Donald Trump Adalah Pejabat Kita

Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) pada Mei 2016, mencatat ada 47 lembaga pers mahasiswa di Indonesia yang mengalami kekerasan sepanjang 2013-2016. Apakah ini merupakan cermin dari rezim antimedia?

0
303

Donald Trump geram pada hampir semua media massa yang menulis soal dirinya dengan buruk. Awal Agustus kemarin, calon Presiden Amerika Serikat yang didukung Partai Republik itu, dalam sebuah wawancara di televisi, mengklaim The New York Times memperlakukan dirinya sangat tidak adil.

Trump menghitung The New York Times menulis sekitar tiga atau empat tulisan tentang dirinya dalam satu hari. Meski sebaik apapun yang telah dilakukan Trump, “mereka tidak akan pernah menulis dengan baik.”

Bahkan Maggie Haberman, wartawan The New York Times dalam wawancara berdurasi 20 menit itu, dituding Trump sebagai seorang wartawan yang tidak tahu bagaimana cara menulis dengan baik. Haberman tak mau ambil pusing, karena “baik” bagi Trump adalah prestasi dan hal-hal baik tentang sosok dan kampanye retoriknya.

Trump bisa saja benar. Bahwa The New York Times media massa yang berusia lebih dari satu abad itu, tidak pernah dan tidak akan pernah bisa menulis dengan bagus. Membaca The New York Times bagi Trump hanya buang-buang uang. Tapi saya kira Trump juga bukan pembaca media yang baik.

Pada 1949, tiga tahun setelah hari kelahiran Trump, Mayer Berger membuat laporan sepanjang 3.170 kata tentang penembakan berantai di Camden, New Jersey. Laporan itu berisi kisah penembakan 12 orang warga oleh seorang pria bekas tentara bernama Howard Barton Unruh. Ia menulis dengan detail bagaimana Unruh melancarkan pembunuhan membabi-buta selama sekitar 12 menit, berjalan kaki dari satu kios dan warung, lalu mendorong pelatuk pistol Luger berisi peluru ke arah para korban, yang salah satunya adalah anak kecil berusia 6 tahun.

Tidak ada yang menarik dari laporan Berger. Selain laporan enam babak penuh adegan menegangkan dan ketakutan orang-orang di sekitar kejadian. Upaya Berger merinci latar belakang atau motif dari tragedi berdarah itu. Kegigihan mewawancarai sekitar 20 narasumber dalam waktu satu hari. Lalu absennya penghakiman Berger atas pelaku pembunuhan.

Itu tentu bukan perkara enteng. Menyulam fakta di balik sebuah tragedi berdarah, yang mulanya disulut oleh gosip antar tetangga, menjadi sebuah narasi sinematik. Mark Johnshon, peraih penghargaan Pulitzer untuk kategori Explanatory Reporting, ketika membaca laporan itu merasa sedang melihat rekaman video dari kamera yang membuntuti Unruh.

Laporan itu terbit di The New York Times, dengan judul Veteran Kills 12 in Mad Rampage on Camden Street. Beberapa bulan kemudian Berger meraih penghargaan Pulitzer untuk kategori laporan lokal terbaik.

Trump tentu setuju bahwa laporan Berger tak menarik. Karena tidak ada kisah heroik seorang tokoh tenar, atau seorang negarawan tulen yang memimpikan diri menjadi presiden. Tapi saya kira Trump juga perlu belajar dari Margalit Fox, wartawati The New York Times yang telah menulis hampir seribu obituarium.

Bahwa sebuah laporan jurnalistik tak melulu bicara tentang pahlawan kontroversial, atau sekadar hitam dan putih. Fox percaya sebuah kisah obituarium misalnya, yang paling bagus adalah kisah tentang pemain di balik layar, orang-orang tanpa tanda jasa, meski tidak ada yang tahu nama mereka, “tapi perlu gagasannya perlu hadir dalam tatanan masyarakat.”

Misalnya Fox lebih memilih menulis obituarium Alice Kober. Seorang profesor bergaji rendah di Brooklyn College, yang berusaha memecahkan kode dan membuat katalog tentang Linear B, Sebuah aksara kuno berusia sekitar 3000 tahun. Hampir tiap malam Kober memilah dan membuat catatan statistik. Sayangnya ia gagal.

Kober meninggal di usia 43, dua tahun sebelum Michael Ventris, seorang arsitek menjadi tenar karena berhasil memecahkan Linear B. Sebaliknya, nama Kober tak banyak diketahui. Hal ini, bagi Fox, karena sejarah selalu ditulis oleh para pemenang.

Roy Peter Clark, guru besar di Poynter Institute, menyebut nama Berger dan Fox sebagai ‘ahli kitab’ di The New York Times. Berger adalah “the captain of this All-Star team.” Clark bahkan berharap Fox mau menulis obituariumnya saat ia meninggal.

Bagaimana dengan Trump? Mungkin setelah Fox menulis obituarium untuknya, Trump akan paham bagaimana media massa menulis dengan baik atau buruk.

Pada titik ini, ada kesamaan antara pemahaman Trump dan pola pikir para pejabat di Indonesia. Sebagaimana banyak orang yang menganggap bahwa media massa harus selalu menulis hal-hal baik. Tidak perlu menulis hal-hal buruk.

Di kampus, banyak pejabat menekankan doktirn itu pada media pers mahasiswa. Tidak perlu melaporkan keluhan mahasiswa soal metode pengajaran dosen, soal mahalnya biaya pendidikan, apalagi simpang-siur dana proyek pembangunan gedung dan kelengkapan kampus. Media pers mahasiswa cukup menulis prestasi kampus, proyek penelitian dosen, atau tidak perlu melakukan semuanya. Agar bisa lulus dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Jika perintah itu dihiraukan, maka klaim dan penghakiman kelompok yang merasa dirinya superior bergeriliya. Mereka bisa memakai kuasa dan regulasi untuk membenarkan pernyataannya. Mereka bisa menekan, mengintimidasi, atau menyingkirkan gagasan yang mengancam stabilitas negara kecil mereka.

Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) pada Mei 2016, mencatat ada 47 lembaga pers mahasiswa di Indonesia yang mengalami kekerasan sepanjang 2013-2016. Riset itu mendefinisikan kekerasan sebagai bentuk intimidasi pada reporter, penghambatan dana organisasi, dan pemberedelan media pers mahasiswa.

Ada 11 media pers mahasiswa yang diberedel. 33 lembaga pers mahasiswa yang mendapat intimidasi saat melakukan kerja jurnalistik. Bahkan sebanyak 5 pers mahasiswa dikriminalkan. Aktor tertinggi dari kasus tersebut, sebanyak 11,3 % adalah pejabat kampus.

Hasil itu tentu sah jika dianggap hanya sebuah angka-angka atau statistik. Terutama bagi pejabat yang mengira kerja jurnalisme pers mahasiswa yang ideal seharusnya cukup memberitakan hal-hal ringan. Atau bagi seorang yang tak paham bagaimana lahirnya karya jurnalistik harus melewati beberapa tahapan, dengan susah payah.

Seperti humor yang dibuat Abdul Fadlil, setelah mengancam akan membekukan pers mahasiswa Poros Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Humor itu menuai bertubi-tubi kritik dari beragam kalangan. Ia geram mengapa tindakan konyolnya terus dibicarakan di media sosial.

Saya kira pejabat kampus di Indonesia sama ngawurnya dengan Trump. Begitu nama mereka disebut, mereka bisa menjadi temperamental atau marah. Seperti Voldemort, tokoh fiksi ciptaan JK Rowling dalam serial novel Harry Potter. Mereka tidak akan pernah paham bagaimana loyalitas jurnalis harus ditempatkan, untuk kepentingan publik atau hanya menjadi gincu.[]