Kategori
Berita

Kronologi dan Video Represi terhadap LPM Ekspresi sebelum Display UKM

Selasa (23/8), sekitar pukul 10.00, belasan anggota Lembaga Pers Mahasiswa Ekspresi berangkat dengan berjalan kaki dari Student Center menuju GOR Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Sebagai salah satu UKM tingkat universitas, Ekspresi turut tampil di acara Display Unit Kegiatan Mahasiswa di hadapan ribuan mahasiswa baru UNY 2016. Selain mahasiswa baru, pada tahun ini, hadir pula jajaran rektorat untuk menyaksikan acara Display UKM.

Para anggota Ekspresi tiba di GOR sekitar pukul 10.10.

Setibanya di GOR, para anggota Ekspresi kemudian bersantai selama sekira 60 menit di sebelah barat GOR untuk menunggu giliran tampil. Ekspresi kebagian jatah tampil setelah penampilan UKM Magenta. Ketika UKM Magenta sudah di dalam lorong GOR untuk segera masuk GOR dan kemudian tampil, barulah Ekspresi bergegas ke depan lorong GOR.

Di situ, sekitar pukul 11.10, Ekspresi mulai membuka sebuah spanduk besar dan rontek-rontek yang sudah dipersiapkan jauh-jauh hari.

Empat anggota Ekspresi membuka lebar-lebar spanduk tersebut. Sementara lainnya membuka rontek satu per satu. Rontek-rontek tersebut beberapa diantaranya bertuliskan “Didiklah Ra’jat dengan Organisasi, Didiklah Penguasa dengan Perlawanan”, ‘’Mahasiswa Harus Kritis’’, “Merdeka?”, “Uang Kuliah Tinggi”, “Tolak UKT”, “Kebebasan Berekspresi”, “Ayo Terbuka, Tinggalkan Orba”. Adapun beberapa anggota Ekspresi yang tidak memegang spanduk ataupun rontek lantaran mereka sudah dipersiapkan untuk menjadi orator, pembaca puisi, dan pemandu lagu “Darah Juang”.

Untuk diketahui, konsep besar macam spanduk, rontek, orasi, pembacaan puisi, dan penyanyian lagu “Darah Juang”, ialah identitas dan tradisi Ekspresi setiap kali tampil pada Display UKM dari tahun ke tahun.

Pada saat semua atribut sudah dipersiapkan, sekitar pukul 11.20, terlihat seorang lelaki, yang kira-kira berusia 30-an, terus-menerus memperhatikan rontek-rontek yang dibawa Ekspresi. Mencurigai gelagat buruk lelaki itu, beberapa anggota Ekspresi saling berbicara dengan suara lirih. Kecurigaan sampai pada kesimpulan bahwa lelaki itu ialah intel. Satu-dua anggota Ekspresi bahkan mendapatinya menyimpan pistol di samping pinggang kirinya (perhatikan menit ke 01.49 dalam rekaman video).

Kecurigaan mulai terbukti ketika pada sekitar 11.30, lelaki itu bertanya kepada beberapa anggota Ekspresi. “Ini apa? Mengapa ada ‘perlawanan’? Mengapa ada ‘penguasa’?” katanya sambil menunjuk ke rontek-rontek.

“Siapa yang dituakan di sini?” lelaki yang mengaku keamanan kampus tersebut kemudian mencari perwakilan Ekspresi untuk berbicara.

Ketika satu-dua anggota Ekspresi mendekatinya, dia dengan suara lantang langsung melarang Ekspresi membawa masuk rontek-rontek. Tak terima dengan perlakuan itu, lima anggota Ekspresi pun mengerumuninya tepat di depan lorong GOR.

Lima anggota Ekspresi kemudian bersitegang dengannya. Ekspresi bersikukuh untuk membawa rontek-rontek sebagai bagian dari penampilan pada Display UKM. Ekspresi lalu mempertanyakan alasan perlarangan tersebut. “Demi keamanan,” jawabnya, dengan nada tinggi. Namun, Ekspresi tak bisa menerima alasan yang dilontarkannya.

Ekspresi kemudian menjelaskan bahwa setiap UKM diperbolehkan membawa identitasnya masing-masing—merujuk pada spanduk dan rontek-rontek sebagai identitas Ekspresi. “Silakan bawa identitas kalian,” kata lelaki itu dengan mata melotot, “Tapi rontek enggak boleh dibawa masuk,” dia masih berbicara dengan nada tinggi.

“Ini identitas kami,” jawab salah satu anggota Ekspresi merujuk ke rontek-rontek.

“Ini bukan identitas kalian. Ini protes.”

“Ini identitas kami. Kami sendiri yang bikin,” bantah seorang anggota Ekspresi.

Di tengah adu argumen antara Ekspresi dan lelaki yang melarang dimasukkannya rontek, seorang anggota Ekspresi datang untuk merekam kejadian tersebut dengan sebuah kamera. Datang pula beberapa panitia acara dan satuan pengamanan.

“Keputusannya, ini (spanduk) boleh dibawa masuk. Poster (maksudnya: rontek) enggak,” perintahnya.

Mendapati perilakunya bikin keributan tengah direkam, dia lalu memukul kamera yang dipegang anggota Ekspresi. “Siapa kamu?” teriaknya.

Tak sampai di situ, dia melanjutkan perilaku represifnya dengan mendorong dan menantang salah satu anggota lain Ekspresi berkelahi. “Apa mau kamu?” katanya, kemudian berusaha menyeret salah satu anggota Ekspresi menjauhi kerumunan. Namun, anggota Ekspresi yang dicoba diseret itu tak meladeninya. Beberapa anggota Ekspresi lain kemudian mengatakan bahwa perilaku lelaki tersebut tidak layak terjadi di lingkungan kampus.

Sekeluar dari kerumunan, dia masih saja mengajak salah satu anggota Ekspresi berkelahi. Namun, lagi-lagi, perkataannya tak dihiraukan oleh anggota Ekspresi. Dia kemudian memberi perintah pada satuan keamanan kampus untuk “mengamankan” rontek-rontek. “Security, amankan!” teriaknya.

Akan tetapi, anggota Ekspresi tetap mempertahankan rontek dan spanduk untuk ditampilkan di acara Display UKM. Tidak terlihat adanya satu komando antara lelaki yang melakukan tindakan repesif itu dan satuan keamanan. Hanya salah satu anggota satuan keamanan yang mematuhi perintah itu dengan melakukan sedikit usaha pelarangan dimasukkannya rontek-rontek.

Akhirnya, sekitar pukul 11.40, LPM Ekspresi dapat membawa masuk spanduk dan seluruh rontek ke lorong GOR untuk mempersiapkan penampilan di hadapan mahasiswa baru dan rektorat di dalam GOR. Sementara lelaki itu terlihat berbicara dengan satuan keamanan di tepi lorong. Sayangnya, Ekspresi luput untuk menanyakan identitas lelaki yang melakukan tindakan represif tersebut.

***

LPM Ekspresi mengecam keras tindakan represif tersebut. Dengan alasan apapun, tindakan represif tak bisa dibenarkan. Terlebih tindakan kekerasan dengan cara memukul kamera yang dipegang anggota Ekspresi. Begitu pula dengan ajakannya berkelahi terhadap anggota Ekspresi. LPM Ekspresi juga mengecam keterlibatan lelaki yang membawa pistol tersebut di dalam kegiatan kampus yang tidak hanya merugikan LPM Ekspresi, tetapi juga merugikan pihak lain: panitia Display UKM, panitia Ospek, pegiat UKM, dan universitas.

***

Narahubung:

Mariatul Kibtiyah (Pemimpin Umum LPM Ekspresi) +6285726377758

Taufik Nurhidayat (Sekretaris Jenderal PPMI Dewan Kota Yogyakarta) +6283869971305

Kategori
Diskusi

Universitas Ahmad Dahlan Sebaiknya Berubah Menjadi Politeknik Ahmad Dahlan Jika Tidak Ingin Dikritik

Apa yang kini tengah dipikirkan oleh Abdul Fadlil, Wakil Rektor III Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, setelah hampir seminggu membekukan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) POROS, Lega? Bapak Fadlil yang saya hormati, sebaiknya anda jangan lega dulu. Ancaman kritik itu bisa saja membahayakan citra kampus Ahmad Dahlan jika status Universitas tidak segera diganti menjadi Politeknik.

Hampir sepekan, lini masa sosial media saya facebook ramai dengan tagar #SavePoros. Keberanian Fadlil membekukan LPM POROS telah membangkitkan semangat perlawanan teman-teman mahasiswa di beragam daerah. Solidaritas mahasiswa yang tergabung dalam Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) makin kuat.


PPMI Kota Jember dan PPMI DK Yogyakarta telah menyatakan sikap: menolak, mengecam, dan menuntut birokrat Universitas Ahmad Dahlan segera mencabut pembekuan LPM POROS. Di Semarang, anggota Lembaga Pers Mahasiwa se-Universitas Islam Negeri Walisongo bahkan telah menggelar aksi solidaritas dengan melakukan orasi berisi perlawanan serupa: menuntut pencabutan pembekuan LPM POROS.

Sampai detik ini, apakah bapak Fadlil yakin masih bisa lega? Dengan membekukan LPM POROS, bapak pasti berharap tak ada lagi kritik tajam dari mahasiswa yang anda khawatirkan bisa meruntuhkan citra kampus anda. Dengan begitu, usaha Bapak dalam merawat permintaan pasar tidak lagi terganggu.

Jika LPM POROS tiada, citra baik kampus Ahmad Dahlan diharapkan semakin bersemi karena tidak ada media yang membuka sirkulasi gagasan untuk mahasiswa, dalam menyorot kebijakan kampus. Hilirnya adalah adik-adik gemas lulusan sekolah menengah atas yang bisa jadi prospek bagi Universitas Ahmad Dahlan.

Laju pertumbuhan pemikiran mahasiswa semacam Nurul Fitriana Putri, mantan Pemimpin Umum LPM POROS atau Lalu Bintang Wahyu Putra, Pemimpin Umum LPM POROS yang sekarang, tidak akan terhenti jika status Universitas Ahmad Dahlan tidak segera diubah menjadi Politeknik Ahmad Dahlan.

Mari coba kita amati, tokoh-tokoh mahasiswa yang giat benar menyuarakan kritik terhadap kebijakan kampus mayoritas berasal dari satu rumpun sistem pendidikan: Universitas. Abdus Somad, Sekretaris Jenderal PPMI Nasional, mahasiswa berambut gondrong yang disegani itu adalah mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan. Sadam Husaen Mohammad, eks penjaga gawang LPM IDEAS reportase majalahnya terkenal mendalam itu adalah mahasiswa Universitas Negeri Jember. Taufik Nurhidayat, eks Jaringan Kerja LPM EKSPRESI yang galaknya bukan main juga berasal dari Universitas Negeri Yogyakarta. Tapi apakah Bapak pernah nama Abdul Aziiz Ghofur, Pemimpin Umum LPM DIMENSI Politeknik Negeri Semarang?

Kita tahu aksi-aksi demo mahasiswa yang walaupun kini tak seramai dulu, mayoritas adalah buah pemikiran mahasiswa-mahasiswa yang menempuh ilmu di universitas. Di politeknik, lembaga produsen kritik semacam pers mahasiswa bukannya tidak ada, mereka masih bernafas. Tengoklah Aliansi Pers Mahasiswa Politeknik Indonesia (APMPI), sejak dibentuk tahun 2007 silam, suaranya paling-paling terdengar hanya setahun sekali, itu pun jika ada yang mau mendengarkan.

Sistem pendidikan yang membuat jurang perbedaan karakter antara mahasiswa universitas dengan mahasiswa politeknik. Di universitas, mahasiswa diberi kebebasan memilih jumlah SKS dan menentukan sendiri jam-jam kuliah yang ingin ia ikuti. Akibatnya, mereka mampu mengatur jadwal, atau katakanlah melonggarkan jadwal kuliah.

Kelonggaran tersebut bagi mahasiswa pro pergerakan jelas akan dimanfaatkan untuk membaca buku-buku bergizi, berkumpul dan berdisuksi sehingga tercipta karakter mahasiswa yang gemar melawan, mengkritisi kebijakan-kebijakan kampus. Bagi mahasiswa cum jurnalis kampus, kelonggaran waktu tersebut tentu berguna untuk mengejar narasumber, menyelesaikan tulisan sesuai deadline, melakukan sejumlah riset untuk bahan tulisan, serta macam-macam kerja jurnalistik lain. Di universitas, mahasiswa diberi kebebasan untuk bolos asal tidak melebihi 75% jumlah kehadiran.

Berbeda dengan mahasiswa Politeknik. Sistem SKS ditentukan oleh mekanisme kampus. Mahasiswa memulai kuliah pukul tujuh pagi dan pulang pada pukul dua siang. Sial lagi bagi mahasiswa yang kena jadwal kuliah malam, berangkat sebelum jam dua siang dan baru pulang pukul sembilan malam. Bolos pun tidak sebebas di universitas.

Lha kok bebas, mau niat untuk bolos saja mikirnya semalam suntuk pak. Selain ancaman Drop Out apabila tidak mengikuti perkuliahan selama lebih dari 38 jam, ancaman kompensasi adalah yang paling kerap menghantui mahasiswa politeknik. Mahasiswa politeknik yang bolos kuliah bisa dikenai denda, dimintai uang untuk menebus kesalahannya karena telah mangkir dari kuliah.

Tidak hanya itu, tugas yang segudang lebih-lebih bagi mahasiswa Politeknik jurusan Teknik Sipil atau Teknik Elektro dapat dipastikan akan menyita sisa waktu setelah pulang kuliah. Meski begitu, organisasi mahasiswa di politeknik masih ada, walapun kerjanya lebih mirip Event Organizer. Jika pun mahasiswa politeknik berkumpul dan berdiskusi, hasilnya paling sering adalah seminar kewirausahaan. Maka pengetahuan mahasiswa politeknik tak jauh-jauh dari kemampuan marketing, keahlian merakit mobil listrik, serta kiat-kiat menjadi sekretaris korporat yang kebijakannya sering dikritisi mahasiswa universitas itu.

Bukankah sistem semacam itu dapat menghambat pola pikir kritis mahasiswa? Alhasil, kritik-kritik tajam yang dapat melemahkan citra kampus bisa diminimalisir. Sistem pendidikan di politeknik memang dibuat untuk memenuhi permintaan korporat, bahkan sejak dalam kandungan.

Karena itu ada baiknya jika Universitas Ahmad Dahlan beralih menjadi Politeknik Ahmad Dahlan. Untuk apa mematikan segelintir suara mahasiswa jika nantinya malah menumbuhkan seribu lagi suara mahasiswa. Percayalah pak, serahkan pembekuan pada sistem. Merebut waktu dan bacaan mahasiswa yang berbau Marxisme dan Leninisme itu dengan sebentuk sistem yang menekan daya pikir dan kepekaan mahasiswa adalah strategi yang lebih baik untuk menghentikan arus kritik. Daripada harus menghardik anggota pers mahasiswa? Kan nggak mbois, orba banget deh!

Kategori
Agenda

Launching Majalah EKSPRESI Edisi XXVIII – Memburu Aliran Emas Biru

TOR Diskusi: Jalan Baru Pengelolaan Air
Pembicara kedua: Chabibullah, Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air

Minimnya pendanaan pemerintah memaksa PDAM terjun dalam dunia bisnis. Air dijadikan alat penghasil keuntungan dan semakin bias sebagai barang sosial.

Secara klimatis-geografis Indonesia adalah negara tropis dengan curah hujan tinggi serta negara maritim dengan jumlah pulau yang sangat banyak dan cenderung bergunung-gunung. Dengan demikian, jika didukung oleh keberadaan vegetasi yang mencukupi serta pengelolaan yang baik, cadangan air tanah akan sangat mencukupi bagi penduduknya. Oleh sebab itu, sangatlah ironis jika Indonesia dihadapkan dengan masalah krisis air. Namun, faktanya kini masyarakat semakin sulit untuk mendapatkan haknya menggunakan sumberdaya air secara memadai, baik secara kuantitas maupun kualitas. Terlebih, jika air dilihat sebagai barang ekonomi.

 

Meskipun air sebagai benda ekonomi adalah kenyataan sosial yang tidak dapat ditolak, namun tidak dapat dikesampingkan kedudukan air sebagai public good, dengan alasan i) orang membeli air olahan (treated water atau value added water) sebagai pilihan karena adanya daya beli; ii) dalam masyarakat yang tidak punya daya beli, memperlakukan air sebagai barang ekonomi dengan logika pasarnya akan menghalangi manusia untuk mendapatkan akses kepada air untuk keperluan dasar hidup. Cadangan air yang seharunya melimpah lalu digunakan untuk kemakmuran masyarakatnya menjadi nihil karena pengelolaan air hanya dikuasai dikuasai beberapa kelompok.

 

Untuk menganalisis terjadinya krisis air di Indonesia, dapat dirunut dari komponen alam maupun manusia sebagi pengguna sekaligus pengelolanya. Pertama, secara alami faktor klimatik, edafik maupun geografi Indonesia mendukung ketersediaan air tanah (air tawar). Akan tetapi, hal tersebut harus didukung oleh ketersediaan vegetasi sebagai komponen biotik yang mampu meningkatkan infiltrasi air hujan, membentuk siklus pendek hidrologi, dan mengendalikan aliran permukaan.

 

Sehingga air yang melimpah di musim penghujan tidak menyebabkan erosi maupun banjir tetapi tersimpan ke dalam tanah. Jadi, sewaktu-waktu air dapat tersedia lagi di permukaan melalui mata air serta dapat terpurifikasi dari pencemaran. Terjadinya pengurangan populasi maupun keragaman vegetasi seperti penggundulan hutan, alih guna lahan, monokulturisasi sektor kehutanan dan pertanian, jelas akan mengurangi pula cadangan air tanah.

 

Kedua, manusia merupakan komponen utama penyebab distorsi kuantitas dan kualitas sumber daya air. Terjadinya perubahan karakter alam yang membatasi kuantitas air tidak terlepas dari peran manusia sebagai penyebab utama. Demikian juga dengan penurunan kualitas air. Hal ini diperparah oleh peningkatan intensitas eksploitasi air untuk tujuan komersial, baik untuk pertanian, industri maupun konsumsi. Eksploitasi air tanah akan menyebabkan perubahan tata air di dalam tanah. Jika hal ini tidak dibatasi, akan terjadi krisis air secara simultan yang cenderung semakin tidak dapat terkontrol dan terpulihkan.

 

Kesimpulannya, faktor kunci pengendalian krisis air adalah manusia, baik pada tata guna maupun tata kelolanya. Kata kuncinya adalah kembalikan sumber daya air untuk kemaslahatan bersama bukan untuk sekelompok maupun segelintir manusia.

 

Mengingat masalah krisis air cenderung semakin meningkat wajib hukumnya untuk diatasi melalui gerakan revolutif, baik tata guna maupun tata kelolanya. Untuk Indonesia, pembatalan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 oleh Mahkamah Konstitusi merupakan energi luar biasa besar untuk mendorong terjadinya gerakan pemulihan kedaulatan air asalkan diikuti oleh diterbitkannya peraturan-peraturan maupun implementasinya yang sejalan. Karena MahkamahKonstitusi melihat UU SDA hanya melahirkan korporitisasi dalam pengelolaanya.

 

Korporatisasi yang terjadi di Indonesia perlu ditinjau ulang. Air tidak diposisikan sebagai barang sosial ketika Negara melakukan kerja-kerja pengelolaan air. Hal tersebut diungkapkan oleh Wijanto Hadipuro, dosen Universitas Katolik Soegijapranata (Unika) saat dihubungi Sabtu (14/11). ”Dengan korporatisasi kita sedang mengubah hubungan kita dengan negara. Kalau kita membeli air dan negara bilang untung dan rugi, berarti hubungannya bukan lagi antar negara dan warganya, melainkan antara konsumen dan produsen,” ungkap Wijanto. Pria yang juga Ketua Peneliti Pusat Pengkajian dan Pengembangan Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unika ini menjelaskan, meski korporatisasi telah berlangsung sejak lama namun Negara melalui PDAM harus segera mengubah orientasinya dari profit ke layanan publik.

 

Hal tersebut membuat Negara menjalankan dengan aturan main bisnis, seperti adanya pertimbangan efisiensi, pemulihan biaya penuh (full cost recovery), dan biaya peluang (oportunity cost). Imbasnya, PDAM cenderung memandang air sebagai komoditas dan semakin menjauhi prioritas utama PDAM untuk pelayanan publik.

Dari setiap perhitungan biaya tersebut, perhitungan paling berbahaya terletak pada biaya peluang. Dengan memasukkan pertimbangan tersebut, PDAM bisa saja akan memandang bisnis air perpipaan tidak banyak menghasilkan laba. Kemudian, PDAM akan mencari usaha lain yang lebih menguntungkan seperti bergerak di bidang air minum dalam kemasan (AMDK). Bila dibandingkan, AMDK memang lebih menguntungkan jika orientasi PDAM benar-benar untuk profit. Harga AMDK 600 ml bisa sampai Rp1000 sedangkan air perpipaan Rp4000 per meter kubik atau Rp4 per 1 liter.

Belakangan, beberapa PDAM di berbagai daerah telah mengeluarkan produk AMDK-nya sendiri. Seperti PDAM Tirtawening Bandung dengan dua merek bernama WaterMed dan Hanaang. PDAM TBW Kota Sukabumi juga telah bekerja sama dengan Pesantren Al Fath Sukabumi untuk memroduksi AMDK bernama Addua. Di Sleman, PDAM Tirta Dharma juga telah mengeluarkan Evita dan Qannat. Saat ini belum diketahui secara pasti berapa jumlah PDAM yang telah memproduksi AMDK sendiri.

Air seharunya berada di tangan negara. Hal ini sejalan dengan konstitusi yang berlaku di Indonesia, baik melalui pasal 33 UUD 1945 maupun pasal 2 UU No.5 tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA). Dengan demikian, air yang berada di dalam wilayah Indonesia, tidak berada di dalam kekuasaan siapapun kecuali negara, dan rakyat dengan hak asasi yang dimilikinya mendapatkan jaminan berdasarkan konstitusi untuk memperoleh akses air bagi kebutuhan dasar dan penghidupan, seperti yang dijelaskan dalam Undang Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air Pasal 5 yang menyatakan bahwa Negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok sehari-hari guna memenuhi kebutuhannya yang sehat, bersih dan produktif.