Kategori
Siaran Pers

Pernyataan Solidaritas Bara-Baraya Makassar Menolak Tergusur

Upaya eksekusi terhadap pemukiman warga kampung kota Bara-Baraya oleh mafia tanah yang diduga bekerja sama dengan Pengadilan Negeri Makassar dan Polrestabes Kota Makassar berpotensi terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Pengadilan Negeri Makassar seharusnya tunda dan hentikan eksekusi Bara-Baraya hingga ada kepastian hukum yang jelas, transparan, dan adil bagi warga Bara-Baraya. Pengadilan Negeri Makassar segera patuhi Surat Permintaan Penundaan Eksekusi dari Komnas HAM dan Surat Penangguhan Eksekusi Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 1021 PK/Pdt/2022 yang telah dilayangkan warga Bara-Baraya. 

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) harus segera lakukan investigasi atas dugaan terlibatnya mafia tanah dan tindakan hukum yang tidak sah terkait penerbitan sertifikat pengganti. Warga Bara-Baraya telah menempati tanah tersebut melalui proses jual-beli yang sah. Mereka menemukan fakta bahwa terjadi manipulasi hukum berupa terlibatnya mafia tanah. Satgas Mafia Tanah Kementerian ATR/BPN harus menindaklanjuti laporan warga Bara-Baraya sebagaimana termaktub dalam surat resmi tertanggal 23 Januari 2025.

Temuan bukti atas penyelewengan tindakan hukum itu merujuk pada laporan warga Bara-Baraya Makassar atas dugaan tindak pidana pemalsuan keterangan atas Akta Otentik di Polda Sulawesi Selatan pada 6 Oktober 2025 dalam siaran pers LBH Makassar. “Laporan pidana ini didasarkan atas ditemukan putusan Nomor: 2/Pdt.G/2017/PN Mks yang menunjukkan pihak Nurdin Dg. Nombong dkk. menggugat HW (Warga Bara-Baraya) terkait kasus Wanprestasi,” tulisnya.

Maka tak semestinya terjadi eksekusi penggusuran di tanah Bara-Baraya karena upaya hukum yang ditempuh pihak bersengketa masih berjalan. “Pesan ini harus menjadi perhatian penuh bagi Pengadilan Negeri Makassar termasuk pihak keamanan yang hingga kini terus ingin melakukan upaya eksekusi atas perkara asal,” tulis siaran pers tersebut.

Ruang Hidup yang Layak adalah Hak

Setiap orang berhak untuk hidup di tempat yang aman, dalam kondisi yang layak, dan tidak boleh kehilangan tempat tinggalnya secara sewenang-wenang. Hal ini tertuang dalam UU Nomor 11 Tahun 2025. Hak atas tempat tinggal yang layak adalah bagian dari hak ekonomi, sosial, dan budaya yang dijamin dalam berbagai instrumen hukum internasional sebagaimana disebutkan dalam Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR).

Mengusir warga tanpa solusi pemukiman yang jelas bertentangan dengan hak dasar setiap individu untuk mendapatkan tempat tinggal yang aman dan layak. Relokasi yang tidak direncanakan dengan baik hanya akan menambah beban sosial dan ekonomi bagi warga terdampak. Pasal 40 UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak.

Risiko Pelanggaran HAM

Di dalam obyek sengketa itu terdapat sekitar 196 warga yang terdiri dari 93 orang laki-laki dan 103 perempuan terancam kehilangan tempat tinggal dan menjadi tunawisma apabila eksekusi tersebut tetap dipaksakan. Dari segi usia, terdapat 12 orang balita, 27 orang anak, 27 orang remaja, 116 orang dewasa dan 14 orang lansia. Pengadilan Negeri Makassar harus memperhatikan kondisi tersebut dengan menunda eksekusi penggusuran Bara-Baraya. Alasannya, angka potensi korban tersebut didominasi oleh kelompok rentan.

Dalam konteks yang lebih luas, kasus Bara-Baraya mencerminkan permasalahan struktural dalam tata kelola ruang dan hak atas kepemilikan tanah di Indonesia. Minimnya perlindungan hukum bagi warga serta kebijakan pembangunan yang lebih berpihak pada kepentingan modal menjadikan penggusuran sebagai ancaman nyata bagi banyak komunitas urban. Warga di berbagai daerah, seperti Taman Sari di Bandung, Kulon Progo di Yogyakarta, Kampung Bukit Duri dan Kampung Bayam di Jakarta, serta daerah-daerah lain telah menjadi korban penggusuran dengan dalih pembangunan infrastruktur dan investasi. Banyak dari penggusuran tidak hanya dilakukan oleh aparat, tetapi juga melibatkan mafia tanah yang bekerja sama dengan korporasi besar untuk merebut ruang hidup warga.

Perkara pelik warga Bara-Baraya bermula sejak terbitnya sertifikat pengganti SHM No.4/Kel. Bara-Baraya Tanggal 30 Juni 2016 dan Surat Ukur Tanggal 18-04-2016 No.00955/2016 yang menjadi dasar eksekusi terhadap warga. Artinya, jika dirunut dari perkara sengketa dengan HW menunjukkan bahwa Nurdin Dg. Nombong mengetahui bawah SHM No. 4 tidak hilang melainkan sedang dalam penguasaan pemilik sah sertifikat tersebut.

Inisial HW yang dimaksud adalah Hengky Wirawan. Ia diduga mendapatkan langsung Sertifikat Hak Milik (SHM) No.4/Kel. Bara-Baraya tanggal 26 Juli 1965 melalui proses jual beli kepada Nurdin Dg. Nombong pada 1991. Nurdin Dg. Nombong telah melaporkan kehilangan Sertifikat Hak Milik No. 4 yang berlokasi di Kamp Bara-Baraya Kec. Makassar, Kota Makassar, Sulawesi Selatan seluas 32.040 meter persegi atas nama Moedhinoeng Daeng Matika dan telah dimuat juga pada harian tribun timur tertanggal 25 Juni 2013. Sertifikat itu diduga hilang pada bulan Juni 2007 dalam wilayah kota Makassar. Laporan kehilangan ini dijadikan gugatan kepada warga Bara-Baraya untuk menyerahkan Sertifikat Hak Milik No. 4, dengan tanggal 26 Juni 1965 kepada Nurdin untuk dikembalikan ke Kantor BPN Kota Makassar dan ditarik dari peredaran.

Berdasarkan fatwa waris pengadilan agama tahun 1967 tanah seluas 3,2 hektar merupakan milik Moedhinoeng Dg. Matika Berdasarkan SHM No.4 yang kemudian tanah tersebut diwariskan kepada tiga ahli waris: satu laki-laki dan dua perempuan. Laki-laki mendapatkan 1,6 hektar dalam hal ini Nurdin Dg. Nombong dan dua ahli waris lain mendapat masing-masing 0,8 hektar yakni Dania Dg. Ngai dan saudara perempuanya.

Selanjutnya, berdasarkan akta jual beli tanah warga Bara-Baraya, tanah seluas 0,3 hektar yang telah diwariskan kepada Dania Dg. Ngai dijual kepada warga Bara-Baraya. Di sisi lain Nurdin Dg. Nombong menyewakan tanah yang ia dapat kepada Kodam Wirabuana VII (sekarang Kodam XIV Hasanudin) seluas 2,9 Hektar di luar dari luas yang sebelumnya ia dapat yakni hanya 1,6 hektar.

Ancaman penggusuran terhadap pemukiman warga Bara-Baraya bermula 13 Desember 2016. Subuh hari, sekitar 3.000 personel TNI-AD dari Kodam VII Wirabuana dikerahkan. Mereka menggusur lahan 102 rumah. Setiap rumah dihuni 3 sampai 4 kartu keluarga. Di asrama purnawirawan TNI Bara-Baraya itu terdapat setidaknya 600 jiwa.

Danramil 1408-08 Makassar mengeluarkan Surat Edaran perintah pengosongan lahan 28 rumah dengan 67 kartu keluarga atau 271 jiwa di luar asrama pada 1 Februari 2017. Ia kembali mengirim surat serupa pada 13 Februari 2017. Di surat rencana penertiban tanah itu, Kodam VII Wirabuana klaim bahwa bagian dari tanah okupasi. Surat Peringatan (SP) Pertama No. B/356/II/2017 perihal pengosongan lahan 28 rumah terbit 17 Februari 2017. Lima belas personel TNI-AD turun untuk membagikan SP I tersebut.

Luas tanah yang dikuasai kodam setelah menggusur asrama TNI hanya 2,2 hektar. Artinya tanah yang akan dikembalikan masih kurang sekitar 0,7 hektar. Sementara tanah warga yang berada di luar asrama TNI seluas 0,3 hektar—warga Bara-Baraya membelinya dari ahli waris Dania Dg. Ngai—juga ikut diklaim sebagai tanah okupasi TNI. Dampak pengklaiman tersebut menyebabkan lahirnya ancaman penggusuran terhadap rumah-rumah warga.

Sebelumnya, BPN Kota Makassar menolak pengurusan sertifikat tanah warga dan menganggap Akta Jual Beli (AJB) milik warga cacat hukum. Menyikapi pernyataan tersebut, warga Bara-Baraya  melakukan aksi ke kantor BPN Wilayah Sulawesi Selatan pada 20 Februari 2017. Esoknya, DPRD Sulawesi Selatan  melayangkan surat No. 490/61/DPRD ke Pangdam VII Wirabuana berisi muatan untuk menghentikan sementara penerbitan SP II dan mengharapkan Kodam berhenti mengintervensi warga. Ternyata surat itu tak diindahkan. Pada 6 Maret 2017 terbit SP II No. B/532/III/2017 perihal serupa SP I.

Warga Bara-Baraya menuntut agar DPRD mengadakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan menghadirkan semua pihak yakni Kodam dan BPN Makassar. Mereka melakukan aksi di Kantor DPRD SULSEL, Gubernur dan BPN pada 12 Maret 2017. Lusa hari, 15 Maret 2017, RDP dilangsungkan. Rekomendasinya meminta Kodam menahan diri atas segala bentuk intimidasi dan eksekusi sebelum terdapat putusan pengadilan tetap. Meski begitu, Kodam bersikukuh menertibkan rumah warga dan  menawarkan uang kerohiman senilai 100 juta namun warga tetap menolak.

Aksi warga Bara-Baraya di BPN Makassar pada 16 Maret 2017 membuahkan hasil berupa pernyataan  sikap BPN mendukung perjuangan warga yang memiliki AJB serta merekomendasikan agar didaftarkan sebagai Sertifikat Hak Milik. Kenyataannya justru berbalik. Pada Jumat malam, 16 Maret 2017, warga menerima SP III tertanggal 15 Maret 2017 melalui petugas kantor pos. Warga memblokade Jalan Abu Bakar Ali Lambogo untuk mengantisipasi terjadinya penggusuran lahan warga.

Komnas HAM RI sempat merekomendasikan Kodam VII Wirabuana menunggu proses hukum yang tengah berjalan sehingga menghasilkan putusan tetap. Rekomendasi itu diteruskan kepada Presiden RI melalui Kementerian Sekretaris Negara yang menyatakan hal serupa bahwa Kodam VII Wirabuana menghentikan rencana penggusuran terhadap warga Bara-Baraya dengan menarik Surat Peringatan terkait rencana penertiban 28 rumah warga. Berhasilnya upaya konsolidasi ini tak berarti menghentikan konflik penyelesaian hukum non-litigasi.

Nurdin Dg. Nombong meneruskan sengketa itu dengan menggugat 28 warga Bara-Baraya ke Pengadilan Negeri Makassar pada 21 Agustus 2017. Gugatan Nurdin Dg. Nombong tidak diterima Hakim PN Makassar dengan alasan ada pihak yang menguasai objek namun tidak digugat; penggugat tidak mengetahui batas-batas wilayah; penggugat tak menggugat pihak penjual dalam hal ini ahli waris.

Mundurnya Kodam dalam rencana penggusuran justru masuk ke dalam daftar tergugat. Ditolaknya gugatan Nurdin Dg. Nombong berlanjut ke Pengadilan Tinggi Makassar dengan posisi banding pada 7 Desember 2018 namun tetap ditolak. Ia melakukan gugatan kedua. Menambah 11 daftar tergugat menjadi 39 warga pada 10 Juli 2019 dan Hakim tetap menolaknya dengan alasan serupa gugatan pertama. Namun pada 9 September 2020, Hakim Pengadilan Tinggi Makassar mengabulkan semua isi gugatan banding Nurdin Dg. Nombong dengan alasan penggugat memiliki hak menentukan siapa yang hendak digugat sehingga membantah alasan hakim atas putusan pertama. Kedua, hadirnya SHM pengganti tahun 2016 yang tidak mencantumkan pembagian ke ahli waris siapapun sehingga menjadikan tanah yang dibeli warga dianggap tidak sah.

Nurdin Dg. Nombong menerbitkan sertifikat pengganti pada tahun 2016 memutihkan sertifikat asli yang dibuat pada tahun 1962 dengan alasan dokumen itu telah hilang. Namun yang menjadi pembeda dengan sertifikat sebelumnya, sertifikat pengganti tersebut memutihkan pembagian waris sebelumnya. Sehingga membuat tanah yang seluas 3,2 hektar milik Dg. Matika pada sertifikat pengganti kembali utuh dan belum terbagi secara waris. Hal ini menuai kejanggalan berupa kontradiksi dengan akta jual-beli yang dimiliki warga apabila mengacu pada fatwa waris yang dikeluarkan pengadilan agama pada tahun 1967. 

Naskah: PPMI DK Kedu
Editor: Delta Nishfu

Kategori
Berita Wawancara

Warga Gumuk Parangkusumo Tidak Pantas Digusur

Sejak tahun 2007, warga sekitar pesisir Parangtritis-Parangkusumo, Kretek, Bantul sudah pernah mengalami penggusuran. Menyusul tahun 2010, Pemkab Bantul kembali menggusur kios dan gubuk warga tanpa ganti rugi dengan tuduhan bahwa warga telah mendirikan “bangunan liar”. Dari situlah, warga terdampak mendirikan Aliansi Rakyat Menolak Penggusuran (ARMP) sebagai wadah untuk mengantisipasi segala penggusuran yang kerap mengancam.

Tahun ini, ancaman penggusuran pun datang dari pemerintah. Warga yang tinggal dan mendirikan bangunan di atas gumuk pasir Parangkusumo menjadi sasarannya. Dalih penggusuran ialah sebagai upaya restorasi (penataan ulang) gumuk pasir supaya lestari. Tuduhan bahwa warga telah menempati sultan ground (SG) atau tanah Kesultanan Ngayogyakarta secara tidak sah menjadi senjata pelengkap penggusuran.

Padahal, warga yang bertahun-tahun tinggal di atas gumuk pasir telah berjasa merawat kelestarian gumuk dengan cara menanam berbagai pepohonan seperti pandan, kleresede, dan cemara. Upaya warga tersebut berhasil karena pasir pantai menjadi tidak mudah terbawa angin dan menyelamatkan zona pertanian warga lainnya (di sisi utara pesisir) dari uruk pasir. Maka motif pelestarian gumuk pasir dianggap tidak wajar oleh warga sebagai dalih penggusuran. Ketidakwajaran itulah yang memupuk keyakinan: warga gumuk tidak pantas digusur!

Ternyata ada megaproyek Parangtritis Geomaritime Science Park (PGSP) yang diinisiasi oleh Pemkab Bantul, Pemprov Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, Badan Informasi Geospasial, dan Kemenristekdikti. Megaproyek berkonsep riset dan wisata ini meminta lahan seluas 347 hektar; dengan rincian 141 hektar zona inti, 95 hektar zona terbatas, dan 111 hektar zona penyangga. Pihak penyelenggara PGSP pun meminta agar warga gumuk yang menempati zona inti untuk segera pergi mengosongkan wilayah tersebut.

Berdasarkan surat pemberitahuan dari Pemkab Bantul yang menanggapi surat KHP Wahono Sarto Kriyo No. 120/W&K/VII/2016 Tentang Penertiban Zona Gumuk Pasir di Kawasan Gumuk Pasir di Kecamatan Kretek Kabupaten Bantul, dikabarkan bahwa penggusuran akan dimulai pada 1 September 2016. Pada tanggal itu pula, kubu yang bersolidaritas seperti tim Jogja Darurat Agraria (JDA), LBH Yogyakarta, Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI), dan PPMI DK Yogyakarta beserta awak persma mendatangi warga terdampak penggusuran di area yang diklaim zona inti PGSP.

Kami berkumpul di sekitar Sanggar Belajar Kuncup Melati Mandiri. Di sana ada pertemuan antarwarga pesisir selatan DIY yang digusur, seperti nasib warga gumuk Parangkusumo. Warga saling berbagi cerita dan kubu bersolidaritas pun menggelar konsolidasi. Kerja-kerja pengambilan data untuk diolah menjadi karya berwacana konflik agraria juga kami lakukan.

Beberapa kawan persma bersama PPMI DK Yogyakarta pun melakukan wawancara kepada Bu Kawit, warga terdampak penggusuran sekaligus pendiri dan pengajar sanggar. Kepada kami, perempuan lulusan pendidikan guru agama negeri (PGAN) yang sehari-harinya berjualan soto ini, menceritakan jibaku warga melawan penggusuran berkedok pelestarian dan mengkritik motif penggusuran di pesisir selatan.

 

Ibu sudah berapa lama tinggal di sini?

Saya aslinya dari Sewon (sebuah kecamatan di Bantul). Sejak 1999 mulai mendiami Parangtritis. Lalu tahun 2001 mulai bergeser ke Dusun Parangkusumo sini. Di sekitar sini saya tinggalnya sempat berpindah-pindah. Sehari-harinya, saya berjualan soto.

Penggusuran yang katanya akan dimulai hari ini (1 September 2016) belum terjadi. Dari mana warga tahu akan adanya penggusuran?

Dari surat pemberitahuan yang diantar Satpol PP dan polisi. Katanya ada penertiban. Tapi hari ini petugas yang mau menertibkan belum ada.

Ketika surat pemberitahuan penertiban datang, kenapa Ibu tanda tangan?

Waktu itu saya sedang sakit dan belum sadar. Tapi kami yang berkumpul tadi sepakat mau mencabut tanda tangan.

Selain sanggar ini, bangunan apa saja yang termasuk zona inti PGSP?

Ada 38 rumah, 25 kandang, dan ada juga tambak. Semuanya sudah ada di peta PGSP.

Kandang yang kena gusur itu semuanya bersertifikat?

Sertifikat nggak ada. Kalau kita mau ngurus sulit. Pemerintah juga nggak ngasih tahu aturannya kalau kita harus ijin ke mana. Bertahun-tahun tinggal di sini didiamkan saja, tapi malah tiba-tiba mau digusur.

Kalau bangunan yang di pinggir jalan sana juga kena?

Kena. Karena masuk zona penyangga.

Apa sudah ada musyawarah dari pihak penggusur agar bisa disepakati warga?

Sosialisasi saja belum ada sampai sekarang, apalagi rembugan soal ganti rugi dengan warga. Warga biasanya rembugan sendiri dan menyatakan sikap tetap menolak.

Apa pekerjaan warga terdampak penggusuran di zona inti?

Ada petani, pedagang, juru parkir, pekerja wisata, dan lain-lain.

Kalau bertani menanam apa saja?       

Ada singkong, terong, brambang (bawang merah), buah-buahan, dan lainnya.

Tanggapan Ibu terhadap klaim SG?

SG dan PAG (Pakualaman Ground) sudah tidak ada menurut Perda DIY No. 3/1984. Mandat gubernur saat itu, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, adalah tanah untuk rakyat; dibagi-bagikan kepada rakyat.

Kalau modus klaim tanah memakai Undang-undang Keistimewaan (UUK) yang disahkan tahun 2012?

Tapi kan ada Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 yang lebih sah.

Ketika UUK 2012 diketok palu, apa yang Ibu lakukan bersama kawan-kawan?

Ikut demo bersama mahasiswa, kami berteriak-teriak menolaknya. Kami juga memaksa masuk ke dalam gedung parlemen kalau nggak ada anggota dewan yang mau turun menemui.

Menurut tanggapan Ibu soal isu pelestarian lingkungan sebagai alasan penggusuran?    

Itu alasan saja biar semua tanah di DIY bisa di-SG-kan. Lha pihak Pemerintah (Pemkab Bantul) kok mau-maunya disuruh buat menggusur, Kraton kok nyuruh Negara. Terus rakyatnya mau dikemanakan?

Kabar dari koran-koran lokal, motif penggusuran supaya melestarikan lingkungan supaya tidak rusak. Kalau menurut Ibu dan warga yang sudah bertahun menjaga kelestarian lingkungan di sini, bagaimana?

Mana buktinya kami merusak? Lihat saja di sini banyak pepohonan yang kami tanam. Warga sudah bisa melestarikan lingkungan sendiri dan punya pencaharian sendiri. Yang kami lakukan, nggak usah dirusak.

Penggusuran sudah berkali-kali, dari tahun berapa?

Dari tahun 2007 sudah ada penggusuran di Karang Bolong, berlanjut tahun 2008-2009 sampai Kali Mati. Tahun 2010 juga terjadi. Saat itu kami tanpa diberi ganti rugi dan dicap sebagai orang-orang liar. Maka warga mendirikan ARMP pada 2010.

Pola penggusurannya bagaimana?    

Sejak tahun 2007, dari pesisir sisi timur terus mengarah ke barat. Tahun 2010, penggusuran tertahan di Grogol. Tahu-tahu kita dikepung dari sisi barat, itu Pantai Depok (sebelah barat Parangtritis-Parangkusumo) sudah digusur buat dibangun landasan pacu dengan mengatasnamakan klaim SG.

Kenapa Ibu tetap bertahan?

Saya melihat dampak penggusuran semena-mena sehingga rakyat nanti susah cari makan.

Punya ide bikin sanggar belajar dari mana?

Dari kecil cita-cita saya sudah begini. Ingin bikin sanggar. Saya kan lulusan PGAN. Juga, anak-anak sini kalau mau belajar, tempatnya jauh.

Bu Kawit sendiri mendirikan sanggar ini sejak kapan dan bagaimana proses belajar anak-anak di sanggar?

Sudah satu bulan lalu. Ini bertujuan untuk membantu anak-anak sekolah belajar. Kini sudah mencapai 15-20 orang peserta yang terdiri dari siswa SD dan SMP. Adapun yang kini sedang dipelajari seperti iqra, bahasa inggris, matematika, dan kesenian. Kegiatan belajar terbatas pada hari Senin, Kamis, dan Sabtu dari Ashar hingga Maghrib.

Jumlah anak-anak yang berminat terus bertambah sehingga kami kewalahan. Walau tempatnya sumpek tapi anak-anak senang. Saya dibantu teman-teman relawan untuk mengajar. Sekarang pun waktu berjualan saya jadi berkurang hanya sampai jam 3 sore karena berkewajiban mengajar di sanggar ini. Tapi sanggar ini masuk ke dalam zona inti PGSP dan akan digusur.

Yang digusur selain bangunan?

Pepohonan yang ditanam warga. Warga menanam itu supaya pasir tidak gampang kebawa angin. Kalau digusur semena-mena, pasir bisa terbang ke kampung. Ekosistem gumuk juga rusak.

Tradisi menanam pohon di gumuk ini sejak kapan?

Sejak mbah buyut kami masih ada. Yang paling lama itu pohon kleresede. Beberapa pohon ditebas buat tambak. 2 tahunan ini tambak mulai ada.

Kami juga pernah membantu UGM menanam cemara. Kami menanam ketika hawa siang sedang panas-panasnya dan kami harus mengemban pohon-pohon itu sendiri. Ada 3 kali kami membantu penanaman. Tapi kok sekarang tanaman mau digusur, lha maunya UGM gimana?

Pernah mengendus kedok dari tiap penggusuran?

Waktu penggusuran tahun 2010, sempat mendengar ada investor dari Jepang menawarkan nilai kontrak 60 triliun rupiah untuk mendirikan hotel dan obyek wisata lain-lain.

Sudah ada janji-janji setelah digusur?

Belum diajak rembugan tapi tahu-tahu kita sudah didata.

Wilayah Parangtritis dan Parangkusumo jelas melawan penggusuran. Setahu Ibu, daerah pesisir selatan yang bakal kena hal serupa?

Watukodok di Gunungkidul dan pesisir Kulon Progo juga kena dan mereka juga melawan.

Mengetahui banyaknya penggusuran di wilayah DIY, pendapat Ibu?

Tegakkan saja aturan yang berlaku. Mematuhi aturan negara yang ada.

Sikapnya tetap ya Bu, warga tetap tidak layak digusur?

Iya. Kami merawat alam sini. Menanam pohon dan tidak rela tanaman juga kena gusur. Nanti pasir-pasir bisa melorot dan kalau tidak ada pohonnya bisa terbawa angin. Misal tanaman kleresede itu yang bisa jadi pakan kambing, kalau tanaman itu tidak ada, kambing mau makan apa, makan pasir?

***

Tanpa diduga, pemberitahuan akan sosialisasi pun tiba. Tanggal 13 September, warga diundang ke Kantor Desa Parangtritis untuk mendengarkan sosialisasi penggusuran dan Megaproyek PGSP. Sosialisasi tersebut dihadiri pula oleh pihak Pemerintah Desa Parangtritis, Satpol PP Bantul, akademisi UGM, dan Komndo Rayon Militer Kretek. Lagi-lagi, klaim atas SG dan kedok pelestarian gumuk pasir dijadikan alasan pihak penyelenggara PGSP. Pihak penggusur menyatakan bahwa sosialisasi tersebut sebagai “musyawarah”. Namun seusai menghadiri sosialisasi, Bu Kawit dan orang-orang seperjuangannya belum menganggap agenda tersebut sebagai “musyawarah”, karena tidak sesuai kemufakatan dan hanya ajang menyampaikan keinginan pihak penggusur. “Kami tetap tidak sepakat digusur dengan kedok apapun,” terang Bu Kawit di Sanggar Belajar Kuncup Melati Mandiri.

 

Tim Liputan:

Abdus Somad (PPMI), Taufik Nurhidayat (PPMI), Imam Ghazali (Ekspresi), Rimba (Ekspresi), Faris (Rhetor), Javang Kohin P (Rhetor), Bintang W. P. (Poros), Afzal N. I. (Motivasi/Surakarta), dan Widia (Poros).