DPM dan Aparatur Kampus Tidak Bisa Intervensi LPM Aksara

12
887

Lembaga Pers Mahasiswa kembali dipersoalkan oleh Dewan Perwakilan Kampus (DPM). Kali ini giliran LPM Aksara Fakultas Ilmu Keislaman (FIK) Universitas Trunojoyo Madura (UTM) diancam akan dibredel oleh DPM. Awalnya, pada tanggal 11 September 2015, LPM Aksara dipanggil oleh ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM), Sayyidi bersama dengan Badan Kelengkapan FIK.

Dalam pertemuan tersebut, Ketua DPM minta penjelasan pada LPM Aksara terkait tulisan yang terbit di lpm-aksara.blogspot.com. Ketua DPM juga mengklarifikasi soal caption foto yang terdapat di halaman facebook LPM Aksara tentang IFO (Islamic Orientation Faculty) atau OSPEK FIK. Ketua DPM mengungkapkan bahwa caption yang ditulis oleh kru LPM Aksara dalam laman facebook-nya tidak memenuhi kaidah jurnalistik yaitu 5 W + 1 H.

Hasil dari pertemuan pertama tersebut, ketua DPM menuntut LPM Aksara agar tidak mengadakan kegiatan peliputan di luar FIK, sebab menurut ketua DPM, LPM Aksara berada di bawah naungan FIK. Kemudian LPM Aksara dilarang memberitakan keburukan FIK. Sebab keburukan itu adalah aib yang harus ditutupi.

Sekjend Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI), Abdus Somad, menganggap tuntutan itu membatasi LPM Aksara dalam melakukan kerja-kerja jurnalistik. “Langkah yang dilakukan DPM jelas merupakan kemunduran dalam memahami jurnalisme. Pers mahasiswa tak mungkin diam jika ada kebijakan kampus yang memang tidak beres, ia beraktifitas Mengemas realitas itulah yang jadi tugas utama pers mahasiswa.”

Pada tanggal 30 September 2015, DPM menanyakan kepada kru LPM Aksara soal siapa yang membiayai kegiatan LPM Aksara. LPM Aksara menjelaskan bahwa mereka hanya mengakses dana 1% pasca turunnya SK, yaitu untuk biaya delegasi Kongres Luar Biasa (KLB) Perhimpunan Pers Mahasiswa (PPMI) di Malang. Selanjutnya, pertemuan antara LPM Aksara dan DPM untuk memperbincangkan masalah pendanaan itu. Hasilnya nihil. DPM tetap meminta LPM Aksara untuk berhenti untuk melakukan peliputan di luar FIK serta tidak boleh meliput keburukan apapun di FIK. Jika tidak mematuhi tuntutan tersebut, DPM mengancam akan membekukan LPM Aksara.

Selain itu DPM juga meminta LPM Aksara agar menyertakan gelar ‘bapak’ kepada laki-laki dan ‘ibu’ pada perempuan untuk penulisan narasumber berita yang berasal dari kalangan dosen. Tanpa penggunaan gelar ‘bapak’ dan ‘ibu’, DPM menuding LPM Aksara tidak sopan dan melakukan pencemaran nama baik. Tak hanya itu, DPM bahkan minta LPM Aksara agar membuat kode etik yang sesuai dengan tata tertib yang berlaku di lingkungan FIK UTM.

Menanggapi hal itu, Abdus Somad mengatakan bahwa ini adalah intervensi yang dilakukan DPM tanpa ada alasan yang logis. “ Tak ada ketentuan yang mengatur itu di dalam kode etik yang dibuat oleh Dewan Pers maupun Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI). Selama ini hampir semua awak pers mahasiswa di Indonesia merujuk pada kode etik yang dibuat oleh PPMI, dan tak ada yang mempersoalkannya atas alasan pencemaran nama baik, mungkin DPM perlu melihat dan belajar lagi akan penyelesaian masalah secara jurnalistik”

Bukan hanya itu, kinerja pers mahasiswa Aksara pun dibatasi, pertama, atas Rekomendasi dari ketua DPM, setiap pemberitaan LPM Aksara harus sepengetahuan DPM, BEM, dan Dekanium (jajaran Dekanat). Kedua, DPM akan membuat undang-undang, kalau meliput berita yang memuat keburukan FIK, maka LPM Aksara akan dibekukan. Ketiga, LPM Aksara tidak boleh meliput selain FIK, dan setiap aktivitas peliputan harus dikoreksi oleh pihak terkait (Dekanium, DPM, BEM), ditakutkan ada unsur yang mencemarkan citra FIK.

“Langkah DPM bisa dibilang sangat otoriter. Padahal kapasitasnya sebagai organisasi mahasiswa juga jelas, harusnya ia mengayomi LPM Aksara, bukan mengintimidasi. Namun dalam hal ini, DPM justru berpihak pada aparatur kampus FIK UTM. Mereka lebih pro pada kebijakan dan keinginan birokrasi,” kata Somad. “Dalam aturan embargo informasi oleh narasumber pun tak bisa seperti itu cara mainnya. DPM, BEM dan Dekanium pun tak bisa masuk dalam ruang redaksi seenak mereka sendiri.”

Tuntutan yang diberikan oleh birokrasi kampus tersebut yang diwakili oleh DPM, jika LPM Aksara tidak menjalankan akan dibekukan. LPM Aksara meminta untuk audiensi kepada birokrasi kampus, namun tidak disetujui. LPM Aksara dituntut untuk menjalankan misi dakwah FIK.

PPMI menuntut agar Birokrasi Kampus melakukan hak jawab atas pemberitaan yang diterbitkan oleh LPM Aksara, bila itu memberatkan bagi kampus FIK. “Karena dalam menyelesaikan sengketa pers ada aturan yang berlaku, tidak dengan cara-cara otoritarian dan atas nama kekuasaan.”

Birokrasi FIK UTM juga harus memberikan kebebasan berekspresi, berpendapat dan kebebasan pers LPM Aksara dalam menjalankan tugasnya sebagai insan pers. Karena pers mahasiswa bekerja untuk masyarakat, bukan pada pemilik modal dan kekuasaan birokrasi. “Kami meminta kepada pihak kampus, DPM dan BEM untuk dapat menjamin kebebasan pers LPM Aksara di UTM khususnya di FIK,” jelas Somad.

DPM dan semua sivitas akademik di UTM harus memahami jalur penyelesaian sengketa pers sesuai ketentuan yang diatur Dewan Pers dan UU Pers. Bukan menyelesaikan dengan ancaman dan intimidasi tanpa alasan rasional. “Intimidasi dan ancaman itu sangat tidak mencerminkan sikap intelektualitas mahasiswa.”[]

 

Narahubung:

Abdus Somad | Sekjend PPMI Nasional (081226545705)

Nur Solihin | BP Litbang PPMI Nasional (085641042061)

Rasyiqi | Pemimpin Umum LPM Aksara (082301345274)