Kategori
Siaran Pers

Persma Walisongo Semarang: Stop Pembungkaman dan Pemberedelan Pers Mahasiswa!

Salam Pers Mahasiswa !

Maraknya kasus yang dialami Pers Mahasiswa (Persma) masih sering terjadi pada banyak kampus di Indonesia. Tahun 2015, kasus intervensi dialami oleh pers mahasiswa Aksara (September 2015), penarikan majalah dialami oleh pers mahasiswa Lentera (Oktober 2015), hingga pembekuan terhadap pers mahasiswa Media Universitas Mataram (November 2015). Belum lagi kasus kekerasan terhadap pers mahasiswa lain yang tidak terekspos media, telah membuat dilema dalam demokrasi, yang mana kebebasan pers masih dikebiri.

28 April 2016, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Poros Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta pun mengalami hal serupa. Rektorat UAD membekukan Poros dengan alasan merugikan kampus (pemberitaan Poros dianggap membuat citra buruk bagi kampus). Sebuah alasan sepihak, sebagaimana diberitakan media online Poros.

Pembekuan ini adalah sebuah penodaan terhadap kebebasan pers dan kebebasan berpendapat yang sudah jelas dilindungi Undang-undang. Seperti pasal 28 UUD 1945: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang undang”, pasal 28 E ayat 3 berbunyi: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Kemudian Undang-undang Pers No.40 Tahun 1999: Undang-undang ini telah menjamin hak mengemukakan pendapat di media Pers. Undang-undang ini juga menjamin kebebasan pers di Indonesia. Kemudian masyarakat indonesia juga berhak mendapatkan informasi dan menyampaikan Informasi.

Namun, Undang-undang ataupun aturan tentang kebebasan pers, khususnya pers mahasiswa tidak dihiraukan oleh birokrasi kampus yang sering berpikiran sempit. Mereka menolak bahkan memusuhi pemberitaan ataupun kritik yang dilakukan pers mahasiswa. Bahkan sampai membekukan sebuah lembaga dengan segala aktivitasnya.

Birokrasi kampus seringkali anti-kritik dengan pemberitaan atau dengan segala bentuk karya jurnalistik yang dituding menurunkan citra kampus. Padahal peran pers mahasiswa disini adalah sebagai Watch Dog (anjing penjaga), yang mana bekerja di bawah kode etik jurnalistik. Tentu juga dengan kritik yang bersifat membangun agar kampusnya maju tidak hanya dari kuantitas, namun juga kualitas di dalamnya dapat dievaluasi bersama.

Karena memandang pemberitaan persma secara sepihak itulah yang membuat birokrat kampus sering mengeluarkan keputusan atau kebijakan yang tidak rasional. Hanya karena kampus diperlihatkan kekurangannya, namun sudah dijudge membuat citra kampus menjadi buruk. Pers mahasiswa tidak lagi memiliki hak atau kesempatan untuk memberikan informasi (fakta) kepada masyarakat kampus (mahasiswa) yang demokratis. Kampus selalu mengajarkan tentang makna demokrasi, namun birokratnya sendiri sering tidak menyadari bahwa mereka telah menodai hakikat demokrasi karena mereka hanya menganggap apa yang dilakukan mahasiswa ini adalah sebuah anarkisme yang harus dibungkam dan dibekukan.

Pembungkaman dan pemberedelan Poros menjadi tamparan bagi insan pers di Indonesia, bahwa ketegasan mengenai kasus kekerasan pers ini harus segera diatasi dan diakhiri. Jika tidak ada tindakan tegas mengenai kasus yang marak terjadi ini, masa depan pers mahasiswa dan masa depan demokrasi Indonesia dipertaruhkan.

Bertepatan dengan momentum Hari Kebebasan Pers Internasional (03 Mei 2016) dan dari pemaparan di atas, kami atas nama Pers Mahasiswa Walisongo Semarang menyatakan sikap sebagai berikut :

  • Mengecam tindakan rektorat UAD yang telah membekukan Poros.
  • Hidupkan lagi Poros sebagai bentuk ketaatan pada undang-undang tentang demokrasi.
  • Memperingatkan seluruh rektor dan jajaran kampus di Indonesia agar tidak semena-mena dalam pengambilan keputusan mengenai pemberitaan atau karya jurnalistik yang bersifat kritik.
  • Copot dan beri sangsi kepada birokrat yang otoriter dan berpikiran sempit dari jabatannya.
  • Melindungi dan menghargai hak jurnalistik (informasi) di kampus.
  • Atur Undang-undang mengenai pers mahasiswa secara khusus oleh pemerintah.

Demikian siaran pers dari kami. Semoga apa yang kita lakukan hari ini menjadi bahan untuk membawa nasib bangsa lebih maju dan berkualitas. Terima Kasih.

Narahubung :

M. Dafi Yusuf, LPM Missi (+6285799760431)

Kategori
Siaran Pers

PPMI DK Yogyakarta Menolak Pembungkaman LPM Poros oleh Birokrat Universitas Ahmad Dahlan

Salam Persma, Hidup Rakyat, dan Lawan Pembungkaman!

Berdasarkan rilisan kronologi pada situs berita online Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Poros Universitas Ahmad Dahlan (UAD), tertulis bahwa birokrat kampus UAD mengancam pembekuan terhadap kegiatan Poros selaku pers mahasiswa intrakampus.

Birokrat kampus yang diwakili oleh Abdul Fadlil selaku Warek III dan Safar selaku Warek II menyatakan bahwa pihak Rektorat UAD sedang berupaya membekukan akses berkegiatan Poros. Kepada Bintang selaku Pemimpin Umum dan Fara selaku Pemimpin Redaksi LPM Poros, pihak birokrat kampus menyatakan langsung bahwa berbagai pemberitaan dan berkegiatan Poros cenderung tidak bermanfaat positif bagi UAD. Maka birokrat kampus pun mengancam bahwa surat keputusan (SK) akan diturunkan guna membekukan akses kegiatan Poros di UAD.

Wacana pembekuan LPM Poros yang akhir-akhir ini menyeruak ke kalangan prodemokrasi merupakan buntut dari pemberitaan di buletin terbitan Poros soal pendirian Fakultas Kedokteran (FK). Buletin tersebut mengabarkan bahwa pendirian FK di UAD masih belum memenuhi kualifikasi dan perlu banyak pembenahan. Merasa khawatir atas pemberitaan, birokrat UAD menanggapinya dengan cara kontraintelektual; mengancam melalui pembekuan.

Seharusnya, sebagai akademisi yang dekat dengan naluri cendekia, birokrat UAD bisa menanggapinya dengan cara-cara mendidik nan mencerdaskan. Namun pernyataan mereka cenderung mencederai marwah intelektualitas dan demokrasi. Saat kabar ini menyeruak, banyak kalangan prodemokrasi dan kaum intelektual di Yogyakarta yang geram sekaligus mengecam perilaku birokrat kampus tersebut.

Pihak-pihak yang mendukung kebebasan hak-hak intelektual kampus menjadi resah karena kelakuan birokrat UAD adalah wujud pencorengan terhadap kultur intelektualitas kaum terdidik di Yogyakarta. Masih banyak cara-cara cendekia untuk menjawab ketidakterimaan atas pemberitaan dari media pers, termasuk pers mahasiswa. Misalnya, melalui mekanisme hak jawab tertulis untuk  mengklarifikasi kesalahan berita. Bodohnya, cara-cara cendekia itu tidak berusaha ditempuh oleh birokrat UAD.

Birokrat UAD telah semena-mena memperlakukan keberadaan LPM Poros di kampus. Mereka sengaja menggunakan kewenangannya untuk membungkam kebebasan beraspirasi mahasiswa. Padahal segala aktivitas Pers Mahasiswa (Persma) di kampus merupakan upaya penegakan transparansi informasi dalam pembangunan kampus. Jika upaya tersebut sengaja dibungkam, maka potensi-potensi penyelewengan amanah institusi akademik kemungkinan terjadi. Kaum akademisi seharusnya mendukung upaya-upaya persma dalam kampus sebagai lembaga kontrol kebijakan. Mengingat bahwa kontrol kebijakan merupakan kebutuhan bagi orang-orang berpendidikan supaya selalu menggunakan ilmunya untuk kebaikan umat. Maka, kelakuan birokrat UAD jelas-jelas perbuatan yang jauh dari kesan niat baik berkeilmuan.

Hingga hari ini, banyak kaum intelektual prodemokrasi di Yogyakarta merasa bahwa perilaku birokrat UAD benar-benar merusak citra kultur pendidikan kalangan akademisi serta mengebiri peran kaum intelektual. Kalangan intelektual di Yogyakarta semacam pegiat pers, aktivis kampus, pegiat literasi, akademisi, dan bermacam komunitas warga yang bersolidaritas benar-benar dibikin malu atas ulah birokrat UAD. Perlu diketahui bahwa kabar memalukan kelakuan birokrat UAD juga sudah menyebar ke daerah-daerah keberadaan kaum intelektual lainnya: Surakarta, Purwokerto, Jember, Malang, Semarang, Makassar, Jakarta, dan lain sebagainya. Aksi-aksi solidaritas #SavePoros pun telah dilakukan oleh kawan-kawan di Malang, Jember, dan Semarang. Ini menunjukkan bahwa banyak kalangan masih peduli terhadap citra Yogyakarta sebagai pusat pendidikan kaum intelektual. Wajarlah bila sanksi-sanksi sosial perlu diarahkan kepada muka birokrat UAD.

UAD sebagai institusi pendidikan di bawah  Muhammadiyah; organisasi sosial-keagamaan besar di Indonesia, seharusnya mampu secara waras memposisikan keberadaannya di tengah-tengah pandangan kaum intelektual dan masyarakat di Yogyakarta. Kasus yang dibuat oleh birokrat UAD begitu mengkhawatirkan. Mengamati bahwa kekhawatiran kalangan intelektual di Yogyakarta semakin hari semakin besar nan meluas terhadap ulah birokrat UAD, maka Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Dewan Kota (DK) Yogyakarta merasa perlu untuk menerbitkan rilis ini yang berisikan penjelasan kasus, penyikapan, dan tuntutan. Berikut rincian sikap dan tuntutan tersebut.

PPMI DK Yogyakarta menyatakan sikap:

  1. Mengecam perilaku birokrat kampus UAD terhadap LPM Poros karena telah menodai prinsip demokrasi, asas keterbukaan, dan marwah intelektualitas.
  2. Menolak upaya-upaya pembekuan yang dilakukan birokrat kampus UAD terhadap LPM Poros karena mengancam aktivitas kebebasan beraspirasi dan transparansi informasi intrakampus.
  3. Mengajak kalangan intelektual prodemokrasi untuk bersolidaritas mengecam kelakuan birokrat UAD terhadap LPM Poros demi penyelamatan citra kaum intelektual di Yogyakarta.

 

PPMI DK Yogyakarta menuntut:

  1. Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menegur birokrat kampus UAD atas perilaku tidak terpujinya yang kontraintelektual.
  2. Birokrat UAD harus meminta maaf kepada LPM Poros karena bisa menimbulkan trauma dalam aktivitas beraspirasi dan keterbukaan informasi intrakampus.
  3. Birokrat UAD harus meminta maaf secara terbuka kepada kaum intelektual di Yogyakarta karena telah mencoreng citra intelektualitas.
  4. Birokrat UAD harus membatalkan pembekuan terhadap LPM Poros serta menyertakan janji-janji tertulis secara terbuka bahwa tidak akan lagi melakukan upaya-upaya pembungkaman yang tidak terpuji.

Begitulah rilisan sikap dan tuntutan PPMI DK Yogyakarta atas kasus pembungkaman dari Birokrat UAD terhadap  LPM Poros. Demi penyelamatan citra intelektual, maka sebaiknya kita perlu segera berkonsolidasi, bersolidaritas, dan menuntut pelaku perbuatan kontraintelektual dalam kampus. Ini demi kebaikan bersama di era yang seharusnya kebebasan beraspirasi dan keterbukaan informasi harus diwujudkan.

Narahubung:

Taufiq Nur Hidayat, Sekjend PPMI Dewan Kota Yogyakarta (+6283869971305)

 

Kategori
Siaran Pers

Pernyataan Sikap Pers Mahasiswa Jember Atas Pemberedelan LPM Poros Universitas Ahmad Dahlan

Salam Persma!

Di era yang sudah demokrasi serta kebebasan setiap orang sudah dijamin oleh undang-undang, masih saja ada pihak-pihak yang memiliki pemikiran kaku, anti-kritik dan main hakim sendiri. Apalagi yang melakukan hal tersebut adalah orang-orang yang berintelektual tinggi, para birokrasi kampus Universitas Ahmad Dahlan (UAD). Birokrat UAD telah melakukan pembekuan dan pemberedelan terhadap salah satu organisasi pers mahasiswa yang dinaunginya.

Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Poros dibekukan dan diberedel oleh Birokrat UAD secara sepihak tanpa ada pemberitahuan secara legal dari kampus UAD. Hal tersebut berkaitan dengan pemberitaan yang ditulis oleh awak redaksi LPM Poros. Pihak Kampus menilai LPM Poros sudah keterlaluan dalam memberitakan terkait pendirian Fakultas Kedokteran di UAD yang dimuat di buletin magang.

Abdul Fadlil selaku Wakil Rektor III menilai LPMPoros sudah keterlaluan dalam pemberitaannya. Dia menambahkan bahwa LPM Poros tidak ada manfaatnya bagi kampus. Seakan tak puas, Wakil Rektor menganggap bahwa LPM Poros sudah merugikan kampus yang mendanai kegiatannya selama ini. Bahkan Fadlil menganggap pola pikir awakPoros perlu diluruskan, yang kemudian menyarankan agar LPM Poros memberitakan hal-hal positif tentang kampus. Namun saat Fara sebagai Pemimpin Redaksi LPM Poros mempertanyakan bagian mana yang membuat Fadlil mempermasalahkan beritanya, Fadlil tidak memberikan alasan yang jelas.

Sikap yang ditunjukkan oleh Fadlil sangat bertolak belakang dengan sambutannya pada acara pelantikan pengurus baru Unit Kegiatan Mahasiswa Pers Mahasiswa Poros Periode 2015/2016. Dalam berita yang diunggah di halaman persmaporos.com Fadlil mengatakan di depan para undangan bahwa kampus tidak antikritik dari media maupun pihak lain. “Kita tidak anti kritik,” ujarnya. Dia menambahkan bahwasannya kritik itu perlu dan menganggap kritik menjadikan seseorang memiliki cara pandang lain dan akan menciptakan kemajuan.

Kami Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Kota Jember menegaskan bahwa, tindakan pembekuan dan pemberedelan secara sepihak yang dilakukan UAD kepada LPM Poros merupakan tindakan yang semena-mena, main hakim sendiri, dan tidak mencerminkan kehidupan kampus yang demokratis. Maka dari itu kami PPMI Kota Jember

menilai bahwa tidakan yang dilakukan oleh Birokrat UAD sungguh mencoreng serta tidak mengindahkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi, bahwa pada dasarnya pendidikan tinggi diselenggarakan dengan prinsip demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Menurut kami, apa yang dilakukan Birokrat UAD juga telah melanggar UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers. Pembekuan dan pembreidelan yang dilakukan Birokrat UAD telah mengekang kemerdekanaan pers, yang merupakan wujud dari kedaulatan rakyat berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Dari sisi lain Birokrat UAD seakan abai terhadap adanya UU No.14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Atas dasar tersebut maka, kami PPMI Kota Jember yang beranggotakan 17 Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) dari berbagai universitas di wilayah Jember menyatakan dan menuntut:

  1. Mengecam dengan keras tindakan pembekuan dan pemberedelan yang dilakukan Birokrat UAD terhadap LPM Poros. Bagi kami tindakan tersebut merupakan tindakan tidak dewasa yang dilakukan birokrat kampus yang notabene mereka adalah kumpulan-kumpulan orang yang berintelektual tinggi. Bagi kami pembekuan dan pemberedelan merupakan salah satu bentuk arogansi yang dilakukan kampus kepada organisasi yang dinaunginya
  2. Mengecam tindakan kampus yang melakukan penyelesaian sengketa pers dengan cara yang sepihak tanpa melibatkan pihak LPM Poros untuk melakukan proses dialektika yang lebih bijak dan berpendidikan
  3. Mengecam segala bentuk tekanan secara fisik dan mental yang bertujuan untuk membatasi kerja-kerja jurnalistik dalam hal mendapatkan, mengelola, dan menyebarkan informasi yang menimpa LPM Poros
  4. Meminta Birokrat UAD untuk segera mengaktifkan dan mengizinkan kembali proses penerbitan media LPM Poros. Pada dasarnya memang Surat Keputusan (SK) terkait pembekuan dan pemberedelan LPM Poros memang belum dikeluarkan
  5. Meminta Birokrat UAD untuk segera menetralkan penilaian-penilaian negatif yang sempat disematkan pihak kampus kepada LPM Poros. Sehingga nama baik LPM Poros dapat kembali lagi
  6. Meminta Birokrat UAD untuk segera memperlancar proses administrasi LPM Poros
  7. Meminta Birokrat UAD untuk tidak mengulangi lagi tindakan yang tidak dewasa tersebut (pembekuan) kepada organisasi-organisasi dinaunginya, khususnya LPM Poros.

Demikian pernyataan sikap ini kami buat, semoga dapat diterima dan ditanggapi secara arif dan bijaksana. Atas kedewasaan menerima kritik dan saran kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Jember, 03 Mei 2016

Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Kota Jember

Narahubung:

Joko Cahyono, Sekjend PPMI Kota Jember (+6285649442616)

Ahmad Junaidi Al Jawawi, BP Advokasi PPMI Kota Jember (+6285854571796)

Chairul Anwar, BP Media PPMI Kota Jember (+6289626359118)

Nova Dian Permata Sari, Jaringan Kerja PPMI Kota Jember (+6285258751724)

Fais Ridho Nur A., BP Litbang PPMI Kota Jember (+6281232728023)

LIHAT DAN UNDUH SIARAN PERS

Kategori
Diskusi

Perangai Orbais Birokrat Pendidikan Kita

Yogyakarta adalah mimpi bagi kebanyakan pelajar sekolah usai kelulusan, termasuk saya. Anak mana yang tak bermimpi melanjutkan kuliah di Yogya? Tersohor sebagai kota pendidikan dengan ratusan perguruan tinggi dan puluhan ribu mahasiswa, tumplek blek jadi satu. Ratusan kios buku keren, perpustakaan terbesar se-Asia Tenggara, angkringan murah, seniman serta sastrawan bertebaran, penduduk lokal yang sumeh-sumeh, dan apa-apa yang perlu kita cari dari dunia yang fana ini semua ada di Yogya.

Setelah usaha berdarah-darah yang ternyata tak juga sanggup mengantarkan saya menjadi seorang mahasiswa Yogya, Malang menjadi kota alternatif. Meski sudah 3 tahun lebih berusaha mengakarkan diri di Malang, Yogyakarta dan segala ekspektasi tentang kota pendidikan yang ideal itu tak pernah hilang. Semasa kuliah, saya masih sering plesiran sambil Menyuburkan kembali harapan agar suatu hari dapat menuntut ilmu di Yogyakarta. Entah ilmu macam apa.

Namun beberapa hari lalu, saya tercekat saat mendapat kabar teman dari seorang mahasiswa Yogyakarta. Ia memberi kabar buruk. Sebuah lembaga pers mahasiswa di Yogyakarta, LPM Poros dibredel dan dibekukan oleh birokrat kampus, oleh jajaran orang-orang terhormat di Universitas Ahmad Dahlan, hanya karena membuat berita tentang kebijakan kampus. Saya kira hanya bercanda! Bagaimana bisa daerah beridentitas kota pendidikan itu punya pejabat-pejabat kampus dengan mental anti-kritik.

Saya berusaha menabahkan diri menerima realita, tidak Yogyakarta, tidak Malang, Mataram, Salatiga, Jakarta, ataupun Makassar. Nafas pendidikan kita penuh sesak dengan orang-orang yang bermental a la Orde Baru warisan Soeharto. Yogyakarta dan segala perangai manisnya, seperti laki-laki, sama saja! Di kota impian itu, bercokol pula pendidik-pendidik yang tak paham apa makna kritik, hingga mucul ucapan “tak bermanfaat” atau “itu cuma simulasi” dari mulut manis para pejabat pendidikan tinggi.

Saya heran, mengapa para pejabat pendidikan itu demikian tuli dan peduli setan dengan kritik yang dilontarkan mahasiswa. Memang wajah pendidikan kalian sudah sebaik apa, sampai tidak mau masuk pada kontestasi diskursus yang adil?

Adalah sebuah ungkapan yang sangat memalukan dari mulut seorang pendidik jika pers mahasiswa dianggap tidak bermanfaat karena hanya bisa mengkritik. That’s just how democracy work. Pers berperan menciptakan sebuah ruang diskursus yang adil, membentuk suatu ruang publik yang emansipatoris dan membebaskan masyarakat dari false consciousness. Tentu sangat memalukan jika seorang rektor atau wakilnya tak tahu soal demokrasi.

Tapi saya kira anda tidak mungkin tidak tahu, bapak-ibu yang terhormat hanya menutup mata. Sambil membuat situasi se-kondusif mungkin. Pengetahuan ternyata memang hanya milik mereka yang berkuasa, ya? Bukan untuk kami yang kecil ini. Lihat saja ketika kawan-kawan pers mahasiswa, lembaga yang tumbuh di akar rumput, berusaha menguak kebenaran yang mengusik kursi nyaman kalian, kami dibungkam. Sangat represif. Kejam dan dingin.

Beginikah kalian para pendidik memperlakukan pengetahuan. Kalian kemanakan butir pertama Tridharma perguruan tinggi itu? Pendidikan dan pengajaran. Pendidikan macam apa yang kalian doktrinkan pada kami jika kalian sendiri tak berani jujur pada kebenaran. Apakah kami yang menuntut kebenaran ini yang salah didik?

Jika ditelisik lebih jauh, keroposnya Tridharma kita itu tidak hanya pada butir pertamanya. Butir kedua tentang penelitian dan pengembangan, belakangan ini lebih populer sebagai kerja proyekan instansi-instansi besar untuk memperoleh legitimasi akademik, tanpa mengukur kelayakannya. Penelitian diperjualbelikan, nama besar kampus dijadikan stampel. Belum lagi butir ketiga tentang pengabdian masyarakat, yang pada beberapa kampus dinegosiasikan menjadi pengabdian korporat.

Sudah keropos sana-sini kok masih anti-kritik dan merasa maha benar. Mau tidak mau memang harus kita akui, nafas pendidikan kita makin pendek dengan banyaknya pendidik hipokrit macam ini. Kawan-kawan yang mengupayakan untuk memperpanjang nafas pendidikan kita dengan menciptakan ruang publik yang diskursif seperti LPM Poros, malah dipenggal oleh birokratnya sendiri, birokrat bermental orba yang menilai bahwa upaya kawan-kawan mahasiswa hari ini tak bermanfaat. Lembaga pendidikan ternyata sama bobroknya dengan lembaga negara lainnya. Upaya penegakkan Tridharma yang makin tak jelas arahnya malah dianggap “tidak membawa manfaat”.

Kalau sudah begini apa lagi yang bisa kami lakukan selain upaya agitasi dan propaganda untuk menuntut keadilan. Sementara dewan pers yang harusnya menjadi tempat kami berlindung masih sibuk dengan pertanyaan, apakah pers mahasiswa berhak menggunakan UU Pers? Oh kawan-kawan pers mahasiswa yang baik hatinya, sementara ini yang bisa kita lakukan hanya memperluas serta merawat pembaca dan jaringan.

Hingga ketika upaya represif tak berperikemanusiaan macam ini muncul, akan banyak orang yang berteriak: Lawan!!! Sejauh ini saya masih meyakini Sajak Suara karya Wiji Thukul yang maha syahdu ini:

suara-suara itu tak bisa dipenjarakan

di sana bersemayam kemerdekaan

apabila engkau memaksa diam

aku siapkan untukmu: pemberontakann

Kategori
Siaran Pers

Rentetan Pembungkaman Pers Kampus, Matinya Kebebasan, dan Wajah Fasis Dunia Pendidikan

Hari Kebebasan Pers Internasional, 03 Mei 2016

Hari kebebasan pers ditetapkan pada tahun 1993 di sidang umum PBB demi mempertahankan kebebasan dari serangan praktik impunitas kekuasaan, juga untuk mengenang dan memberi penghormatan kepada jurnalis yang wafat dalam upayanya memperjuangkan hak publik atas informasi. Sidang diinisiasi sebagai respon atas meninggalnya 1.054 jurnalis di berbagai belahan dunia dalam peliputan di Negara-negara yang bergejolak tanpa kepastian hukum yang jelas.

Meski telah disepakati tentang keharusan independensi dan perlindungan pers, praktik kekerasan terhadap jurnalis masih jadi persoalan pelik yang belum mampu diselesaikan oleh pihak yang seharusnya menindak pelaku kekerasan. Sebaliknya, praktik kekerasan justru seolah  terjadi di atas legitimasi pihak berwenang dalam bentuk pembiaran terhadap pelaku, bahkan pada beberapa kasus terkesan diendapkan berlarut-larut tanpa pengusutan. Committee to Protect Journalists (CPJ) mencatat sepanjang 2014 sejumlah 14 jurnalis yang meliput di berbagai belahan dunia terbunuh, sementara data AJI Indonesia menunjukkan kasus kekerasan yang terjadi setiap tahunnya tidak pernah kurang dari 30 kasus. Kekerasan terhadap jurnalis dilakukan oleh beragam kelompok, mulai dari polisi, tentara, pejabat publik seperti gubernur atau kepala dinas, anggota legislatif, maupun aparat penegak hukum lain seperti jaksa dan hakim.

Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) mencatat setidaknya ada 12 kasus pembungkaman terhadap pers mahasiswa, yang terjadi dalam rentang waktu 2014-2016 dengan variasi kasus dan identifikasi pelaku yang beragam. Mulai dari pelarangan diskusi, pembatasan pemberitaan, pelarangan untuk menerbitkan produk jurnalistik, pembredelan, hingga pembekuan kepengurusan. Dan varian pelaku pembungkaman yang dilakukan oleh pejabat kampus, keterlibatan pihak kepolisian, sampai  yang parah dilakukan oleh sesama lembaga kemahasiswaan. Oleh para pelaku pembungkaman, alasan yang seringkali dikemukakan tidak pernah jauh dari watak fasisme yang anti-kritik.

Praktik pembungkaman pers mahasiswa sendiri dapat dinilai sebagai bentuk penistaan terhadap demokrasi. Sebab praktik distribusi infomasi yang dilakukan oleh pers mahasiswa, meski tidak dilindungi secara lansung oleh lembaga pers yang berwenang. Pers Kampus diproteksi dengan terang lewat undang-undang, seperti pada pasal 28F UUD 1945 yang menjamin hak atas informasi, serta pemberlakuan UU No 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Kehadiran undang-undang ini membuka kesempatan seluas-luasya bagi masyarakat sipil untuk mengakses informasi.

Sementara kampus dalam statusnya sebagai insitusi pendidikan yang non-politik, dapat dinilai seharusnya dalam menjalankan praktik pembungkaman. Utamanya bila dilakukan oleh pejabat kampus yang seharusnya lebih terdidik dan lebih matang soal kedewasaan berpikir, apalagi praktik pembungkaman yang dilakukan seringkali di luar mekanisme yang telah ditetapkan. Kampus sejatinya, adalah ruang sadar yang seharusnya jauh dari pembatasan kebebasan yang tidak bertanggung jawab. Kampus adalah wadah paling pantas untuk membicarakan diskursus sosial, oleh seluruh sivitas akademik tanpa batasan dan rasa tidak aman selama dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Sehingga sebagai apresiasi atas perayaan kebebasan pers internasional, PPMI menyuarakan tiga tuntutan utama yang perlu diperjuangkan bersama ;

  1. Hentikan segala bentuk pembungkaman terhadap pers mahasiswa.
  2. Pulihkan hak individu dan lembaga yang menjadi korban pembungkaman.
  3. Berikan jaminan rasa aman terhadap seluruh awak pers mahasiswa dalam melakukan peliputan dan distribusi pemberitaan.
  4. Kemenritek harus tindak tegas birokrasi kampus yang mengekang kebebasan berekspresi berpedapat dan kebebasan pers di perguruan tinggiJurnalis harus perhatikan kode etik jurnalistik dalam melakukan kerja-kerja jurnalistik.

 

Narahubung:

Abdus Somad, Sekjen PPMI Nasional (+628126545705)

Kategori
Berita

Kronologi Pembredelan Pers Mahasiswa POROS Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta

Selasa (26/4) sekitar pukul 14.00 WIB, Lalu Bintang Wahyu Putra selaku Pimpinan Umum Poros dengan tidak sengaja bertemu Abdul Fadlil, Wakil Rektor III, di lobby kampus. Di pertemuan siang itu Bintang mendapat teguran terkait pemberitaan di buletin Poros yang menurutnya sudah keterlaluan. Sebagai orang yang membidangi urusan kemahasiswaan dan alumni, Fadlil mengatakan dirinya sudah tidak bisa lagi membela Poros saat rapat para pimpinan Universitas.

Buletin Poros edisi Magang yang kedua mengangkat isu tentang pendirian Fakultas Kedokteran. Dalam berita itu ditulis bahwasanya kampus saat ini masih belum maksimal dalam fasilitas namun tetap membuka Fakultas Kedokteran. Berkat berita ini Fadlil kemudian mengatakan dia kecewa dengan Poros dan menuduh Poros sudah keterlaluan dalam pemberitaan.

Merasa tidak paham dengan apa yang dikeluhkan, Bintang kemudian menawarkan Fadlil untuk bertemu guna membahas lebih rinci bagian mana yang menjadi keberatan dalam pemberitaan. Siang itu kami sepakat untuk bertemu lagi keesokan hari di ruangannya.

***

Rabu (27/4) sekitar pukul 12.30 Bintang bersama Pemimpin Redaksi Poros Fara Dewi Tawainella, datang menemui Fadlil di ruangannya. Masih dengan topik yang sama di hari sebelumnya, Fadlil mengungkapkan ketidakterimaannya dengan berita Fakultas Kedokteran tersebut. Dia mengatakan beberapa laporan antara wawancara dan yang ditulis kurang sesuai.

Awal pembicaraan Fadlil hanya mengatakan banyak komplain terkait Poros kepadanya. Namun ia tidak mengatakan spesifik yang dipermasalahkan. Dia mengatakan kenapa Poros selalu memberitakan kejelekan-kejelekan tentang kampus. Kenapa prestasi-prestasi mahasiswa tidak pernah diberitakan. “Masak bapak tu mendanai kegiatan yang seperti itu, yang tidak mengangkat UAD justru melemahkan, ini yang selalu saya dengar,” begitu kata Fadlil.

Fadlil juga mengatakan bahwa Poros tidak ada manfaatnya bagi Universitas. Jika memang tidak ada manfaat tidak apa-apa, asalkan jangan merugikan. Selain itu, pola pikir Poros dalam pemberitaan perlu diluruskan. Fadlil merasa kampus selama ini rugi telah mendanai kegiatan Poros karena tidak pernah memberitakan hal positif tentang kampus. Fadlil meminta kami untuk memberitakan hal-hal positif seperti prestasi mahasiswa agar bisa mendongkrak citra kampus.

Fara waktu itu menanggapi pernyataan Fadlil dengan bertanya bagian mana dalam berita yang menjadi keberatan kampus. “Bagian mana yang dipermasalahkan? Sisi kejurnalistikan atau yang mana pak?” tanya Fara. Ia melanjutkan jika memang ada data yang tidak sesuai atau reporter Poros salah dalam melakukan kerja jurnalistik tolong disampaikan. Namun Fadlil tidak menjawab dengan data atau fakta.

Dia tetap mengatakan bahwa tidak terima dengan berita Fakultas Kedokteran tersebut. Fara kemudian melanjutkan jika memang pihak kampus tidak terima dengan berita bisa menggunakan hak jawabnya. Fara bahkan menjelaskan prosedur jika publik keberatan dengan isi berita.

Fadlil menyatakan apa yang ditulis dalam berita adalah opini Poros, bukan tanggapan narasumber. Hal ini karena ada dosen yang menghubungi rektorat dan menyampaikan tidak mengatakan seperti yang tertulis dalam buletin Poros. Padahal Poros memiliki bukti rekaman dan transkip seperti apa yang tertulis dalam buletin.

Karena jawaban Fadlil dirasa melebar kemana-mana, Bintang menyarankan untuk memperjelas keluhannya. Apakah keluhan tersebut dari segi jurnalistik atau organisasi. Jika yang dikeluhkan adalah berita maka sebutkan poin mana saja yang menurutnya tidak sesuai.
Dalam pertemuan di ruangannya itu, Bintang dan Fara telah mengulangi pertanyaan yang sama sekitar enam kali. Namun tetap tidak menemukan jawaban yang jelas, yakni tidak terima dengan isu yang diangkat di berita. Fadlil tidak terima dengan berita Fakultas Kedokteran lantaran katanya kampus telah berusaha selama empat tahun untuk mendapat izin pendirian.

Fadlil mempertanyakan pola pikir Poros yang tidak mengangkat prestasi mahasiswa. Ia mengatakan tidak bermaksud membenci Poros. Namun karena ia adalah pembimbing di bidang kemahasiswaan.

“Jangan sampai anda pada jalan yang tidak betul,” ujar Fadlil.

Saat itu juga Fadlil mengatakan “Sudah ada intruksi kegiatan (Poros) diberhentikan.”
Bintang dan Fara mempertanyakan pertimbangan. Fadlil menjawab hanya keberatan atas apa yang diberitakan oleh Poros. “Hanya tadi itu, maka anda perlu berusaha meyakinkan pimpinan yang lain. Anda kirim surat permohonan maaf. Anda dianggap selama ini tidak memberikan manfaat,” tuturnya.

Di akhir pertemuan Fadlil mengatakan bahwa Poros telah dibekukan kegiatan organisasinya di kampus. Artinya Poros sudah tidak bisa melakukan kerja jurnalistik dan rangkaian kegiatan organisasi lainnya. Pembekuan hanya dengan pertimbangan ketidaksukaan terhadap isu yang diangkat dan Poros dianggap melemahkan kampus serta tidak bermanfaat. Dia juga menambahkan dirinya sama sekali tidak membenci Poros, namun apa yang dia sampaikan merupakan hasil rapat dengan jajaran Rektorat.

***

Kamis (28/4) sekitar pukul 10.00 WIB Bintang datang ke Biro Mahasiswa dan Alumni (BIMAWA), lembaga yang menaungi urusan pendanaan kegiatan organisasi mahasiswa. Kedatangan Bintang bertujuan menanyakan proposal kegiatan yang ia masukan ke BIMAWA tanggal 26 April. Hendro Setyono, kepala Kepala Bidang Kemahasiswaan dan Alumni, waktu itu mengatakan proposal kegiatan Poros tidak bisa diproses karena telah berstatus dibekukan oleh Rektorat. Bintang kemudian bertanya kenapa tidak bisa diproses sedangkan SK pembekuan belum keluar? Hendro menjawab ini intruksi lisan dari Rektorat. Di kesempatan ini Hendro juga menyampaikan hal senada dengan Fadlil bahwa Poros selalu menjelek-jelekkan kampus dan menuduh kami yang ada di Poros tidak suka dengan UAD.

***

Jumat (29/4) sekitar pukul 10.00 Bintang beserta Fara datang ke ruang Rektorat untuk menemui Safar, Wakil Rektor II. Kedatangan kami bertujuan untuk menanyakan kembali niat rektorat membekukan Poros. Namun waktu itu penerima tamu mengatakan Safar sedang ada rapat. Bintang memutuskan untuk menemuinya lagi sehabis shalat Jumat.
Sekitar pukul 12.00 WIB Bintang menunggu Safar keluar dari masjid kampus. Setelah keluar Bintang menghampirinya dan menanyakan alasan kampus membekukan Poros. Berbicara sambil berjalan, tidak terasa kami telah tiba di ruang rektorat. Waktu itu Fadlil juga sedang berada di ruangannya. Mengetahui hal itu Safar kemudian mengajak Bintang masuk ruangan Fadlil. Akhirnya kumpulah kami dalam satu ruangan.

Tidak jauh berbeda dengan Fadlil, Safar mengatakan apa yang kami lakukan (Baca: beritakan) adalah salah. Safar bahkan mempertanyakan pertanggungjawaban Poros di akhirat nantinya. Mereka menakutkan jika anggota Poros lulus dari kampus kemudian akan berada di jalan yang salah. Fadlil dengan suara menghardik dan hentakan tangan di meja berujar bahwa kami telah keterlaluan dan pemberitaan kami justru meruntuhkan kampus.
Berdasar pertimbangan ini, kampus tetap berupaya membekukan Pers Mahasiswa Poros. Safar mengatakan Poros sudah tidak bisa melakukan kegiatan apapun di kampus meski belum ada SK. Safar melanjutkan pembekuan ini instruksi rektor dan SK sedang dalam proses.

Narahubung:

Lalu Bintang Wahyu Putra (Pimpinan Umum +6285740216471)
Fara Dewi Tawainella (Pimpinan Redaksi +6285254968851)

Kategori
Diskusi

Kebebasan yang Bertanggung Jawab

Bagaimana kita bebas mengenakan kaos warna apa saja, dan bertulis kata-kata provokatif sekeras apapun? Jika ada kebebasan berekspresi yang rawan dan membuat orang takut untuk mengulanginya. Dituduh menghina atau mencemarkan nama baik, mereka bisa dipenjara bila orang lain tak terima atas ekspresi dan tindakan tertentu.

John Locke menguraikan bahwa kebebasan berekspresi ialah kebebasan untuk mencari, menyebarluaskan dan menerima informasi, kemudian memperbincangkannya. Dalam perbincangan tersebut memberikan pilihan apakah akan mendukung atau mengkritiknya? Hal tersebut Ia nilai sebagai sebuah proses untuk menghapus miss-konsepsi atas fakta dan nilai yang ada[i].

Kebebasan berekspresi dapat dituangkan melalui berbagai cara, seperti berserikat, berkumpul, dan menyuarakan pendapat melalui lisan maupun tulisan, dengan medium apapun. Sementara bagi John Stuart Mill dalam salah satu master piece bukunya, On Liberty (1859), Ia berpendapat bahwa kebebasan yang dilakukan, semata-mata untuk melindungi warga dari penguasa yang korup dan tiran. Kebebasan itu menjadi senjata untuk melawan penindasan yang telah dilakukan penguasa terhadap warganya. Hal itu didukung oleh pernyataan La Rue (2010) bahwa kebebasan tersebut bisa diekspresikan dengan cara-cara yang menurut mereka tepat[ii]. Masyarakat memiliki kreativitas tersendiri untuk “melawan” yang terkadang tak terpikirkan oleh kita tapi dilakukan oleh orang lain.

Anda tahu sendiri kan, bagaimana Kim Jong-Un dengan mudah mematikan menteri-menterinya? Mewajibkan potongan rambut laki-laki harus seperti potongan rambutnya karena menurutnya itu mencerminkan sikap bernegara bangsa Timur. Kim Jong-Un disebut-sebut sebagai pemimpin yang otoriter di abad ke-21 sebagai suksesi Hitler dan Mussolini di Eropa. Setelah itu, banyak muncul karya kreatif dalam bentuk meme yang menyindir Kim Jong-Un.

Pengekangan kebebasan berekspresi di Korea Utara mungkin bisa dimaklumi karena negara tersebut hanya memiliki satu partai dan dipimpin oleh seorang diktator. Namun tidak untuk Indonesia, sebuah negara yang demokratis idealnya akan memberikan ruang yang luas bagi kebebasan berekspresi warganya. Hal ini bisa terkait dengan Hak Asasi Manusia (HAM), keterbukaan informasi untuk publik, serta hak memilih dan dipilih. Kebebasan berekspresi menjadi semacam syarat wajib bagi sebuah negara yang menggunakan sistem demokrasi dalam asas pemerintahannya. “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” sebagai sila ke-5 Pancasila, yang berarti negara dan warganya mengakui hak-hak orang lain.

Kebebasan yang Bertanggung Jawab

Memang segala tindakan manusia, termasuk kebebasan berekspresi akan dipertanggungjawabkan nantinya, baik itu tindakan benar ataupun salah. Dalam konsepsi seorang muslim, pertanggungjawaban itu dilakukan di dunia dan di akhirat. Yang menarik adalah pertanggungjawaban yang dilakukan manusia selama di dunia, karena pertanggungjawaban yang dilakukan ini belum tentu sesuai dengan apa yang harus Ia pertanggungjawabkan di hari akhir nanti. Manusia bisa dinilai salah oleh hakim manusia, tetapi tidak bagi yang Maha Hakim.

Pertanggungjawaban itu akibat dari tindakan, misalnya kebebasan berekspresi yang telah dilakukan. Hal tersebut merupakan sesuatu yang wajib dipahami oleh setiap warga. Agar setiap warga negara yang melakukan aktivitas tidak dengan mudah melanggar peraturan-peraturan lain seperti Hak asasi yang dimiliki manusia. John F. Kennedy memeribahasakan, “hak setiap orang akan berkurang ketika hak orang lain terancam.”

Dalam peraturan hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia, kita memiliki Undang-undang Dasar 1945 pasal 28 J ayat 2 yang mengatakan “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam masyarakat demokratis.”

Maka dari itu, jadilah manusia yang bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukan.

Selama Itu Benar Jangan Takut

Rakyat merupakan “Raja” dalam sistem pemerintahan trias politica yang digagas John Locke. Ia menjadi elemen penting dalam sebuah negara demokrasi. Tidak boleh dikesampingkan, apalagi dihilangkan. Kemauan rakyat ialah sebuah mandat yang seharusnya menjadi dasar pengambilan keputusan oleh legislatif dan eksekutif, karena rakyat yang memilih mereka melalui demokrasi langsung atau tidak langsung. Seperti Joko Widodo yang membatalkan keputusan Menteri Perhubungan, Ignasius Jonan yang melarang Go-Jek untuk beroperasi. Seharusnya pemimpin memang mengutamakan kepentingan rakyat dalam mengambil keputusan.

Begitu pula rakyat harus didengar pendapatnya, aspirasinya yang disuarakan lewat tulisan maupun medium lain. Bukan malah rakyat dipenjarakan serta ditakut-takuti dengan Undang-Undang yang bisa menjerat pidana, seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Pasal 27 ayat 3 tentang penghinaan dan pencemaran nama baik.

Sudah banyak orang yang dilaporkan atau dihukum menggunakan UU ITE terkait pasal tersebut. Setidaknya, setiap bulan UU ITE memakan 4 orang korban, di antaranya adalah Prita Mulyasari dengan hukuman 6 bulan penjara dan masa percobaan 1 tahun, Ketua Komisi Yudisial (KY) Suparman Marzuki dan komisionernya, Taufiqurrohman Syahuri yang dilaporkan Hakim Sarpin Rizaldi ke Badan Reserse Kriminal Polri atas tuduhan pencemaran nama baik. Padahal dalam hal ini Taufiqurrohman Syahuri menganggap putusan Hakim Sarpin Rizaldi terkait gugatan praperadilan Komjen Budi Gunawan, menabrak hukum acara adalah tindakan sebagai Komisioner KY, yang memang bertugas demikian.

Banyak aktivis kebebasan berekspresi telah mendiskusikan pasal tersebut. Mereka menganggap ini adalah sebuah pasal “karet” yang dibuat oleh legislatif kita. “UU ITE ini juga tidak mempunyai kejelasan tujuan yang hendak dicapai sebagaimana yang disyaratkan dalam UU No 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. UU ini (baca: UU ITE) telah jauh melenceng dari misi awalnya yang hendak melindungi perdagangan dan transaksi elektronik,[iii] merupakan penggalan isi sebuah presentasi yang disajikan Denny Septiviant dari Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PHBI) Wilayah Jawa Tengah. Selain itu, UU ITE juga tidak menjelaskan secara spesifik seperti apa pencemaran nama baik seperti Pasal 310 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Padahal mengenai pencemaran nama baik telah diatur dalam KUHP Bab XVI tentang Penghinaan yang termuat dalam Pasal 310 s.d 321. Dalam kitab tersebut, hukuman pidana penjara paling lama untuk seseorang yang terbukti mencemarkan nama baik hanya selama 4 tahun, ini lebih ringan jika banding dengan UU ITE yang bisa menjerat pelaku selama 12 tahun penjara.

Sementara dalam perkembangan hukum internasional, sedikitnya 50 negara sudah mengalihkan masalah kabar bohong, penghinaan, pencemaran dari hukum pidana menjadi hukum perdata. Ini merupakan langkah terlambat negara kita dalam bidang hukum. Harusnya legislatif secara cepat merespons kebutuhan hukum yang ada di Indonesia.

Dengan aturan-aturan hukum yang telah disampaikan di atas, harusnya membuat kita semakin waspada bila ingin membagikan ide melalui media elektronik, karena bisa saja masyarakat yang berani menentang pihak yang lebih berkuasa dapat dikenakan tuduhan pencemaran nama baik berdasarkan UU di atas[iv], karena “disalahtafsirkan” menjadi sebuah perbuatan yang melanggar hukum.

Meski demikian kita tetap tak boleh takut untuk menyuarakan kebenaran. Selagi dengan bukti-bukti yang kuat, negara kita melindungi kebebasan untuk menyatakan pendapat. Negara kita telah meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) menjadi Hukum Nasional melalui UU No.12 Tahun 2012 tentang Hak-hak Sipil dan Politik dan aturan lain berupa UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.[v] Kondisi seperti ini sekaligus memberikan tantangan kepada para pakar hukum, akademisi, organisasi non-profit, serta mahasiswa untuk berani lebih giat mewujudkan masyarakat yang melek/sadar hukum. Bagaimana mereka tidak hanya mengenal teori fictie hukum, tetapi lebih membumikan hukum agar kaum menengah ke bawah dengan pendidikan yang seadanya menjadi terpahamkan lewat sosialisasi. Fiksi hukum adalah asas yang menganggap setiap orang tahu hukum/undang-undang (een ieder wordt geacht de wet/het recht te kennen).[vi]

Kata-kata terakhir untuk tulisan ini: “Negara bisa saja menjadi jahat bila tidak kita awasi. Meskipun tidak menjadi pahlawan super, setidaknya menyatakan bahwa hak adalah sesuatu yang hak juga akan dimintai pertanggungjawaban.”

 

Catatan kaki:

[i] Kebebasan Berekspresi: Apa arti pentingnya, Wahyudi Djafar, Peneliti ELSAM, hlm. 3.

[ii] Ibid, hlm 5.

[iii] Kebebasan Berekpresi perspektif hukum dan hak asasi manusia, Denny Septiviant, hlm 24.

[iv] Denny Septiviant, Op.cit., hlm 17.

[v] Denny Septiviant, Op.cit., hlm 11.

[vi] J. C. T. Simorangkir, Hukum dan Konstitusi Indonesia, hlm 64.

Kategori
Diskusi

Keburaman dan Kejelasan Jurnalisme

Jurnalisme kini nyaris mengalami “senjakala” seiring “senjakala media cetak”. Isme (paham) yang satu ini, pada masanya bernilai luhur. Yakni, saat kebutuhan manusia akan informasi dipenuhi dengan kedisiplinan empiris dari jurnalis. Namun kita harus jujur mengenai sejarah jurnalisme sampai bisa menjadi bagian dari kepercayaan umat manusia. Kisahnya tidak begitu heroik dan dramatis seperti anggapan pada kata mutiara ini: “Siapa yang menguasai informasi, maka dia menguasai dunia”.

Dahulu kala, setelah acta diurna menjadi rujukan orang-orang romawi yang ingin mengetahui pengumuman penting dari kerajaan, candu akan informasi pun terus meningkat seiring dengan temuan baru untuk menyesuaikan dengan perubahan zaman. Informasi tak bisa lepas dari teknologi. Manusia akan selalu menemukan cara untuk meraih apa yang mereka inginkan. Tak terkecuali jurnalisme.

Evolusi komunikasi terjadi dengan skala besar, namun kurang disadari. Dari temuan lukisan pada dinding gua, kemudian bahasa lisan, juga tulisan. Manusia kemudian terus berkomunikasi dengan lisan dan tulisan menggunakan media ala kadarnya, sampai muncul mesin cetak pada abad ke-15 yang ditemukan oleh Johannes Gutenberg.

Dari sinilah evolusi komunikasi yang ‘tak wajar’ berkembang pesat. Seketika orang-orang terserang wabah baru: aktivitas baca-tulis massal. Buku-buku mulai disalin dan dicetak dalam jumlah banyak. Orang-orang mulai terbiasa dengan aktivitas komunikasi secara massal. Pada abad ke-17 dan ke-18 jurnalisme atau berita pun lahir dengan wujud selebaran, membawa kepentingan oposisi politik. Toh, sejak lahirpun berita sudah ternodai dengan kepentingan sekelompok orang.

Mungkin wajar saja, berita pada masa kelahirannya masih butuh perawatan. Beberapa waktu setelahnya, seiring kian banyaknya berita, lembaran-lembaran berita menjadi berlipat ganda, dan konsumen semakin banyak. Dengan kondisi seperti itu, berita menjadi laku di pasaran, maka independensi jurnalisme mulai terbentuk, jurnalisme tumbuh dewasa dengan independen.

Demokratisasi, Reorganisasi, dan Ketegangan

Ketika jurnalisme mulai independen, para pekerjanya (jurnalis) mulai terbentuk secara professional. Namun kerentanan masih terus menghantui. Evolusi terus saja terjadi, terutama pada 3 aspek: demokratisasi, reorganisasi, dan ketegangan. Wajar saja, informasi sudah menjadi konsumsi publik, dari para elite sampai ke kaum akar rumput.

Informasi yang mewabah ini tentu menggelitik semua orang untuk berbuat sesuatu, informasi menjadi landasan seseorang maupun kelompok untuk berbuat sesuatu. Efek domino informasi yang tersebar berkat jurnalisme, terus membentuk komunitas baru yang percaya pada satu hal dan berbuat berdasarkan hal itu.

Bahwa dari pemberitaan pers perjuangan pada tahun 1945 sampai 1950-an masyarakat Indonesia mempunyai wacana tentang liberalisme, parlementarisme, demokrasi, dan lain sebagainya. Inilah yang disebut sebagai demokratisasi.

Teknologi yang juga membantu penyebaran informasi melalui jurnalisme menimbulkan perubahan bentuk dan sistemnya. Jika pada masa sebelum munculnya mesin cetak, Bible (Alkitab) hanya bisa dinikmati melalui para rohaniawan, setelahnya orang-orang bisa membelinya sendiri di toko-toko buku. Koran dengan bentuk tulisan dan batasan kertas membuat orang harus meluangkan waktu untuk menghabiskannya. Setelah muncul radio, televisi, dan internet orang-orang bisa memilih mana yang dibutuhkannya. Inilah yang dinamakan reorganisasi.

Bukan hanya itu, dengan adanya radio, raja-raja tidak membutuhkan jurnalis untuk berbicara dengan rakyatnya. Koran, televisi, dan internet memberikan akses kepada berbagai kalangan, bukan hanya sebagai konsumen tapi prosumen (produsen-konsumen). Iklan nyaris tak lagi butuh untuk “numpang” di koran sebagaimana di masa awal kemunculan koran. Para pemilik kepentingan: pemerintah, perusahaan, dan kelompok-kelompok tertentu menggunakan teknologi komunikasi untuk mendominasi informasi. Jurnalis sudah bukan menjadi domain utama pada era banjir informasi ini.

Setelah demokratisasi dan reorganisasi, orang-orang lalu bertanya, informasi mana yang harus dipercayai. Fakta dan keyakinan menjadi kabur. Seperti saat filsuf klasik yang memperdebatkan antara kebenaran relatif dan kebenaran mutlak. Informasi yang mulai menumpuk membuat suatu ketegangan, yang mempertanyakan kebenaran. Jurnalisme seperti terjebak, dan mulai memasuki area berbahaya, banyak jurnalis yang menjadi partisan kelompok politik tertentu. Walau kadangkala tidak seekstrem itu, jurnalis pada praktiknya mengabaikan cara-cara tradisional dalam mencari, mengolah, dan menyajikan berita. Independensi jurnalisme mulai goyah. Hidup segan mati tak mau.

Keburaman dan Kejelasan

Jurnalisme hanya menjadi kedok agar kegiatan mencari, mengolah, dan menyebarkan berita ini masih menjadi pekerjaan profesional. Namun inti dari jurnalisme belum dan tidak akan pernah hilang, yakni kebutuhan akan informasi yang benar. Benar dalam artian yang sebenarnya. Kebenaran yang sebenarnya tidak akan didapatkan saat independensi hilang.

Independensi pun menjadi korban ketegangan di kalangan wartawan. Banyak yang mengartikan bahwa iklan atau advertorial serta halaman kontrak pada koran adalah satu-satunya cara untuk independen. Akibatnya mereka tidak bisa membedakan mana berita dan mana iklan. Independensi jurnalisme sebenarnya bukan pada bentuk yang tidak substansial itu, berita adalah berita dan iklan adalah iklan. Orang bisa saja menaruh iklan di koran, tapi koran punya cara sendiri untuk menyajikan berita. Sekalipun berita tentang perusahaan yang menaruh iklan di korannya.

Kalau begitu untuk apa ada jurnalisme? Kita harus fair, mengatakan identitas kita. Independensi jurnalisme bukan diperuntukkan sebagai penyedia jasa tukang ketik. Jika jurnalisme kurang menjanjikan untuk memenuhi uang saku Anda, maka jangan pakai kata jurnalisme sebagai pekerjaan Anda.

Sumber pembiayaan dalam jurnalisme bukanlah hal penting yang harus dibela sampai mati. Jurnalisme itu adalah kebenaran, kebenaran tidak selalu ada pada wartawan dan lembaga pers, kebenaran itu ada pada berita yang benar. Seharusnya wartawan menyadari ini, sekalipun teknologi komunikasi berubah, tidak peduli seberapa cepatnya, dia harus bisa menerima kebenaran, karena kebenaran tidak membutuhkan wartawan dan teknologi. Sekali saja dia sengaja membohongi masyarakat, maka dia sendiri yang akan rugi, tidak akan ada lagi yang mempercayainya.

Wujud dari keburaman informasi ini, bisa kita lihat sekarang, media mainstream yang mempunyai jangkauan luas, pendapatan yang lebih dari cukup, tapi memilih melanggar etika jurnalistik, membuat masyarakat semakin ragu. Banyaknya konsumen yang dihitung melalui rating, tidak menjamin kepercayaan publik. Publik hanya tidak punya pilihan untuk mengakses informasi. Kebenaran akan jelas terlihat di antara kebohongan yang banyak, seperti secuil jarum mengkilap di atas tumpukan jerami.

Revolusi Harus Terjadi

Menyadari hal ini, media-media alternatif bermunculan untuk memikat hati masyarakat. Mereka mempraktikkan independensi jurnalisme dan kebenaran hati nurani. Layaknya Watchdoc yang merupakan rumah produksi audio-visual, mereka memproduksi dokumenter dan feature televisi serta video komersial. Sponsor mereka tidak menjadi satu hal penting yang mempengaruhi kualitas produk jurnalistik mereka. Demikian halnya, pers mahasiswa, walaupun ‘di bawah’ otoritas kampus lantas tak membuat independensi jurnalismenya hilang. Lagi-lagi yang dimaksud dengan independensi jurnalisme itu bukan pada sumber biayanya, tapi ada pada produknya.

Berangkat dari independensi dan kebenaran jurnalisme ini, maka sebaiknya definisi pers (lembaga jurnalisme) di negara kita harus diperbaiki lagi. Dalam UU Pers nomor 40 tahun 1999, pasal 9 dan pasal 10 menyatakan bahwa perusahaan pers harus berbadan hukum dan berbentuk perusahaan. Harus berbadan hukum, berkolerasi dengan ‘kesejahteraan’ wartawan. Dua hal yang bentuknya tidak substansial jika memandang keluhuran jurnalisme. Hal ini akan membuat ketegangan baru. Media mainstream menjadi lupa, bahwa tugas mereka mutlak ada pada kebenaran, dan menomorsatukan ‘kesejahteraan’ pekerjanya. Sedang media alternatif, seperti pers mahasiswa yang berusaha menyajikan produk jurnalisme secara benar, justru merasa dihantui dengan pembredelan dan hukum pidana.

Revolusi harus terjadi di dunia jurnalisme. Jangan takut, karena pada sejarah tadi, manusia menghadapi perubahan besar-besaran dalam rentang waktu yang relatif singkat. Kita harus bisa menerima kebenaran. Kebenaran dan independensi jurnalisme itu harga mati, konsep ini di luar teks hukum-hukum yang ada. Melampaui otoritas media manapun.

Kategori
Agenda

Diskusi Publik Senjakala Media Cetak

 

Dewasa ini, media cetak seperti sedang berjalan tertatih. Dampaknya, menerpa pada semua komponen yang bekerja di media berbasis cetak. Pertanyaanya adalah, apakah surat kabar dan media cetak lain sudah tiba pada akhir peradabannya?

Banyak faktor yang mendasari ramalan tamatnya media cetak, salah satunya adalah derasnya arus perkembangan teknologi di era yang serba konvergensi. Inilah yang pada akhirnya berdampak pada bisnis media, pengiklan pun mulai melirik media platform lain untuk jadi sasaran investasinya.

Hasilnya banyak nama-nama besar media cetak yang tutup usia. Seperti Majalah Fortune, Chip and Jeep yang merupakan anak usaha dari raksasa Kompas Gramedia. Juga beberapa nama surat kabar harian dan majalah mingguan lain tak terhintung jumlahnya kini telah gulung tikar dalam rentan waktu 2010 hingga 2016.

Acta Surya adalah Lembaga Pers Mahasiswa yang turut berkontribusi dalam pemberitaan dan penerbitannya masih menggunakan media konvensional; cetak. Dan dengan kekhawatiran ini, Acta Surya akan menghelat Diskusi Publik yang bertemakan ‘Senjakala Media Cetak’

Mari bersama berdiskusi, mengkritisi, dan mencari solusi.
Waktu : Selasa, 26 April 2016
Pukul : 14.00 – Selesai.
Tempat : Auditorium Stikosa-AWS
Pembicara :
• Zaenal Arifin Emka (Dosen Jurnalistik Stikosa-AWS)
• Budi Sugiharto (Kepala Biro Detik.com Surabaya)
• Perwakilan AJI (Aliansi Jurnalis Independen Surabaya)
• Wijayanto Wijaya (Pemimpin Redaksi Radar Surabaya)

Terbatas hanya untuk 100 audiens – Gratis

Kategori
Diskusi

Pers Mahasiswa dan Segala Kengeriannya

Membaca tulisan dari seorang teman tentang gaya penyajian berita di media Tegalboto cukup membuat tidur saya kurang nyenyak. Kegiatan kami selama ini, menyusun media kepada pembaca dengan proses yang cukup panjang, mulai dipertanyakan. Proses editing semalaman, dengan sebotol kopi pahit dan beberapa linting rokok agar teman-teman saya bertahan tanpa tumbang demi menjamin tulisan yang layak diterima oleh pembaca, dipertaruhkan. Bahkan butuh berhari-hari, tulisan itu disunting dan diperbaiki lagi. Lalu seseorang mengatakan jika berita yang kami buat disajikan dengan ‘banyak gaya’.

Saya mulai bertanya-tanya. Gaya apa yang dimaksudkan dalam tulisan tersebut? Saya sebagai orang awam yang masih butuh banyak belajar mulai kembali membuka-buka materi yang pernah saya pelajari waktu masih menjadi anggota magang kala itu.

Setiap berita memang memerlukan gaya yang berbeda dalam penyajiannya. Sebut saja Straight News dan Features, atau mungkin penulisan opini dengan berita di media buletin yang kami terbitkan secara rutin. Mereka memerlukan gaya penulisan yang berbeda, dengan tetap mempertahankan kelengkapan isinya. Bukan berarti karena berbentuk Features, maka diksi yang digunakan mendayu-dayu, atau mungkin karena Straight News kami bisa memasukkan data-data seenaknya tanpa mempertimbangkan keluwesan kata-kata yang digunakan. Sekali lagi saya masih bingung ‘banyak gaya’ yang dimaksudkan itu gaya yang seperti apa?

Setiap media yang kami susun memiliki karakteristiknya masing-masing. Dari majalah, Newsletter, yang akan diluncurkan Sabtu ini, hingga buletin yang diterbitkan memiliki ciri sendiri yang membuatnya berbeda satu sama lain. Tidak perlu kami berkoar-koar tentang gaya yang kami gunakan di setiap tulisan yang ada di media tersebut. Kami sudah berusaha memastikannya agar sampai di tangan pembaca dengan istimewa.

Jika hasilnya masih belum memuaskan mereka, maafkan kami yang tidak berpedoman pada permintaan pasar. Media kami bukan barang dagangan yang bisa dijadikan komoditas demi menguasai dan memenuhi permintaan pasar. Kami masih mempertahankan disiplin verifikasi, seni mempertanyakan kebenaran dengan proses berkelanjutan. Kami mencoba memahami hal yang disampaikan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku Sembilan Elemen Jurnalisme bahwa kebenaran adalah prinsip pertama, sekaligus sesuatu yang paling membingungkan. Tidak bisa sekali wawancara pada satu narasumber lalu menuliskannya begitu saja sebagai kebenaran.

Tidak perlu jauh-jauh berbicara tentang mau dibawa ke mana, genre apa yang paling ideal bagi pers mahasiswa, dan apa-apa yang diperjuangkan oleh mereka. Kita saja masih sering lupa memastikan apakah penulisan ejaan yang digunakan sudah sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Tentang penulisan kata ‘verifikasi’, misalnya yang kadang tertukar antara huruf ‘f’ dengan ‘v’. Sebagai salah satu anggota amatir yang setiap editing harus jeli mengoreksi tulisan kawan-kawan saya dari tanda titik, koma, hingga huruf-hurufnya, mata saya cukup merasa tersiksa dengan kejanggalan itu. Tapi saya masih memakluminya, penulis juga manusia. Atau mungkin si penulis sengaja menuliskannya untuk menciptakan suatu gaya yang berbeda, saya juga tak begitu paham maksudnya.

Berbicara tentang genre jurnalisme mahasiswa yang dianggap paling “ngeri”, sarapan saya pagi ini mulai terhenti sejenak. Jika dibandingkan dengan sejarahnya, gerak pers mahasiswa yang mulai mengabur memang sudah tidak bisa disamakan lagi. Namun juga tak bisa dipukul rata jika posisinya tak jauh beda dengan pers umum lainnya. Pers mahasiswa bukan karyawan yang bekerja demi gaji, sekalipun memiliki jam terbang yang berbeda dengan wartawan umum kebanyakan, mereka masih bisa teriak merdeka dari intervensi. Tiada pemilik modal yang bisa mengusik independensi. Mereka, termasuk kami, menulis untuk masyarakat, dengan sesekali nyambi nugas perkuliahan di sela kegiatan liputan. Maafkan jika kami masih berani berteriak sekeras ini.

Belajar bekerja di bawah tekanan dengan aneka media yang dihasilkan menjadikan setiap pers mahasiswa menemukan gayanya. Layaknya pers umum kebanyakan, pers mahasiswa juga bebas menentukan gayanya dengan pedoman pada kode etik jurnalistik. Bukan berarti mereka bekerja tak dibayar lalu tidak bertindak secara profesional. Hanya saja terkadang langkahnya masih sering tersandung batu di tengah jalan.

Tiap media punya gaya yang berbeda dan di situlah keunikannya. Ukuran ideal ataupun tidaknya suatu media bukan hanya dari gaya penulisannya, tapi juga bagaimana suatu media mampu menyajikan tulisan yang menyehatkan pembaca.

Kita hidup di negara yang bernafaskan keanekaragaman di dalamnya. Mengapa memaksa harus mengidentikkan sesuatu yang jelas-jelas memiliki irama yang berbeda? Jika ukuran berat badan ideal yang dimiliki seseorang harus berpatok dengan hasil dari selisih antara tinggi dan berat badannya, bukankah media, khususnya yang ada di pers mahasiswa, harusnya juga memiliki indikator?

Jurnalisme ideal atau yang sering disebut sebagai jurnalisme profesional yang lebih cenderung beraliran positivistik mempersyaratkan adanya obyektivitas dalam penulisan berita. Istilah obyektif dalam buku Sembilan Elemen Jurnalisme juga sering disalahpahami. Bukan wartawannya tapi lebih pada metodenya yang harus obyektif dalam menggali data.

Kenyataannya, setiap media punya cara membingkai berita untuk disajikan kepada pembaca dengan cara yang berbeda. Namun demikian, kita masih punya pedoman dan kode etik sama yang harus dipegang teguh, apapun bentuk media yang dihasilkan oleh pers mahasiswa.

Jika sudah tahu bahwa esensi jurnalisme adalah pada disiplin verifikasi, mengapa masih mempertanyakan gaya, identitas, ataupun arah pergerakannya? Semuanya penting namun jangan sampai kita melupakan hal-hal yang lebih mendasar. Benahi rasa, tingkat kebersihan, dan kesehatan masakanmu dulu, baru belajar bagaimana cara penyajiannya agar enak dipandang mata. Rasa sakit akibat keracunan memerlukan penyembuhan lebih lama daripada rasa sepat di mata saat melihat penampilan luarnya. Sesekali kita perlu belajar banyak membaca KBBI, sebelum memandang tulisan suatu media disajikan dengan ‘banyak gaya’.

Terimakasih atas perhatiannya. Biarkan saya melanjutkan sarapan dan tidur saya yang sempat terganggu sebelumnya.