Kategori
Diskusi

Kebijakan yang Gagap, dan Mahasiswa yang Gugup

“Kalau SPP saja itu murah. Tapi ada seperti sumbangan yang macem-macem. Dengan berbagai macam pos itu, membuat aliran dana susah dikendalikan,” Mendikbud RI1.

Adalah M. Nuh, menteri pendidikan dan kebudayaan di tahun 2012 (sekarang sudah mantan) yang merupakan pemilik sah dari kalimat yang saya kutip di permulaan tulisan. Pada masanya jugalah diterbitkan UU no 12 tahun 2012 aka UUPT, yang jadi biang kegeraman dan ragam aksi protes di hampir seluruh PTN di Indonesia. UKT, serta isi UU yang sarat komersialisasi, berdasarkan temuan kesamaan beberapa pasal UUPT dengan UU BHP adalah salah satu alasan bagus yang sering di argumentasikan dalam aksi-aksi protes mengenai UUPT dan UKT-nya.

UU BHP sendiri disahkan sejak tahun 2008, hanya jeda dua tahun setelah dinyatakan inkonstitusional oleh MK, dan telah resmi dibatalkan tahun 2010. Salah satu landasan MK dalam pembatalan UU BHP adalah tafsiran atas teks UUD 1945 yang secara tersirat menegaskan bahwa tanggung jawab utama atas pendidikan dibebankan ke Negara. Sementara landasan lain menurut MK, UU BHP menjadikan pendidikan nasional diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar tanpa ada perlindungan sama sekali. Misalnya, Pasal 57 huruf b UU BHP memungkinkan sebuah BHP untuk dinyatakan pailit. Proses kepailitan BHP tunduk kepada Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

Kemudian lahirlah UUPT dalam jeda dua tahun kemudian, dengan ketuk palu di hari yang sama saat isu kenaikan BBM sedang hangat di berbagai kota. Tidak sampai setahun dalam jeda pengesahan, uji materi kembali diajukan terhadap UUPT dengan mengulang beberapa landasan yang digunakan saat uji materi UU BHP. Namun berbeda dengan uji materi pada BHP, pada UUPT nasib baik sedang tidak berpihak pada pemohon. Bukan hal yang mengejutkan sebenarnya, mengingat pemangku kebijakan MK saat uji materi BHP, telah diduduki orang yang berbeda saat uji materi UUPT. Sementara kita mafhum benar, kalau tafsir teks soal kebijakan tidak ubahnya perdebatan soal definisi cinta, beda pelaku jelas beda tafsirnya (baca putusan sidang pengujian tentang UU no 12 tahun 20123).

Sehingga dapat dipastikan, frasa ihwal “gagapnya kebijakan” sebenarnya bukan candaan, melainkan sepenuhnya celaan kepada seluruh pemangku kebijakan. Jadi saat mendengar “kebijakan gagap” yang berwenang seharusnya tidak perlu sekadar tertawa atau marah-marah, tapi tersindir dan lekas berbenah. Sayangnya, mengingat bebalnya pemangku kebijakan berdasarkan bukti-bukti terpapar. Bisa dipastikan kegagapan kebijakan tidak akan berhenti seperti ingatan tentang mantan yang kawin duluan.

****

Mengulang pembahasan soal perbedaan atas tafsir teks di tubuh pemangku kebijakan, hal yang sama terjadi bukan hanya di jajaran MK. Hal yang sama juga terjadi di tubuh kementerian yang dalam hal ini menjadi subjek hukum UUPT, kemenristek dikti. Bila sebelumnya, mekanisme UKT, lewat sistem akumulasi unit cost menjadi satuan pembayaran tunggal, diklaim oleh M.Nuh sebagai sebuah produk mutakhir untuk memberangus pungutan liar pada pos-pos pembayaran yang jadi kecacatan mekanisme SPP. Sehingga lewat UKT, menurut M.Nuh, pengendalian dana akan lebih mudah, dan mahasiswa akan mendapat keuntungan keringanan dari pengendalian yang mudah. Terima kasih perhatiannya pak.

Sayangnya, menristek masa kini sepertinya tidak sepakat dengan pendahulunya itu. Melalui permen nomor 39 tahun 2016 tentang UKT dan BKT, pembiayaan KKN yang sebelumnya ikut serta dalam unit cost UKT, kini telah di singkirkan melalui permen yang dimaksud pada pasal 9 ayat 1 poin b4. Dan disitulah letak kegagapan yang kita maksud, lumrahnya kegagapan terjadi, dalam bentuk pengulangan pengucapan kata yang setengah, patah, atau tidak selesai, sehingga menyebabkan maksud pesan tidak sampai sebagaimana harusnya, dan kata yang diucapkan baru dapat sempurna setelah beberapa kali pengulangan.

Bisa saja, maksud sebenarnya dari pengadaan UKT, memang bukan meringankan pembayaran mahasiswa, bisa saja kata meringankan digunakan hanya untuk membuat mahasiswa kegeeran. Toh hari ini hanya biaya KKN, besok-besok siapa yang tahu, siapa yang peduli sampai kita benar-benar kembali pada bentuk pembayaran semula, dengan banyak pos pembayaran, hanya saja dengan nominal yang lebih mahal. Toh, kita rakyat hanya dapat bersiasat dan berpendapat, bagaimanapun pemimpinnya khianat.

Lagipula hal-hal demikian, tidak terjadi kali pertama, toh sebelumnya terjadi hal yang sama dan kita semua masih tetap dapat hidup, dan dapat menyibuki lini masa, masih dapat nongkrong di tempat-tempat cozy, dan masih dapat mengudap makanan mahal meski kita paham betul bahwa di luar sana ada banyak yang kesusahan untuk makan.

Lalu, jika kebijakan yang gagap, ternyata melahirkan masyarakat yang gugup. Hal yang sama berlaku di kampus, akan melahirkan mahasiswa yang gugup bicara hal yang benar, gugup belajar, gugup melawan, gugup mengkoreksi dan memberi pandangan, gugup bersikap, bahkan gugup berkeyakinan. Semua serba guguplah pokoknya.

Karena mahasiswa yang terlalu percaya diri terhadap keyakinannya biasanya tidak dapat selesai cepat, dan tidak selesai cepat berarti membuang uang lebih banyak, membuang uang lebih banyak berarti menyusahkan orang tua. Tahu sendiri, UKT mahal bos!

Saat hari yang dinantikan itu tiba, pers mahasiswa yang dibebani tanggung jawab besar mengkoreksi dan mengabarkan kebenaran, dan tentu saja dengan resiko menjadi pengulang mata kuliah paling banyak, tentu akan jadi pihak yang menuai banyak kehilangan. Kan tahu sendiri, yang banyak mengulang mata kuliah, akan jadi yang paling bungsu menyabet gelar sarjana. Sekali lagi, kuliah mahal bos!

 

1 http://edukasi.kompas.com/read/2013/02/07/19464057/mendikbud.uang.kuliah.tunggal.ringankan.mahasiswa

2 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4bb37a39de6cc/mk-batalkan-uu-badan-hukum-pendidikan

3 pengujian undang-undang nomor 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi terhadap undang-undang dasar

4 http://www.kopertis12.or.id/2016/07/30/permenristekdikti-no-39-tahun-2016-tentang-bkt-dan-ukt-pada-ptn.html

Kategori
Diskusi

Tipuan UKT dan Ketimpangannya

Basis logika Uang Kuliah Tunggal (UKT) adalah subsidi silang antara mahasiswa kaya, membantu mahasiswa miskin. Boleh dikata, mahasiswa yang pendapatan orang tuanya di atas rata-rata menyisihkan sebagian hartanya untuk mahasiswa yang pendapatan orang tuanya di bawah rata-rata. Ini dilakukan biar simultan agar anggaran keperluan mahasiswa selama perkuliahan bisa terpenuhi dan tidak mengalami defisit yang sangat melebar. Logika ini secar kasat mata sangatlah membantu untuk mahasiswa-mahasiswa yang pendapatan orang tuanya dibawa rata-rata, bahkan memberikan manfaat untuk menopang kemajuan pendidikan saat ini.

Namun, pada kenyataanya logika subsidi silang tidak sesuai antara teori dan praktek, antara apa yang digagas dengan yang dijalankan di lapangan. Inilah yang merupakan masalah yang harus diselesaikan yaitu ketidaksesuian antara harapan dan kenyataan. Sebab di balik logika tersebut, ada namanya unsur-unsur kepentingan yang tidak murni untuk kemaslahatan umat.

Bicara UKT jika disandarkan pada kepentingan, maka ada banyak kepentingan yang termuat disitu. Dalam starata kepentingan negara, pihak birokrasi pemerintah ingin melepaskan negara terhadap dunia pendidikan. Mereka memandang pendidikan sebaiknya dilemparkan kerana pasar, biar di lingkaran pasarlah pendidikan itu dipertaruhkan antara kemenangan dan kekalahan.

Lembaga Pendidikan yang memiliki banyak modal tentu akan mengalami kemajuan bahkan akan memenangkan pertarungan, sementara lembaga pendidikan yang tidak cukup modal akan diasingkan di lingkaran pasar sehingga lama-kelamaan lembaga pendidikan tersebut akan redup dan bahkan semakin lama semakin diasingkan dilingkungan masyarakat dan negara yang berujung pada keterbuangan lembaga tersebut.

Sementara itu, dalam strata kepentingan kampus yaitu pihak birokrat-birokrat kampus kepentingannya adalah untuk memajukan kampusnya. Bagaimana cara untuk memajukannya? Tentu ini harus didukung dengan modal yang besar agar bisa bertarung di lingkaran pasar. Lagi-lagi saya akan menjelaskan di dalam pertarungan di dunia pasar basis utama untuk menguasai pasar adalah harus mempunyai modal yang sangar besar. Tujuan modal yang besar adalah agar bisa memproduksi barang-barang apa saja yang disukai oleh masyarakat.

Selain itu modal yang besar bertujuan juga sebagai menopang agar perusahan atau lembaga-lembaga yang bertarung dilingkaran pasar akan tetap eksis di mata masyarakat. Begitulah sedikit gambaran tentang pertarungan-pertarungan lembaga-lembaga ataupun perusahan untuk menguasai pasar.

Menyoal kepentingan birokrasi-bikrokrasi kampus untuk memajukan kampusnya. Landasan utamanya adalah harus memiliki modal yang besar untuk bisa bertarung di lingkungan pasar, agar tetap eksis dan diakui oleh masyarakat sebagai pendidikan yang menjamin kemajuan mahasiswa. Lantas bagaimana birokrasi-birokrasi kampus ini untuk mendapatkan modal yang besar? Sementara itu, subsidi pendidikan dari negara semakin hari semakin dikurangi.

Dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku terkait dengan subsidi pendidikan yang diberikan oleh negara sebesar 20%. Akan tetapi, kenyataannya anggaran sebesar 20% tidak semuanya untuk kepentingan kemajuan pendidikan, tetapi masih ada hal lain yaitu untuk pembangunan fasilitas pendidikan, honor dan gaji pegawai. Jadi, bukan semata-mata murni untuk kemajuan pendidikan.

Bahkan, tahun 2016 BOPTN perguruan tinggi (bantuan operasianal perguruan tinggi negeri) dari negara semuanya dikurangi diakibatkan adanya pemekaran kampus-kampus yang dulunya kampus swasta kini dinegerikan. Oleh karena itu, BOPTN perguruan tinggi yang lain dipotong untuk keperluan BOPTN perguruan tinggi yang baru dimekarkan.

Melihat fenomena tersebut, peran negara semakin sempit untuk membiayai anggaran pendidikan, sementara pihak kampus harus memerlukan anggaran besar untuk membiayi keperluan kampusnya biar bisa bertarung di lingkungan pasar. Salah satu cara adalah dengan mengambil anggara biaya dari masyarakat. Mereka memungut sebesar-besarnya agar bisa mendapatkan modal yang besar.

UKT sebagai basis subsidi silang hanyala semata-mata simbol bahwa negara tidak mengggerus rakyaknya dalam hal pembiayaan pendidikan. Negara masih ada perhatian kepada warga negaranya untuk bisa menempuh pendidikan. Simbol tersebut seakan-akan memberikan gambaran tentang negara yang masih memberikan pertolongan-pertolongan sucih agar rakyatnya mengakui negara telah berperan untuk melindungi dan mensejahterakan masyarakatnya. Seperti yang dikatakan Ludwig Von Mises seorang ahli ekonomi dari Austria, cara-cara tersebut bagian dari kepura-puraan pengetahuan agar rakyat tetap tidak sadar terhadap pemberangusan negara terhadap rakyatnya.

Kalau kita telisik lebih dalam, banyak sekali ketimpangan-ketimpangan yang terjadi terhadap persoalan UKT. Pertama dalam struktur penggolongan UKT, kebanyakan didominasi golongan-golongan yang tinggi, sementara golongan yang rendah dominasinya sangat sedikit. Bagaimana mungkin subsidi silang jika golongan tinggi lebih dominan ketimbang golongan rendah. Tidak ada keseimbangan dalam penentuan golongannya. Semua serta merta untuk memperoleh modal yang besar dengan menggerus uang dari rakyat agar bisa bertarung dilingkaran pasar.

Secara tidak langsung, ketimpangannya biaya pendidikanya sangat besar, menyebakan masyarakat yang ekonominya rendah atau dibawa rata-rata harapan untuk merasakan dunia pendidikan sangat kecil, bahkan tidak sama sekali. Pada akhirnya anak-anak yang mempunyai harapan yang tinggi untuk mengenyam pendidikan harus mengurungkan harapannya akibat keterbatasan biaya.

Kedua dalam penempatan penggolongan UKT, salah satu poin dasarnya adalah dengan melihat biaya penghasilan orang tua dan tanggungan keluarga tanpa melihat biaya pengeluaran keluarga selama 1 bulan atau sehari dan kondisi keluarga mengenai keluarga tersebut punya hutang kepada orang lain atau ke bank dan dicicil berapa rupiah yang harus dibayar perbulan atau sehari.

Sederhananya jika dalam satu keluarga pendapatan orang tua sebesar Rp 6.000.000 perbulan dengan tanggungan keluarga 4 orang serta pengeluaran kelurga untuk kehidupan sehari-hari perbulan Rp3.000.000, belum lagi jika keluarga tersebut kredit di bank dan harus membayar setiap bulan Rp1.000.000. Jadi pendapatan bersih sebulan Rp2.000.000, jika kita hitung dengan pembayaran anak yang masuk perguruan tinggi sebesar Rp2.500.000, apakah akan tertutupi? Tentu tidak, bahkan mengalami surplus yaitu kekurangan Rp500.000- yang harus dibayar di perguruan tinggi. Apalagi tanggungan keluarga yang kuliah sebesar 2 orang dengan biaya pembayaran yang sama, tentu sangat kekurangan.

Semua poin diatas luput dari perhitungan untuk menentukan penggolongan UKT mahasiswa, sehingga mahasiswa selalu mengalami keberatan ketika penggolongan UKT ditetapkan.

Kejadian ketimpangan-ketimpangan di atas, bagi pihak kampus dianggap biasa saja. Bahkan ketika ada salah satu mahasiswa yang protes terhadap kebijakan penggolongan UKT, justru pihak kampus cenderung menyalahkan mahasiswanya yang kurang tepat mengisikan biodata pada saat pendaftaran penerimaan mahasiswa baru (PMB). Padahal dari proses perhitungan penggolongan UKT sendiri yang menurut saya salah yang tidak melihat gambaran keluarga pada kondisi nyata. Pihak birokrasi kampus dalam melakukan perhitungan penggolongan UKT hanya melihat data yang ada, padahal data tersebut belum sepenuhnya memberikan representasi keseluruhannya.

UKT seolah-olah kebijakan negara untuk menolong masyarakatnya. Dengan dilemparkan pendidikan kedunia pasar, penerapan UKT merupakan solusi utama agar kelas-kelas masyarakat yang pendapatannya dibawa rata-rata bisa mengenyam pendidikan. Akan tetapi, dalam penerapannya malah memiskinkan rakyatanya karena pihak-pihak birokrasi kampus semakin menggerus uang rakyat untuk mendapatan modal yang besar biar bisa bertarung di lingkaran pasar.