Liputan dan Penulisan “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”

0
947
Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft. Tangkapan Layar Online Writing Class Yayasan Pantau oleh Twitter @Hammamizd
Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft. Tangkapan Layar Online Writing Class Yayasan Pantau oleh Twitter @Hammamizd

BANGKA – Chik Rini dari Banda Aceh mendiskusikan bagaimana dia meneliti, wawancara, dan menulis laporan “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” tentang penembakan 3 Mei 1999 di Lhokseumawe, termasuk memilih lima wartawan, guna menggerakkan naskah tersebut.

Laporan “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” selengkapnya klik di sini….

Dalam diskusi daring Yayasan Pantau bersama moderator Andreas Harsono pada 29 Mei 2020. Iyok Baswara, seorang penyiar yang lakukan voice over juga ikut bicara. Baswara dan rekan-rekannya bekerja untuk Kontras, organisasi hak asasi manusia di Jakarta dan Banda Aceh, yang menerbitkan podcast “Sebuah Kegilaan Simpang Kraft” sepanjang satu setengah jam guna memperingati 19 tahun penembakan di Simpang Kraft pada 3 Mei 2020.

Podcast “Sebuah Kegilaan Simpang Kraft” selengkapnya klik di sini….

Chik Rini menerangkan bahwa dia perlu empat bulan buat riset dan wawancara 30-an narasumber di Banda Aceh, Jakarta, Lhokseumawe, dan Medan. Dia naik kapal untuk pergi ke Jakarta untuk wawancara dua wartawan RCTI, Imam Wahyudi (reporter) dan Fipin Kurniawan (kamerawan), yang meliput penembakan.

“Mas Imam ingatan kuat sekali, sangat detail. Dia mengajak saya ke ruang video RCTI di Kebun Jeruk. Saya lihat video dan memakai tape (recorder) untuk merekam,” kata Chik Rini.

Di Lhokseumawe, Chik Rini wawancara Umar H. Nurdin, Ali Raban dan Azhari, masing-masing wartawan buat RCTI, Metro TV dan Antara. Ali Raban, sebagai kamerawan, merekam penembakan dan mengirim video kepada Associated Press.

Dia membuat transkrip berbagai wawancara tersebut serta mengetik rekaman video agar mendapatkan suasana di lokasi penembakan. Ia juga membaca laporan organisasi hak asasi, tim pencari fakta pimpinan Camat Dewantara Marzuki Muhammad Amin (belakangan jadi Walikota Lhokseumawe) maupun dokumen Komando Distrik Militer Bukit Barisan.

“Ada seorang kolonel memberikan laporan Kodam,” kata Chik Rini.

Berbagai riset tersebut membuat Rini punya daftar nama para korban: setidaknya 46 orang tewas, 156 orang luka, dan sepuluh orang hilang.

Ketika menulis, Chik Rini tinggal mencari alinea relevan dari ratusan halaman transkrip untuk masuk dalam struktur yang dibuatnya.

Strukturnya apa? Chik Rini sebelumnya baca karya John Hersey berjudul “Hiroshima” (1946) dan meniru strukturnya, dimana ada enam karakter yang selamat dari bom nuklir pada 7 Agustus 1945. Hersey menjadi enam orang tersebut sebagai tokoh buat bercerita.

Chik Rini memerlukan waktu sebulan buat menunggu dan menjawab editing dari redaksi majalah Pantau –melibatkan redaktur Andreas, Agus Sopian dan Linda Christanty. Akhirnya, naskah terbit pada Mei 2002 total sekitar 12,000 kata.

Ada peserta tanya apakah Chik Rini dapat intimidasi?

Chik Rini jawab Pantau tak beredar luas di Aceh. Dia merasa baik-baik. Dia juga mengungkap fakta dengan riset mendalam.

Struktur “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” adalah kronologi namun diberi epilog. Chik Rini mengambarkannya mirip belah ketupat.

Diskusi ini mensyarakatkan peserta, sekitar 100 orang sesuai kapasitas Google Meet, untuk membaca terlebih dulu tujuh pertimbangan dalam menulis panjang. Pertimbangan tersebut dijabarkan oleh Robert Vare dari majalah The New Yorker.

Doc. Pribadi Chik Rini

Rumah Chik Rini di Banda Aceh namun keluarganya pernah tinggal di Krueng Geukeuh, Lhokseumawe, daerah dimana pembantaian 1999 terjadi. Dia punya banyak kenalan termasuk “abang becak.” Dia naik becak untuk pindah dari sumber satu ke sumber lain. Usianya waktu liputan baru 26 tahun.

Iyok Baswara menambahkan bahwa naskah ini cocok buat dijadikan audio-book. Dia dan rekan-rekannya senang ketika dihubungi Kontras buat bikin podcast. Mereka memakai “voice bank” guna mencari suara tembakan, suara motor, suara truk. Mereka hanya punya waktu tiga hari buat persiapan. Total Baswara menghabiskan delapan jam guna merekam naskah 12,000 kata tersebut.

Ketika ditanya apa yang paling repot ketika liputan, Chik Rini menjawab dia di Jakarta diminta kembali ke Kreung Gekeuh, kembali ke lapangan untuk mendapatkan gambaran. Rini juga bilang judul “kegilaan” dalam tulisannya adalah saran dari editor.

Kata “kegilaan” diambil dari ucapan Imam Wahyudi. Chik Rini sendiri lupa judul yang dia usulkan. “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” menurutnya bagus dan kuat.

Wartawan Jakarta Post Margareth Aritonang mengatakan, “Senang aku dengan kerendahan hatinya. Wartawan, baik yang junior dan senior sekarang jarang yang punya kegigihan seperti ini. Yang muda manja, yang tua dan menjelang tua, lelah dengan idealisme.”

Tanya-jawab ada lebih dari 30 penanya. Banyak yang tanya soal metode riset. Chik Rini menekankan wartawan harus bersandar terutama pada reportasenya sendiri. “Walaupun kita sudah dapat rekaman, kita tetap harus ke lapangan,” katanya.

Lilik Hastuti Setyowatiningsih, seorang penulis Jakarta, mengatakan, “Formula tulisan bagus memang tidak jauh-jauh dari  paduan antara penulis yang bagus dan ulet, cerita yang menarik (cerita konflik pasti menarik), reportase dan riset yang dalam, dan… ketemu editor yang bagus!”

Yayasan Pantau juga memutar video Ali Raban dengan suara rendah buat menggambarkan kejadian di lapangan. Chik Rini menerangkan persimpangan Jalan Aceh-Medan dan jalan yang menuju pabrik pabrik kertas PT Kertas Kraft Aceh.

Tujuh pertimbangan buat menulis panjang, menurut Robert Vare, adalah fakta, konflik, karakter, akses, emosi, perjalanan waktu, dan kebaruan. Chik Rini menekankan bahwa naskah tersebut hanya berlangsung “dua hari” dari 2 Mei sampai 3 Mei malam hari. Ia memenuhi tujuh syarat tersebut.

Kelas selanjutnya…

Online Writing Class: Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan oleh Alfian Hamzah.
Jumat, 19 Juni 2020 pukul 05.00 – 18.30 WIB.