Ada 4 kesamaan saya dengan Ilham Nur Padmy Lestia Adi. Pertama adalah nama Ilham. Kedua tinggal di desa yang sama. Ketiga dia hobi naik gunung. Keempat ia ngekos di tempat yang saya tempati sebelumnya, di Yogyakarta.
Berita meninggalnya tiga mahasiswa UII saat mengikuti The Great Camping (TGC) XXXVII, di Gunung Lawu menjadi sorotan publik, Tempo.co misalnya ; berita tiga mahasiswa UII yang meninggal setelah mengikuti TGC XXXVII menjadi berita Populer selama beberapa hari. Begitu juga dengan media lokal di Yogyakarta, baik cetak dan online. Terlebih terjadi kota pelajar seperti Yogyakarta dan di institusi pendidikan. Salah seorang yang menjadi korban meninggal, saudara dan kawan saya Ilham Nur Padmy Lestia Adi.
“Ham arak Keril? (Ham ada Keril?)” kata pria yang biasa di sapa Ilham. Menjadi pesan pertama Ilham pada saya di Facebook tanggal 15 Agustus 2014, menanyakan apakah saya punya tas gunung. Saya saat itu tak membalas pesanya. Sampai suatu ketika, kami bertemu langsung. Dia berkata pada saya sudah dapat tas dan siap untuk mendaki Gunung Rinjani.
Menjadi kebiasaan para pemuda di desa kami mendaki ke Gunung Rinjani. Bahkan ada beberapa pemuda yang kami kenal beberapa menjadwalkan tiap tahunnya mendaki Gunung Rinjani, bahkan ada juga yang setahun 3 kali. Sampai ada beberapa pemuda berkata “Rinjani itu umroh (haji kecil) orang Lombok”. Pemuda Lombok yang tidak pernah ke Rinjani—cukup membayangkan cerita tentang indahnya panorama alamnya dan suka-duka selama di Rinjani. Karena terus mendengar cerita tentang Gunung Rinjani semakin membuat orang penasaran untuk mendaki gunung yang memiliki ketinggian 3.636 Mdpl dan Danau bernama Segara Anak.
Ilham mengalami hal yang sama, ia penasaran akan cerita Gunung Rinjani. Selama setengah semester bersama 6 sahabatnya saat masih di SMP 1 Pringgasela, Ilham merencanakan untuk muncak ke Gunung Rinjani dan danau Segara Anak. Rasa penasaran itu pun sirna dan terwujud selesai Ujian Nasional (UN) yang menjadi pendakian pertama ilham menyaksikan Gunung Rinjani. Tapi karena mereka melalui Jalur Selatan mereka hanya sampai ke Danau Segara Anak dan tak bisa ke puncak Rinjani. Kemudian pada 21-27 Juni 2013, Ilham kembali mendaki Gunung Rinjani. Sejak saat itu naik gunung menjadi hobinya. Pun ketika melanjutkan studi di Kota Yogyakarta.
Di Yogyakarta
Pemuda berbadan tegap ini mengirimkan pesan kedua via Facebook pada saya, kali ini ia menanyakan tempat kos saya. Saat itu saya sudah semester 3 di salah satu Universitas di Yogyakarta.
“Ham mbe tok a ngekos? (Ham ngekos dimana?)” tanya Ilham.
“Taman Siswa,” jawabku
Ternyata tanggal 5 Maret tahun 2015 lalu, Ilham dinyatakan lulus Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Melalui jalur CBT yang diadakan Sekolahnya, SMAN 2 Mataram.
Ilham mengatakan kalo bisa di carikan tempat di pesantren, ia berpikir tidak ingin membebani orang tua dengan biaya tambahan. “Arak kost kosong sekitar iti ke? (ada kos kosong sekitar situ?) Atau Pondok Pesantren Mun bu ja. (Atau kalo bisa Pondok pesantren),” ungkapnya.
Saya memintanya untuk menempati kos saya saja. Ilham mengiyakan. Kemudian sekarang mulailah ia belajar di Yogyakarta. Ilham sempat ragu bisa menjalani belajar di Fakultas Hukum karena mengambil kelas internasional. “saya nggak terlalu bisa bahasa Inggris,” Tutur Ilham
Ilham termasuk tipe orang mau belajar. Merasa nilai semester satu di anggap tidak memuaskan karena tak bisa bahasa Inggris, tak lantas membuatnya menyerah. Ia kemudian berangkat ke Pare, di Kediri untuk belajar bahasa Inggris selama satu bulan. Di sela belajarnya Ilham tak melepaskan hobinya, di Malang bersama dengan temanya, ia mendaki Gunung Kelud. Tercatat beberapa gunung yang didaki selama di Yogyakarta. Gunung Andong adalah yang pertama di dakinya, kemudian Kelud, dan Merbabu selama dua kali: acara bersih gunung dan penanaman pohon.
Menurut pendapat saya Ilham orang yang berinisiatif: menanyakan apa yang ingin dipelajarainya. Pemahaman itu saya dapatkan setelah beberapa kali berdiskusi bersama. Kami beberapa kali berdiskusi kecil tentang persoalan Hukum, kebudayaan, pendidikan, dan masalah sosial. Kami juga kami sering berdiskusi di media sosial. Dia tahu saya masuk pers mahasiswa yang memiliki budaya diskusi.
“Di kampus hukum itu ada Keadilan (Lembaga Pers Mahasiswa Fakultas Hukum UII),” katanya.
“Ayok Ham kapan diskusi, diskusi bareng,” ia mengajak saya.
“Maaf, Ham lagi sibuk,” jawabku.
Sejak saat itu kami jarang bertemu lagi. Saya masih memendam pikiran Ilham tertarik masuk pers mahasiswa. Karena memang sebelumnya ia sempat berkata demikian. Tapi dugaan saya tidak tepat, saya tahu dia memilih Mapala Unisi UII. Ketika senja di warung kopi seorang teman menyodorkan gawainya, ada berita online tentang meninggalnya tiga mahasiswa UII yang mengikuti The Great Camping XXXVII. Teman yang menyodorkan gawainya itu sempat mengira saya lah yang meninggal.
Kemudian saya membaca berita online tersebut. Tertulislah nama Ilham. Saya membaca ulang kembali memastikan kebenarannya. Kemudian teman yang lain menyodorkan video tentang keterangan orang tua korban, salah satunya narasumbernya, Pak Syaff’i orang tua Ilham. Setelah itu saya baru percaya ilham lah yang meninggal.
Orang tua Ilham yang datang untuk bertemu, memilih melaporkan kasus ini ke pihak kepolisian. Karena mendengarkan keterangan sang anak dan melihat kondisinya secara langsung di Rumah sakit Bathesda. Sebagai orang tua, Syaff’i hanya berharap kebenaran dalam kasus yang terjadi pada anak bungsunya saat itu dan tidak perlu di tutup-tutupi. Meski air wajah Syaff’i tak bisa menyembunyikan duka yang mendalam kehilangan anak sulungnya. Di UII, Syaff’i yakin anaknya bisa belajar dengan baik, namun sayang harus pulang lebih dulu. Saya sendiri tidak bisa melihat wajah Ilham saat terakhir kali ketika ia harus meninggalkan peraduan di kota pelajar untuk terakhir kalinya. Bagi saya, Ilham adalah kawan diskusi yang tak tuntas.
Metode Pendidikan Mencintai Alam
Almarhum Ilham di rumah sakit waktu sempat bercerita kepada seorang kawannya, bahwa ia sempat menyerah karena tidak kuat. Namun karena di katakan dalih untuk pembentukan karakter dan melihat teman-temanya diperlakukan lebih keras lagi karena menyerah—almarhum Ilham saat itu terpaksa memilih melanjutkan. Salah seorang peserta yang M. Rahmaddaniel mengatakan hal yang sama, ada tim Operasional yang memang memukul meski tanpa tahu kesalahannya apa. “Yang mundur di habisi…,” ungkap Rahmatdaniel kepada Tempo.co.
Bukankah metode pembelajaran bertahan dan bermain di alam bebas itu meminimalisir risiko, bukan membuat-buat risiko yang tak ada hubungnya dengan mendidik. Apalagi risiko kehilangan nyawa. Dari beberapa artikel yang saya baca, Diksar (Pendidikan Dasar) Pencinta alam memiliki persiapan yang banyak. Dengan menyampaikan ilmu-ilmu yang sudah dipersiapankan matang dan membutuhkan waktu yang cukup lama, karena dalam melakukan Diksar (pendidikan dasar), organisasi dan seluruh anggotanya bertanggungjawab terhadap keselamatan para calon anggota yang “dididik” pada Diksar tersebut. Persiapan tidak hanya menyangkut persiapan fisik para “pendidik”, namun juga meliputi tentang pembekalan pengetahuan dan keahlian, kesiapan materi pendidikan, sarana pendukung pendidikan, hingga keselamatan bagi calon anggota, senior serta pembina yang turut dalam Diksar tersebut. Bukankah intinya keselamatan yang utama.
Menurut keterangan salah satu ketua panitia kegiatan, Mapala Unisi mereka memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) untuk melakukan pendidikan dasar. Meski mereka tak menampik ada suatu yang tidak bisa di kontrol.
Tentu banyak metode untuk belajar mencintai alam dan tanpa harus menggunakan kekerasan. Terlebih dunia di akademis yang memiliki budaya intelektual harusnya bisa menjadi ajang mengasah hal tersebut. Bukan ajang untuk menyuburkan budaya kekerasan dan mempertegas otoritas “untuk membenarkan tindak kekerasan”. “Sebagai KPA (Kelompok Pecinta Alam) tertua di Indonesia, hingga kini Mapala UI dapat terus meneruskan regenerasi tanpa kekerasan fisik, sebaliknya mengedepankan pendampingan (mentoring). Saya rasa kami dapat terus mencetak anggota yang loyal, memiliki kemampuan basic outdoor skill yang mumpuni dan aktif bergiat di alam bebas dengan konsep tersebut”, ujar Yohanes Poda Sintong (M-954-UI), Ketua Umum Mapala UI 2017.
Tan Malaka pernah berkata tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan. Bukankah lagu Kepada Alam dan Pencintanya, karya Rita Rubi Hartland yang biasanya sering di nyanyikan pencinta alam bisa menjadi bahan refleksi untuk mengerti makna pencinta alam dan arti kehidupan.
Mendaki gunung sahabat alam sejati/Jaketmu penuh lambang/ lambang ke gagahan/ memproklamirkan dirmu Pecinta alam/ sementara maknanya belum kau miliki/…/oh, alam korban Ke Akuan/ maafkan mereka yang tak mengerti arti kehidupan.
Kami Hanya Bisa Berharap Kebenaran dan keadilan Kawan
Saya masih tak percaya melihat teman yang kemarin sempat tertawa, marah, dan berbagi suka duka bersama, harus meninggal dengan bekas luka membiru di sekujur tubuh. Akal sehat kami sempat tidak berjalan sempat terbersit di benak kami bahwa “hukum nyawa harus di bayar nyawa” pada pelaku. Tapi sebagai mahasiswa yang bisa kami lakukan saat ini lebih memilih mengawal kasus kawan kami Ilham dan dua korban lainya di tuntaskan dengan sejujur-jujurnya dan seadil-adilnya. Dan tak terjadi kasus yang sama di kemudian hari dan di mana pun, terlebih seperti di dunia pendidikan.