Mopanas ..
ramai ..
bau ..
kotor ..
jorok ..
becek ..
pedagang
pembeli beradu mulut
tawar
menawar barang disini

sampah yang menumpuk
ulah orang yang tidak
bertanggungjawab

tukang ojek
tukang
parkir
menimbulkan
sakit di telinga

Akankah semua ini akan berubah ?

Anna Theresia Irawan

Inilah sepenggal puisi yang berjudul pasar tradisional dari Anna Theresia Irawan. Puisi tersebut secara terang-terangan mendukung bahwa kalimat ‘tradisional’ selalu dikontraskan dengan modern. Tradisional identik dengan kumuh, jorok, becek, dan membosankan; sementara modern lebih mengesankan bersih, nyaman, dan menarik.

Dalam UU Perdagangan no.7 tahun 2014, pasar tradisional berubah menjadi pasar rakyat, dan pasar modern berubah jadi pasar swalayan. Bisa jadi hal tersebut berpengaruh pada eksistensi pasar tradisional. Lalu eksistensi seperti apa yang dimaksudkan? dalam aktivitas ekonomi eksistensi ini seringkali dihubungkan dengan kemampuan bersaing.

Saat ini pasar modern di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup pesat. Keberadaan pasar modern di Indonesia kemungkinan besar akan berkembang dari tahun ke tahun. Perkembangan dapat menjadi tantangan keberadaan pasar tradisional. Pasar modern yang pada dasarnya dimiliki oleh pengusaha asing dan para investor lokal dapat dengan mudah menggantikan peran pasar tradisional yang mayoritas dimiliki oleh masyarakat kecil.

Pada tahun 2012, data dari Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Malang mencatat bahwa terdapat 91 ritel atau pasar modern berbentuk minimarket yakni 57 Indomaret dan 37 berbentuk Alfamart dan jumlah swalayan modern di wilayah Kota Malang telah melebihi batas ideal yang seharusnya antara 18-20 lokasi.

Pasar tradisional seakan tak mau kalah dengan pasar modern. Pasar tradisional berupaya mengembangkan strategi untuk memenuhi kebutuhan atau tuntutan konsumen sebagaimana yang telah dilakukan oleh pasar modern.

Beberapa pasar tradisional di kota Malang mengalami revitalisasi dengan alasan kenyamanan konsumen saat berbelanja. Hal ini bisa dilihat dari tulisan Eko Widianto dalam Tempo.co (02/14). Dalam tulisan tersebut dijelaskan bahwa pemerintah Kota Malang bakal merevitalisasi 14 pasar tradisional di kota Malang untuk memperbaiki citra buruk pasar tradisional.

Citra buruk yang dimaksudkan adalah tampilan pasar, atmosfir (udara atau suasana), tata ruang, tata letak, keragaman dan kualitas barang, promosi penjualan, jam operasional pasar yang terbatas, serta optimalisasi pemanfaatan ruang jual. Salah satu pasar tradisional yang direvitalisasi adalah pasar Dinoyo Malang.

Pasar Dinoyo yang dulunya  kumuh, kini sudah bermetamorfosis menjadi pasar tradisional yang bersih. Bukan hanya suasana saja yang baru, nama pasar Dinoyo pun kini diubah menjadi Pasar Terpadu Dinoyo (PTD). Pasar tiga lantai tersebut juga bersebelahan dengan Mall Dinoyo City (MDC).

Walaupun PTD merupakan pasar tradisional, tapi konsep pengelolaannya seperti pasar modern. Di pasar terpadu ini terdapat tiga lantai. Di lantai dasar akan digunakan untuk menjual bahan-bahan kering seperti sayur-sayuran, pakaian, dan sembako. Sedangkan di lantai satu akan dibuat menjual bahan-bahan basah seperti daging, ayam, dan lain sebagainya.

Tidak hanya itu, untuk parkir pun akan ditata layaknya mal. Semua parkir akan dipusatkan di lantai dua. Selain penataan, untuk pengelolaan di dalam pasar tradisional sudah menggunakan SOP (standard operating procedure) seperti mal. Jadi, disetiap lantai ditempatkan sejumlah  penjaga keamanan. Sehingga keamanan pengunjung benar-benar terjamin.

Dengan fasilitas yang seperti itu tentunya pedagang harus merogoh kocek lebih dalam untuk dapat menyewa gerai atau toko untuk tempat berjualan .Ketika pasar Tradisional sibuk berbenah diri dan menyamakan segala sesuatunya dengan pasar modern. Mereka melupakan sesuatu yang penting. Adanya proses tawar menawar antara pedagang dan pembeli bias jadi tidak akan bisa kita jumpai lagi. Apakah ada yang pernah melihat  pembeli yang menawar harga saat berbelanja di supermarket?

Dalam pasar Tradisional seorang pedagang tidak sekedar menerima uang dan pihak lain menerima barang, tetapi terdapat kebutuhan sosial yang ingin didapat dari pihak lain, yakni penghargaan yang bersifat timbal-balik berlangsung dalam hubungan yang setara, terjalin ikatan hubungan personal emosional. Demikian juga dengan konsumen atau pelanggan tidak semata mendapat sesuatu barang yang diperlukan, tetapi terdapat “kepuasan” lain yang diperlukan, diantaranya tempat dan dengan siapa penjual yang dihadapinya.

Dalam budaya masyarakat timur, berbelanja sambil bersosialisasi adalah lebih menjadi preferensi dari pada berbelanja secara individualis, maka berbelanja sambil tukar bicara adalah salah satu modus pemuas kebutuhan, atau sebagai salah satu bagian yang menyertai komoditi yang harus dipenuhi.

Dalam penelitian S. Leksono (2009) menemukan bahwa pasar tradisional adalah sebagai modus interaksi sosial-budaya bahkan pasar juga mengandung fungsi religius sebagai sarana ibadah. Didalam proses tawar-menawar akan berlangsung proses komunikasi yang dapat menunjukkan kejelasan tentang karakter obyek barang yang diperjual belikan serta terjadi proses penyesuaian harga.

Proses transaksi mempunyai peluang berkelanjutan berdasarkan interaksi social yang terjadi karena diantara keduanya menjadi saling kenal. Jika Anna TheresiaIrawan tadi bertanya dalam puisinya apakah semua akan berubah? Tentu jawabannya iya. Bayangkan jika semua pasar tradisional berevolusi menjadi swalayan atau bentuk pasar modern seperti hypermart, supermarket dan lain sebagainya.

 

Catatan redaksi: Naskah ini terpilih menjadi juara satu Lomba Esai bertema “Eksistensi Pasar Tradisional” yang diadakan pada Dies Natalis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) ke-23 di Semarang.