Kategori
Siaran Pers

Kecam Intimidasi Terhadap Pers Mahasiswa Poros UAD

Kronologi

Pers Mahasiswa Poros membuat sebuah tulisan tersebut berisi tentang seorang dosen berinisial MN yang merekomendasikan sebuah kepada mahasiswanya buku mata kuliah Kemuhammadiyahan yang berjudul Kuliah Kemuhammadiyahan Gerakan Tajdid. MN diduga memaksa mahasiswa untuk membeli buku tersebut. Jika mahasiswa membeli buku, maka akan mendapat nilai rata-rata A dan yang tidak membeli maka akan mendapatkan nilai B-, C, bahkan D.

Pers Mahasiswa Poros kemudian meminta klarifikasi dengan mewawancarai pihak Lembaga Pengembangan Studi Islam (LPSI) Universitas Ahmad Dahlan. Pers Mahasiswa Poros juga meminta tanggapan dari Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Agama Islam Universitas Ahmad Dahlan.

Setelah meminta klarifikasi tersebut, Pers Mahasiswa Poros lalu menulis sebuah karya pers kampus berjudul “Nilai A Seharga Buku Tiga Puluh Lima Ribu Rupiah” yang diterbitkan tanggal 19 Agustus 2021. Kesimpulan dari berita tersebut adalah mahasiswa tidak lagi diwajibkan membeli buku dan tidak ada kaitannya dengan perolehan nilai.

Meskipun sudah diklarifikasi, tetapi pihak LPSI tetap merasa dirugikan dengan adanya karya itu. Sehingga pada Jumat, 20 Agustus 2021, Pihak LPSI kemudian memanggil redaksi Poros terkait permasalahan yang berkaitan dengan lembaga tersebut untuk hadir di Ruang Rapat LPSI pada Sabtu, 21 Agustus 2021. Kepala LPSI, Anhar Asnysary, menegaskan bahwa LPSI tidak pernah mewajibkan mahasiswa untuk membeli buku hingga mempengaruhi nilai mahasiswa. -Dalam forum tersebut Pers Mahasiswa Poros menawarkan hak jawab jika LPSI memang merasa dirugikan namun LPSI terus menawarkan opsi yang sama, yaitu menghapus karya pers tersebut. Poros akhirnya memutuskan untuk menghapus tulisan yang diterbitkan pada 19 Agustus 2021 tersebut.

PPMI Nasional menilai bahwa karya jurnalistik yang telah diterbitkan oleh Persma Poros dengan judul ‘Nilai A Seharga Tiga Puluh Lima Ribu Rupiah’ adalah murni karya pers mahasiswa melalui proses reportase yang semestinya.

Fakta yang dimuat dalam pemberitaan itu sudah dikumpulkan untuk menunjukkan betapa ada ketidakberesan dalam sistem penilaian di kampus tersebut. Selain itu, fakta penguat dalam pemberitaan tentu menjadi hak publik untuk tahu, bahwa kampus semestinya menjunjung tinggi asas objektivitas dalam memberikan pendampingan terhadap mahasiswanya.

Karya tersebut juga tidak mengandung unsur iktikad buruk sama sekali.

Atas peristiwa yang dialami Pers Mahasiswa Poros ini, PPMI Nasional menyatakan sikap:

  1. Mengacu pada Kode Etik Jurnalistik yang ditetapkan Dewan Pers melalui Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008 Tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik Sebagai Peraturan Dewan Pers, maka sikap yang diambil redaksi Poros dengan tetap mengambil posisi sebagai watchdog atau kontrol kekuasaan terhadap kampus, sudah sewajarnya dilakukan.
  2. Pers mahasiswa, sesuai namanya adalah lembaga yang difungsikan untuk menekan alat kekuasaan agar menjalankan fungsi ideal. Pers mahasiswa tidak bisa dipahami sebagai lembaga yang menjalankan fungsi publisitas semata. Berita seburuk apapun mengenai kampus, jika itu adalah fakta dan menjadi hak publik untuk tahu, sudah menjadi tugas lembaga pers mahasiswa untuk mempublikasikan fakta-fakta tersebut kepada publik.
  3. Selanjutnya, jika terdapat pihak yang keberatan dengan isi pemberitaan, semestinya pihak tersebut menempuh mekanisme hak jawab. Poros sebagai lembaga pers mahasiswa, sesuai Kode Etik Jurnalistik, wajib melayani hak jawab tersebut.
  4. Meminta Rektor UAD untuk menghormati kebebasan akademik, kebebasan pers mahasiswa serta kritik sebagai bagian dari demokrasi. Serta mendesak Rektor UAD untuk menindaklanjuti hasil temuan fakta penjualan buku dan menindak tegas pihak LPSI yang dalam hal ini berkeberatan dengan pemberitaan yang diterbitkan oleh Persma Poros.
  5. Meminta civitas akademik UAD tidak mendiskriminasi mahasiswa, anggota Persma Poros yang menulis kritik.

Narahubung:
Abdul Haq (0822 1747 9191)
Alvina N.A. (0822 4522 4717)

Kategori
Siaran Pers

PPMI Kecam Tindakan Represif UNSRI Terhadap LPM Limas

PERNYATAAN SIKAP PERHIMPUNAN PERS MAHASISWA INDONESIA (PPMI) TERHADAP KASUS LPM LIMAS FISIP UNIVERSITAS SRIWIJAYA PALEMBANG

Kebebasan berekspresi dan akademik di Indonesia kini mengalami sakaratulmaut, termasuk kebebasan pers mahasiswa. Salah satu Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Limas Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sriwijaya (UNSRI) Palembang adalah lembaga pers kampus yang diakui keberadaannya dan disahkan oleh Dekan FISIP UNSRI. LPM Limas menyampaikan kritik terkait kebijakan pembayaran uang kuliah tunggal (UKT), bukan mendapat tanggapan atas kasus yang terjadi justru langsung terkena ancaman sanksi akademik. Berikut kronologi yang dilampirkan pada pernyataan sikap dari LPM Limas:

  1. Pada 3 Agustus pukul 22.37 WIB, LPM Limas mem-posting karikatur di Instastory akun @lpm_limas. Postingan tersebut hanya bersifat sementara (24 jam).
  2. Setelah memposting karikatur tersebut, di hari yang sama terdapat akun yang sama sekali tidak diketahui LPM Limas yaitu akun Instagram @obrolan_akar_rumput ikut memposting karikatur LPM Limas di akun instagramnya tanpa meminta izin.
  3. Pada 5 Agustus, pemimpin umum LPM Limas, yaitu Shintia dihubungi oleh Gubernur Mahasiswa FISIP UNSRI untuk bertemu dengan dekan pada 6 Agustus, pukul 09.00 WIB di Pascasarjana UNSRI, Padang Selasa.
  4. Pada 6 Agustus, terdapat beberapa pihak yang hadir secara offline yaitu Wakil Gubernur Mahasiswa FISIP UNSRI, Pemimpin Umum dan Sekretaris Umum LPM Limas, serta saudara Rahmad Riyadi. Sekitar pukul 08.50 WIB mendapatkan kabar bahwa diskusi akan diadakan secara online bersama dekan. Pukul 09.00 WIB dekan memasuki ruangan zoom dan mulai berdiskusi. Dekan meminta LPM Limas untuk memberikan surat penjelasan terkait karikatur.
  5. Di hari yang sama, 6 Agustus pukul 14.54 WIB Pemimpin Umum LPM Limas dihubungi oleh Wakil dekan 3 untuk kembali menemui dekan pada pukul 16.00 WIB di Pascasarjana, Padang Selasa. Pada pukul 16.00 WIB, pemimpin umum dan sekretaris umum LPM Limas bertemu dengan Wakil Dekan 3, kemudian sekitar pukul 16.15 WIB disusul oleh Wakil Dekan 2. Tidak berapa lama dari itu, disusul kembali oleh Wakil Dekan 1 dan Dekan. Setelah beberapa pihak telah lengkap, diskusi dimulai. Dalam diskusi terdapat pernyataan bahwa unggahan poster wanted itu juga merupakan hasil karya LPM Limas, namun telah diklarifikasi oleh Pemimpin Umum LPM Limas bahwa unggahan tersebut bukan hasil karya LPM Limas. LPM Limas sendiri tidak pernah memposting hal tersebut. Setelah membahas ini, terdapat diskusi lagi terkait karikatur yang diunggah. Hal ini kembali dijelaskan oleh Pemimpin Umum. Setelah itu, LPM Limas diminta untuk membuat surat penjelasan karikatur dan surat pernyataan bahwa unggahan poster wanted bukan milik LPM Limas. Surat tersebut diminta untuk dikirim di hari yang sama. Berikut poin dari pertemuan yang diadakan:
    • Pihak Dekanat menyatakan bahwa tindakan LPM Limas dalam membuat karikatur tersebut adalah salah.
    • LPM Limas memberikan klarifikasi terkait postingan poster wanted yang bukan merupakan hasil karya LPM Limas.
    • Pihak Dekanat bermaksud untuk memberikan hukuman akademis dari skorsing sampai pemberhentian.
  6. Sekitar pukul 17.42 WIB diskusi selesai.
  7. Sekitar pukul 19.00 LPM Limaa mulai membuat surat klarifikasi yang berisikan kronologis kejadian, alasan membuat karikatur, permohonan maaf dan solusi berupa hak jawab dan hak koreksi.
  8. Kemudian pada pukul 21.31 WIB Pemimpin Umum LPM Limas menghubungi Wakil Dekan 3 untuk meminta izin mengirimkan surat dalam bentuk fisik pada 7 Agustus pukul 10.30 WIB.
  9. Pada Sabtu, 7 Agustus 2021, Pemimpin Umum mengirimkan surat klarifikasi dalam bentuk fisik ke rumah Wakil Dekan 3.

Produk jurnalistik berupa opini karikatur yang diterbitkan melalui story Instagram oleh LPM Limas merupakan suatu bentuk kawalan isu terhadap permasalahan yang sedang terjadi di UNSRI. Pemberian saksi akademik pada jurnalis mahasiswa merupakan tindakan yang tidak menghargai kebebasan berekspresi yang dijamin dalam pasal 28F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa:

“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi degan segala jenis saluran yang tersedia.”

Lebih lanjut, kebebasan akademik diatur dengan jelas dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (Dikti). Dalam pasal 8 ayat (3) UU Dikti menyatakan bahwa:

“Pelaksanaan kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan di Perguruan Tinggi merupakan tanggung jawab Sivitas Akademika, yang wajib dilindung dan difasilitasi oleh Pimpinan Perguruan Tinggi.”

Untuk itu Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Nasional mengeluarkan pernyataan sikap:

  1. Mengecam tindak represif yang dilakukan pihak UNSRI melalui Dekanat FISIP kepada pengurus LPM Limas terkait ancaman sanksi akademik.
  2. Mendesak Dekanat FISIP UNSRI untuk mencabut sanksi yang diberikan pada pengurus LPM Limas.
  3. Mendesak UNSRI untuk menghormati dan menghargai kerja-kerja jurnalistik di kampus.
  4. Menyelesaikan perkara jurnalistik melalui jalur jurnalistik (Hak Jawab dan Hak Koreksi).
  5. Mendesak UNSRI agar fokus menyelesaikan perkara UKT dibandingkan membungkam kebebasan pers dan ekspresi mahasiswa.
  6. Seruan kepada seluruh lembaga atau individu dan secara khusus lembaga pers mahasiswa di bawah naungan PPMI Nasional untuk bersolidaritas bersama mengawal kasus LPM Limas.

Narahubung:
Badan Pekerja Advokasi Nasional PPMI
Abdul Haq (+62 822-1747-9191)
Biro Umum Nasional PPMI
Alvina N.A (+62 822-4522-4717)

Kategori
Siaran Pers

Pimpinan KPK dukung Pelemahan KPK Melalui Upaya Kriminalisasi Aksi Tembak Laser

Siaran Pers Bersama
Upaya Kriminalisasi Aksi Tembak Laser, Bukti Pimpinan KPK dukung Pelemahan KPK

Pada 19 Juli 2021 petang, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Biro Umum memberikan keterangan ke beberapa media, bahwasanya KPK telah melaporkan sejumlah aktivis antikorupsi yang menembakkan laser ke gedung KPK. Juru Bicara KPK Ali Fikri mengklaim aksi penembakan laser telah mengganggu ketertiban dan kenyamanan KPK. Jika menurut pada keterangan pernyataan pers dari KPK yang dimuat di sejumlah media, pelaporan yang dilakukan oleh KPK disebabkan karena aksi tersebut dinilai sebagai potensi kesengajaan melakukan gangguan ketertiban dan kenyamanan operasional perkantoran KPK sebagai objek vital nasional. Padahal aksi yang dilakukan merupakan bentuk keprihatinan terhadap lembaga Pemberantasan Korupsi dari serangkaian upaya-upaya pelemahan terhadap lembaga tersebut. Dimulai dengan direvisinya Undang-Undang KPK pada tahun 2019 hingga terakhir terkait dengan Tes Wawasan Kebangsaan. Aksi penembakan laser yang dilaporkan KPK hanyalah salah satu dari aksi-aksi yang telah dilakukan dan merupakan bagian dari rangkaian aksi-aksi yang sebelumnya dilakukan oleh koalisi masyarakat sipil dan gerakan mahasiswa di Jakarta dan di beberapa kota lainnya.

Pelaporan dan upaya pemidaanan terhadap aksi di gedung KPK merupakan peristiwa yang pertama kali, padahal telah sangat banyak aksi-aksi demonstrasi di gedung KPK sebelumnya dan tidak pernah ada upaya pemidanaan. Hal ini menunjukkan perubahan KPK dan Pimpinannya yang semakin jauh dari rakyat. Semakin hilang fokus dan kemampuan dari mengungkap korupsi-korupsi besar menjadi mempidanakan rakyat yang berusaha menjaga KPK. Ini menjadi rangkaian nyata pelemahan KPK setelah sebelumnya revisi UU KPK, serangan kepada pegawai-pegawai KPK, penyingkiran melalui Tes Wawasan Kebangsaan Illegal, dan lainnya.

Upaya pelaporan terhadap aksi-aksi seperti yang dilakukan oleh KPK, merupakan ancaman demokrasi kedepan, setidaknya hal tersebut didasarkan pada beberapa argumentasi mendasar:

  • Aksi-aksi yang dilakukan terhadap KPK merupakan upaya dari mempersoalkan permasalahan Pelemahan KPK dan banyaknya kejanggalan dalam proses TWK. Seharusnya alih-alih dilihat sebagai upaya “menyerang simbol negara”, sebaliknya aksi-aksi sejenis terhadap KPK sejatinya merupakan upaya penguatan KPK.
  • Upaya Kriminalisasi terhadap kebebasan berpendapat, lebih jauh lagi hal tersebut justru merupakan upaya pembungkaman publik dan SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation).
  • Upaya merespon kritik secara negatif dan berlebihan. Pelaporan seperti ini baru pertama kali terjadi di KPK pada masa Firli Bahuri, selama ini, dibandingkan pada aksi yang dilakukan terhadap KPK, lembaga negara lain bahkan secara institusi terkait, jarang sekali tercatat melaporkan tindakan kritik yang diarahkan terhadap institusinya, bahkan seperti gedung DPR yang berulang kali di demonstrasi. Lebih jauh lagi pada Pasal 7 ayat (2) huruf d PerDewas Nomor 02 Tahun 2020, menyebutkan : dalam mengimplementasikan Nilai Dasar Profesionalisme, setiap Insan Komisi dilarang: merespons kritik dan saran secara negatif dan berlebihan.
  • Fokus pada pemberantasan korupsi. Alih-alih sibuk menjawab kritik dengan kriminalisasi harusnya KPK fokus pada upaya-upaya strategis pemberantasan korupsi. Langkah-langkah kontraproduktif seperti kriminalisasi justru makin menguatkan indikasi bahwa pimpinan KPK saat ini terlibat dalam pelemahan KPK.

Jakarta, 20 Juli 2021
Narahubung : Seluruh Perwakilan dari lembaga-lembaga
Siaran Pers Bersama

  1. YLBHI
  2. LBH Jakarta
  3. Greenpeace Indonesia
  4. WALHI EKSEKUTIF NASIONAL
  5. WALHI JAKARTA
  6. Fraksi Rakyat Indonesia
  7. Bersihkan Indonesia
  8. Ecosoc Institute
  9. Bangsa Mahasiswa
  10. Serikat Mahasiswa Progresif Universitas Indonesia
  11. Aliansi BEM Seluruh Indonesia
  12. BEM Se-Unnes
  13. Aliansi BEM Semarang Raya
  14. BEM KM Universitas Yarsi
  15. BEM FISIP UNMUL
  16. Indonesia Corruption Watch
  17. BEM Universitas Siliwangi
  18. BEM Fapet Unpad
  19. BEM UI
  20. Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI)
  21. BEM STHI Jentera
  22. BEM FISIP UNSIL
  23. BEM PM Universitas Udayana
  24. BEM FH UPNVJ
  25. Enter Nusantara
  26. JATAM Kaltim
  27. LBH Samarinda
  28. ICJR
  29. PSHK
  30. LBH Pers
  31. LeiP
  32. LBH Masyarakat
  33. PBHI
  34. ELSAM
  35. ICEL
  36. LBH Pos Malang
  37. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia
  38. Aliansi Akademisi Tolak Omnibus Law
  39. KIKA
  40. FSBKU KSN
  41. KontraS
  42. Save Our Borneo
  43. IJRS
  44. Pusaka Bentala Rakyat
  45. Jikalahari
  46. Serikat Petani Kelapa Sawit
  47. Senarai
  48. Front Mahasiswa Nasional
  49. BEM ULM
  50. KPRI
  51. SPRI ( Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia)
  52. Pokja 30
  53. LEM UII Yogyakarta
  54. BEM FH UI
  55. Perkumpulan Lingkar Hijau
  56. BEM HUKUM UNHAS
  57. BEM FH Undip
  58. BEM FH Unsika
  59. BEM FKB Universitas Telkom
  60. Garda Tipikor FH UNHAS
  61. PUSaKO FH Unand
  62. LBH Yogyakarta
  63. BEM FISIP UI
  64. BEM FKM UI
  65. BEM Vokasi UI
  66. BEM FF UI
  67. BEM FIA UI
  68. BEM FPsi UI
  69. BEM FIB UI
  70. BEM FK UI
  71. BEM Fasilkom UI
  72. BEM FT UI
  73. Pers Suara Mahasiswa UI
  74. BEM FH Unpad
  75. BEM FH Unair
  76. Aliansi BEM Univ. Brawijaya
  77. SAKSI FH
  78. BEM Undip
  79. BEM FKM Undip
  80. BEM FSM Undip
  81. BEM FISIP Undip
  82. BEM FPP Undip
  83. BEM FPIK Undip
  84. BEM FT Undip
  85. BEM FEB Undip
  86. BEM Psikologi Undip
  87. BEM FK Undip
  88. FNKSDA
  89. LAMRI Surabaya
  90. Aliansi Selamatkan Lingkungan Malang Selatan
  91. BEM Unsoed
  92. PADI Indonesia
  93. Etika Kosmologi Khatulistiwa
  94. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
  95. Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN)
  96. Kanopi hijau Indonesia
  97. LBH Surabaya
  98. WALHI Jawa Barat
  99. Auriga Nusantara
  100. AEER
  101. JATAM
  102. Trend Asia
  103. Walhi Kalimantan Selatan
  104. LBH Bandung
  105. Perkumpulan Lingkar Hijau
  106. WALHI Yogyakarta
  107. WALHI Sumatera Selatan
  108. WALHI Lampung
  109. WALHI NTB
  110. WALHI Jambi
  111. WALHI Jawa Tengah
  112. WALHI RIAU
  113. WALHI Jawa Timur
  114. WALHI Sulawesi Tenggara
  115. WALHI Maluku Utara
  116. Walhi Kalimantan Selatan
  117. WALHI Kalimantan Timur
  118. WALHI Kep.Babel
  119. WALHI Papua
  120. Amnesti Internasional Indonesia
Kategori
Siaran Pers

Hentikan Upaya Kriminalisasi Aktivis Perempuan di Jombang

Press Release

Jombang, 28 Juni 2021 – Solidaritas Masyarakat sipil yang tergabung dalam Jaringan Advokasi Kasus Penganiayaan mendesak agar Polres Jombang menghentikan pemeriksaan terhadap Siamroatul Ayu Masruroh yang dilaporkan balik oleh orang-orang yang diduga sebagai pelaku penganiaayan dan perampasan, dengan dugaan perusakan terhadap barang dengan Nomor LP-B/46/V/RES.1.10/2021/RESKRIM/SPKT Polres Jombang tanggal 12 Mei 2021. Laporan ini sendiri terjadi setelah Ayu melaporkan dugaan tindak pidana penganiayaan dan perampasan yang terjadi pada tanggal 09 Mei 2021, dengan bukti lapor TBL-B/15/III/Res.1.6/2021/RESKRIM/SPKT yang diduga dilakukan oleh sejumlah orang yang diduga sebagai pengawal MSAT tersangka pelaku pelecehan seksual terhadap santriwati yang hingga hari ini berkas perkaranya masih mandek di Polda Jatim dan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. 

Dalam hal pemanggilan Siamroatul Ayu Masruroh yang rencana dilakukan oleh penyelidik Polres Jombang pada Senin, 28 Juni 2021 jelas merupakan upaya kriminalisasi terhadap korban. Fakta ini terlihat bahwa laporan penganiayaan dan perampasan terhadap korban hingga hari ini belum ada upaya pemanggilan terhadap orang-orang yang diduga sebagai pelaku, padahal semua saksi terhadap peristiwa tersebut telah diperiksa oleh penyelidik Polres Jombang. 

Selain hal tersebut, sejumlah saksi menyampaikkan bahwa dia beberapa kali didatangi oleh orang-orang yang diduga dari pihak pelaku dan meminta agar saksi memberikan keterangan palsu. Orang tersebut juga berupaya untuk memberikan amplop diduga berisi uang, selain itu ada juga saksi yang mengalami terror via pesan Whatsapp hingga 500 pesan. Sampai hari ini keluarga Siamroatul Ayu Masruroh mengalami intimidasi dalam bentuk pengepungan rumah bahkan mau mendobrak pintu rumah dan mengintai terus menerus aktifitas orang tua. 

Dalam hal ini kami dari Jaringan Advokasi Kasus Penganiayaan melihat peristiwa penganiayaan dan perampasan yang dialami Siamroatul Ayu Masruroh akibat dari lambanya proses hukum terhadap kasus pelecehan seksual yang terjadi 3 tahun silam. Hal ini terlihat dari ancaman yang disampaikan oleh para pelaku pada saat mendatangi Siamroatul Ayu Masruroh di tempat kejadian perkara. Perlu diketahui bahwa Siamroatul Ayu Masruroh merupakan korban sekaligus saksi dalam perkara kasus pelecehan seksual dengan Tersangka MSA, dan Siamroatul Ayu Masruroh merupakan saksi korban yang telindung di Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK). 

Bahwa berdasarkan ketentuan UU LPSK No. 31 Tahun 2014 atas perubahan UU No. 13 Tahun 2006 pasal 10 ayat (1) Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik. Ayat (2) Dalam hal terdapat tuntutan hukum terhadap Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikan, tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan atau ia berikan kesaksian telah diputus oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap. 

Untuk itu kami atas nama Jaringan Advokasi Kasus Penganiayaan mendesak: 

  1. Polres Jombang segera menghentikan pemeriksaan terhadap Siamroatul Ayu Masruroh. 
  2. Kejaksaan Agung untuk mengevaluasi kinerja Kejaaksaan Tinggi Jawa Timur yang masih membolak-balik berkas perkara pelecehan seksual dengan Tersangka MSAT. 

#StopKriminalisasiKorban 
#KamiBersamaKorban 
#LawanKekerasanTerhadapPerempuan 
#SahkanRUUPenghapusanKekerasanSeksual 

Hormat kami, 
Jaringan Advokasi Kasus Penganiayaan 

CP:
081230593651 (Fatkhul Khoir) 
089682373953 (Wahyu) 

Kategori
Siaran Pers

Mendesak Mendikbud untuk Memberhentikan Rektor UNNES

[Siaran Pers]

Koalisi Mahasiswa Tegakkan Integritas Akademik Desak Mendikbud RI Mencopot Rektor UNNES

Integritas akademik merupakan prinsip dasar atau marwah dari pendidikan yang harus dijaga, dirawat dan ditegakkan oleh setiap individu. Koalisi Mahasiswa Tegakkan Integritas Akademik merupakan gabungan elemen mahasiswa se-Indonesia yang berjuang untuk menegakkan marwah pendidikan yang hari ini semakin memudar, terutama yang berkaitan dengan kebenaran, keadilan serta kejujuran.

Saat ini, runtuhnya integritas akademik merupakan permasalahan paling besar yang sedang dihadapi oleh pendidikan tinggi di Indonesia. Memudarnya nilai-nilai akademik terjadi hampir di seluruh lembaga pendidikan tinggi. Salah satunya yang terjadi di Universitas Negeri Semarang (UNNES), kampus yang seolah menjadi representatif atas problematika pendidikan tinggi Indonesia saat ini. Beberapa tahun terakhir UNNES dibawah kepemimpinan Rektor Fathur Rokhman kerap kali menjadi sorotan publik karena beberapa masalah yang berkaitan dengan integritas akademik. Salah satu kasus yang sedang ramai disoroti adalah kasus plagiasi.

Kasus plagiasi yang dilakukan oleh Rektor Universitas Negeri Semarang (UNNES), Fathur Rokhman, kembali mencuat setelah Tim Akademik Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) melakukan kajian akademik atas dokumen disertasi Fathur Rokhman (FR). Temuan tersebut langsung direspon oleh Koalisi Mahasiswa Tegakkan Integritas Akademik dengan membuat petisi online melalui situs change.org. Saat ini petisi daring yang mendesak Mendikbud RI agar segera mencopot Rektor UNNES Fathur Rokhman tersebut sudah ditandatangani lebih dari 10.000 (sepuluh ribu) tanda tangan. Artinya, kasus ini sudah menjadi perhatian publik dan sudah seharusnya ditindaklanjuti oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI dengan memberikan perhatian khusus untuk segera menuntaskan kasus plagiasi tersebut.

Hasil kajian akademik KIKA (bit.ly/MonografiPlagiarisme) yang disusun dalam bentuk monografi tersebut menyatakan secara tegas bahwa disertasi yang ditulis oleh FR pada tahun 2003 telah terbukti memplagiat skripsi tahun 2001 yang disusun oleh RS dan NY di mana keduanya merupakan mahasiswa bimbingan FR di Fakultas Bahasa dan Seni UNNES. Hasil ini memperkuat serta menegaskan kembali hasil temuan sebelumnya dari tim Dewan Kehormatan Universitas Gadjah Mada yang menyatakan bahwa FR telah memplagiat skripsi dua mahasiswa bimbingnnya dan merekomendasikan pencabutan gelar doktoral FR. Melalui analisis authorship attribution ahli linguistik forensik, Tim Akademik KIKA menemukan inkonsistensi dalam disertasi FR. Hal ini menandakan bahwa tulisan tersebut memang diproduksi oleh lebih dari satu orang. Selanjutnya dengan menyandingkan teks-teks yang terdapat dalam disertasi FR pada tahun 2003 dengan skripsi RS dan NY yang ditulis pada tahun 2001.Hasil kajian Tim Akademik KIKA juga menunjukkan bahwa dokumen draft disertasi FR tahun 2000 yang digunakan untuk membantah plagiasi terbukti direkayasa dengan ditemukannya sejumlah kejanggalan dalam draft tersebut.

Akan tetapi, hingga saat ini FR terus memanfaatkan hubungan-hubungan kekuasaan dengan melakukan proses negosiasi yang bersifat politis. Dibuktikan dengan sikap M. Nasir selaku Menristekdikti (2014-2019) yang tidak proaktif dalam menangani kasus plagiarisme FR dan bahkan cenderung melindungi FR lewat beberapa pernyataannya di media massa. Selain itu sikap dari Rektor UGM yang mengeluarkan Keputusan untuk menggugurkan dugaan plagiarisme FR dengan mengabaikan hasil kajian DK UGM patut dicurigai sebagi sebuah persekongkalan yang tak lepas dari konsolidasi kekuasaan antar pejabat kampus. Maka tak heran jika kasus plagiarisme FR berlarut-larut penyelesaiannya hingga hari ini.

Kasus plagiasi yang dilakukan oleh Fathur Rokhman bukanlah menjadi persoalan tunggal. Fathur Rokhman memiliki banyak catatan merah selama menjadi Rektor UNNES. Fathur Rokhman kerap kali melakukan represifitas terhadap orang yang dianggap tidak sepaham dan membahayakan bagi dirinya. Beberapa waktu yang lalu, Fathur Rokhman mengembalikan seorang mahasiswa Fakultas Hukum ke orang tua pasca pelaporan dugaan korupsi dirinya ke KPK. Tak hanya memberikan sanksi akademik berupa skorsing hingga drop out, Fathur Rokhman juga mengkriminalisasi mahasiswa, masyarakat sipil hingga jurnalis dengan melaporkannya ke Kepolisian. Hal ini yang melegitimasi ulang bahwa UNNES berada dalam zona merah kebebasan akademik, bahkan tak berlibihan jika menilai bahwa demokrasi dan HAM sudah mati di kampus konservasi. Tak hanya itu, Fathur Rokhman juga kerap melakukan obral gelar akademik. Baru- baru ini, Fathur Rokhman memberikan gelar dokor honoris causa kepada mantan narapidana korupsi, Nurdin Halid. Obral gelar kehormatan tersebut tentu tak lepas dari kepentingan pribadi Fathur Rokhman.

Keadaan-keadaan seperti yang disebutkan di atas telah memberikan gambaran bahwa sejatinya keadaan kampus hari ini tidak bersih dari intervensi dan politisasi. Hal ini tentu saja menciderai martabat kampus sebagai lembaga akademik yang bertanggung jawab memproduksi, merawat serta mendistribusikan pengetahuan demi kemaslahatan masyarakat. Maka sudah saatnya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI memberikan sikap tegas atas akumulasi persoalan yang terjadi di Universitas Negeri Semarang ini. Terlebih, apa yang dilakukan oleh Fathur Rokhman merupakan bagian dari 9 tindakan yang dilarang keras oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI. Sebagai bagian dari usaha untuk memurnikan kembali marwah dan integritas dari Pendidikan Indonesia, sudah saatnya Mendikbud mengambil langkah tegas untuk memberikan perubahan yang mendasar bagi dunia pendidikan tinggi Indonesia.

Diakhir, kami Koalisi Mahasiswa Tegakkan Integritas Akademik memberikan dua poin tuntutan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI. adapun dua tuntutan yang kami berikan adalah:

  1. Mendesak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk menyatakan adanya plagiasi dalam Disertasi yang ditulis FR tahun 2003 diantaranya terhadap Skripsi SR dan NY tahun 2001;serta
  2. Mendesak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk memberhentikan FR sebagai Rektor UNNES karena gelar doktoralnya diperoleh dengan melakukan kecurangan akademik serta telah menggunakan jabatan dan kekuasaannya untuk memanipulasi publik dan menutupi tindak plagiasi yang dilakukan dirinya.

Koalisi Mahasiswa Tegakkan Integritas Akademik:

  1. BEM Seluruh Indonesia
  2. DPN PERMAHI (Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia)
  3. Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI)
  4. Komite Revolusi Pendidikan Indonesia (KRPI)
  5. Gerakan Rakyat Menggugat Jawa Tengah
  6. Aliansi BEM Semarang Raya
  7. Aliansi Mahasiswa Jateng-DIY
  8. Aliansi Mahasiswa UNNES
  9. Aliansi Mahasiswa UNDIP
  10. Front Mahasiswa Nasional (FMN) Semarang
  11. Aksi Kamisan Semarang
  12. GUSDURian UNNES

Narahubung :
+62 857-0424-8033 (Tsamrotul Ayu)

Kategori
Siaran Pers

Warga Bara-Baraya Menuntut Keadilan dan Peradilan Bersih

WASPADA MAFIA PERADILAN DAN INTERVENSI PENGADILAN

Salam Perjuangan. . .

Sengketa lahan warga Bara–Baraya vs Nurdin Dg. Nombong & Kodam XIV Hasanuddin yang mengklaim tanah warga sebagai tanah okupasi asrama TNI-AD telah bergulir sejak tahun 2016 lalu. Pihak Kodam memaksa untuk melakukan pengosongan lahan tanpa melalui jalur pengadilan. Tetapi warga berhasil menghadang upaya paksa dari Kodam. Maka pada tahun 2017, Nurdin Dg. Nombong bersama Kodam mengajukan gugatan ke Pengadilan Negari Makassar. Melalui Perkara Nomor nomor 255/Pdt.G/2017/PN MKS. Perkara ini berhasil dimenangkan oleh warga, baik di tingkat pengadilan negeri maupun Pengadilan Tinggi Makassar.  

Upaya perampasan lahan warga Bara – Baraya  tidak berhenti di situ. Pada tahun 2019, Nurdin Dg. Nombong bersama Kodam kembali mengajukan gugatan ke Pangadilan Negeri Makassar, berdasarkan Perkara Nomor: 239/Pdt. G/2019/PN Makassar. Lagi – lagi warga berhasil memenangkan perkara ini.

Dalam prosesnya, pada sidang tanggal 4 Februari 2020, TNI-AD melalui kuasa Hukumnya, meminta izin kepada Ketua Majelis Hakim untuk menurunkan prajurit TNI-AD dengan alasan pengamanan Sidang Pemeriksaan Setempat yang akan dilaksanakan pada 6 Februari 2020, alasannya TNI adalah pihak yang berkepentingan dalam perkara ini, tetapi Kuasa Hukum Warga Bara – Baraya berkeberatan dengan permintaan pihak Kuasa Hukum Kodam, dengan alasan bahwa tidak punya kewenangan untuk mencampuri persidangan perkara sipil, baik alasan sebagai pihak maupun alasan pengamanan.

Setelah Majalis Hakim bermusyawarah, akhirnya Permintaan dari pihak Kuasa Hukum Kodam ditolak. Walaupun begitu, pada kenyataannya dalam sidang PS, TNI-AD menurunkan tetap menurunkan beberapa prajurit.

Pada tanggal 12 Maret 2020, Pengadilan Negeri Makassar atas perkara nomor 239/Pdt. G/2019/PN Makassar, menjatuhkan putusannya Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima dengan pertimbangan kuat yaitu:

  • Penggugat tidak menarik PPAT Kecamatan Makassar sebagai Tergugat, dalam hal ini untuk menilai sah atau tidaknya Akta Jual Beli milik Tergugat VIII (Subaedah), maka mutlak ditarik PPAT selaku pejabat yang berwenang mengeluarkan Akta Jual Beli milik Tergugat VIII (Subaedah);
  • Dalam sidang pemeriksaan setempat, Penggugat tidak mampu menunjukkan satu persatu tanah yang dikuasai oleh masing-masing tergugat;

Nurdin Dg. Nombong bersama Kodam XIV tidak menerima putusan Pengadilan Negeri Makassar tersebut di atas, kemudian menyatakan banding. Di tengah situasi darurat kesehatan akibat covid-19, dimana pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan antaranya social distancing dan physical distancing perkara banding atas putusan PN Makassar 239/Pdt. G/2019/PN Makassar bergulir di Pengadilan Tinggi Makassar.

Selama proses banding berjalan, Para Tergugat tidak pernah mendapat surat pemberitahuan dari Pengadilan Tinggi Makassar perihal penerimaan berkas dan register perkara. Padahal berdasarkan sistem administrasi peradilan, seharusnya pihak pengadilan tinggi menyampaikan surat pemberitahuan tersebut kepada para pihak.

Pada 9 September 2020, dengan susunan Majelis Hakim Banding, yaitu: H. Ahmad Gafar, S.H., M.H. (Ketua), Sri Herawati, S.H., M.H. (Anggota) dan Mustari, S.H. (Anggota), Pegadilan Tinggi Makassar menjatuhkan putusan yang anehnya berbeda dengan putusan Pengadilan Tinggi  atas putusan Perkara Nomor 255/Pdt.G/2017/PN MKS. Hal mana Pengadilan Tinggi dalam putusannya atas Perkara Banding Nomor 228/PDT/2020/PT.Mks menjatuhkan putusan antara lain, sebagai berikut: 

Menerima permohonan banding dari Pembanding/Terbanding semula Penggugat dan Pembanding II/Terbanding I semula Tergugat I; Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Makassar Nomor 239/Pdt.G/2019/PN. Mks tanggal 12 Maret 2020”. Pada poin 8 amar putusan perkara a quo Lebih lanjut menegaskan bahwa  Menghukum Tergugat II, III, IV, V, VI, VII, VIII, IX, X, XI, XII, XIII, XIV, XV, XVI, XVII, XVIII, XIX, XX, XXI, XXII,XXIII, XXIV, XXV, XXVI, XXVII, XXVIII, XXIX, XXX, XXXI, XXXII, XXXIII, XXXIV, XXXV, XXXVI, XXXVII, XXXVIII, XXXIX dan XL atau siapa saja yang mendapat hak dari padanya untuk mengosongkan tanah sengketa tersebut diatas, kemudian diserahkan kepada Penggugat jika diperlukan bantuan Tergugat I atau aparat kepolisian tanpa dibebani syarat;

Pemberitahuan Putusan Banding tersebut baru diterima oleh oleh warga selaku Terbanding pada 5 Oktober 2020. Sedangkan TNI-AD menerima surat pemberitahuan putusan banding pada tanggal 22 September 2020 dan Nurdin Dg. Nombong menerima surat pemberitahuan putusan banding pada tanggal 23 September 2020.

Setelah menerima pemberitahuan putusan banding tersebut, warga melalui kuasa hukumnya menyatakan Kasasi. pada tanggal tanggal 15 Desember 2020, Kepaniteraan Pengadilan Negeri Makassar mengirim berkas kasasi berdasarkan nomor surat: W22.U1/5725/HK.02/12/2020.

Sebelum berkas kasasi dikirimkan, Pengadilan Negeri Makassar tidak pernah menyampaikan kepada warga beserta pihak lain yang berperkara untuk mempelajari/memeriksa kelengkapan berkas perkara kasasi (inzage).

Dari hal – hal diatas kami dari aliansi Bara – Baraya Bersatu menduga kuat adanya perlakukan diskriminatif, mafia peradilan, maupun indikasi adanya upaya intervensi TNI-AD terhadap perkara ini.

Untuk itu Kami kami dari Aliansi Bara–Baraya Bersatu menyatakan:

Meminta kepada Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia; Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia; dan Komisi Yudisial Republik Indonesia untuk dapat melakukan pemantauan dan pengawasan ketat atas perkara ini demi menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim dalam rangka terwujudnya sistem peradilan bersih dan agung. serta memenuhi rasa keadilan masyarakat khususnya warga Kelurahan Bara-Baraya, Kota Makassar, selaku korban dari upaya penggusuran.

Makassar, 12 Februari 2021

Nara Hubung:
085231011007-Muh. Nur (Warga Bara-Baraya)
0812 4116 3839-Muh. Ansar (LBH Makassar) 

Tembusan:

  1. Mahkamah Agung RI;
  2. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK);
  3. Komisi Yudisial RI;
  4. Jurnalis/ Wartawan se-Kota Makassar;
  5. Arsip.
Kategori
Siaran Pers

Press Release PPMI terhadap Kasus Pelecehan Seksual yang Dilakukan Sekjend PPMI DK Semarang

I. Pengantar Advokasi Kasus Pelecehan Seksual

14 Februari 2020, Badan Pekerja Advokasi Nasional Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (BP Advokasi Nas PPMI) mendapatkan laporan dari salah satu anggota Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) (selanjutnya disebut pelapor)  terkait pelecehan seksual yang dilakukan oleh Muhammad Shofi Tamam, Sekjend PPMI Dewan Kota (DK) Semarang. Pelapor menjelaskan bahwa ada lebih dari satu penyintas dari pelecehan seksual yang dilakukan Tamam.

Pelapor memberikan keterangan itu kepada BP Advokasi Nas PPMI ketika PPMI mengadakan Kongres Nasional ke 15 PPMI di Madura. Pelapor bercerita kepada BP Advokasi Nas PPMI supaya PPMI maupun lembaga lainnya bisa menghadirkan lingkungan yang ramah perempuan dengan mengadili serta membuat jera pelaku, melindungi penyintas, dan mendengar tuntutan penyintas.

Setelah mendapatkan keterangan dari pelapor, BP Advokasi Nas PPMI mengajak seluruh BP Nas PPMI yang hadir di Kongres untuk membahas hal tersebut. Setelah membahas keterangan dari pelapor, BP Advokasi Nas PPMI membentuk tim advokasi kasus kekerasan seksual. Tim advokasi kasus kekerasan seksual terdiri dari seluruh BP Nas PPMI dan BP Advokasi PPMI DK Malang. Kemudian, pada tanggal 15 Februari 2020, forum Kongres dipending ketika Laporan Pertanggungjawaban BP Advokasi Nas PPMI. Forum dipending dengan alasan ada kasus yang harus segera diselesaikan oleh BP Nas PPMI. Setelah forum dipending, BP Advokasi Nas PPMI menemui Tamam untuk melakukan proses verifikasi dan memberi ruang pembelaan pelaku.

Hasil proses dari ruang pembelaan pelaku kemudian dibahas oleh seluruh BP Nas PPMI. Lalu pada 16 Februari 2020, BP Nas PPMI melalui Rahmat Ali selaku Sekjend Nas PPMI memberikan keputusan kepada Tamam untuk memenuhi tuntutan penyintas yang salah satunya adalah memberhentikan Tamam dari jabatan Sekjend PPMI DK Semarang.

Berikut kami sampaikan ruang pembelaan pelaku, hasil pembahasan dan keputusan BP Nas PPMI kepada Tamam, serta advokasi bersama AJI Semarang dan LRC-KJHAM Semarang.

II. Ruang Pembelaan Pelaku

BP Advokasi Nas PPMI memberikan ruang pembelaan pelaku kepada Tamam pada tanggal 15 Februari 2020. Pihak yang hadir di ruang pembelaan pelaku itu adalah Wahyu sebagai BP Advokasi Nas PPMI, Tamam sebagai terduga pelaku pelecehan dan Fitron sebagai BP Advokasi PPMI DK Malang yang membantu BP Nas PPMI dalam advokasi kasus. Selain itu ada pengurus PPMI DK Semarang yaitu Gunawan (LPM Dimensi) sebagai BP Advokasi PPMI DK Semarang, Bagas (LPM Suprema), Yusron (LPM Gema Keadilan) dan Diki (LPM Vokal).

Ruang pembelaan pelaku dimulai dengan proses verifikasi keterangan pelapor kepada Tamam sebagai terduga pelaku pelecehan seksual. Ketika proses verifikasi, Tamam membenarkan bahwa dia melakukan pelecehan kepada penyintas. Tamam juga membenarkan bahwa dia menggunakan relasi kuasanya di LPM Menteng, PPMI DK Semarang dan Aliansi Jurnalis Independen(AJI)Semarang (berupa sekretariat LPM, kantor AJI Semarang), maupun kegiatan-kegiatan Persma seperti malam keakraban (Makrab) dan kunjungan LPM untuk melakukan tindakan pelecehan kepada penyintas.

Tamam juga mengakui bahwa dia melakukan pelecehan kepada penyintas dengan mengajaknya camping (dengan tenda pinjaman milik AJI Semarang) maupun ketika membonceng penyintas dengan motor. Selain itu, Tamam juga mengakui bahwa dia tidak hanya melakukan pelecehan ke beberapa anggota LPM, tapi Tamam juga melakukan pelecehan ke penyintas dari organisasi di luar LPM atau PPMI DK Semarang.

Selain membenarkan tindakan pelecehan yang dilakukan, Tamam juga memberi klarifikasi atas tindakannya itu. Klarifikasi pertama, pelecehan di atas motor ketika membonceng penyintas sepulang dari kunjungan LPM. Tamam tidak merasa melakukan pelecehan karena waktu itu ia meminta penyintas untuk pegangan ke perut Tamam, namun penyintas menolak. Kemudian ketika Tamam mempercepat laju motor, penyintas tiba-tiba memeluknya tanpa Tamam memintanya.

Klarifikasi kedua ketika pelecehan di tenda waktu camping, di sekretariat LPM Menteng dan kantor AJI Semarang. Tamam mengatakan kalau penyintas tidak menolak kontak fisik (pelukan maupun ciuman) yang dilakukannya dan penyintas membalas kontak fisik itu. Sehingga, Tamam merasa kalau dia tidak melakukan pelecehan karena penyintas membalas kontak fisik itu.

Klarifikasi ketiga yaitu tentang pelecehan yang terus menerus dilakukan Tamam kepada penyintas. Tamam terus melakukan pelecehan itu karena dia menganggap bahwa yang dilakukannya bukan pelecehan, tapi suka sama suka karena penyintas juga membalas kontak fisiknya. Tamam juga mengatakan kalau penyintas merasa nyaman dan menikmati kontak fisik itu. Selain itu, Tamam mengatakan kalau penyintas juga pernah mengajaknya camping, sehingga Tamam merasa bukan hanya dia yang salah, tapi penyintas juga salah.

Setelah mendengar klarifikasi dari Tamam, Wahyu melakukan verifikasi kembali terhadap klarifikasi Tamam dengan mengajukan beberapa pertanyaan. Pertama, Wahyu menanyakan apakah kontak fisik yang dilakukan Tamam itu melalui persetujuan (consent) dari penyintas? Lalu Tamam menjawab bahwa dia tidak meminta persetujuan dalam bentuk verbal (kata-kata) untuk melakukan kontak fisik ke penyintas, tapi Tamam langsung melakukan kontak fisik dengan gerakan tubuhnya.

Kedua, Wahyu menanyakan ajakan camping Tamam ke penyintas, apakah Tamam mengajak camping dengan penyintas untuk melakukan kontak fisik itu? Kemudian Tamam menjawab bahwa dia tidak mengajak camping penyintas untuk melakukan kontak fisik itu. Begitu juga penyintas, Tamam mengatakan kalau penyintas tidak mengajak camping Tamam untuk melakukan kontak fisik itu. Tamam maupun penyintas saling mengajak camping untuk mengerjakan tugas atau untuk refreshing saja.

Ketiga, Wahyu menanyakan kepada Tamam siapa yang pertama dan paling sering mengajak camping serta melakukan kontak fisik? Lalu Tamam menjawab bahwa dia sendiri yang pertama dan paling sering mengajak camping serta melakukan kontak fisik. Sedangkan penyintas hanya mengajak camping sekali saja, itu pun tidak jadi camping.Penyintas juga tidak pernah mengajak atau memulai untuk melakukan kontak fisik. Tamam sendiri mengatakan kalau penyintas tidak pernah berkata merasa nyaman dan menikmati kontak fisik itu.

Keempat, Wahyu menanyakan kepada Tamam, apakah dia tahu bahwa penyintas merasa terpaksa, takut dan tidak punya pilihan ketika Tamam melakukan semua kontak fisik itu sampai penyintas mau lompat dari motor ketika Tamam memaksa penyintas untuk memeluknya? Kemudian Tamam mengiyakan kalau dia mengetahui semua itu. Tamam mengatakan kalau dia baru mengetahui ketidaknyamanan penyintas setelah penyintas menolak kontak fisik dari Tamam dengan tegas. Setelah mengetahui kalau penyintas merasa tidak nyaman dan berani menolak kontak fisiknya, Tamam mengatakan beberapa bulan setelah Reuni Nasional dan Dies Natalis PPMI (25 – 28 Oktober 2019 di Semarang) selesai, dia tidak melakukan lagi kontak fisik itu ke penyintas.

Setelah melakukan verifikasi kembali terhadap klarifikasi Tamam dan mendengar jawaban-jawabannya, Wahyu menyampaikan bahwa Tamam juga sudah mengakui tindakan pelecehan yang dilakukannya, sehingga Tamam harus memenuhi tuntutan penyintas untuk memberhentikannya dari jabatan Sekjend PPMI DK Semarang. Selain itu, Tamam juga harus memenuhi tuntutan lain dari penyintas yaitu meminta maaf secara langsung kepada semua penyintas yang pernah dilecehkan serta kepada publik dan berjanji tidak akan mengulangi tindakan pelecehan lagi kepada siapapun. Serta menanggung biaya pemulihan semua penyintas yang pernah dilecehkan.

Namun, Tamam tidak terima dengan tuntutan penyintas untuk berhenti atau mengundurkan diri dari Sekjend PPMI DK Semarang. Tamam memberatkan pemberhentian itu dengan alasan kalau dia tidak sepenuhnya salah tapi penyintas juga salah, serta alasan-alasan lain dari klarifikasi yang sudah disebutkan sebelumnya.

Melihat Tamam yang tidak terima dengan konsekuensi itu, Wahyu membuka sesi dialog untuk mendengar pendapat dari Fitron, Gunawan, Bagas, Yusron dan Diki.

Bagas yang pertama menyampaikan pendapatnya. Bagas mengatakan kalau dia kecewa dengan tindakan Tamam. Bagi Bagas, tindakan Tamam adalah tindakan yang sangat tidak etis. Bagas menilai kalau tindakan Tamam tidak bisa dilanjutkan lagi, kalau dilanjutkan tentu menjadi kebiasaan yang buruk. Bagas menekankan kalau penyintas adalah seorang wanita, kalau dipaksa melakukan kontak fisik, pasti dia akan takut, dia ingin menolak tapi dia diam dan tidak bisa berbuat apa-apa.

Bagas meminta supaya Tamam lebih merasakan rasa sakitnya penyintas ketika dilecehkan. Bagi Bagas, penyintas mungkin bisa menahan rasa sakitnya, tapi kalau suatu saat nanti dia tidak menahannya, dia bisa melakukan hal-hal yang tidak diinginkan. Bagas memperingatkan Tamam supaya tidak terus melakukan pelecehan kepada wanita lain. Menurut Bagas, perempuan harus lindungi, bukan malah dimanfaatkan.

Setelah itu, Diki memberi pertanyaan kepada Tamam, apakah Tamam bersedia untuk tidak memojokkan penyintas setelah forum ruang pembelaan ini? Lalu ketika Tamam memojokkan penyintas setelah forum ruang pembelaan ini apakah Tamam mau tanggungjawab? Kemudian, Tamam mengatakan kalau penyintas mempunyai hak untuk melaporkan ke BP Advokasi Nas PPMI sehingga Tamam bersedia untuk tidak memojokkan penyintas dengan meminta klarifikasi dan sebagainya. Tamam juga akan bertanggungjawab kalau setelah forum ruang pembelaan dia malah memojokkan penyintas.

Setelah itu, Yusron menyampaikan pendapatnya. Menurut Yusron, dia tidak ingin tindakan pelecehan ini terjadi lagi, karena itu akan berdampak ke nasib PPMI DK Semarang.

Kemudian, Gunawan memberikan pendapatnya. Dia mempertanyakan pemberhentian Tamam dari Sekjend PPMI DK Semarang. Gunawan bertanya kepada Wahyu, apakah tuntutan penyintas untuk memberhentikan Tamam dari Sekjend PPMI DK Semarang tidak mempertimbangkan faktor lain? Kemudian, Wahyu menjawab kalau penyintas berhak menuntut Tamam untuk berhenti dari Sekjend PPMI DK Semarang. Kemudian yang berwenang untuk memberi sanksi pemberhentian itu adalah Rahmat Ali, selaku Sekjend Nas PPMI. Hal ini sesuai Anggaran Rumah Tangga (ART) PPMI Pasal 63 tentang Mekanisme Pemberian Sanksi ayat 1 yang menjelaskan, “sanksi diberikan oleh Sekjend Nasional atas pertimbangan Koordinator Wilayah”.

Lalu Gunawan menanyakan lagi, apakah sanksi itu sudah menjadi hasil keputusan pengurus Nas PPMI? Kemudian Wahyu menjawab bahwa sanksi itu belum bisa diberikan, karena yang dilakukan Wahyu adalah pemberian ruang pembelaan pelaku kepada Tamam sebelum Tamam diberi sanksi. Hal ini sesuai Anggaran Rumah Tangga (ART) PPMI Pasal 63 tentang Mekanisme Pemberian Sanksi ayat 2 yang menjelaskan, “sebelum sanksi dijatuhkan, setiap anggota berhak melakukan pembelaan”.

Menambahi pertanyaan Gunawan, Tamam kembali menyatakan ketidakterimaannya dengan tuntutan penyintas. Tamam mengakui kalau dia melanggar AD/ADT, tapi Tamam mempertanyakan sanksi pemberhentian yang akan dia terima. Tamam membandingkan dengan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh PPMI DK lainnya ketika tidak membayar iuran kas rutin ke pengurus Nas PPMI. Menurut Tamam, masalah pelecehan ini terlalu dibesar-besarkan karena PPMI DK lainnya juga melanggar AD/ADT dengan tidak membayar iuran kas rutin, tapi hanya ditegur oleh pengurus Nas PPMI, sedangkan ketika melakukan pelecehan dia harus diberhentikan oleh pengurus Nas PPMI.

Tamam kembali mengatakan bahwa dia merasa tidak sepenuhnya salah. Tamam merasa kalau dia salah, tapi penyintas juga salah karena penyintas pernah mengajaknya camping, penyintas juga membalas kontak fisiknya dan Tamam merasa bahwa kontak fisik itu didasari suka sama suka. Bahkan, Tamam juga menyatakan tuntutan balik kepada penyintas. Tamam menuntut supaya penyintas merasa biasa-biasa saja dan tidak tertekan. Bagi Tamam, penyintas merasa tertekan karena tindakan penyintas sendiri yang membalas kontak fisik itu dan pernah mengajak Tamam camping.

Menurut Tamam, tuntutan penyintas untuk memberhentikannya dari Sekjend PPMI DK Semarang terlalu berat. Tamam mengatakan kalau meminta maaf saja ke penyintas itu sudah cukup. Tidak hanya itu, Tamam juga mengungkit sifat penyintas yang mirip anak kecil. Tamam mengatakan kalau penyintas suka dekat-dekat dengannya sehingga Tamam merasa terpancing untuk melakukan kontak fisik ke penyintas. Tamam merasa kalau penyintas itu awalnya bersikap cuek, maka Tamam akan cuek dan tidak akan melakukan kontak fisik itu.

Tamam terus menyatakan keberatannya dengan alasan bahwa dia sudah bertahun-tahun mengabdi di PPMI, tapi hanya karena pelecehan yang dia lakukan dia harus diberhentikan dari Sekjend PPMI DK Semarang. Kemudian, Tamam juga mengatakan kalau tuntutan pemberhentiannya yang berdasarkan AD/ART PPMI itu tidak logis.

Selain itu, bagi Tamam tuntutan pemberhentian itu tidak adil karena tuntutan itu hanyalah asumsi penyintas yang tidak relevan. Tamam merasa kalau penyintas tidak melihat apa yang dilakukan Tamam di PPMI. Bahkan Tamam menyamakan sikap penyintas seperti orang putus pacaran yang merasa tertekan dan ingin bunuh diri, serta memiliki nuansa benci sehingga menuntut Tamam seperti itu. Dalam pertimbangan Tamam, dia sudah melakukan banyak hal, tapi karena hal kecil ini, semuanya ambruk.

Menanggapi pendapat Gunawan dan Tamam, Wahyu menjelaskan bahwa kasus pelecehan seksual tidak bisa dibandingkan dengan masalah pelanggaran pembayaran iuran kas rutin PPMI. Mekanisme penyelesaian masalah pelanggaran pembayaran iuran kas rutin jelas berbeda dengan mekanisme penyelesaian kasus pelecehan seksual. Sasaran iuran kas rutin adalah PPMI DK, bukan personal seperti Sekjend PPMI DK. Kemudian pihak yang berwenang adalah Biro Umum Bendahara Nas PPMI, seperti yang dijelaskan dalam ART PPMI Pasal 17 ayat 2 yang menyebutkan bahwa Biro Umum berwenang untuk menarik iuran anggota.

Sedangkan dalam kasus pelecehan seksual, sasarannya adalah Sekjend PPMI DK. Kemudian pihak yang berwenang memberi sanksi adalah Sekjend Nas PPMI. Kemudian yang lebih penting lagi adalah penilaian pelanggaran antara pembayaran iuran kas dan kasus pelecehan seksual itu didasarkan oleh masing-masing dampak yang diakibatkan. Kalau pelanggaran pembayaran iuran kas rutin PPMI dampaknya pada keuangan BP Nas PPMI dan diperbaiki dengan cara menekan PPMI DK untuk membayar iurannya. Tapi kalau kasus pelecehan seksual, dampaknya pada kondisi psikologis penyintas. Sehingga dampak dari pelecehan seksual itu diperbaiki dengan pemulihan kondisi psikologis penyintas dan pemenuhan keadilan bagi penyintas.

Wahyu juga menjelaskan pertimbangan lain ketika Tamam tetap tidak terima dengan tuntutan penyintas. Ada pertimbangan kalau PPMI, terutama Tamam sebagai pelaku, akan mendapatkan tekanan dari individu atau organisasi di luar PPMI. Individu atau organisasi di luar PPMI itu bisa saja menekan PPMI karena menilai PPMI tidak bisa menindak tegas pelaku pelecehan seksual dan tidak bisa menciptakan ruang yang aman bagi perempuan. Selain itu, PPMI bisa dianggap malah melindungi pelaku pelecehan seksual.

Menanggapi penjelasan Wahyu, Tamam mengatakan kalau dia sudah menyadari dampak itu. Tamam mengatakan kalau dia sudah berubah dan tidak pernah melakukan pelecehan lagi mulai beberapa bulan lalu.

Kemudian, Fitron menjelaskan kembali bahwa forum tersebut adalah ruang pembelaan pelaku kepada Tamam. Jadi, hasil forum ruang pembelaan pelaku ini perlu segera dikembalikan kepada pengurus Nas PPMI untuk ditindaklanjuti.

Menanggapi penjelasan Fitron, Wahyu mengatakan kalau di ruang pembelaan pelaku ini Tamam dan pengurus PPMI DK Semarang lain bisa menyatakan pendapat termasuk menolak tuntutan penyintas beserta alasan penolakannya. Kemudian sebelum menutup forum ruang pembelaan pelaku, Wahyu menayakan kembali kepada Tamam, apakah dia bersedia menerima tuntutan penyintas? Lalu Tamam mengatakan kalau dia tetap tidak menerima dengan alasan-alasan yang sudah dia sebutkan sebelumnya. Mendengar jawaban akhir Tamam, Wahyu menutup forum ruang pembelaan pelaku itu.

III. Hasil Pembahasan dan Keputusan BP Nas PPMI

BP Nas PPMI kemudian membahas hasil dari ruang pembelaan pelaku pada 15 Februari 2020. Kemudian dari pembahasan itu kami mencatat tiga poin penting, yaitu:

  1. Berdasarkan pembahasan kronologi dari penyintas dan hasil ruang pembelaan, Tamam melakukan pelecehan seksual kepada penyintas. Mengacu pada Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), yang dimaksud dengan pelecehan seksual adalah tindakan seksual lewat sentuhan fisik maupun non-fisik dengan sasaran organ seksual atau seksualitas korban. Ia termasuk menggunakan siulan, main mata, ucapan bernuansa seksual, mempertunjukan materi pornografi dan keinginan seksual, colekan atau sentuhan di bagian tubuh, gerakan atau isyarat yang bersifat seksual sehingga mengakibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung, merasa direndahkan martabatnya, dan mungkin sampai menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan.

    Tamam sendiri membenarkan bahwa dia melakukan pelecehan kepada penyintas. Tamam juga membenarkan bahwa dia menggunakan relasi kuasanya di LPM Menteng, PPMI DK Semarang dan AJI (berupa sekretariat LPM dan kantor AJI Semarang), maupun kegiatan-kegiatan pers mahasiswa seperti malam keakraban (Makrab), dan kunjungan LPM untuk melakukan tindakan pelecehan kepada penyintas.

    Tamam juga mengakui bahwa dia melakukan pelecehan kepada penyintas dengan mengajaknya camping (dengan tenda pinjaman milik AJI Semarang) maupun ketika membonceng penyintas dengan motor. Selain itu, Tamam juga mengakui bahwa dia tidak hanya melakukan pelecehan ke beberapa anggota LPM, tapi Tamam juga melakukan pelecehan ke penyintas dari luar LPM maupun PPMI DK Semarang.
  1. Tamam berulang kali melakukan kontak fisik ke penyintas tanpa persetujuan (consent) dari penyintas. Tamam sendiri mengakui kalau dia tidak meminta persetujuan dalam bentuk verbal (kata-kata) untuk melakukan kontak fisik ke penyintas, tapi dia langsung melakukan kontak fisik dengan gerakan tubuhnya. Tamam tidak menerima kondisi penyintas yang tertekan, terpaksa, takut dan tidak punya pilihan dengan kontak fisik yang terus dilakukannya.

    Bagi Tamam kontak fisik yang dilakukannya itu didasari oleh rasa suka sama suka karena penyintas membalas kontak fisik dari Tamam dan pernah mengajak Tamam camping. Hal ini berbanding terbalik dengan pernyataan Tamam sebelumnya yang mengakui bahwa dia melakukan pelecehan dan mengetahui bahwa penyintas yang tertekan, terpaksa, takut dan tidak punya pilihan dengan kontak fisik yang terus dilakukannya.

    Seharusnya, ketika mengetahui kondisi penyintas yang tertekan, Tamam mengakui sepenuhnya bahwa tindakannya itu salah karena dia melakukan pemaksaan kepada penyintas, bukan malah mengatakan bahwa tindakannya didasari rasa suka sama suka. Apalagi, Tamam sendiri mengakui kalau penyintas tidak pernah mengajaknya camping untuk melakukan kontak fisik, tapi penyintas mengajaknya camping untuk mengerjakan tugas atau untuk refreshing saja.
  1. Tamam malah menyalahkan penyintas (victim blaming). Tamam mendiskreditkan tuntutan penyintas karena Tamam merasa tuntutan itu tidak adil dan tuntutan itu hanyalah asumsi penyintas yang tidak relevan. Tamam merasa kalau penyintas tidak melihat apa yang dilakukannya di PPMI.

    Bahkan Tamam menyamakan sikap penyintas seperti orang putus pacaran yang merasa tertekan dan ingin bunuh diri, serta memiliki nuansa benci sehingga menuntut Tamam seperti itu. Dalam pertimbangan Tamam, pelecehan yang dilakukannya adalah hal kecil dan tuntutan pemberhentiannya itu terlalu dibesar-besarkan.

    Upaya mendiskreditkan penyintas itu kemudian dilanjutkan Tamam dengan menyalahkan penyintas. Tamam mengatakan kalau sifat penyintas mirip anak kecil karena penyintas suka dekat-dekat dengannya, sehingga Tamam merasa terpancing untuk melakukan kontak fisik ke penyintas. Tamam merasa kalau penyintas itu awalnya bersikap cuek, maka Tamam akan cuek dan tidak akan melakukan kontak fisik itu.

Tamam mengatakan bahwa dia merasa tidak sepenuhnya salah. Tamam terus menyalahkan penyintas dengan alasan yang sama, bahwa penyintas pernah mengajaknya camping, penyintas juga membalas kontak fisiknya dan Tamam merasa bahwa kontak fisik itu didasari suka sama suka. Bahkan, Tamam juga menyatakan tuntutan balik kepada penyintas. Tamam menuntut supaya penyintas merasa biasa-biasa saja dan tidak tertekan. Bagi Tamam, penyintas merasa tertekan karena tindakan penyintas sendiri yang membalas kontak fisik itu dan pernah mengajak Tamam camping. Semua alasan yang digunakan Tamam untuk menyalahkan penyintas itu kemudian dijadikan dasar bahwa dia tidak menerima tuntutan pemberhentian dari Sekjend PPMI DK Semarang dan mengatakan kalau meminta maaf saja ke penyintas itu sudah cukup.

Berdasarkan pembahasan kronologi kekerasan seksual dari penyintas, hasil ruang pembelaan pelaku dan tiga poin penting dari ruang pembelaan pelaku, maka kami BP Nas PPMI memutuskan untuk:

  1. Memberhentikan Muhammad Sofi Tamam dari jabatan Sekjend PPMI DK Semarang.
  2. Menuntut Muhammad Sofi Tamam untuk meminta maaf secara langsung kepada semua penyintas yang pernah dilecehkan serta kepada publik dan berjanji tidak akan mengulangi tindakan pelecehan lagi kepada siapapun.
  3. Menuntut Muhammad Sofi Tamam untuk menanggung biaya pemulihan semua penyintas yang pernah dilecehkan.
  4. Mengimbau kepada seluruh PPMI di masing-masing Dewan Kota untuk bersolidaritas dalam mendukung penyelesaian kasus pelecehan seksual yang dialami oleh pers mahasiswa, mendukung pemenuhan tuntutan penyintas, bertanggungjawabmendampingi penyintas dalam proses pemulihan, menciptakan ruang yang aman bagi penyintas, serta tidak memberi ruang bagi Tamam maupun segala bentuk tindakan kekerasan seksual.

Pada 16 Februari 2020, Tamam sudah diberhentikan dari Sekjend PPMI DK Semarang. Kemudian, PPMI DK Semarang mengadakan Musyawarah Kota Luar Biasa (Muskotlub) pada 1 Maret 2020. Hasil Muskotlub PPMI DK Semarang memutuskan Amiruddin Nur Yusron dari LPM Gema Keadilan sebagai Sekjend PPMI DK Semarang.

IV. Advokasi bersama AJI Semarang dan LRC-KJHAM Semarang

BP Nas PPMI (kemudian menjadi Demisioner PPMI karena kepengurusannya sudah selesai setelah Kongres PPMI di Madura) melanjutkan advokasi bersama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Semarang. Pada 4-9 Maret 2020, Rahmat Ali dan Wahyu (perwakilan Demisioner PPMI) bertemu dengan AJI Semarang untuk membahas pemulihan dan pemenuhan keadilan bagi penyintas. AJI Semarang menyarankan PPMI untuk bekerjasama juga dengan Legal Resource Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) Semarang dalam advokasi kasus pelecehan seksual ini. Kemudian Demisioner PPMI dan AJI Semarang bertemu dengan LRC-KJHAM Semarang untuk membahas advokasi kasus pelecehan seksual. Dalam pembahasan itu, disepakati bahwa tim advokasi akan menempuh jalur hukum sebagai bentuk tindakan tegas ke Tamam.

Setelah pembahasan dengan AJI Semarang dan LRC-KJHAM, Demisioner PPMI membentuk tim advokasi yang beranggotakan Wahyu dan Jenna (perwakilan Demisioner PPMI), Tsamrotul Ayu Masruroh dan Muhammad Firman (perwakilan BP Nas PPMI), Yusron dan Gunawan (perwakilan PPMI DK Semarang) bersama perwakilan AJI Semarang dan LRC-KJHAM. Pada 2 April 2020, tim advokasi melakukan pembahasan untuk mempersiapkan bukti, saksi dan keperluan lain yang berkaitan dengan pelaporan ke kepolisian. Selain itu, tim advokasi juga mempersiapkan aduan ke Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang (tempat Tamam berkuliah) terkait kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh Tamam. Laporan tersebut akan ditembuskan ke Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana Provinsi Jawa Tengah, Komisi Perlindungan Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Anak Provinsi Jawa Tengah, dan LLDIKTI Wilayah VI Jawa Tengah.

11 Juni 2020, tim advokasi mengirimkan surat pengaduan kasus pelecehan seksual ke Unwahas Semarang serta tembusan ke lembaga-lembaga lainnya. Pada 3 Agustus 2020, Komnas Perempuan memberikan surat rekomendasi kepada Unwahas Semarang untuk menjatuhkan sanksi tegas terhadap Tamam yang sudah melakukan pelecehan seksual. Kemudian, pada 2 September 2020, Unwahas Semarang memberikan sanksi Drop Out kepada Tamam dengan keterangan karena telah melanggar Kode Etik Mahasiswa dan Peraturan Akademik Unwahas Semarang.

Pada 17 September 2020 penyintas memutuskan untuk tidak melanjutkan advokasi jalur hukum. Penyintas merasa lelah menunggu dan bergantung kepada pendamping hukum dari LRC-KJHAM Semarang yang proses pelaporan ke kepolisiannya lambat. Pelaporan ke kepolisian seharusnya dilakukan pada 28 Agustus 2020, namun pelaporan tersebut tidak terealisasikan karena fokus pendamping hukum yang terpecah-pecah. Komunikasi yang kurang intens dari pendamping hukum terkait kepastian pelaporan ke kepolisian juga membuat penyintas lelah menunggu dan bergantung. Ketidakpastian tersebut berdampak pada kegiatan sehari-hari penyintas. Penyintas merasa tambah tertekan karena lelah menahan amarahnya dan merasa sulit untuk mengingat pengalaman getirnya itu.

V. Permintaan Maaf dan Evaluasi dari PPMI

PPMI menyadari keterlibatannya dalam kesalahan dalam advokasi yang membuat penyintas tambah tertekan. Maka dari itu PPMI menyatakan:

  1. Meminta maaf kepada penyintas karena belum bisa memberikan pendampingan yang maksimal untuk memulihkan kondisi mental serta mewujudkan keadilan bagi penyintas, malah pendampingan yang diberikan PPMI juga membuat penyintas tambah tertekan karena adanya ketidakpastian selama proses advokasi.
  2. Berusaha untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama dalam advokasi kasus kekerasan seksual di PPMI.
  3. Melakukan evaluasi terhadap AD/ART dan Kode Etik PPMI sbagai salah satu bentuk komitmen dalam mendukung upaya penindakan tegas pelaku kekerasan seksual, menciptakan ruang yang aman bagi penyintas, serta melawan segala bentuk kekerasan seksual di PPMI.
  4. Membuat Standar Operasional Prosedur (SOP) Penanganan Kasus Kekerasan Seksual di PPMI.
  5. Mendorong setiap Lembaga Pers Mahasiswa untuk menciptakan ruang aman bagi penyintas dan melakukan pengawalan kasus kekerasan seksual yang ada di kampus.

Sampai rilis ini diterbitkan, Tamam masih tidak mengakui pelecehan seksual yang dilakukannya serta belum memenuhi tuntutan dari penyintas. Maka dari itu, PPMI mengimbau kepada seluruh PPMI di masing-masing Dewan Kota serta seluruh organisasi yang mana Tamam aktif di dalamnya untuk bersolidaritas dalam mendukung pemenuhan tuntutan penyintas, menciptakan ruang yang aman bagi penyintas, serta tidak memberi ruang bagi Tamam maupun segala bentuk tindakan kekerasan seksual.

Narahubung:

Tsamrotul Ayu Masruroh, Badan Pekerja Advokasi 2019-2020-085704248033
Wahyu Agung Prasetyo,  Badan Pekerja Advokasi 2018-2019-089682373953
Amiruddin Nur Yusron  Sekjend PPMI DK Semarang 2020-2021-089652294488

Kategori
Siaran Pers

Pernyataan Sikap Kasus Pelecehan Seksual Yang Dilakukan Sekjend PPMI DK Kediri dan Sekjend PPMI DK Malang

Trigger Warning: ada penjelasan upaya melakukan bunuh diri.

Pada 25-28 Oktober 2019, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) mengadakan kegiatan Reuni Nasional dan Dies Natalis PPMI XXVII. Salah satu agenda dalam kegiatan tersebut adalah forum konsolidasi pers mahasiswa, 26 Oktober 2019 yang dipandu oleh Wahyu Agung Prasetyo dan Jenna Meuthia Aliffiana selaku Badan Pekerja Advokasi Nasional PPMI 2018-2019. Dalam forum tersebut, ada salah satu anggota pers mahasiswa (selanjutnya disebut penyintas) yang berani menceritakan pengalaman kekerasan seksual yang dialaminya di sebuah kampus. Penyintas berani bercerita karena merasa forum itu adalah tempat yang aman untuk bercerita dan dia percaya kepada semua teman-teman di forum itu bisa memahami dan mendukungnya. Kemudian, peserta forum turut berkomentar untuk menguatkan penyintas atas kekerasan seksual yang dialaminya.

Setelah forum konsolidasi pers mahasiswa tersebut selesai, penyintas yang sudah berani menceritakan pengalaman kekerasan seksual yang dialaminya malah mendapatkan Cat Calling dari Achmad Hidayatullah, Sekjend PPMI Dewan Kota Kediri dan Mohammad Khalid, Sekjend PPMI Dewan Kota Malang. Ujaran Cat Calling yang dilakukan Achmad Hidayatullah tersebut seperti “tubuhmu menggoda, kamu cantik sekali” dan lain-lain yang dilakukan secara berulang-ulang.

Kemudian di grup whatsapp peserta Reuni Nasional dan Dies Natalis PPMI, Mohammad Khalid mengutarakan kata-kata yang menyinggung penyintas. Berawal dari obrolan tentang saling berbagi akun instagram, obrolan itu mengarah ke pencarian akun instagram beberapa peserta perempuan. Lalu, setelah Mohammad Khalid mengutarakan bahwa ia tidak menemukan akun instagram penyintas, obrolan grup mengerucut ke penyintas saja. Hingga penyintas merasa tidak nyaman karena obrolan itu, lalu penyintas keluar dari grup ketika Mohammad Khalid mengutarakan “kalau aku butuh **** (penyintas) juga langsung japri”.

30 Oktober 2019, penyintas memberitahukan kepada temannya Tsamrotul Ayu Masruroh dari LPM Unipdu Jombang bahwa ujaran Cat Calling yang ia alami setelah menceritakan kekerasan seksual di forum tersebut membuat penyintas mencekik lehernya sebagai upaya melakukan bunuh diri. Namun upaya bunuh diri tersebut tidak berhasil karena tangannya yang luka setelah kecelakaan membuatnya tidak kuat untuk melakukan hal tersebut.

Pada saat itu, Ayu panik, sehingga dia mengabarkan dan bertanya kepada teman-teman di grup whatsapp ‘baca buku’ milik Front Santri Melawan Kekerasan Seksual (ForMujeres). Karena panik, Ayu menuliskan kronologi singkat yang terjadi, bahwa dalam forum konsolidasi pers mahasiswa tersebut ada penyintas yang mendapatkan Cat Calling setelah menceritakan pengalaman kekerasan seksual  yang dialaminya dan hal itu membuat penyintas melakukan upaya bunuh diri. Di grup tersebut ada diskusi panjang tentang bagaimana kejadian itu dan apa yang harus bisa dilakukan untuk membantu penyintas.

Persoalan menjadi kacau ketika Yuga Gumilang Pambudi Wijaya salah satu anggota grup For Mujeres dan mantan pengurus PPMI Dewan Kota Malang menyebarkan kronologi singkat dan terpotong dari Ayu tersebut. Salah satu yang mendapat sebaran kronologi tersebut adalah Ugik Endarto, mantan Sekjend PPMI Dewan Kota Malang. Kemudian Ugik membagikan kronologi singkat tersebut di grup whatsapp Persma Indonesia tanpa melakukan verifikasi terkait kebenaran informasinya. Kronologi tersebut menuai banyak komentar dari peserta grup.

Wahyu yang mengetahui bahwa kronologi singkat itu dibuat oleh Ayu kemudian mengkonfirmasi soal kebenaran kronologi tersebut. Kemudian Ayu mengaku bahwa dia yang membuat kronologi tersebut. Wahyu juga mengirim screenshoot komentar-komentar di grup whatsapp Persma Indonesia itu kepada Ayu supaya Ayu mengetahui dampaknya, karena waktu itu Ayu belum masuk grup tersebut. Ayu juga mengaku bahwa dia membagikan screenshoot komentar-komentar di grup whatsapp Persma Indonesia saat penyintas tanya tanggapan pengurus Nasional PPMI itu kepada penyintas tanpa memperhatikan kondisi mental penyintas dan tanpa peringatan pemicu (trigger warning) ke penyintas. Screenshoot komentar-komentar di grup whatsapp Persma Indonesia itu membuat mental penyintas tambah tertekan.

Kemudian, Wahyu menegur Ayu untuk meminta maaf kepada penyintas karena telah membagikan screenshoot komentar-komentar di grup whatsapp Persma Indonesia itu kepada penyintas tanpa memperhatikan kondisi mental penyintas dan tanpa peringatan pemicu (trigger warning) ke penyintas. Wahyu juga menegur Ugik untuk meminta maaf kepada penyintas karena sudah membagikan kronologi singkat tersebut tanpa melakukan verifikasi terkait kebenaran informasinya.

Wahyu dan Ayu kemudian bekerjasama untuk melakukan pendampingan dan advokasi kasus Cat Calling ini. Pada 1 November 2019, Ayu menemani penyintas untuk melakukan konseling kepada Women Crisis Center (WCC) Jombang. Seusai konseling, penyintas menyampaikan tuntutannya kepada Wahyu untuk Achmad Hidayatullah dan Mohammad Khalid yang sudah menjadi pelaku kekerasan seksual Cat Calling. Tuntutan penyintas yaitu membekukan Mohammad Khalid sebagai Sekjend PPMI Dewan Kota Malang sampai Kongres PPMI selesai. Kemudian memberhentikan Achmad Hidayatullah sebagai Sekjend PPMI Dewan Kota Kediri.

Merespon tuntutan tersebut, pada 2 November 2019, Rahmat Ali selaku Sekjend PPMI Nasional 2018-2019 memberi sanksi kepada Achmad Hidayatullah dan Mohammad Khalid untuk meminta maaf kepada penyintas secara tertulis dan meminta mereka mengundurkan diri dari jabatan Sekjend PPMI Kota. Kemudian pada tanggal 2 November 2019, Wahyu menemui Ayu di Jombang untuk merespon tuntutan penyintas dan merencanakan langkah advokasi kedepannya.

3 November 2019, Wahyu menemui Achmad Hidayatullah dan pengurus PPMI Dewan Kota Kediri untuk menyelesaikan kasus Cat Calling ini. Achmad Hidayatullah mengakui kesalahannya karena sudah melakukan pelecehan seksual Cat Calling kepada penyintas serta menyebar kontak penyintas ke laki-laki lainnya. Achmad Hidayatullah juga mengaku bahwa ia maupun Mohammad Khalid tidak mengetahui kalau penyintas pernah mengalami kekerasan seksual oleh dosen di kampusnya. Kedua pelaku  juga tidak tahu kalau penyintas pernah menceritakan kekerasan seksual yang dialaminya itu di forum konsolidasi pers mahasiswa. Kedua pelaku tidak mengetahui hal tersebut karena waktu konsolidasi pers mahasiswa, mereka tidak berada di forum tapi mereka sedang di forum bedah buku bersama Forum Alumni Aktivis (FAA) PPMI. Setelah itu, Achmad hidayatullah dan Mohammad Khalid meminta maaf secara langsung kepada penyintas dan menerima sanksi untuk mengundurkan diri dari jabatan Sekjend PPMI Kota.

Namun, setelah sanksi itu diberikan, penyintas menarik tuntutannya tersebut karena dia merasa tuntutan tersebut memberatkan kedua pelaku. Wahyu dan Ayu sudah menguatkan penyintas untuk tetap memberikan sanksi tersebut, namun penyintas tetap bersitegas menarik tuntutan tersebut. Akhirnya kedua pelaku hanya diberi sanksi meminta maaf atas pelecehan seksual yang dilakukan serta berjanji tidak akan mengulanginya lagi.

Setelah itu, dibentuklah kembali tim advokasi yang berisi Badan Pekerja Advokasi PPMI Nasional dan Badan pekerja Advokasi PPMI Dewan Kota Malang dan Kediri untuk menyelesaikan kasus Cat Calling ini dengan beberapa fokus. Pertama, membantu pemulihan penyintas dengan menjadi support systemnya. Kedua, membuat kronologi kasus pelecehan seksual Cat Calling. Ketiga, membantu advokasi kasus kekerasan seksual yang dialami oleh penyintas dan dilakukan oleh dosen di kampus tersebut. Keempat, membuat Standar operasional (SOP) Penanganan kasus pelecehan dan kekerasan seksual di PPMI.

Tim advokasi melakukan pertemuan untuk penyelesaian kasus Cat Calling pada tanggal 28 Januari 2020 di Kediri dan tanggal 28 Februari 2020 di malang. Namun, dari beberapa pertemuan tersebut belum ada progres yang baik untuk menyelesaikan kasus, seperti belum adanya kronologi kasus Cat Calling, belum maksimalnya pendampingan pemulihan penyintas, belum maksimalnya advokasi kasus kekerasan seksual yang dialami penyintas di kampus dan pembuatan SOP Penanganan Kasus Pelecehan dan Kekerasan Seksual yang belum selesai. Tim advokasi juga kurang tegas dan masih bingung dalam menangani kasus pelecehan atau kekerasan seksual karena belum ada SOP yang jelas. Ditambah laporan kasus pelecehan atau kekerasan seksual dan kasus represi terhadap pers mahasiswa yang masif terjadi, sehingga membagi fokus kerja untuk diselesaikan.

Pada 24 Oktober 2020, penyintas menyatakan bahwa dia sudah memaafkan kedua pelaku dan meminta pelaku untuk menyatakan sikap serta meminta maaf ke publik atas pelecehan seksual yang dilakukannya, sebagai bentuk perwujudan menciptakan ruang aman di PPMI.

Berdasarkan kronologi tersebut, kami Tim Advokasi kasus pelecehan seksual Cat Calling menyatakan:
  1. Meminta maaf kepada penyintas karena belum bisa memberikan pendampingan yang maksimal untuk memulihkan kondisi mental serta mewujudkan keadilan bagi penyintas.
  2. Menuntut Achmad Hidayatullah selaku Sekjend PPMI Dewan Kota Kediri dan Mohammad Khalid selaku Sekjend PPMI Dewan Kota Malang untuk menyatakan sikap dan meminta maaf ke publik atas pelecehan seksual yang dilakukannya.
  3. Membuat Standar Operasional (SOP) Penanganan Kasus Pelecehan dan Kekerasan Seksual di PPMI sebagai upaya untuk menciptakan ruang aman dan melawan segala bentuk pelecehan atau kekerasan seksual di PPMI.
  4. Mendorong setiap Lembaga Pers Mahasiswa untuk menciptakan ruang aman bagi penyintas dan melakukan pengawalan kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang ada di kampus.
Narahubung:

Badan Pekerja Advokasi Nasional PPMI 2019-2020 (Tsamrotul Ayu Masruroh, 0857 0424 8033)
Badan Pekerja Advokasi Nasional PPMI 2018-2019 (Wahyu Agung Prasetyo, 0896 8237 3953)

Kategori
Siaran Pers

Solidaritas Untuk S: Kekerasan dan Pelecehan Seksual Harus Dijadikan Musuh Bersama

Kami dari KOMITE SAHKAN  RUU PKS dan LBH APIK Sulsel, mendapatkan laporan kekerasan yang dilakukan oleh MSF alumni universitas Hasanuddin (UNHAS), dengan prodi Hukum Perdata, angkatan 2011 dan lulus di tahun  2018 yang sekarang bekerja sebagai Pegawai di Bawaslu Sulbar. MSF telah dilaporkan ke polisi atas kasus penganiayaan, meskipun begitu pelaku sempat meremehkan laporan penyintas ke kepolisian dengan mengatakan bahwa “ahh paling 3 bulan ji”(ahh paling (penjaranya) 3 bulan).

Tak bisa dipungkiri, kekerasan dan pelecehan seksual merupakan persoalan pokok dalam tatanan sosiologis masyarakat. Ia muncul sesungguhnya sebagai benalu sosial, memantik ketimpangan sosial. Anomali budaya patriarki memicu maraknya lelaki yang berperilaku misoginis. Dan sudah tentu, korban dari segala persoalan dari itu adalah perempuan yang memang tergolong rentan. Hal ini dibuktikan dengan semakin banyak bermunculan korban kekerasan maupun pelecahan seksual.

Salah satu dari sekian banyaknya kekerasan disertai pelecehan seksual dialami oleh penyintas berinisial “S” yang dilakukan oleh pelaku berinisal MSF. Tak sebatas itu, adanya tindak penganiayaan yang dialami penyintas selama membangun relasi bersama pelaku sejak Desember 2016 silam. Bahkan, kekerasan fisik maupun verbal dirasakan oleh penyintas sehingga sadar tidaknya, penyintas mengalami tekanan psikis yang luar biasa.

Awal mula cerita pilu ini pada 2016 ketika pelaku membujuk penyintas untuk menjadi ketua organisasi daerah (Organda). Setahun kemudian, sekitar bulan Maret – April, pelaku mulai mengekang dan mengintimidasi penyintas dan membatasi ruang gerak penyintas dalam beraktifitas, termasuk ruang pertemanan penyintas. Hal itupun memicu pertengkaran sehingga penyintas merasa tertekan. Imbasnya, penyintas melarikan diri dari kegiatan organisasi daerah.

Pada Mei 2017, pelaku berupaya mendekati penyintas dengan pendekatan personal. Pelaku memanipulasi penyintas dengan memacari (relasi) dengan dalih agar penyintas tidak mundur dari jabatannya sebagai ketua organisasi daerah. Selama periode kepengurusannya, penyintas merasa dikekang dan diintervensi secara tidak sehat sehingga penyintas tentu merasa kehilangan independensinya dalam kerja – kerja organisasi, misalnya dalam pengambilan keputusan di organisasi.

Juli 2017, penyintas memberitahu pelaku bahwa dirinya kini sedang hamil. Ia meminta pertanggung jawaban pelaku. Tetapi, pelaku tidak mempercayai kebenaran yang disampaikan penyintas terkait kehamilannya. Sampai pada Agustus 2017, pelaku mulai percaya atas kehamilan penyintas dan pelaku mulai memaksa penyintas untuk menggugurkan kandungannya.

Oktober 2017, dengan kondisi yang dialaminya, penyintas merasa bahwa dirinya hanya dijadikan alat untuk memenuhi ambisi pelaku di organisasi sehingga penyintas kembali menjauhi pelaku. Penyintas juga mengabari wakil ketua dan teman-temannya di Organda bahwa ia berniat mengundurkan diri sebagai Ketua organda karena tekanan yang terus-menerus ia dapatkan dari pelaku. Mengetahui hal tersebut, sontak pelaku kembali berulah dengan memanipulasi penyintas. Pelaku kembali meyakinkan penyintas bahwa ia akan bertanggung jawab atas perbuatannya. Selain itu, pelaku juga membujuk penyintas untuk menikah secara mut’ah pada 08 oktober 2017

Sejak saat itu, penyintas terus mengalami intimidasi berulang kali dan perlakukan yang tidak sesuai dengan norma kesusilaan pada umumnya. Hal ini ditandai dengan relasi yang tidak sehat antara penyintas dan pelaku atau yang dikenal dengan Toxic Relationship. Tentunya, penyintas, merasa tidak aman, depresi dan penuh kecemasan. Pengekangan yang dialami penyintas berupa sikap dan tindakan pelaku yang over posesif, egois, suka memberi komentar negatif serta merendahkan penyintas.

November 2017, pelaku kembai berhasil membujuk dan mengintimidasi penyintas dengan memanfaatkan kondisi emosional penyintas yang kasihan ketika pelaku menceritakan kondisi Ayah pelaku yang katanya sedang sakit keras. Pasca itu, pelaku mulai menghilang dan tidak menghubungi penyintas lagi sekitar seminggu lamanya. Hal itu tentu membuat penyintas merasa khawatir ditinggalkan pelaku. Dengan kondisi penuh ketakutan penyintas memberanikan diri untuk Speak up terkait kondisi yang dialaminya di salah satu senior Organda-nya. Namun hal tersebut diketahui oleh pelaku. Pelaku pun marah dan mengancam penyintas dan meminta penyintas segera menarik pernyataan tersebut. Pelaku mendesak penyintas untuk menyatakan bahwa apa yang dikatakan penyintas itu tidak benar. Pelaku pun menmberi ultimatum bahwa ia tidak mau lagi mendampingi kepengurusan di Organda. Tetapi penyintas menolak desakan pelaku terhadapnya. Karena terus-menerus ditekan oleh pelaku, penyintas berusaha berkomunikasi dengan kakak pelaku yang juga senior di Organda. Namun sayangnya, bukannya mendapat titik terang dari persoalannya, justru kakak pelaku tidak memberi respon yang soluktif atas persoalan si penyintas.

Persoalan yang dialami penyintas semakin rumit dikemudian hari. Desember 2017, kembali terjadi pertengkaran mulut antara penyintas dan pelaku. Penyintas meminta pelaku untuk mengembalikan dan memberikan rincian uang selama periode kepengurusan penyintas. Beberapa kali, pelaku mengelak dan bersikeras tidak mau memberikan uang tersebut. Kemudian, penyintas menghubungi salah seorang pengurusnya terkait sikap pelaku dan sekaligus meminta untuk menghentikan kegiatan yang dilaksanakan saat itu.  Pelaku lalu mendatangi kost penyintas dan menyeret penyintas untuk masuk ke dalam mobil yang dikendarai pelaku. Pada saat itu, penyintas menolak untuk masuk ke dalam mobil. Kemudian pelaku dengan bengisnya menjepit tubuh penyintas dengan pintu mobil. Kejadian itu disaksikan langsung oleh teman penyintas yang datang ke kost penyintas pada malam itu.

Tindakan menyimpang pelaku tidak berhenti sampai di situ. Demi menjaga nama baik dan kepentingan pelaku secara organisasional, pelaku kembali membujuk penyintas untuk berdamai dan mengancam agar penyintas jangan meninggalkan pelaku (mengakhiri hubungan). Untuk meyakinkan penyintas, pelaku sempat menusukkan pulpen ke kepalanya sendiri hingga darah bercucuran sehingga hal itu membuat pelaku nyaris pingsan di hadapan penyintas. Kejadian tersebut membuat penyintas tertekan secara psikologi. Akhirnya, penyintas dengan terpaksa kembali berhubungan baik dengan pelaku. Pelaku juga berkali – kali mengiming – imingi penyintas tentang niat pelau untuk menikahi penyintas.

Pasca kejadian itu, penyintas beberapa kali menagih janji pelaku untuk datang menemui orang tua penyintas. Akan tetapi, pelaku selalu mengelak dengan alasan belum memiliki kerja dan berbagai alasan lain seperti agama ayah penyintas yang berbeda dengan agama keluarga pelaku. Karena merasa pelaku inkonsistensi dan ingin melarikan diri dari tanggung jawab, penyintas memutuskan untuk menceritakan kejadian tersebut ke sahabat pelaku untuk mendapat solusi. Sahabat pelaku kemudian menghubungi pelaku, Tetapi, pelaku menghindar bahkan memblokir nomor kontak sahabatnya. Pelaku yang mengetahui hal tersebut langsung datang ke kost penyintas dan membanting handphone penyintas hingga rusak. Pelaku menyatakan bahwa ia menyesal atas apa yang dilakukan oleh penyintas. Penyintas pun tidak mau menyerah untuk mencari bantuan atas apa yang telah terjadi pada dirinya. Ia memutuskan untuk menceritakan persoalannya ke organisasi pelaku dengan maksud agar penyintas bisa dimediasi dengan pelaku. Namun jauh panggang dari api, pihak organisasi tersebut mengatakan bahwa tidak ingin ikut campur dalam masalah penyintas dan pelaku.

Kondisi penyintas semakin memprihatinkan. Pelaku semakin tidak tahu diri dengan tindakan yang semakin mengintimidasi penyintas. Pada Februari 2019, penyintas menyadari dirinya kini tengah hamil dan memberitahu kepada pelaku. Penyintas trauma karena pernah mengalami pemaksaan aborsi oleh pelaku. Sempat penyintas memutuskan untuk berusaha pulang ke kampung halaman namun beberapa kali dicegah oleh pelaku. Dan pada tanggal 06 Maret 2019, penyintas mengalami keguguran. Penyintas saat itu meminta pelaku untuk membawanya ke rumah sakit. Tetapi, pelaku menolak dengan alasan yang tidak jelas. Bahkan, angkin tidak ada keseriusan pelaku dalam bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya, justru pelaku kembali menunjukan tindakan yang tak terpuji. Bukannya menemani penyintas, tetapi pelaku justru meminta izin untuk pergi mengikuti tes di Bawaslu Sulbar. Dan benar saja, si pelaku meninggalkan korban dalam keadaan yang tidak sehat.

Pada Desember 2019, penyintas kembali mengalami kekerasan oleh pelaku. Penganiayaan terhadap penyintas dilakukan oleh pelaku dengan menonjok dan menampar wajah penyintas. Tak hanya itu, pelaku juga menghancurkan barang-barang yang ada di kost penyintas dan kembali membanting handphone milik penyintas hingga rusak. Peristiwa penganiayaan itu dipicu karena penyintas yang saat itu menemani pelaku untuk membeli tiket pulang kampung di pelabuhan di minta oleh pelaku untuk pulang ke kost dengan ojek online karena pelaku berdalih ingin menemui temannya. Akibat kekerasan dan penganiayaan yang dialaminya, penyintas menjadi kesulitan untuk bekerja dan beraktivitas bebagaimana mestinya.

Di akhir tahun 2019, penyintas mengalami tekanan psikis selama berhubungan dengan pelaku hingga membuat penyintas berusaha untuk bunuh diri dengan meminum Baygon (Obat Nyamuk). Tetapi selang beberapa menit, pelaku dating. Bukannya menenangkan penyintas, pelaku justru mengejek penyintas dengan mengeluarkan bahasa yang terkesan merendahkan. Setelah itu, pelaku mengajak dan memaksa penyintas untuk berhubungan badan dengannya. Pelaku juga kerap memaksa penyintas untuk berhubungan dengan dalih agar mereka tenang. Tetapi penyintas kerap menolak dengan mendorong tubuh pelaku yang berakibat kembali terjadi kekerasan seksual. Penyintas juga sering mengeluhkan kondisi psikisnya kepada pelaku tetapi pelaku justru memarahi penyintas atau bahkan mencaci maki penyintas.

Februari 2020, pelaku telah bekerja di kota Mamuju. Imbasnya, pelaku sulit dihubungi oleh penyintas. Bahkan, pelaku memblokir kontak penyintas di salah satu nomor whatsapp-nya. Penyintas kemudian memutuskan untuk pergi ke tempat dimana pelaku bekerja. Tetapi ternyata pelaku sedang berada di Makassar. Penyintas yang kecewa dengan sikap pelaku kemudian mengatakan akan memberitahu instansi tempat pelaku bekerja terkait perbuatan bejat pelaku. Mengetahui hal itu, pelaku meminta penyintas kembali ke Makassar Namun ditolak. Pelaku kemudian mencaci – maki penyintas dengan sebutan Anjing dan mengirimkan pesan tidak senonoh ke penyintas yang isinya mengajak penyintas berhubungan badan. 

Pada 30 April, di tahun yang sama, penyintas mulai mencurigai tingkah pelaku yang ditandai dengan nomor WA penyintas disembunyikan. Pelaku juga memiliki 2 (dua) handphone, yang salah satunya pelaku sembunyikan isinya kepada penyintas. Sekitar pukul 16.00 Wita, penyintas melihat adanya Sim card pelaku yang tertinggal di kost-nya. Dengan penasaran, penyintas kemudian memasang sim card tersebut di handphonenya dan mengaktifkan whatsapp pelaku. Penyintas mendapati chat seorang perempuan. Akhirnya, penyintas mengkonfirmasi chat tersebut dengan menanyakan hubungan perempuan tersebut dengan pelaku melalui Video Call. Saat itu, penyintas melihat pelaku berada di kamar perempuan tersebut melalui video call. Pelaku juga sempat mengirim pesan melalui instagram yang isinya menyuruh penyintas bunuh diri dengan cara memotong tangan atau meminum racun. Dengan tanpa perasaan, pelaku mengatakan bahwa ia ingin melihat penyintas mati. Penyintas yang mengetahui bahwa pelaku berselingkuh kemudian menelpon senior organda dan meminta bantuan. Sekitar pukul 19.00 Wita, pelaku mendatangi kost penyintas dan berusaha menahan penyintas. Tetapi, di saat yang sama, salah seorang senior organda datang dan membawa penyintas yang saat itu sempat dikunci di dalam kamar oleh pelaku. Kemudian, pelaku dan penyintas sempat dimediasi oleh senior organda. Pelaku berjanji untuk bertanggung jawab, Namun penyintas yang ragu dengan sikap pelaku tidak berani mengiyakan untuk menikah dengan pelaku.  Pada malam yang sama, setelah mediasi, penyintas kembali untuk menemui pelaku meminta kejelasan sikap pelaku terkait chat pacar pelaku yang memojokkan penyintas yang menjustifikasi penyintas adalah orang gila yang mengarang-ngarang cerita. Setelah pertemuan itu, pelaku mengantar penyintas pulang ke kost. Kemudian, kembali terjadi cekcok dikarenakan penyintas ingin melihat handphone pelaku. Pelaku kemudian kembali melakukan kekerasan terhadap penyintas. Ia berdiri dan mencengkram muka dan tangan penyintas hingga penyintas mengalami luka di wajah dan di tangan serta lebam di tangan kiri.

Hingga kini, penyintas masih mencari keadilan atas apa yang dilakukan oleh pelaku. Kekerasan maupun pelecehan seksual yang dialami oleh penyintas tentu menjadi catatan bagi kita bahwa kekerasan serta pelecehan seksual masih menjadi momok dan harus dijadikan musuh bersama. Oleh karena itu, dengan beberapa pertimbangan atas apa yang dialami oleh penyintas, kami dari Komite Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan LBH APIK Sulsel mendesak :

  1. Hukum pelaku MSF dengan hukuman yang setimpal.
  2. Mendesak Polrestabes Makassar untuk mempercepat proses Kasus secepatnya.
  3. Pecat pelaku dari instansi ia bernaung, yaitu Bawaslu Sulbar.
  4. Mengganti kerugian korban baik material maupun nonmaterial.
  5. Memulihkan nama baik korban di dalam ruang sosial.
  6. Tidak memberi ruang kepada pelaku baik organisasi maupun instansi-instansi.
  7. Sahkan RUU-PKS.

List organ solidaritas:

  1. Srikandi
  2. LBH APIK Sulsel
  3. FMk
  4. Komunal
  5. Fosis
  6. Pembebasan
  7. PMII FAI UMI
  8. FNKSDA Kom Makassar
  9. Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (Nasional)
  10. LPM UNIPDU
  11. BOPM Wacana
  12. PPMI DK Banjarmasin
  13. LPM Platinum
  14. LPM CANOPY FP UB
  15. Front Santri Melawan Kekerasan Seksual
  16. PPMI DK Surabaya
  17. PPMi DK Makassar
  18. LPM Libratum Atmajaya mks
  19. PPMI DK Yogyakarta
  20. PPMI DK Kediri
  21. LPM Wisma
  22. PPMI Kota Malang
  23. PPMI DK Kedu
  24. PPMI DK Pekalongan
  25. PPMI DK Jember
  26. LPM Progress
  27. PPMI DK Palu
  28. LPM CEMERLANG
  29. LPM FUM UNHASY
  30. LP2M Corong
  31. LPM AL-MIZAN
  32. LPM Pers to’ciung
  33. LPM Civitas UNMER
  34. LPM AQUA FPIK UB
  35. LPM Basic FMIPA UB
  36. LPM Didaktik FKIP UMM
  37. LPM Mei FEB Unisma
  38. LPM Fenomena FKIP Unisma
  39. LPM Siar UM
  40. LPM ManifesT FH UB
  41. LPM Papyrus UNITRI
  42. LPM DIANNS FIA UB
  43. LPM MIMESIS FIB UB
  44. LPM API ASIA Malang
  45. LPM KAVLING 10 UB
  46. LPM MAFATERNA FAPET UB
  47. LPM MANIFEST FTP UJ
  48. LPM KULTURA FP UNKHAIR
  49. Asosiasi Pers Mahasiswa (ASPEM) Sumatra Barat
  50. LPM GEMERCIK UNSIL
  51. LPM Tanpa Titik IBN
Kategori
Siaran Pers

Kronologi dan Pernyataan Sikap UKPM Teknokra Unila Terkait Diskusi “Diskriminasi Rasial Terhadap Papua”

Rabu, 10 Juni 2020, sekitar pukul 13.00 WIB, Chairul Rahman Arif (Pemimpin Umum) mendapat telpon dari nomor tidak dikenal mengatasnamakan alumni Unila sebanyak 12 kali, ia menanyakan keberadaan tempat pengadaan diskusi tentang papua. Penelpon tidak menjelaskan identitas secara rinci.

Kemudian Chairul, meminta penelpon mengikuti acara seperti yang ada di pamflet. Bersamaan dengan itu, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan Unila Prof. Yulianto meminta Chairul menemuinya. Prof. Yulianto menyarankan untuk menunda diskusi atau menambah akademisi untuk ikut dalam diskusi. Namun, Teknokra tetap memilih diskusi dijalankan dengan narasumber yang ada dan akan mengadakan diskusi lanjutan.

Pukul 19.39, Mitha Setiani Asih (Pemimpin Redaksi)  mendapatkan pesan kode OTP akun Gojek miliknya. Namun, mitha tidak terpikir akan mengalami peretasan. Tiba-tiba pesan WhatsApp masuk dari driver gojek “P”. Awalnya Mitha tidak menduga pesan itu dari gojek, ia mengira hanya nomor orang yang iseng. Telpon Mitha terus berdering ratusan kali dari driver gojek.

Sejak itu ia menyadari bahwa akun gojek-nya diretas. Saat mitha membuka aplikasi Gojek miliknya, puluhan pesanan gojek sudah muncul di fitur pesanan. Dan pesanan tersebut tidak bisa dibatalkan. Chat pesanan seolah-olah Mitha benar-benar memesan dengan kalimat “sesuai aplikasi ya bang”, bahkan chatnya pun menyarankan untuk menghubungi akun WhatsApp Mitha. Sampai sekitar pukul 21.47 WIB, akun gojek-nya terus memesan makanan dengan titik yang disebar di mana-mana. Sampai akhirnya mitha bisa menghubungi Call Center gojek untuk menutup akun gojeknya.

Tidak hanya akun gojek-nya, akun media sosial lain seperti Facebook, Instagram juga ikut diretas karena Mitha tidak dapat mengakses akunnya. Bersamaan dengan mitha, setalah sebelumnya mendapat telpon dari orang tidak dikenal, pukul 20.28 WIB Chairul mendapat pesan teror melalui whatsapp dengan screen capture data identitas pribadinya, disertai dengan kalimat bernada ancaman untuk tidak menyelenggarakan diskusi.

Selanjutnya pukul 20.59 WIB, Chairul kembali mendapat pesan bernada ancaman untuk tidak melaksanakan diskusi yang dianggap memprovokasi masyarakat, bahkan orang tersebut menyebutkan data pribadi chairul sudah dipegang dan mereka mengancam keselamatan orang tua dari chairul. Pesan disertai dengan foto KTP chairul.

Aksi teror dan peretasan yang diterima dua jurnalis teknokra diduga kuat disebabkan oleh diskusi daring yang akan diselenggarkan teknokra tentang isu rasial terhadap papua, pada Kamis, 11/06/2020, pukul 19.00 WIB. Kabar terkahir yang diterima, salah satu pemateri dalam diskusi tersebut yaitu Tantowi Anwari dari Serikat Jurnalisme untuk keberagaman (Sejuk) ikut mendapat peretasan pada akun gojek dan whatsapp.

Berdasarkan kronologi di atas, UKPM Teknokra Unila memberikan pernyataan sikap Terkait Diskusi “Diskriminasi Rasial Terhadap Papua”, sebagai berikut:

  1. Diskusi akan tetap dilaksanakan sesuai dengan jadwal yaitu pada Kamis, 11 Juni 2020 pukul 19.00 WIB melalui akun youtube UKPM Teknokra.
  2. Kami mengutuk aksi teror dan peretasan kepada penyelenggara dan narasumber diskusi.
  3. Meminta semua pihak untuk menghormati kebebasan berpendapat dan berekspresi, serta tidak melakukan aksi teror, ancaman, dan peretasan.
  4. Mendesak kepolisisan mengusut tuntas aksi teror dan peretasan terhadap jurnalis Teknokra
  5. Meminta negara untuk menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi setiap warga negara.