Perlukah Pers Mahasiswa Berharap Pada Dewan Pers?

“Pers Mahasiswa sebetulnya punya sejarah panjang yang penting dalam menumbuhkan demokrasi di negeri ini,” kata Stanley.

0
1073
Foto diambil dari cuplikan video Dewan Pers.

“Karena melalui pers yang merdeka itu, setiap orang dapat menggunakan pers sebagai wadah untuk menyampaikan harapan-harapannya, keluhannya, protesnya, sehingga dapat diketahui oleh publik.”

Bagir Manan, Ketua Dewan Pers periode 2013-2016

Yosep Adi Prasetyo terpilih menjadi Ketua Dewan Pers Periode 2016-2019. Masyarakat, terutama jurnalis, berharap Dewan Pers terus menjaga ruang kemerdekaan pers di Indonesia. Harapan pada sosok yang akrab disapa Stanley ini tentu juga merupakan harapan aktivis pers mahasiswa.

Sekretaris Jenderal Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI), Abdus Somad pun berharap lembaga pers mahasiswa di seluruh perguruan tinggi di Indonesia, ikut merasakan angin segar. Ia berharap, di tangan Ketua Dewan Pers yang baru tersebut Pers Mahasiswa mendapatkan perhatian, terutama saat ditekan oknum di luar redaksi.

Ada satu alasan kuat yang membuat Somad menaruh harapan itu di pundak Stanley. Yaitu, maraknya kasus yang menimpa Pers Mahasiswa, yang selama ini belum mendapatkan perhatian khusus dari Dewan Pers. Di samping itu, Somad menilai Dewan Pers belum mampu melakukan upaya kongkrit dalam menyelesaikan sengketa pers yang dihadapi Pers Mahasiswa.

Terhitung mulai tahun 2014 hingga 2015, PPMI Nasional mencatat tujuh kasus yang menimpa Pers Mahasiswa. Kasus tersebut berupa intimidasi, diskiriminasi, pelecehan, sensor, pelarangan diskusi film, sampai pada pembredelan majalah serta pembekuan pers mahasiswa secara kelembagaan.

Di titik ini, Somad nampaknya merasa bingung untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut. Satu-satunya alat penyelesaian sengketa pers, yakni Undang-Undang Pers nomor 40 tahun 1999, dinilai tak mengakui keberadaan Persma. Sehingga wajar jika Pers Mahasiswa digugat di wilayah pemberitaan, baik di internal kampus maupun di luar kampus, tidak bisa diselesaikan menggunakan perundangan tersebut.

Berangkat dari kegelisahan Somad—akankah Pers Mahasiswa dapat perhatian serius dari pimpinan baru Dewan Pers? Saya turut mengajukan sebuah pertanyaan serupa: Maukah Dewan Pers mencurahkan perhatiannya kepada Persma? Pertanyaan ini saya kira perlu, mengingat Pers Mahasiswa bukanlah jurnalis profesional yang berada dalam payung perusahaan, meski kerja jurnalistiknya pun sudah selayaknya jurnalis profesional.

Ada secercah kebahagian saat membaca tulisannya Somad yang mengutip hasil wawancara dengan Stanley. Setidaknya, saya membaca gelagat bahwa Dewan Pers akan memberikan perhatian kepada Pers Mahasiswa. Karena bagi Stanley, Pers Mahasiswa ikut merawat Indonesia. “Pers Mahasiswa sebetulnya punya sejarah panjang yang penting dalam menumbuhkan demokrasi di negeri ini,” kata Stanley.

Pernyataan Stanley itu tidak lantas membuat saya berhenti bertanya. Apa jaminannya agar saya merasa bahwa Dewan Pers benar-benar memberi perhatian kepada Pers Mahasiswa? Jika pada akhirnya berstatus sebagai bukan bagian dari pers, sehingga awak Pers Mahasiswa tak ada bedanya sebagai pelapor kejadian. Bukan sebagai jurnalis.

Saya berharap kedudukan Pers Mahasiswa dan jurnalis profesional di mata Stanley sama, sebagai elemen pers di Indonesia. Sangat diperlukan bentuk kongkrit perhatian Stanley selaku Ketua Dewan Pers yang baru kepada Persma. Sebagaimana marak terjadi, Pers Mahasiswa juga rawan mendapat perlakuan diskriminatif, baik oleh pimpinan kampus maupun pemerintahan.

Bentuk kriminalisasi yang saya khawatirkan terjadi, misalnya, Persma “meminta” dana penerbitan majalah atau kegiatan lainnya. Pihak penguasa kampus bisa saja menangguhkan permintaan itu. Misalnya dengan cara menggugat konten pemberitaan di media Pers Mahasiswa. Kemudian saat tahu konten pemberitaan Pers Mahasiswa dapat mengancam nama baik kampus, pimpinan kampus bisa saja mengkriminalisasi Pers Mahasiswa dengan tudingan pencemaran nama baik.

Sambil lalu menunggu kerja Dewan Pers, aktivis Pers Mahasiswa justru mencari bantuan ke lembaga lain. Misalnya selama ini yang turut andil menyelesaikan kasus-kasus yang menimpa Pers Mahasiswa bukan dari Dewan Pers, melainkan dari lembaga dan perkumpulan lain, seperti lembaga bantuan hukum, Aliansi Jurnalis Independen, Forum Alumni Pers Mahasiswa, dan jaringan sesama pers mahasiswa.

Kalaupun tetap berharap pada Dewan Pers, seharusnya ada nota kekesepakatan yang ditandatangani antara PPMI dan Dewan Pers. Dalam nota kesepakatan itu dicantumkan pula bentuk kongkrit perhatian Dewan Pers kepada Persma, seperti turut mengadvokasi atau memediasi kasus yang ditimpa Pers Mahasiswa, menjamin kebebasan pers bagi Pers Mahasiswa, dan sebagainya.

Semoga kita semakin giat merawat kebersamaan dan semangat  juang Pers Mahasiswa. Ingat, Pers Mahasiswa tetap ada karena berjejaring dan saling menguatkan.