“Pembangkangan, bagi mereka yang pernah membaca sejarah adalah kualitas terbaik manusia. Melalui pembangkanganlah kemajuan dicapai, melalui ketidakpatuhan dan pemberontakan,” ~Oscar Wilde.
Sebulan terakhir di negeri ini sedang terjadi gelombang demonstrasi mahasiswa menyoal biaya kuliah. Tuntutan mahasiswa dari berbagai kampus pun berbeda-beda, ada yang hanya sebatas menuntut pengurangan biaya kuliah dan sebatas keberatannya membeli kuota internet, hingga ada yang menuntut biaya pendidikan gratis dan melakukan mogok bayar. Meskipun berbeda-beda tuntutan, pada dasarnya para mahasiswa di berbagai daerah itu memiliki latar belakang yang sama, mereka diseru untuk membayar biaya kuliah, sementara situasi perekonomian sedang krisis, sehingga mereka keberatan atau bahkan tak mampu untuk membayarnya.
Saya pribadi lebih setuju dengan tuntutan mahasiswa yang menuntut biaya pendidikan gratis dan melakukan mogok bayar, menurut saya hal ini lebih realistis dan layak dijadikan sebagai gerakan bersama. Saya menganggap bahwa rata-rata dari mahasiswa membayar biaya kuliah dari penghasilan orang tua, dan rata-rata orang tua mereka adalah dari kalangan strata rendah, mayoritas dari keluarga kelas pekerja, entah itu pekerja formal/informal, buruh industri/non industri, guru honorer dan sebagainya, yang saat ini merasakan krisis perekonomian, sebagai dampak dari pandemi. Untuk makan sehari-hari saja mereka kesusahan, apalagi untuk membayar biaya kuliah tunggal. Tentunya wacana menormalkan kembali perekonomian seperti sebelum pandemi itu tidak semudah membalik telapak tangan, perlu waktu bertahun-tahun untuk menyetabilkan perekonomian. Karena banyak dari kelas pekerja yang sudah kehilangan pekerjaan dan dirumahkan. Selebihnya lagi, pandemi di Indonesia tidak bisa diprediksi kapan berakhirnya.
Demonstrasi mahasiswa akibat resah dengan biaya uang kuliah, di beberapa tempat pun tak mendapat sambutan yang baik dari birokrasi kampus, beberapa di antaranya menyuruh mahasiswa untuk pindah kuliah, lebih tragisnya lagi ada mahasiswa yang dihadapkan dengan berbagai ancaman, represi bahkan drop out. Sebanyak 34 mahasiswa Universitas Nasional diancam dilaporkan pidana UU ITE dan diancam drop out kampus. Togi mahasiswa Universitas Bunda Mulia drop out gara-gara menuntut transpransi biaya, seorang mahasiswa Universitas Islam Negri Imam Bonjol menerima pukulan sampai harus dirawat di rumah sakit, sembilan mahasiswa Universitas Bina Insan Lubuk Linggau di drop out dari kampusnya. Itu adalah contoh kecil yang saya sebutkan, masih banyak yang belum disebutkan di sini. Namun dari situ saja kita sudah bisa melihat dengan jelas bagaimana watak kampus di Indonesia yang tidak mau mengerti penderitaan mahasiswa di tengah pandemi.
Menyikapi hal itu, beberapa pekan ini mencuat berbagai wacana konsolidasi nasional yang digulirkan oleh kelompok mahasiswa, untuk merespons kebijakan biaya pendidikan karena dampak pandemi pada perguruan tinggi. Letupan-letupan protes yang terjadi di berbagai kampus di Indonesia dan sosial media, menurut saya sampai saat belum mampu—jika tidak mau disebut gagal—memberikan perubahan yang signifikan terhadap kebijakan biaya pendidikan dalam skala nasional. Berbagai letupan protes tersebut, ironisnya yang sampai saat ini hanya mampu menghiasi media. Besar harapan saya, jangan sampai wacana ini ramai dipermukaan tanpa pengonsolidasian dan tuntutan yang lebih lanjut.
Penting menurut saya, kita perlu mengoreksi, mengapa tuntutan mahasiswa terhadap pembayaran biaya pendidikan di Indonesia sejauh ini masih terhenti sebatas judicial review dan letupan-letupan protes secara sporadis di masing-masing perguruan tinggi. Di Chile gerakan penuntutan dapat direspon dengan sangat masif oleh mahasiswa dan menjadi gerakan rakyat untuk menekan pemerintah melakukan perubahan kebijakan pada sektor pendidikan. Nah, disini saya ingin mengajak kawan-kawan semua untuk belajar dari gerakan mahasiswa Chile, sebuah gerakan masif yang menyita perhatian dunia pada abad ini.
Gerakan Mahasiswa Chile: Pendidikan tidak untuk dijual
“Universitas tidak bisa menjadi bisnis dan pendidikan tidak bisa menjadi komoditas. Masa depan Universitas dipertaruhkan, dan dalam pertempuran ini kita tidak akan meletakkan tangan kita ke bawah,” ~Camila Vallejo, Presiden Confederación de Estudiantes de Chile (CONFECH).
Gerakan mahasiswa Chile yang terjadi pada kisaran tahun 2011, merupakan salah satu gerakan sosial yang cukup besar dan menyita perhatian dunia pada abad ini. Gerakan itu dipantik oleh mahasiswa, yang didasari adanya kondisi ekonomi politik Chile sebagai Negara Kapitalis atau bisa juga disebut sebagai Negara Dunia Ketiga, yang terdapat jurang ketimpangan antara si kaya dan si miskin semakin jelas. Gerakan tersebut menentang kebijakan neoliberalisme pendidikan, yang menghambat orang miskin tidak bisa mendapat akses pendidikan.
Proses reformasi neoliberal di Chile, mulai dilakukan saat presiden sayap Kiri yang bernama Allende dikudeta oleh kelompok militer di bawah komando Pinochet pada kisaran tahun 1973. Proses kudeta itu sering disebut dengan “Peristiwa Jakarta”. Karena memiliki kesamaan proses kudeta dari Pinochet dengan kudeta dari Soeharto, sehingga menjadi penyebab munculnya term itu. Seperti adanya peran CIA, proses kudeta yang dibangun atas dalih membasmi kelompok yang dituduh akan melakukan kudeta, proses untuk menangkal paham komunis, dan juga penggunaan berbagai aksi massa untuk memberi legitimasi pemerintahan militer.
Neoliberalisasi di Chile telah membentuk sektor pendidikan sebagai komoditas dan barang mewah yang hanya bisa dinikmati oleh orang tertentu dan menjadi lumbung meraih keuntungan yang besar bagi pengelola lembaga pendidikan. Kemudian menimbulkan perlawanan dari para pelajar sekolah menengah atas pada kisaran tahun 2006, yang sering disebut sebagai “Revolusi Pinguin”, karena mereka menggunakan seragam putih-hitam pada aksi tersebut. Mereka menuntut adanya pendidikan gratis, adanya demokratisasi dalam dunia pendidikan. Gerakan yang dilakukan para pelajar menengah atas tersebut cukup masif, meskipun gerakan tersebut belum mampu untuk mendorong perubahan dalam undang-undang pendidikan di Chile.
Lima tahun kemudian, ada gerakan mahasiswa yang melakukan aksi dengan skala yang lebih besar. Gerakan ini sering disebut sebagai gerakan musim dingin (Chilean Winter), karena pergerakan dilakukan ketika Chile memasuki musim dingin. Dalam gerakan tersebut menurut saya, terdapat beberapa faktor penting untuk di garis-bawahi dan menarik untuk dicontoh gerakan mahasiswa yang menuntut penggratisan biaya pendidikan pada masa pandemi ini, terlebih mempunyai latar belakang yang sama, yaitu pendidikan menjadi komoditas, yang terlihat lebih jelas ketimpangannya di tengah pandemi ini.
Pertama, gerakan mahasiswa Chile bukanlah gerakan yang diciptakan dari atas ke bawah dari aktor politik yang mapan maupun lembaga politik elit, melainkan gerakan kolektif akar rumput, yang mampu menyatukan berbagai kepentingan. Mereka menolak disebut sebagai gerakan mahasiswa atau gerakan pelajar, mereka memilih disebut sebagai gerakan rakyat. Tak salah jika tuntutan para mahasiswa tentang pendidikan yang gratis telah menembus sekat-sekat antara universitas, ruang kelas tempat di mana para guru mengajar, ladang-ladang pertanian, hingga gudang tempat para buruh bekerja. Gerakan itu dibentuk oleh kegelisahan rakyat tentang pendidikan anak-anak mereka dan juga kegelisahan siswa mengenai masa depan mereka yang tidak menjanjikan sebagai pekerja, yang memantik terbentuknya Aliansi Blok Historis yang berkesadaran politik. Hasilnya dalam gerakan itu terdapat Front Populer yang berisi aktor yang heterogen dengan ideologi politik yang beragam seperti marxis, komunis, anarko bahkan kaum agamawan.
Kedua, Adanya Confederación de Estudiantes de Chile (CONFECH) sebagai pelopor pergerakan dan inisiator konfederasi mahasiswa dari berbagai universitas di Chile, yang awalnya terdiri dari perwakilan asosiasi mahasiswa dari sekitar 30 universitas di Chile, baik universitas negeri ataupun swasta, membuat gerakan protes tersebut menjadi masif, kuat dan tidak terpecah-bela. Mereka meminimalkan struktur hierarki dalam model gerakan. Gerakan protes tersebut merupakan gerakan ‘horizontalisme’ di antara mereka sendiri. Gerakan tersebut merupakan suatu model gerakan baru—yang di Amerika Latin sering disebut dengan “horizontalidad”—yang ditemukan pada gerakan-gerakan radikal buruh yang termarginalisasi di Argentina pada Desember 2001. Horizontalidad sebagai metode gerakan merupakan pengorganisasian orang dalam model di mana mereka menciptakan sebuah hubungan yang terbuka antara peserta, tanpa dewan perwakilan. Meskipun demonstrasi tersebut dikoordinasi oleh CONFECH, Camila Vallejo sebagai ketua dari CONFECH sekaligus sosok yang paling terlihat dalam gerakan tersebut hanya berperan sebagai juru bicara bukan perwakilan gerakan. Selain itu, horizontalisme di dalam internal gerakan memberikan kesempatan bagi semua orang untuk berpartisipasi menyuarakan pendapat mereka. Sehingga keputusan yang diambil terkait gerakan tersebut mendapatkan legitimasi yang kuat dari internal itu sendiri.
Ketiga, gerakan mahasiswa Chile tidak hanya fokus terhadap tuntutan sistem pendidikan, namun mereka juga memberikan solusi terkait masalah tersebut. Selain aksi turun ke jalan, mahasiswa Chile sebagai motor gerakan tersebut mengajukan proposal-proposal yang berisi langkah-langkah yang seharusnya diambil pemerintah untuk membiayai pendidikan gratis di Chile. Di antaranya dengan menasionalisasi tambang tembaga, memotong anggaran belanja militer, melakukan reformasi pajak dan lain sebagainya.
Keempat, strategi aksi yang mereka lakukan beragam. Selain melakukan demonstrasi turun ke jalan dengan orasi. Mereka juga melakukan aksi populer dan kreatif, membangun wacana kekinian, flash-mob masal, aksi dengan kostum menarik dan boneka raksasa, aksi bersepeda hingga aksi berciuman masal di depan istana kepresidenan yang menarik perhatian khalayak, yang membuat orang yang awalnya apatis menjadi turut bergerak bersolidaritas dalam aksi (Meskipun masih belum ada kesadaran politik secara penuh). Lebih dari pada itu, gerakan tersebut berhasil menarik perhatian media massa internasional.
Terakhir, Meskipun belum membuahkan hasil tuntutan pendidikan gratis sepenuhnya, namun mahasiswa Chile telah banyak memberi pelajaran kepada kita semua tentang; bagaimana mahasiswa harusnya mengorganisir dirinya, bergabung dengan gerakan rakyat dan bagaimana mahasiswa menunjukkan dirinya sebagai kekuatan penekan yang layak diperhitungkan dalam membuat kebijakan, bagaimana mahasiswa mempertahankan nafas perjuangan meski memakan waktu yang cukup lama.
Di situasi saat ini sangat tidak mustahil untuk bisa meniru gerakan mahasiswa Chile, menyatu dengan gerakan rakyat, terlebih saat ini banyak rakyat yang mengalami multi krisis yang diakibatkan oleh pandemi. Ditambah lagi pemerintah yang semakin sewenang-wenang bertindak tanpa memperhatikan dampak buruknya, seperti mengesahkan rancangan undang-undang minerba, mencabut rancangan undang-undang penghapusan kekerasan seksual dari prolegnas prioritas 2020, dan berencana mengesahkan undang-undang omnibus law di tengah pandemi seperti ini. Yang tidak mustahil akan melakukan berbagai aksi besar pada masa pandemi ini.
Gerakan mahasiswa mustahil bisa mencapai tuntutan penggratisan biaya kuliah tanpa dukungan rakyat lainnya, mahasiswa adalah anak dari rakyat, biaya kuliahnya dibiayai dari hasil dari jeri payah keringat orang tua yang bekerja di berbagai sektor. Untuk itu baiknya kita harus saling solidaritas dan saling menguatkan sesama gerakan. Karena itu kita perlu kerjasama, berdiskusi, musyawarah untuk membangun kesadaran politik bersama dan membangun gerakan yang lebih masif. Perlulah menyadari bahwa kita semua sama, Slavoj Zizek mengatakan dalam bukunya yang berjudul Pandemi “we are now in the same boat (kita sekarang sedang berada di perahu yang sama).”
Referensi
[1] Umar, A. R. M. Indoprogress (online). Maret 2013. Undang-Undang Pendidikan Tinggi dalam Jerat Kapitalisme. http://indoprogress.com/2013/03/uu-pendidikan-tinggi-dalam-jerat-kapitalisme/. Diakses, 5 Juli 2020.
[2] Novianto, Arif. majalahsedane.org. 17 Mei 2017. Revolusi Penguin dan Gerakan Musim Dingin Belajar dari Pengalaman Perlawanan Pelajar di Chile. http://majalahsedane.org/revolusi-penguin-dan-gerakan-musim-dingin-belajar-dari-pengalaman-perlawanan-pelajar-di-chile/ diakses, 5 Juni 2020.
[3] Yerry, anarkis.org. Maret 2017. No Se Vende Education Belajar dari Gerakan Mahasiswa Chile. https://anarkis.org/no-se-vende-educacion-belajar-dari-gerakan-mahasiswa-chile/ diakses, 5 juli 2020.