Kategori
Siaran Pers

DPM dan Aparatur Kampus Tidak Bisa Intervensi LPM Aksara

Lembaga Pers Mahasiswa kembali dipersoalkan oleh Dewan Perwakilan Kampus (DPM). Kali ini giliran LPM Aksara Fakultas Ilmu Keislaman (FIK) Universitas Trunojoyo Madura (UTM) diancam akan dibredel oleh DPM. Awalnya, pada tanggal 11 September 2015, LPM Aksara dipanggil oleh ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM), Sayyidi bersama dengan Badan Kelengkapan FIK.

Dalam pertemuan tersebut, Ketua DPM minta penjelasan pada LPM Aksara terkait tulisan yang terbit di lpm-aksara.blogspot.com. Ketua DPM juga mengklarifikasi soal caption foto yang terdapat di halaman facebook LPM Aksara tentang IFO (Islamic Orientation Faculty) atau OSPEK FIK. Ketua DPM mengungkapkan bahwa caption yang ditulis oleh kru LPM Aksara dalam laman facebook-nya tidak memenuhi kaidah jurnalistik yaitu 5 W + 1 H.

Hasil dari pertemuan pertama tersebut, ketua DPM menuntut LPM Aksara agar tidak mengadakan kegiatan peliputan di luar FIK, sebab menurut ketua DPM, LPM Aksara berada di bawah naungan FIK. Kemudian LPM Aksara dilarang memberitakan keburukan FIK. Sebab keburukan itu adalah aib yang harus ditutupi.

Sekjend Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI), Abdus Somad, menganggap tuntutan itu membatasi LPM Aksara dalam melakukan kerja-kerja jurnalistik. “Langkah yang dilakukan DPM jelas merupakan kemunduran dalam memahami jurnalisme. Pers mahasiswa tak mungkin diam jika ada kebijakan kampus yang memang tidak beres, ia beraktifitas Mengemas realitas itulah yang jadi tugas utama pers mahasiswa.”

Pada tanggal 30 September 2015, DPM menanyakan kepada kru LPM Aksara soal siapa yang membiayai kegiatan LPM Aksara. LPM Aksara menjelaskan bahwa mereka hanya mengakses dana 1% pasca turunnya SK, yaitu untuk biaya delegasi Kongres Luar Biasa (KLB) Perhimpunan Pers Mahasiswa (PPMI) di Malang. Selanjutnya, pertemuan antara LPM Aksara dan DPM untuk memperbincangkan masalah pendanaan itu. Hasilnya nihil. DPM tetap meminta LPM Aksara untuk berhenti untuk melakukan peliputan di luar FIK serta tidak boleh meliput keburukan apapun di FIK. Jika tidak mematuhi tuntutan tersebut, DPM mengancam akan membekukan LPM Aksara.

Selain itu DPM juga meminta LPM Aksara agar menyertakan gelar ‘bapak’ kepada laki-laki dan ‘ibu’ pada perempuan untuk penulisan narasumber berita yang berasal dari kalangan dosen. Tanpa penggunaan gelar ‘bapak’ dan ‘ibu’, DPM menuding LPM Aksara tidak sopan dan melakukan pencemaran nama baik. Tak hanya itu, DPM bahkan minta LPM Aksara agar membuat kode etik yang sesuai dengan tata tertib yang berlaku di lingkungan FIK UTM.

Menanggapi hal itu, Abdus Somad mengatakan bahwa ini adalah intervensi yang dilakukan DPM tanpa ada alasan yang logis. “ Tak ada ketentuan yang mengatur itu di dalam kode etik yang dibuat oleh Dewan Pers maupun Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI). Selama ini hampir semua awak pers mahasiswa di Indonesia merujuk pada kode etik yang dibuat oleh PPMI, dan tak ada yang mempersoalkannya atas alasan pencemaran nama baik, mungkin DPM perlu melihat dan belajar lagi akan penyelesaian masalah secara jurnalistik”

Bukan hanya itu, kinerja pers mahasiswa Aksara pun dibatasi, pertama, atas Rekomendasi dari ketua DPM, setiap pemberitaan LPM Aksara harus sepengetahuan DPM, BEM, dan Dekanium (jajaran Dekanat). Kedua, DPM akan membuat undang-undang, kalau meliput berita yang memuat keburukan FIK, maka LPM Aksara akan dibekukan. Ketiga, LPM Aksara tidak boleh meliput selain FIK, dan setiap aktivitas peliputan harus dikoreksi oleh pihak terkait (Dekanium, DPM, BEM), ditakutkan ada unsur yang mencemarkan citra FIK.

“Langkah DPM bisa dibilang sangat otoriter. Padahal kapasitasnya sebagai organisasi mahasiswa juga jelas, harusnya ia mengayomi LPM Aksara, bukan mengintimidasi. Namun dalam hal ini, DPM justru berpihak pada aparatur kampus FIK UTM. Mereka lebih pro pada kebijakan dan keinginan birokrasi,” kata Somad. “Dalam aturan embargo informasi oleh narasumber pun tak bisa seperti itu cara mainnya. DPM, BEM dan Dekanium pun tak bisa masuk dalam ruang redaksi seenak mereka sendiri.”

Tuntutan yang diberikan oleh birokrasi kampus tersebut yang diwakili oleh DPM, jika LPM Aksara tidak menjalankan akan dibekukan. LPM Aksara meminta untuk audiensi kepada birokrasi kampus, namun tidak disetujui. LPM Aksara dituntut untuk menjalankan misi dakwah FIK.

PPMI menuntut agar Birokrasi Kampus melakukan hak jawab atas pemberitaan yang diterbitkan oleh LPM Aksara, bila itu memberatkan bagi kampus FIK. “Karena dalam menyelesaikan sengketa pers ada aturan yang berlaku, tidak dengan cara-cara otoritarian dan atas nama kekuasaan.”

Birokrasi FIK UTM juga harus memberikan kebebasan berekspresi, berpendapat dan kebebasan pers LPM Aksara dalam menjalankan tugasnya sebagai insan pers. Karena pers mahasiswa bekerja untuk masyarakat, bukan pada pemilik modal dan kekuasaan birokrasi. “Kami meminta kepada pihak kampus, DPM dan BEM untuk dapat menjamin kebebasan pers LPM Aksara di UTM khususnya di FIK,” jelas Somad.

DPM dan semua sivitas akademik di UTM harus memahami jalur penyelesaian sengketa pers sesuai ketentuan yang diatur Dewan Pers dan UU Pers. Bukan menyelesaikan dengan ancaman dan intimidasi tanpa alasan rasional. “Intimidasi dan ancaman itu sangat tidak mencerminkan sikap intelektualitas mahasiswa.”[]

 

Narahubung:

Abdus Somad | Sekjend PPMI Nasional (081226545705)

Nur Solihin | BP Litbang PPMI Nasional (085641042061)

Rasyiqi | Pemimpin Umum LPM Aksara (082301345274)

Kategori
PPMI di Media

Pers Mahasiswa Indonesia: dari jaman patungan sampai gratisan

“Media umum di Indonesia sebagian besar dikuasai oleh konglomerasi yang punya kepentingan politik sehingga bisa berdampak pada pemberitaan. Pers Mahasiswa sekarang bisa mengisi kekurangan itu,” kata Heyder Affan, salah seorang bekas pendiri Perhimpunan Pers Mahasiswa akhir 1992.

Heyder Affan, atau biasa dipanggil Affan, sekarang sudah menjadi jurnalis profesional, sebagai penyiar di sebuah kantor berita internasional yang berpusat di London. Dulu, dia mulai aktif di Lembaga Pers Mahasiswa Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur pada awal 1990-an. Dari kota itu pula dideklarasikan Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia atau yang pernah dikenal sebagai PPMI.

Tentu bukan hanya karena tangan Affan seorang PPMI bisa lahir. Ada puluhan aktivis pers mahasiswa dari berbagai kota yang sempat bergabung. Dari Jogjakarta, Surabaya, Bandung, Jakarta dan sejumlah aktivis dari Sumatera plus Celebes alias Sulawesi ikut urun rembug di kemudian hari.

Kalau mau menengok sejarah pasca kemerdekaan yang dikumpulkan dari berbagai sumber, pers mahasiswa punya musuh yang hampir sama di tiap periode sejak era Demokrasi Terpimpin sampai Orde Baru. Affan mengenang, dirinya sempat kena sweeping pejabat kampus karena menerbitkan tulisan soal “disintegrasi” menjelang kedatangan Soeharto ke Malang untuk meresmikan pendirian Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia.

“Senior saya yang kebagian dipanggil oleh BAKIN,” kenang Affan.

BAKIN, akronim Badan Koordinasi Intelijen Negara, dibentuk tahun 1967 oleh Soeharto pada awal pemerintahannya.

Sejarah Pers Mahasiswa: kemampuan mengambil celah

Tapi ini bukan cerita soal PPMI atau Affan saja, melainkan cerita tentang getolnya mahasiswa jaman itu yang aktif di unit dan lembaga pers mahasiswa punya semangat bersuara dan berpendapat di rezim Orde Baru.

Karya pers mahasiswa dan terbitannya yang cenderung tidak mendapat banyak tekanan, mungkin pers mahasiswa yang lahir pada periode 1965, seperti Harian KAMMI, Mimbar Demokrasi atau Mahasiswa Indonesia. Tapi bulan madunya dengan Orde Baru juga habis sejak kerusuhan 15 Januari 1974.

Cerita romantisme perjuangan para aktivis pers mahasiswa memang tak habis dan mengikuti jamannya. Selain soal mendapat ancaman karena menjadi media alternatif, ada tantangan lain yang mesti dihadapi, misalnya tantangan logistik dan keuangan untuk mencetak.

Ada memang pers mahasiswa yang untuk terbit saja harus patungan sampai yang sepenuhnya mendapat sokongan.

Sebut saja buletin Pelita Mahasiswa yang diterbitkan Lembaga Pers Mahasiswa di Universitas Pasundan, Bandung. Buletin yang terbit saban dua bulan sekali pada 1996 itu hasil patungan mahasiswanya. Atau paling banter menadah sisa uang hasil cetak tabloid dari satu lembaga.

Di ujung bawah pulau Sumatera, tepatnya di Lampung ada juga tabloid mahasiswa “Teknokra” tebitan pers mahasiswa Universitas Lampung. Tabloid ini mendapat dukungan dana dari universitasnya, paling tidak jaman pertengahan sampai akhir 1990-an dikenal paling sejahtera di antara aktivis pers mahasiswa Indonesia.

Rata-rata memang karya pers mahasiswa pada kurun 1960 sampai 2000 masih berbasis cetak. Sedangkan sekarang, meski ada yang cetak, tapi sebagian beralih ke online dan radio. Biayanya pun lebih murah tanpa harus patungan ratusan ribu Rupiah, bahkan bisa memanfaatkan jaringan internet gratis untuk mengunggah karyanya ke website.

Belum ada hitungan pasti berapa banyak sebetulnya karya pers mahasiswa di Indonesia sekarang. Paling tidak, nama-nama unit kegiatan di tiap kampus yang dulu tergolong santer, sekarang tinggal sayup terdengar. Sebagian bertahan dengan berpindah ke online dengan generasi yang baru.

Kalau kata Affan, tantangan pers mahasiswa sekarang tentu lebih pada eksistensi setelah era penindasan lewat dan media umum sudah sama galaknya dengan pers mahasiswa dulu, yang berbeda dengan apa yang dihadapi olehnya ketika masih aktif dalam dunia pers mahasiswa.

“Jika di jaman saya dulu mungkin orientasinya keluar, ingin mengisi pers yang tidak bebas, mengisi kebebasan yang tidak dinikmati pers umum.”

Tapi, kini, menurutnya banyak pers mahasiswa yang memiliki pandangan ke dalam.

“Ada banyak pilihan buat pers mahasiswa untuk berorientasi ke dalam, ke isu-isu seputar kampus menyuarakan keluhan sesama mahasiswa agar lebih dibaca,” katanya.

Soal lain yang dikemukakan adalah soal keuntungan untuk tetap menjadi bacaan alternatif. Menurutnya, banyak media umum di Indonesia saat ini sudah dimiliki oleh partisan partai sehingga susah untuk netral.

“Mestinya pers mahasiswa sekarang bisa mengambil celah itu,” ungkapnya.

Tapi menurut Affan, pers mahasiswa saat ini mestinya juga sudah mulai belajar memahami etika dalam membuat karyanya.

“Saya setuju pers mahasiswa sekarang lebih mengedepankan etika,  jangan seperti jaman dulu mirip pamflet, selebaran gelap dan opini,” kenangnya.

“Tantangan terbesar adalah bagaimana mereka memetakan kondisi mereka di tengah situasi yang berbeda. Dengan kemampuan mereka bisa memetakan diri mereka sendiri akan membuat mereka eksis dan tidak tergoda untuk kembali ke masa lalu. Berorientasi pada situasi kekinian yang membuat mereka lebih leluasa bergerak, tidak dibebani oleh kebesaran pers mahasiswa pada masa lalu.”

Diterbitkan di Radioaustralia.net.au http://www.radioaustralia.net.au/indonesian/2013-05-28/pers-mahasiswa-indonesia-dari-jaman-patungan-sampai-gratisan/1136982