Kategori
Diskusi

Pers Mahasiswa Politeknik Perlu Mengawal Isu Revitalisasi Kampus

Awal tahun 2017, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) mengadakan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) di Grha Sabha Pramana Universitas Gadjah Mada (UGM) yang menyepakati adanya program Revitalisasi Politeknik (Revpol). Dalam Majalah Ristekdikti, Kokok Haksono Dyatmiko, pengajar di Politeknik Manufaktur Negeri Bandung mengatakan jika lulusan Politeknik harus menghasilkan produk inovatif yang efisien, murah, kuat dan aman serta siap masuk ke pasar.

Ada 12 politeknik dan satu politeknik kesehatan yang menjadi pelaksana program revitalisasi (revpol) tahap 2017-2019 yaitu Politeknik negeri Lhoksumawe, Politeknik Negeri Batam, Politeknik Manufaktur Bandung, Politeknik Negeri Maritim Semarang, Politeknik Negeri Malang, Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya, Politeknik Elektronika Surabaya, Politeknik Negeri Jember, Politeknik Negeri Samarinda, Politeknik Negeri Banjarmasin, Politeknik Pertanian Negeri Pangkep, Politeknik Negeri Ambon dan satu Politeknik Kesehatan Kemenkes Yogyakarta.

Program revpol ini beralasan jika pihak industri seringkali mengeluh. Lulusan dari pergutuan tinggi belum cukup relevan dengan kebutuhan industri dari segi kompetensi maupun jumlah. Merespon keluhan industri, ditjen kelembagaan iptek dan dikti dalam Rakernas di UGM mengusulkan mengubah kurikulum politeknik agar sesuai dengan keluh kesah si Industri. Ada lima poin yang menjadi implementasi perubahan kurikulum tersebut.

Pertama, jumlah dosen yang mengajar di Politeknik diatur menjadi 50% dari industri dan 50% dari perguruan tinggi. Kedua, penerapan dual system (sistem  3-2-1), usulan ini mencontoh kurikulum yang ada di Jerman. Jadi, implementasinya mahasiswa menerima kuliah selama 3 semester, 2 semester magang industri dan 1 semester untuk menggarap tugas akhir.

Ketiga, adalah pembangunan teaching factory. Membuat miniatur industri, workshop atau tempat praktek mahasiswa yang teknologinya sudah berstandar industri. Keempat, pelatihan untuk dosen Politeknik. Kelima, kampus politeknik menjadi Tempat Uji Kompetensi (TUK) dan Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP).

Paling kentara dari program ini adalah sistem 3-2-1. Mata kuliah untuk D3 akan semakin dimampatkan (karena yang dicontohkan dalam kerangka revitalisasi politeknik adalah program D3). Sudah pasti terasa bagi mahasiswa  D3 yang aktif berorganisasi, apa yang akan terjadi saat program ini diterapkan.

Tidak luput pers mahasiswa politeknik. Mungkinkah selama 3 semester persma politeknik bisa memahami kerja redaksi dengan maksimal? Apakah persma politeknik bisa totalitas berkarya dan memahami dunia pers mahasiswa kalau cuma tiga semester berproses di Lembaga Pers Mahasiswa? Berapa lama calon anggota belajar disaat magang? Materi apa saja yang diberikan saat magang? Pertanyan-pertanyaan yang makin terbayang saat saya makin mendalami isu revitalisasi ini.

Tapi sangat disayangkan, saat saya mengetik “revitalisasi politeknik” atau “revpol” digoogle, minim sekali tulisan di media online persma politeknik yang membahas isu revitalisasi politeknik.  Bagaimana mungkin, program besar yang dapat mengganggu proses berorganisasi mahasiswa politeknik  tidak ada yang memperhatikan. Mungkin saja isu ini tidak termasuk dalam nilai-nilai berita sehingga tak layak untuk disorot.

Sebagai anggota pers mahasiswa dari kampus politeknik. saya jadi heran, sebenarnya persma politeknik ini lagi ngapain? Mikirin IPK, kerja, judul tugas akhir atau nikah? Tidak bermaksud merendahkan, hanya saya juga perhatian sebagai anggota persma dari politeknik. Semoga saja setelah tulisan ini diposting, ada persma politeknik yang membaca dan bergairah untuk mau membalas tulisan ini.

 

Revpol dan Dunia Kerja

Revitalisasi politeknik ini bertujuan untuk mengembangkan 14 kawasan ekonomi khusus (KEK). Lulusan politeknik  diharapkan setelah lulus dapat bekerja  sesuai dengan kompetensinya dan bersertifikat sesuai kebutuhan kerja. Ada dua macam KEK, yaitu KEK industri dan pariwisata.

Dalam dokumen Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025, menjelaskan jika “Program pendidikan vokasi didorong untuk menghasilkan lulusan yang terampil. Oleh karena itu, pengembangan program pendidikan vokasi harus disesuaikan dengan potensi dimasing-masing koridor ekonomi”. Nyatanya revpol sudah terencana dalam MP3EI untuk memenuhi sumber daya manusianya. Implementasinya, setelah wilayah indonesia dalam dokumen tersebut dibagi beberapa koridor, maka selanjutnya politeknik sebagai  lembaga pendidikan memasok tenaga terampil, murah, cepat, efisien dan siap masuk pasar kerja. Hal ini karena lulusan politeknik sudah dibanderol dengan label sertifikat kompetensi.

Dalam aspek pengetahuan dan teknologi, industri tidak susah payah untuk melakukan pelatihan untuk meningkatkan pemahaman pada mahasiswa fresh graduate. Karena peralatan dan tempat praktik mereka sudah berstandar industri (pembangunan teaching factory), bahkan jika mau industri dapat bekerja sama dengan kampus untuk melakukan proyek kerja dari industri yang nantinya dikerjakan oleh mahasiswa. Sambil menghela nafas panjang, saya katakan mahasiswa politeknik sudah menjadi komoditas. Politeknik menjadi pemasok sumber daya manusia untuk kebutuhan industri yang berdiri di setiap koridor-koridor ekonomi. Semakin jelas lagi dengan adanya progam studi ikatan kerja, beasiswa dari perusahaan besar.

Yogyakarta adalah salah satu kota yang menjadi tempat pengembangan KEK Pariwisata, dengan objek wisatanya Borobudur dan termasuk dalam 10 kawasan wisata prioritas nasional yang menjadi fokus pembangunan pemerintah. Adanya program New Yogyakarta Internasional Airport (NYIA) adalah salah satu pembangunannya. Dengan mengembangkan sarana transportasi baru untuk menggantikan bandara Adi Sucipto.

Jika mahasiswa politeknik yang ikut program ikatan dinas, misal Garuda Maintenance Facilities (GMF), kemudian mereka akan ditempatkan di bandara yang pembangunan menimbulkan pro-kontra ini. Maka program revpol ini sudah tepat sasaran untuk memberikan jalan supaya lulusannya dapat bekerja dibidang yang sesuai dengan kompetensi. Di lain sisi, sama halnya dengan mengadu domba antara mahasiswa kontra pembangunan bandara yang menjadi aktor gerakan solidaritas dengan mahasiswa dari ikatan dinas tersebut.

Jadi dalam jangka panjang, revpol dan MP3EI masih ada keterkaitan. MP3EI hanya program megah, namun keropos akan esensi pembangunan. Dalam kasus pembangunan NYIA, sudah jelas jika MP3EI hanya melihat aspek pariwisata saja, namun tak diimbangi dalam pembahasan aspek-aspek lainnya. Dalih pembangunan ekonomi yang berefek pada perusakan tatanan sosial dan ekosistem.

Saya sedikit pesimis, bagaimana mau mengawal? Lha wong mau berorganisasi di kampus aja alasannya banyak tugas dan laporan. Kurikulum hasil bentukan Revitalisasi politeknik menggiring mahasiswanya supaya lebih fokus ke akademik, dengan cara memadatkan kuliah dan praktikum. Ada beberapa mata kuliah dihapus dan digantikan oleh materi kuliah industri. Ditambah sistem akademik yang menggunakan sistem paket, berpengaruh pada waktu mahasiswa berorganisasi, belum lagi adanya kuliah malam maupun aturan jam malam.

Didukung lingkungan yang membuat mahasiswa politeknik memiliki sedikit ruang untuk berorganisasi. Pantas jika kegiatan yang dibuat dalam lingkup seminar, lomba, karya tulis ilmiah sampai ada image jika mahasiswa politeknik sebagai agent of event organizer. Namun tetap saya akui, banyak juga inovasi teknologi dan kreatifitas yang dihasilkan.

Isu revpol ini bisa jadi tema besar dikalangan pers mahasiswa  politeknik untuk dikawal. Mungkin saja ini momen untuk merapatkan gerakan mahasiswa, para mahasiswa sarjana dan vokasi untuk memiliki isu bersama. Dari pada malas kuliah atau praktik, bangun kesiangan mending ikut aksi tolak program revpol, iya kan?

Salam pers mahasiswa!!!

Kategori
Diskusi

Universitas Ahmad Dahlan Sebaiknya Berubah Menjadi Politeknik Ahmad Dahlan Jika Tidak Ingin Dikritik

Apa yang kini tengah dipikirkan oleh Abdul Fadlil, Wakil Rektor III Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, setelah hampir seminggu membekukan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) POROS, Lega? Bapak Fadlil yang saya hormati, sebaiknya anda jangan lega dulu. Ancaman kritik itu bisa saja membahayakan citra kampus Ahmad Dahlan jika status Universitas tidak segera diganti menjadi Politeknik.

Hampir sepekan, lini masa sosial media saya facebook ramai dengan tagar #SavePoros. Keberanian Fadlil membekukan LPM POROS telah membangkitkan semangat perlawanan teman-teman mahasiswa di beragam daerah. Solidaritas mahasiswa yang tergabung dalam Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) makin kuat.


PPMI Kota Jember dan PPMI DK Yogyakarta telah menyatakan sikap: menolak, mengecam, dan menuntut birokrat Universitas Ahmad Dahlan segera mencabut pembekuan LPM POROS. Di Semarang, anggota Lembaga Pers Mahasiwa se-Universitas Islam Negeri Walisongo bahkan telah menggelar aksi solidaritas dengan melakukan orasi berisi perlawanan serupa: menuntut pencabutan pembekuan LPM POROS.

Sampai detik ini, apakah bapak Fadlil yakin masih bisa lega? Dengan membekukan LPM POROS, bapak pasti berharap tak ada lagi kritik tajam dari mahasiswa yang anda khawatirkan bisa meruntuhkan citra kampus anda. Dengan begitu, usaha Bapak dalam merawat permintaan pasar tidak lagi terganggu.

Jika LPM POROS tiada, citra baik kampus Ahmad Dahlan diharapkan semakin bersemi karena tidak ada media yang membuka sirkulasi gagasan untuk mahasiswa, dalam menyorot kebijakan kampus. Hilirnya adalah adik-adik gemas lulusan sekolah menengah atas yang bisa jadi prospek bagi Universitas Ahmad Dahlan.

Laju pertumbuhan pemikiran mahasiswa semacam Nurul Fitriana Putri, mantan Pemimpin Umum LPM POROS atau Lalu Bintang Wahyu Putra, Pemimpin Umum LPM POROS yang sekarang, tidak akan terhenti jika status Universitas Ahmad Dahlan tidak segera diubah menjadi Politeknik Ahmad Dahlan.

Mari coba kita amati, tokoh-tokoh mahasiswa yang giat benar menyuarakan kritik terhadap kebijakan kampus mayoritas berasal dari satu rumpun sistem pendidikan: Universitas. Abdus Somad, Sekretaris Jenderal PPMI Nasional, mahasiswa berambut gondrong yang disegani itu adalah mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan. Sadam Husaen Mohammad, eks penjaga gawang LPM IDEAS reportase majalahnya terkenal mendalam itu adalah mahasiswa Universitas Negeri Jember. Taufik Nurhidayat, eks Jaringan Kerja LPM EKSPRESI yang galaknya bukan main juga berasal dari Universitas Negeri Yogyakarta. Tapi apakah Bapak pernah nama Abdul Aziiz Ghofur, Pemimpin Umum LPM DIMENSI Politeknik Negeri Semarang?

Kita tahu aksi-aksi demo mahasiswa yang walaupun kini tak seramai dulu, mayoritas adalah buah pemikiran mahasiswa-mahasiswa yang menempuh ilmu di universitas. Di politeknik, lembaga produsen kritik semacam pers mahasiswa bukannya tidak ada, mereka masih bernafas. Tengoklah Aliansi Pers Mahasiswa Politeknik Indonesia (APMPI), sejak dibentuk tahun 2007 silam, suaranya paling-paling terdengar hanya setahun sekali, itu pun jika ada yang mau mendengarkan.

Sistem pendidikan yang membuat jurang perbedaan karakter antara mahasiswa universitas dengan mahasiswa politeknik. Di universitas, mahasiswa diberi kebebasan memilih jumlah SKS dan menentukan sendiri jam-jam kuliah yang ingin ia ikuti. Akibatnya, mereka mampu mengatur jadwal, atau katakanlah melonggarkan jadwal kuliah.

Kelonggaran tersebut bagi mahasiswa pro pergerakan jelas akan dimanfaatkan untuk membaca buku-buku bergizi, berkumpul dan berdisuksi sehingga tercipta karakter mahasiswa yang gemar melawan, mengkritisi kebijakan-kebijakan kampus. Bagi mahasiswa cum jurnalis kampus, kelonggaran waktu tersebut tentu berguna untuk mengejar narasumber, menyelesaikan tulisan sesuai deadline, melakukan sejumlah riset untuk bahan tulisan, serta macam-macam kerja jurnalistik lain. Di universitas, mahasiswa diberi kebebasan untuk bolos asal tidak melebihi 75% jumlah kehadiran.

Berbeda dengan mahasiswa Politeknik. Sistem SKS ditentukan oleh mekanisme kampus. Mahasiswa memulai kuliah pukul tujuh pagi dan pulang pada pukul dua siang. Sial lagi bagi mahasiswa yang kena jadwal kuliah malam, berangkat sebelum jam dua siang dan baru pulang pukul sembilan malam. Bolos pun tidak sebebas di universitas.

Lha kok bebas, mau niat untuk bolos saja mikirnya semalam suntuk pak. Selain ancaman Drop Out apabila tidak mengikuti perkuliahan selama lebih dari 38 jam, ancaman kompensasi adalah yang paling kerap menghantui mahasiswa politeknik. Mahasiswa politeknik yang bolos kuliah bisa dikenai denda, dimintai uang untuk menebus kesalahannya karena telah mangkir dari kuliah.

Tidak hanya itu, tugas yang segudang lebih-lebih bagi mahasiswa Politeknik jurusan Teknik Sipil atau Teknik Elektro dapat dipastikan akan menyita sisa waktu setelah pulang kuliah. Meski begitu, organisasi mahasiswa di politeknik masih ada, walapun kerjanya lebih mirip Event Organizer. Jika pun mahasiswa politeknik berkumpul dan berdiskusi, hasilnya paling sering adalah seminar kewirausahaan. Maka pengetahuan mahasiswa politeknik tak jauh-jauh dari kemampuan marketing, keahlian merakit mobil listrik, serta kiat-kiat menjadi sekretaris korporat yang kebijakannya sering dikritisi mahasiswa universitas itu.

Bukankah sistem semacam itu dapat menghambat pola pikir kritis mahasiswa? Alhasil, kritik-kritik tajam yang dapat melemahkan citra kampus bisa diminimalisir. Sistem pendidikan di politeknik memang dibuat untuk memenuhi permintaan korporat, bahkan sejak dalam kandungan.

Karena itu ada baiknya jika Universitas Ahmad Dahlan beralih menjadi Politeknik Ahmad Dahlan. Untuk apa mematikan segelintir suara mahasiswa jika nantinya malah menumbuhkan seribu lagi suara mahasiswa. Percayalah pak, serahkan pembekuan pada sistem. Merebut waktu dan bacaan mahasiswa yang berbau Marxisme dan Leninisme itu dengan sebentuk sistem yang menekan daya pikir dan kepekaan mahasiswa adalah strategi yang lebih baik untuk menghentikan arus kritik. Daripada harus menghardik anggota pers mahasiswa? Kan nggak mbois, orba banget deh!