Pers mahasiswa sudah semestinya menjalan fungsi jurnalisme yang ideal, yaitu melayani kepentingan publik. Menerapkan prinsip inklusif di runag redaksi dan ketika melakukan kerja-kerja jurnalistik harus selalu dijunjung dan diutamakan. Kendati demikian, represi karena melakukan peliputan isu sensitif juga menjadi tantangan bagi pers mahasiswa.
Kemudian, terlepas dari kasus represi yang menimpa pers mahasiswa, salah satu penyebab represi tersebut adalah kelalaian dapur redaksi dan minimnya upaya mitigasi yang dilakukan pers mahasiswa. Misalnya, LPM Institut UIN Jakarta yang direpresi lantaran kelalaian untuk tidak melakukan verifikasi dan melanggar prinsip-prinsip jurnalistik dalam melakukan peliputan kekerasan seksual.
Kemudian, baru-baru ini LPM FH Unisi juga menerbitkan artikel yang tidak ramah kelompok rentan. Judul artikel itu adalah LGBTQ: Kebebasan Berpendapat yang Kelewat Batas! Isi dari artikel itu adalah LGBTQ mulai berani tanpa malu memamerkan diri mereka yang kelainan seksual, sehingga sudah sewajibnya mereka dilarang berkembang di negara kebertuhanan ini. Fenomema serupa pernah dilakukan oleh LPM Mercusuar Unair yang melakukan penerbitan artikel yang memicu sekaligus memacu kekerasan terhadap kelompok rentan ini.
Oleh karena itu, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia mengajak Project Multatuli untuk berupaya memberikan pendampingan sekaligus pendidikan jurnalisme yang inklusif dan berpihak kepada kelompok minoritas sekaligus rentan agar kejadian semacam itu tidak terulang melalui program bernama klinik keredaksian ini. Sebab, bagimana pun, pers mahasiswa masih diharapkan publik atas kerja-kerja jurnalistik mereka yang berani bersikap dan membela kelompok tertindas.
Kegiatan ini akan dilaksanakan pada:
Hari/Tanggal: Kamis, 16 Februari 2023
Pukul: 18.30 WIB-Selesai
Tempat: Zoom Meeting/Youtube PPMI Nasional