Kategori
Diskusi

Mahasiswa Down dan Rakyat yang Kebingungan Menghadapi Covid-19

Meski pemerintah telah menghimbau masyarakat agar tidak panik menyikapi Coronavirus Disease-2019 atau biasa disebut Covid-19, tapi nyatanya itu sulit terbendung. Keresahan masyarakat nampaknya kian memuncak disebabkan ketidakjelasan sikap dari pemerintah yang awalnya cukup meremehkan penyakit pandemi ini.

Hingga memasuki bulan ketiga, penularan Covid-19 mulai meningkat dan menjadi polemik serius dalam pemberitaan media hingga ke ruang-ruang sosial masyarakat. Menanggapi persebaran Covid-19 yang cepat, pemerintah pun mulai masif melakukan tindakan penanggulangan untuk menekan jumlah korban pasien. Misalnya pembatasan interaksi sosial (social distancing), pembatasan jarak fisik (physical distancing), beraktivitas produktif di rumah (kerja, belajar, dan ibadah), hingga Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) disertai dengan kebijakan darurat sipil yang banyak mendapat kecaman publik.

Kenapa kebijakan tersebut belum mampu menjawab keresahan masyarakat saat ini? Sebuah pertanyaan mendasar sebagai pengantar untuk membaca sikap pemerintah yang nampak masih hitam putih. Tentunya tindakan preventif itu penting, tapi memastikan kesiapan atau kebutuhan  penerapan kebijakan tersebut juga tak kalah penting. Lemahnya pendistribusian pemahaman ke masyarakat  menjadi sebuah evaluasi terhadap kebijakan tersebut untuk lebih memasifkan lagi sosialisasi langsung kepada masyarakat. Dan yang penting untuk kembali ditegaskan, yakni soal kepastian ketersediaan pangan serta akses jaminan kesehatan bagi masyarakat selama berada di rumahnya masing-masing agar kebijakan tersebut bisa menjadi langkah strategis untuk menghadapi masa pandemi ini.

Hal ini menjadi tuntutan masyarakat dan wajib dilaksanakan oleh pemerintah jika kita mengacu pada aturan  hukum yang berlaku. Sebagaimana  pada ketentuan Pasal 7, Pasal 8, Pasal 39, Pasal 52, Pasal 55, dan Pasal 79 UU Kekarantinaan Kesehatan 2018 serta Pasal 8 jo. Pasal 5 Undang-undang No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (UU Wabah Penyakit Menular 1984), secara jelas menyatakan perihal hak warga yang wajib dipenuhi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah beserta instansi-instansi terkait saat terjadinya wabah penyakit menular, situasi kedaruratan kesehatan masyarakat, berada dalam situasi karantina wilayah/karantina rumah maupun dalam status PSBB.

Hak dasar warga yang mana meliputi; hak mendapatkan pelayanan kesehatan dasar sesuai kebutuhan medis, hak mendapatkan kebutuhan pangan dan kebutuhan kehidupan sehari-hari lainnya, hak memperoleh perlakuan yang sama dalam penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan, hak mendapatkan pemenuhan kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak oleh pemerintah yang mana pelaksanaannya melibatkan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan pihak terkait. Bagi setiap orang yang datang dari negara dan/atau wilayah kedaruratan kesehatan masyarakat, ia berhak mendapatkan pelayanan dari Pejabat Karantina Kesehatan yang meliputi; penapisan, kartu kewaspadaan kesehatan, informasi tentang tata cara pencegahan dan pengobatan wabah, pengambilan spesimen/sampel, rujukan, dan isolasi, kemudian hak mendapatkan ganti rugi akibat kerugian harta benda yang disebabkan oleh upaya penanggulangan wabah, serta hak mendapatkan informasi kekarantinaan kesehatan sebagai upaya pencegahan dan pemberantasan masuk dan/atau keluarnya kejadian dan/atau faktor resiko yang dapat menyebabkan kedaruratan kesehatan masyarakat.

Merujuk pada tujuh hak dasar warga saat situasi wabah, status kedaruratan kesehatan masyarakat, karantina rumah, maupun karantina wilayah, maka pemerintah pusat maupun pemerintah daerah harus sudah siap memperhitungkan alokasi anggaran dana untuk memenuhi hak-hak dasar warga tersebut.

Dilema Covid-19 atau Kelaparan?

Tetap berada #dirumahaja bukanlah solusi alternatif bagi masyarakat menengah ke bawah, sebab jika berada #dirumahaja maka akan dihadapkan dengan problem baru yakni kelaparan. Problem ini menjadi sangat dilematis bagi mereka yang berprofesi harian, mau tidak mau mereka harus tetap keluar untuk mencari penghasilan demi menutupi kebutuhan hidup keluarga. Belum lagi berbicara terkait tunawisma atau mereka yang tak memiliki rumah karena menjadi korban penggusuran dari pembangunan investasi kapital (baca: https://www.persma.id/2020/04/10/corona-dan-hal-hal-yang-bisa-kita-lakukan/).

Pemandangan ini sangatlah mudah ditemui (jika kita tidak berada di rumah saja), karena hingga saat ini belum ada kebijakan dari pemerintah pusat yang secara jelas menjawab keresahan mereka soal akses kesehatan dan ketersediaan pangan di rumah mereka masing-masing. Hal inilah yang mesti dipertegas kembali oleh pemerintah, bagaimana kebijakan yang dikeluarkan merepresentasikan kebutuhan masyarakat saat ini. Bukan hanya memberi pertanggungjawaban secara normatif saja dengan memberikan himbauan bahkan disertakan ancaman pidana bagi masyarakat yang melanggar kebijakan pembatasan interaksi sosial yang digembar-gemborkan oleh pemerintah.

Dari rilis yang dikeluarkan Pemerintah Indonesia melalui Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 mencatat bahwa virus SARS-CoV-2 atau Corona jenis baru telah menginfeksi manusia di 34 Provinsi di Indonesia. Secara rinci kasus positif di Indonesia sebanyak 3.512 pada Jum’at (10/4). Sementara itu ada penambahan pasien sembuh hingga total menjadi 282 dan sebanyak 306 orang meninggal dunia akibat COVID-19 (Baca: https://www.covid19.go.id/2020/04/10/infeksi-covid-19-telah-menyebar-di-34-provinsi-di-indonesia-total-positif-jadi-3-512-kasus/).

Meski penyebaran Covid-19 yang kian hari terus meningkat, sepertinya tak menjadi pertimbangan lagi bagi mereka yang tak bisa berada di rumah saja.

Apakah mereka kebal dari Covid-19? Tidak! Mereka hanya berupaya untuk tetap bisa hidup meski mengabaikan ancaman pandemi ini yang sewaktu-waktu mereka bisa saja terpapar. Tak ada pilihan lain, mereka terpaksa bertaruh hidup, sebab jauh lebih menyayat melihat keluarga atau sang buah hati yang menangis menahan pelik perut yang tak terisi.

Sementara apa yang bisa diharapkan? Di saat masyarakat dihadapkan dalam situasi yang serba salah, tak ada yang bisa diharapkan dari dewan penipu rakyat yang saat ini tengah menjadi penumpang gelap. Memanfaatkan situasi lengah ini untuk meloloskan berbagai Rancangan Undang-Undang (RUU) pro investasi kapital yang nantinya akan semakin memperdalam jurang kemiskinan dan kelaparan yang menyengsarakan masyarakat kecil.

Mahasiswa yang Terpenjara oleh Tugas Akademik

Hingga saat ini, memasuki bulan ke empat masa pandemi Covid-19 belum ada kebijakan strategis dari Pemerintah Pusat yang dapat menjawab kesejahteraan masyarakat selama #dirumahaja. Mengamati perkembangan di media, sepertinya khalayak telah kehilangan sosok yang konon memiliki peranan besar dalam perubahan sosial!

Siapa mereka? Mereka yang saat ini juga tengah asik dengan rutinitas akademiknya. Padahal jika memahami konsekuensi logis dari pandemi ini yang belum jelas kapan berakhirnya akan tetapi diprediksi oleh beberapa pakar akan memuncak pada bulan Mei dan atau Juni (Baca: https://www.kompas.com/tren/read/2020/04/03/123616065/prediksi-sejumlah-pakar-soal-puncak-wabah-virus-corona-di-indonesia?page=all#page4).

Pandemi yang berlangsung lama ini tentu akan berimbas pada perekonomian keluarga masyarakat menengah ke bawah. Tak bisa dipungkiri persentase tinggi angka kemiskinan di Indonesia, dan tidak menutup kemungkinan sebagian besar mahasiswa termasuk dalam hitungan tersebut.

Keadaan tragis sosok yang katanya terpelajar, sepertinya kebijakan pembatasan interaksi sosial berhasil mendepolitisasi peran dan tanggungjawab sosial mahasiswa. Kesibukan akademik menutup nalar kritis mahasiswa yang kini terus dijejali dengan tugas, tugas, dan tugas yang diberikan oleh dosen. Dan di saat mahasiswa mengeluhkan perihal tugasnya, tanpa sadar orang tuanya pun mengeluhkan biaya makan untuk tetap hidup selama pandemi ini berlangsung.

Sepertinya mahasiswa saat ini belum tuntas dengan (kesadaran) dirinya sendiri. Apakah Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) tinggi di semester ini dapat menjamin kelangsungan hidup yang lebih baik ke depannya? Jika dikontekskan dengan kebijakan pemerintah yang masih hitam putih dalam penanganan pandemi ini maka jawabannya sangatlah absurd. Bukanlah hal yang diminta-minta jika benar terjadi krisis, tapi itu bisa saja terjadi jika pemerintah saat ini tidak mendapat pressure yang kuat dari segala elemen masyarakat. Sikap pemerintahan yang lamban dan sangat jelas sangatlah berpotensi pada kepanjangan pandemi ini dan semakin larut akan berpotensi terjadinya krisis.

Kategori
Diskusi

Corona dan Hal-hal yang Bisa Kita Lakukan

Virus kelaparan tidak ramai diperbincangkan di televisi karena kelaparan tidak akan membunuh orang-orang kaya

Bagaimana dunia setelah wabah ini selesai? Pertanyaan ini muncul seolah saya dapat memprediksi bagaimana pemerintah mampu menanggulangi pandemi  Covid-19 ini. Kita dikejutkan pada virus yang datang secara spontan. Sama halnya seperti virus Flu Babi atau Flu Burung, Covid-19 dapat menyebar secara cepat dan memakan berbagai korban jiwa di dunia. Namun, sesungguhnya kita hanya punya tugas untuk melindungi diri sendiri dari krisis ini.

Belakangan ini, pemerintah Indonesia mengadopsi negara-negara yang berhasil menanggulangi wabah ini. Dari Singapura, Taiwan, Myanmar dll. Akhirnya, berbagai uji coba dari kampanye #dirumahaja hingga keamanan sipil yg diterima oleh masyarakat di setiap kota di Indonesia. Angka pasien positif corona semakin merangkak naik. Total 3.293 pasien positif virus corona di Indonesia masih menjalani perawatan dan telah memakan 280 korban nyawa (09/04). 10 April, pemerintah memberlakukan Peraturan Pemerintah nomor 21 tahun 2020 Permenkes no 9 tahun 2020. Diantaranya adalah [1] Pemberlakuan pelarangan kegiatan sosial dan budaya, [2] Pembatasan Kegiatan, [3] Pembatasan Transportasi.

Berkarantina dengan mengurangi aktivitas berkumpul bisa memberi tahu kita tentang banyak hal bagaimana kita menjalani hidup. Mereka yang tinggal bersama keluarga dekatnya atau berumah secara kolektif dengan kondisi bahagia akan berada dalam situasi yang jauh lebih baik, dari pada mereka yang hidup tak berpunya, dengan keadaan ekonomi yang tidak menentu, bahkan banyak yang tak memiliki rumah. Ini adalah pengingat yang baik tentang apa yang benar-benar penting dalam hidup.

Orang-orang kaya telah bersiap menghadapi keadaan darurat dengan memproteksikan diri lewat berbagai jenis keamanan yang memagari diri dari dunia luar. Mereka mampu mempersiapkan persediaan makanan, peralatan, demi kepentingan pribadi sebenarnya tidak merubah apapun. Potongan-potongan kiamat ini akan tetap terjadi, ketimpangan sosial yang tak kenal waktu.

Hak Masyarakat Terkait Rumah Ketimpangan Sosial yang Terjadi di Tengah Wabah Corona

“Negara bertanggung jawab atas penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman yang pembinaannya dilaksanakan oleh pemerintah”.

Tertuang dalam UU No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman Pasal 5 ayat (1)

Saya ingat bagaimana penanggulangan pertama oleh pemerintah tidak menuai jalan keluar selain menambah berbagai catatan-catatan ketakutan kita. Pemerintah menggelontorkan dana yang tinggi untuk Influencer, untuk menenangkan tidur kita jika permasalahan ini akan berjalan baik. Kemudian akses liburan bagi pariwisata tidak di–lockdown. Dan gerbang investor tetap dibuka lebar.

Work from home atau kampanye #dirumahaja telah memenuhi linimasa
media sosial. Tapi, bagaimana untuk mereka yang tidak punya rumah? Orang-orang kaya mempunyai cukup cadangan makanan. Sedang rakyat miskin kota tidur di jalanan. Kaum tak ber–punya tak bisa mengharapkan siapapun selain dirinya sendiri, apa yang dia kerjakan, dan apa yang membuat mereka bisa meraih sesuap makan. Kita bisa saja tidur nyenyak di kamar, sembari mengerjakan tugas kampus secara online, dan pesan makanan lewat driver ojek online. Sementara konflik agraria, tentang orang-orang yang mempertahankan ruang hidup atas tempat tidurnya terpaksa harus tidur di Masjid. RW 11 Tamansari – Bandung memperlihatkan kita bagaimana rasa sakit karena kondisi hidup yang jauh dari kata layak, tetap tidak ditindaklanjuti oleh pemerintah kota Bandung. Padahal, kabar BPN terbaru warga Tamansari sah dalam akses kepemilikan rumah.

(27/3) Saat penyuluhan virus Corona dan pembuatan disinfektan oleh solidaritas atau beberapa yang peduli dengan kondisi RW 11 Tamansari - Bandung yang hingga hari ini masih mengungsi di Masjid akibat rumahnya di gusur Pemkot.
(27/3) Saat penyuluhan virus Corona dan pembuatan disinfektan oleh solidaritas atau beberapa yang peduli dengan kondisi RW 11 Tamansari – Bandung yang hingga hari ini masih mengungsi di Masjid akibat rumahnya di gusur Pemkot.

Bagaimana dengan warga Pancer – Banyuwangi? Pengerukan tanah di Tumpang Pitu & Gunung Salakan telah menjadi hantu bagi mereka yang rumahnya ditambang. Kelestarian masyarakat dengan mayoritas mata pencaharian penduduknya yang adalah petani dan nelayan ini telah terenggut saat perubahan status pegunungan Tumpang Pitu yang semula hutan lindung kemudian menjadi hutan produksi.

 (30/3) Pencarian massa aksi penolakan Tambang di Banyuwangi
(30/3) Pencarian massa aksi penolakan Tambang di Banyuwangi

Banyak sekali ketimpangan yang sesungguhnya menjadi kritik bagi negara. Hak atas perumahan merupakan hak yang utama dalam pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya. Hal tersebut dikarenakan di dalam hak atas perumahan tersebut juga menyangkut hak-hak lainnya, seperti hak untuk hidup, hak untuk hidup tentram, aman, damai, bahagia dan sejahtera, hak atas lingkungan hidup yang baik, hak atas identitas yang berkaitan dengan hak atas pelayanan kesehatan dan juga hak atas jaminan sosial serta hak-hak lainnya.

Pemulung, tunawisma, dan rakyat yang tak ber–punya tetap tidur di jalan. Mereka tak mampu mempunyai cukup uang untuk membeli Hand Sanitizer dan Masker. Manusia ilegal di Bumi nya sendiri.

Pandemic untuk meredam Kemarahan Publik

Kami marah tentang perang terbaru. Pemerintah memutuskan untuk memulai, dan mereka mengabaikan kita lagi.

Berbagai institusi pendidikan, usaha kecil hingga akses transportasi di Lockdown.

Metode pertama adalah pemerintah harus memantau setiap orang, dan menghukum siapa saja yang melanggar ketentuan yang ditetapkan. Ingat, kita dimonitori!

Tepat Rabu (8/4) Ramayana City Plaza kota Depok PHK 87 karyawannya. Alasan kondisi finansial dan subsidi pusat yang membuat Ramayana kota Depok harus berkoordinasi dengan Dinas Tenaga Kerja Depok soal rencana PHK karyawannya. Kasus diatas menambah catatan kelam rezim dalam menangani kasus pandemic pada sektor ketenagakerjaan, dan dengan memecat dengan alasan apapun sesungguhnya tidak dibenarkan. (cnbcindonesia.com)

Serikat Buruh dan berbagai organisasi sipil di berbagai kota di Indonesia telah sepakat untuk menolak pembahasan RUU Omnibuslaw Cilaka di tengah kondisi ketenagakerjaan yang sangat pelik.

Pemerintah lebih memilih untuk tidak meng–karantina kita semua dan memulai ketakutan bagaimana darurat sipil akan diterapkan. Sedang DPR terus melanjutkan Prolegnas 2020 dam RUU Omnibuslaw Cilaka. Mengapa mereka dapat berkumpul?

Nasib para buruh dan orang-orang yang terkena dampak pengesahan Prolegnas 2020 semakin di ujung tanduk. Saat berkumpul tidak diperbolehkan, kali ini Kapolri mengesahkan aturan yang sama menyebalkannya. ST/1098/IV/HUK.7.1/2020 memungkinkan kriminalisasi terhadap rakyat dengan patroli cyber untuk monitoring perkembangan situasi serta opini di ruang cyber . Surat tersebut memungkinkan tidak diperbolehkannya penghinaan kepada penguasa, presiden dan pejabat pemerintah. Ini adalah cara jitu untuk meredam kemarahan masyarakat terkait pengorganisiran besar-besaran, bagi mereka yang memperjuangkan hak normatif–nya di tengah wabah virus ini.

Di tengah virus yang mewabah sekalipun, hak untuk tetap melanjutkan penolakan Rancangan Undang-undang tertuang dalam DUHAM. Hak tersebut dijamin dalam Pasal 21 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) serta Pasal 25 Konvensi Hak-Hak Sipil dan Politik. Hak untuk berpartisipasi juga perwujudan dari hak atas kebebasan berkumpul dan berpendapat yang merupakan komponen inti dari kebebasan ruang sipil.

Tindakan konstitusional harus dimaknai sebagai semua tindakan yang diperlukan baik pendekatan hukum maupun politik untuk mendorong perubahan tata kuasa sekaligus membatasi kekuasaan agar tidak sewenang-wenang. Ditengah situasi yang seharusnya dapat ditanggulangi dengan maksimal, pemerintah lebih memprioritaskan Prolegnas ketimbang nasib mereka yang sangat rentan terkena virus bahkan kehilangan nyawa.

Selain krisis di berbagai belahan dunia, kita juga mendapati krisis kepercayaan terhadap negara.

Bagaimana Kita Bertahan dalam Krisis Ini?

Yuval Noah Harari (penulis buku Sapiens) menulis di Financial Times,  sebuah artikel yang mengajak kita berpetualang pada segala kemungkinan yang berpijak pada sejarah pengetahuan. Jelas Noah memahami bagaimana virus ini menjalar dengan dibarengi pada analisis biologis dan politik. Dunia setelah wabah adalah dunia yang sibuk dengan pemulihan krisis ekonomi, kemudian kapitalisme menawarkan laboratorium-laboratorium, dan teknologi medis sebagai penebusannya.

Anda mungkin berpendapat jika tidak ada yang baru dari semua ini. Semua muncul secara alamiah beserta beberapa konflik setelahnya. Kita bisa melihat beberapa korban jiwa yang meninggal, siapa yang tidak punya hak dasar sebagai warga negara. Tentu kota tidak bisa melewati bagaimana peran ekonomi politik dunia dan negara telah mempertajam krisis ini. Dunia saat ini adalah dunia yang dibangun kapitalisme. Negara memperioritaskan perdagangan dalam negeri, tentang bagaimana sumber daya alam harus dimaksimalkan sebesar mungkin untuk kepentingan negara.  Ratusan juta orang kelaparan di dunia dengan makanan berlebih. Sementara kaum miskin harus tetap menyisihkan tenaga nya untuk mencapai makanan itu dengan bekerja. Jutaan orang mati karena penyakit yang sesungguhnya bisa dicegah, sementara perusahaan farmasi menghabiskan lebih banyak untuk pemasaran daripada riset dasar. Pasar tidak mengenali kebutuhan manusia kecuali mereka didukung dengan uang tunai.

Lewat ini, saya akan kabarkan jika sejak kapitalisme muncul, krisis adalah hal yang akan sering kita jumpai. Kita mengalami krisis air, perubahan iklim yang begitu tajam. Sementara semua hutan digunduli, pembuangan limbah pabrik dimana-mana. Udara semakin kotor. Ketahanan tubuh manusia sangat rendah akibat oksigen yang tidak layak lagi bagi manusia. Apakah kehancuran ini bukan satu paket? Kita melihat dominasi manusia dengan manusia lainnya, dan dominasi manusia atas alam. Kaum tak ber–punya illegal di bumi nya sendiri.

Kapitalisme mengutamakan produksi atas alam, tentang bagaimana alam dapat diolah menjadi barang jadi, kemudian dapat diperjualbelikan oleh manusia. Masalahnya adalah bahwa setiap hari kita menciptakan dunia yang tidak dibangun untuk melayani kebutuhan kita dan tidak di bawah kendali kita. Kita adalah sumber daya manusia, roda gigi di mesin dengan satu tujuan: laba atau keuntungan. Pengejaran keuntungan tanpa akhir terus berlanjut kita terjebak dalam pekerjaan yang membosankan, atau mencari mereka ketika kita kehabisan kerja.

Saya mengukuhkan tesis bagaimana negara dan korporasi nasional tidak membantu kita sama sekali. Seperti yang dikatakan Nuval Harari, kita butuh kekuatan kolektif atas krisis ini. Memperkuat daya tahan pangan kita, dan mendistribusikan keperluan publik secara efektif. Aparat keamanan mempunyai segala cara untuk menggembosi militansi kita di tengah pandemic ini.

Saya akan merangkum tentang hal-hal yang akan kita lakukan di tengah wabah yang tak pasti ini. Sekarang memang tidak ada waktu mengharapkan nasib kepada pihak luar selain memperkuat kekuatan kolektif kita. Virus ini bukan dipecahkan oleh permasalahan individu saja, tapi soal kesadaran kolektif kita untuk melanjutkan hidup yang lebih baik dan terhindar dari virus ini. Sebab ilmu pengetahuan tidak butuh modal, karena kita mampu mencari hasil alam lalu mendistribusikannya kepada orang yang kurang beruntung disana.

Membangun sarana kerja-kerja sosial dan agitasi. Mentransformasikan kekuatan politik dan menyediakan ruang bagi mereka. Kita tidak bisa selalu meminta donasi dari luar atau menunggu kembalinya stok hand sanitizer dan masker di Apotek. Kita bisa memulai dari hak terkecil seperti pendistribusian makanan, obat-obatan, hingga memetik hasil alam dan mengolahnya. Komunitas organik perlu lahir untuk menjawab spontanitas ini. Gerak proporsional ini lebih relevan untuk sarana agitasi politik. Lalu kita dapat mengkampanyekan ketimpangan sosial, penggusuran ruang hidup, ataupun mereka yang tak punya rumah, sebagai kritik terhadap negara terkait kerugian mereka. Sementara itu memang kita tidak bisa mengemis kebaikan terhadap mereka, kita harus  menyelamatkan diri sendiri.

Tetap perkuat basis pengorganisiran di setiap titik konflik. Ekspresikan kemarahan publik. Semua umat manusia punya cita-cita bebas, damai, dan setara. Jika memang kita tidak mendapati itu, maka kita sesama rakyat harus saling membantu.

Anjuran untuk pembaca artikel ini “Masak lah yang banyak. Bungkus menggunakan kertas minyak. Berdoa pada makan malam mu. Lalu bagikan kepada tunawisma dan pemulung yang ada di kota mu. Jangan berharap pada negara. Tidak ada yang ilegal di bumi nya sendiri”

Kategori
Diskusi

Mempertanyakan Keseriusan Pemerintah dalam Menangani Wabah Covid-19

Indonesia sedang mengalami problem yang sangat serius, yakni menjadi negara terdampak infeksi SARS-Cov-2 yang mengakibatkan penyakit Coronavirus Disease atau  disebut dengan Covid-19. Indonesia secara resmi mengakui merebaknya wabah Covid-19 pada 2 Maret 2020, ditandai dengan diumumkannya dua pasien pertama oleh Presiden Joko Widodo. Sejak itu, peningkatan jumlah pasien positif Covid-19 terus meningkat di Indonesia. Hingga Selasa, 7 April 2020, pukul 19.00 WIB. Pasien positif  tercatat mencapai 2.738, pasien dalam perawatan 2.313, pasien sembuh 204 dan pasien meninggal dunia 221. [1]

Saya berdoa pandemi ini akan segera berakhir, tapi nyatanya para ahli dengan berbagai analisisnya, menyatakan pandemi ini tidak akan cepat berlalu dalam beberapa minggu ke depan, sekalipun sudah menerapkan isolasi diri agar mengurangi jumlah sebaran infeksi. Virus ini bisa menyebar dengan cepat khususnya di negara yang jumlah penduduknya padat. Pada 3 April 2020 Badan Intelijen Negara (BIN) menyampaikan prediksinya yang teranyar, jika penyebaran virus Covid-19 akan memuncak pada bulan Juli 2020. Temuan ini disampaikan oleh Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Doni Monardo, dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR. Jumlah kasus positif Covid-19 akan meningkat secara berangsur tiap bulannya 1.577 kasus pada akhir Maret, 27.307 pada akhir April, 95.451 pada akhir Mei, lalu 105.765 pada akhir Juni. [2]

Seiring semakin banyaknya korban berjatuhan dan masih lama berakhirnya virus ini, jika merujuk pada perkiraan para ahli. Hal ini membuat semakin besar kekhawatiran  masyarakat dalam menjalani aktivitas sehari-hari, baik perihal kebutuhan pangan, akses kesehatan sampai menyangkut kebijakan pemerintah dalam merespons wabah Covid-19. Di sini perlu kita renungi dan pertanyakan, bagaimana keseriusan pemerintah dalam menangani Covid-19? Berikut sedikit ulasan saya.

Awal Mula Virus Muncul dan Kegagapan Pemerintah

Saat pertama kali virus ini muncul di China dan menyebar ke negara lain, pemerintah menganut premis yang sama sangat keliru. Pemerintah melalui pernyataan para pejabat dan elitnya cenderung meremehkan dan menyiratkan seakan-akan semua masyarakat Indonesia kebal terhadap serangan virus ini. Melalui Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto memberikan respon terkait penanganan Covid-19 yang cenderung meremehkan dan tidak menggambarkan kemampuan berpikir yang baik. Benjamin Bland salah satu peneliti sekaligus Direktur Lowy  institute Asia Tenggara, lembaga think thank Australia mengatakan, “Hal yang disampaikan Menteri Kesehatan Terawan terkait Covid-19 memperlihatkan bahwa pemerintah Jokowi minim berpikir strategis.” [3]

Tidak berselang lama, Universitas Harvard memprediksi bahwa virus Sars-Cov-2 penyebab Covid-19 sudah sampai di Indonesia, ditolak mentah-mentah. Bukannya dijadikan landasan untuk mempersiapkan kebijakan kesehatan publik yang kuat dan efektif untuk menghadapi virus ini. Sikap meremehkan dan cenderung anti-sains ini sedikit banyak telah membuat pemerintah ter–gagap manakala virus ini benar-benar datang. Sementara para pemimpin negara-negara tetangga jauh hari sudah mempersiapkan negaranya, masing-masing: memperluas kampanye layanan masyarakat, menyiapkan rumah sakit, menetapkan prosedur dan protokol di pelbagai sarana publik, Pemerintah Indonesia terlihat minim inisiatif dan ketinggalan.

Kegagapan nampak dari kesalahan-kesalahan yang dilakukan baik oleh pejabat pemerintah pusat, maupun daerah. Koordinasi yang lemah antara pemerintah pusat dan daerah, mis-komunikasi antara Kementerian Kesehatan dengan instansi lainnya, nampak pada saat kasus pertama diumumkan, termasuk pelanggaran hak privasi pasien. Tampak jelas bahwa pemerintah cenderung mendahulukan citra ketimbang kemaslahatan pasien dan keselamatan publik yang lebih luas.

Pemerintah Jokowi tidak memiliki rencana yang jelas dan transparan dalam menangani Covid-19, meskipun Jokowi telah membentuk tim respon cepat untuk mengatasi krisis, hingga menyatakan pemerintah pusat akan mengambil kendali penanganan Covid-19, koordinasi antara istana dan pemerintah daerah juga masih minim, akibatnya  banyak tarik ulur kebijakan, sehingga mengakibatkan ketidakjelasan penanggulangan Covid-19. Bahkan beberapa pemerintah daerah memilih berinisiatif membuat kebijakan tanpa menunggu intruksi dari pemerintah pusat. Hal ini menandakan bahwa pemerintah daerah sudah tidak percaya pada pemerintah pusat. Pada situasi seperti ini pemerintah daerah lah yang fokus memberikan perlindungan kepada masyarakat, karena secara sosiologis dan geografis pemerintah daerah lebih dekat dengan masyarakat yang terdampak.

Selanjutnya, langkah yang diambil pemerintah pusat hanya sebatas menghimbau masyarakat untuk mengambil tindakan pencegahan. Seperti melalui kampanye menjaga kebersihan, mencuci tangan pakai sabun, mengenakan masker, seruan menghindari keramaian atau kontak sosial, yang mana hal tersebut terpaku pada kesadaran individu. Padahal pandemi Covid-19 telah menimbulkan berbagai dampak sosial-ekonomi yang signifikan bagi kelompok rentan. Sebanyak 16.065 pekerja atau buruh di DKI Jakarta terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akibat pandemi Covid-19. Jumlah tersebut berdasarkan catatan Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Energi (Disnakertrans) DKI Jakarta. Selain PHK, wabah Covid-19 juga membuat 72.770 pekerja dirumahkan [4], pelaku usaha kecil mandiri juga akan alami berkurangnya pendapatan, akibat terhentinya pekerjaan atau turunnya daya beli, selain itu juga disebabkan harga pangan yang naik atau langka sejak pandemi meluas.

Selain itu, masih ada buruh pabrik yang harus bekerja di tengah bahaya wabah Covid-19, diketahui buruh pabrik di Sukabumi menuntut untuk libur ramai disuarakan melalui media sosial, Jarak yang saling berdekatan, bahkan kadang saling bersenggolan satu sama lain membuat rentan terjangkit virus. Mereka menganggap social distancing tidak berlaku di tempat mereka bekerja. Seandainya pabrik diliburkan, mereka berharap manajemen perusahaan tempat mereka bekerja tetap memberikan upah. [5]

Logika Otoriterisme Pemerintah

Pemerintahan dalam kebijakan pengamanan akibat pandemi ini didasarkan pada logika otoriter. Diketahui Polda Metro Jaya menangkap 18 orang di Jakarta Pusat pada Jumat malam 3 April 2020. Menurut keterangan Kabid Humas Polda Metro Jaya, mereka diduga melanggar pembatasan sosial berskala besar (PSBB), padahal belum ada penetapan tentang PSBB. Benar bahwa Presiden telah menetapkan PP No 21 tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam rangka percepatan penanganan Covid-19, namun PP tersebut tidak menetapkan bahwa pada wilayah di Indonesia diberlakukan PSBB. Belum ada ketentuan pidana yang dapat diterapkan, tapi rakyat sudah bisa ditindak secara sewenang-wenang, termasuk rakyat yang terpaksa harus tetap keluar rumah untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. [6]

Untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat selama menghadapi bencana non-alam, Pada 4 April 2020, Mabes Polri mengeluarkan Surat Telegram (ST) terkait penanganan para penyebar hoaks dan penghina presiden saat pandemi Covid-19. Surat Telegram itu bernomor ST/1100/IV/HUK.7.1./2020, dokumen tersebut ditandatangani langsung oleh Kabareskrim Komjen Listyo Sigit Prabowo. Kepala Biro Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Raden Prabowo Argo Yuwono menyampaikan sudah menangani 72 kasus, yang mana kasus tersebut merupakan total hasil penanganan jajaran kepolisian di berbagai daerah. [7]

Kita bisa merenungkan tentang berapa banyak sumber dana yang lebih banyak dialokasikan ke dalam militer, polisi, bank dan pasar saham, daripada dianggarkan untuk perawatan kesehatan publik dan sumber daya terkait untuk membantu orang selamat dari krisis ini. Dan faktanya, memidanakan dan memenjarakan warga sipil karena ketahuan berkeliaran dan ketahuan mengadakan acara pernikahan akan lebih mudah dilakukan aparatur negara dibandingkan dengan melakukan tes virus kepada anggota masyarakat. Dan yang perlu diingat baik-baik, saat warga negara dilarang berkeliaran di jalan, pemerintah dan DPR justru sedang berkumpul melakukan sidang membahas RUU Omnibus Law, RUU KUHP, RUU Minerba dan undang-undang yang menyengsarakan rakyat lainnya. Anehnya para aparat negara tidak ada yang membubarkan atau memberi peringatan kepada DPR dan pemerintah.

Di tengah pandemi seperti ini, tentu sangat tidak etis apabila DPR dan pemerintah memaksakan proses pembahasan, bahkan sampai berencana mengesahkan RUU Omnibus Law, RUU KUHP, RUU Minerba, karena publik sedang berada pada masa krisis, publik memberikan fokusnya pada penanganan Covid-19, sehingga partisipasi publik terbatas. Jika DPR dan pemerintah tetap memaksakannya, maka kita semua sebagai warga negara tahu bahwa pemerintah pusat dan DPR gagal menentukan prioritas, tidak peduli dengan ribuan pasien positif dan ratusan pasien yang meninggal dunia gara-gara Covid-19.

Sebenarnya pemerintah dapat melakukan tindakan yang benar-benar efektif, apabila menjalankan dengan serius regulasi yang ada. Serta berpijak pada kepentingan masyarakat yang lebih luas. Daripada membiarkan wabah semakin meluas, tentu akan sangat merugikan pemerintah, jika kita memakai logika ekonomi pada umumnya. Tidak akan ada investasi jika negara tidak bisa menjamin mereka, khususnya keberlangsungan masyarakat. Jika memakai logika sesuai UUD dan Pancasila, tentu konteks sosial yang didahulukan daripada memikirkan ekonomi. Karena kesejahteraan diukur dari terjaminnya hak-hak masyarakat, bukannya dirampas, sudah sangat jelas sangat anti terhadap filosofi dasar negara ini. Yang hilang dari pemerintah saat ini adalah tidak mengutamakan masyarakat, karena pada dasarnya pemerintahan oligarkis hanya memikirkan keuntungan segelintir orang saja.

Membaca Regulasi yang Ada

1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 H Ayat (1), Pasal 34 Ayat (3). [8]
Menjelaskan bahwa pelayanan kesehatan adalah hak setiap orang yang menjadi tanggung jawab negara atas penyediaannya. Setiap orang berhak dan wajib mendapat kesehatan dalam derajat yang optimal, tidak hanya menyangkut masalah individu–an sich, tetapi meliputi semua faktor yang berkontribusi terhadap hidup yang sehat, seperti masalah lingkungan, nutrisi, perumahan dan juga hak atas kesehatan serta hak atas pelayanan tenaga medis.

2. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular. [9]
UU Wabah Penyakit Menular secara jelas disebutkan bahwa pemerintah bertanggung jawab untuk melakukan penanggulangan wabah penyakit menular, melalui pemeriksaan, pengobatan, perawatan dan isolasi penderita, termasuk tindakan karantina serta pencegahan dan pengebalan. Tujuan UU ini terkait penanggulangan wabah penyakit menular, pemerintah seharusnya melakukan se–dini mungkin dikarenakan akibatnya yang sangat luas. Covid-19 oleh WHO telah dinyatakan sebagai pandemi, mengutip dari Tempo [10] diartikan ketika suatu penyakit menular dengan mudah menjangkiti satu orang ke orang lainnya di banyak negara pada waktu yang bersamaan.

3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana. [11]
Wabah penyakit menular Covid-19 sudah ditetapkan sebagai bencana non-alam. Akibatnya pemerintah memiliki kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 6, 7, 8 dan 9. Masyarakat memiliki  hak sebagaimana telah diatur dalam Pasal 26, terutama hak atas kebutuhan dasarnya.

Penanggulangan bencana dibagi menjadi tiga tahap yaitu, pra-bencana, saat tanggap darurat dan pasca bencana. Jika melihat kondisi saat pra-bencana, dapat dilihat jika pemerintah telah abai dalam melakukan kewajibannya. Tahap pra-bencana dibagi menjadi, saat tidak terjadi bencana dan saat ada potensi bencana, seperti yang tertuang dalam pasal 34.

Merebaknya kasus Covid-19 di media internasional dan juga peringatan dari WHO serta negara-negara lainnya menunjukan bahwa sebelum kasus pertama Covid-19 di Indonesia ditemukan, pemerintah telah sadar bahwa terdapat kemungkinan Covid-19 untuk masuk ke Indonesia. D dasar tersebut, seharusnya Pemerintah Indonesia menyelenggarakan penanggulangan bencana seperti perencanaan penanggulangan bencana, pengurangan resiko bencana dan pencegahan, yang telah diatur dalam pasal 35. Karena perencanaan penanggulangan bencana ditetapkan oleh pemerintah sesuai dengan kewenangannya.

Selain itu, pada saat potensi terjadinya bencana, maka pemerintah seharusnya melakukan kesiap-siapan, peringatan dini dan mitigasi bencana. Dalam hal terjadi potensi bencana, sangat penting bagi pemerintah untuk melakukan hal-hal seperti yang dijabarkan dalam Pasal 45, 46 dan 48, khususnya untuk mengurangi dampak negatif dari bencana tersebut. Sebab itu, Pemerintah seharusnya menaruh fokus pada tahap pra-bencana, yang mana tahap ini sangat penting. Tetapi mereka justru abai, sehingga menyebabkan kondisi seperti pada saat ini. Tahap pra-bencana menjadi faktor penting untuk mencegah ataupun mengurangi dampak negatif dari bencana.

Pada saat tahap tanggap darurat, pemerintah memiliki kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 53 dan Pasal 54 dengan memprioritaskan kelompok rentan. Isolasi orang yang terkena Covid-19 cukup memakan waktu cukup panjang. Bagi mereka yang terkena Covid-19 dan berkedudukan sebagai tulang punggung keluarga tentu saja akan memberikan dampak terhadap perekonomian keluarga. Apalagi lebih dari 60% penduduk Indonesia bekerja pada sektor informal. Karena itu seharusnya pemerintah juga memperhatikan hal tersebut.

4. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. [12]
Berdasar UU Kekarantinaan Kesehatan, Indonesia memiliki komitmen melakukan upaya mencegah terjadinya darurat kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia dan juga harus menghormati sepenuhnya martabat hak asasi manusia, dasar-dasar kebebasan seseorang dan penerapannya secara universal untuk perlindungan kesehatan masyarakat dan meningkatkan ketahanan nasional di bidang kesehatan. Kemudian dalam karantina kesehatan baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah memiliki tanggungjawab dalam penyelenggaraan karantina kesehatan. Selama karantina, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak menjadi tanggungjawab pemerintah pusat. Selain menjamin kebutuhan hidup, pemerintah pusat juga harus menjamin kebutuhan sumber daya yang diperlukan dan menyelenggarakan karantina kesehatan di pintu masuk dan di wilayah secara terpadu. Di mana pintu masuk adalah tempat masuk dan keluar orang yang berpotensi besar menimbulkan bahaya kesehatan dan menyebar ke lintas wilayah dan lintas negara.

Semestinya masyarakat tidak perlu cemas akibat pandemi ini, pemerintah pusat dan daerah seharusnya bisa memenuhi akses pangan, kesehatan, terutama bagi kelompok rentan. Pemerintah juga harus bisa mengantisipasi terhadap dampak sosial-ekonomi dari wabah Covid 19. Semestinya pemerintah jangan hanya menghimbau masyarakat agar tidak panik, tapi juga memberikan fasilitas kepada masyarakat, karena sesungguhnya kepanikan masyarakat bersumber dari tidak adanya pangan dan tidak adanya akses kesehatan. Banyak masyarakat yang berpikir bahwa pemerintah telah acuh terhadap wabah Covid-19, pemerintah ingin membunuh masyarakat secara perlahan, entah itu karena mati kelaparan atau terpapar virus.

Pemerintah juga tidak usah khawatir terkait lemahnya perekonomian negara, seperti ungkapan Presiden Ghana, Nana Akufo-Addo di akun Twitter resminya pada tanggal 28 Maret 2020. “Kami tahu cara menghidupkan kembali ekonomi. Yang kami tidak tahu adalah bagaimana menghidupkan kembali orang yang mati.”

Terakhir, seandainya kita selamat melewati wabah ini, kita jangan pernah lupa bagaimana tindak tanduk pejabat-pejabat pemerintahan yang tidak peduli dengan nasib warga negaranya, banyak tenaga medis dan warga yang meninggal dunia, tetapi mereka tetap melanjutkan pembahasan RUU Omnibus Law, RUU KUHP, RUU Minerba dan RUU yang akan menyengsarakan masyarakat lainnya, sementara di beberapa daerah masih terdapat konflik agraria, kriminalisasi masyarakat dan kelompok adat tetap berjalan. Setidaknya dengan menjaga ingatan kita bisa tetap merawat  kebenaran yang ada, lalu memikirkan ulang jika diajak oleh pemerintah untuk kembali memilih mereka di bilik suara pemilihan umum kelak.

Referensi

[1] Kasus Covid19 di Indonesia. Diakses 6 April 2020. www.covid19.go.id
[2] Kompas.com. Prediksi Sejumlah Pakar Soal Puncak Wabah Virus Corona di Indonesai. Diakses 3 April 2020. https://amp.kompas.com/tren/read/2020/04/03/123616065/prediksi-sejumlah-pakar-soal-puncak-wabah-virus-corona-di-indonesia#referrer=https://www.google.com
[3] Benjamin Bland. Indonesia: Covid 19 Crisis Reveals Cracks in Jokowi’s Ad Hoc. The Intrepreter, media Lowy Institute. Diakses 3 April 2020. (Online : https://www.lowyinstitute.org/the-interpreter/indonesia-covid-19-crisis-reveals-cracks-jokowi-s-ad-hoc-politics).
[4] CNN Indonesia.  Imbas Corona 16 Ribu Warga DKI Jadi Korban PHK. Diakses 4 April 2020. https://m.cnnindonesia.com/ekonomi/20200404134159-92-490291/imbas-corona-16-ribu-warga-dki-jakarta-jadi-korban-phk
[5] Detik.com. Curhat Buruh Pabrik di Sukabumi Yang Masih Bekerja Saat Corona Mewabah. Diakses 6 April 2020. https://m.detik.com/news/berita-jawa-barat/d-4960861/curhat-buruh-pabrik-di-sukabumi-yang-masih-bekerja-saat-corona-mewabah
[6] ICJR. Pemerintah Tidak Jelas soal PSBB. Diakses 6 April 2020. http://icjr.or.id/pemerintah-tidak-jelas-soal-psbb-tindakan-kepolisian-melakukan-penangkapan-atas-dasar-psbb-melanggar-hukum/
[7] Liputan 6. Polri Terbitkan Aturan Khusu Tangani Hoaks dan Penghinaan Presiden Terkait Corona. Diakses 6 April 2020. https://m.liputan6.com/amp/4219978/polri-terbitkan-aturan-khusus-tangani-hoaks-dan-penghinaan-presiden-terkait-corona
[8] UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945.
[9] Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular.
[10] Majalah Tempo.  Ketidaksiapan Negara-Negara di Dunia Menghadapi Corona. Diakses 3 April 2020. https://majalah.tempo.co/read/laporan-utama/159993/ketidaksiapan-negara-negara-di-dunia-menghadapicorona
[11] Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana.
[12] Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.