungkan pemerintah dengan program-programnya.

Parahnya pemerintah masih saja mengurusi pasar global. Kebijakan ekonomi makro yang kemudian dituangkan dalam rancangan Perppu 1 tahun 2020 jadi fokus utama, dan melupakan rakyat kecil yang menunggu ketercukupan pangan sehari-hari. Lucunya lagi, anggaran untuk pembangunan masih saja ditingkatkan, sementara untuk pangan mengalami penurunan tiap saat.

***

Memasuki masa ‘new normal’ seperti yang dicanangkan pemerintahan untuk sekedar ‘berdamai dengan Covid-19’ maka sektor pertanian akan memasuki tantangan terberat. Salah satunya adalah ‘bagaimana’ menyerap arus-balik tenaga kerja dari kota ke desa yaitu para korban pemutusan hubungan kerja (PHK) dari sektor industri dan jasa yang “rehat” karena dampak Covid-19. Ditambah pelaku ekonomi informal kota yang pulang kampung karena peluang usaha/kerja yang ikut meredup.

Jika ‘opsi’ pencetakan sawah baru itu dijalankan, bersifat padat mesin sehingga serapan tenaga kerjanya juga kecil. Lantas ke mana pertambahan tenaga kerja di pedesaan, akibat PHK dan pulang kampung terkait Covid-19 akan disalurkan?  

Mereka akan tetap masuk ke sektor pertanian dan menyebabkan kondisi involusi di situ. Suatu kondisi di mana terlalu banyak tenaga kerja menggantungkan nafkah di bidang pertanian yang kapasitasnya terbatas.

The SMERU Research Institute dalam laporan The Impact of Covid-19 Outbreak on Poverty: An Estimation for Indonesia sudah memberi peringatan.  Pada angka pertumbuhan ekonomi 4.2% tahun 2020 (target 5.3%),  tingkat kemiskinan nasional akan naik dari 9.2% (24.8 juta jiwa, 2019) menjadi  9.7% (26.1 juta jiwa).  

Pemerintah sebenarnya sudah mengantisipasi “ledakan” itu dengan menyiapkan program jaring pengaman sosial.  Tapi, kecuali padat karya tunai pedesaan (Rp 10 triliun), program-program itu diperkirakan kurang efektif karena cenderung bias kota (kartu pra-kerja, kartu sembako, BLT, PKH).

Untuk meredam risiko involusi pertanian itu, integrasi fungsi-fungsi jaring pengaman sosial ke dalam program intensifikasi pertanian dapat dipertimbangkan sebagai sebuah strategi. Selain meningkatkan produktivitas,  program sinergi BUMN dan Kementan itu harus meningkatan pula volume kegiatan pangan. 

Caranya, pertama, peningkatan IP sampai 3.0, dua kali tanam padi dan satu kali tanam palawija/hortikultura. Kedua, peningkatan hilirisasi pertanian, khususnya pengolahan dan pemasaran hasil pertanian dan ikutannya. Dengan catatan bahwa strategi ini untuk meningkatkan kondisi sosial dan mencapai keadilan masyarakat tanpa adanya ‘kepentingan’ lain.

Jika masing-masing individu ‘sadar’, seharusnya pandemi telah usai.    

Dua cara itu akan menyerap tambahan tenaga kerja pedesaan dalam jumlah signifikan. Dengan begitu keresahan sosial akibat pengangguran dan kemiskinan, yang bisa berujung kerusuhan sosial, dapat diredam.