Kategori
Diskusi

Pers Mahasiswa: Merawat Aktivisme Melalui Sekte Akademis Dizaman Industria(jurna)listik

Pers Mahasiswa (Persma) adalah konklusi dari bilahan histori yang akut. Pers dikandung independensi dengan cita luhur untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pengayaan informasi. Dalam UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers, Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar,  suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik dan segala jenis saluran yang tersedia.

Mahasiswa adalah bilahan dari aktivisme dan akademis. Aktivisme lantas diadopsi oleh pelbagai lapisan dan menamai dirinya dengan ‘gerakan mahasiswa’, tidak terkecuali dengan persma. Dipopramono (1989) dalam Perlawanan Pers Mahasiswa Protes Sepanjang NKK/BKK karya Didik Supriyanto  mengatakan bahwa pemerintah menganggap penggerak protes mahasiswa yang muncul akhir 1987 itu adalah aktivis pers mahasiswa.  Bahkan dalam Mendikbud Fuad Hassan pernah memberi peringatan agar persma tidak jadi wahana sikap kontra. “Jangan sampai Pers mahasiswa menjadi sumber keresahan dan keonaran,” katanya  (Kompas: 5/5/1987). Kampus turut melakukan usaha preventif yang masih memakai nalar zaman kolonial dengan mengeluarkan Drukpersreglement versi zaman now karena dianggap mencemarkan nama baik kampus. Di bilahan lain, bagi persma yang cenderung berorientasi dan berotasi di ranah akademis, ia kerap dicap sebagai humas kampus.

Dasarnya, tidak sama sekali kontras ketika ketiga embrio (independensi, aktivisme dan akademis) ini dikawinkan. Di sisi lain, justru dosa besar yang terus diwarisi dibumbui konflik horizontal. Ketidakpahaman dan keterkotak-kotakan ini memanifestasikan sebuah tanya dengan diktum, kemana arah gerak persma? Satu pertanyaan lain yang sangat tiras adalah anekdot, apakah persma harus netral?

Netral Bukan Tujuan Jurnalisme

Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam Sembilan Elemen Jurnalisme menjelaskan wartawan tidak dituntut untuk netral. Para praktisi jurnalis harus menjaga independensi dari objek liputannya. Di elemen yang lain Kovach dan Rosenstiel juga  juga memaparkan it must serve as an independent monitor of power. Senada dengan Kovach dan Rosenstiel, Andreas Harsono menambahkan independen tidak berarti ia netral. Wartawan boleh tidak netral, karena tujuan jurnalisme adalah mencari kebenaran.

“Saya boleh meliput manajemen kampus, saya boleh berteman dengan rektor, tapi saya tetap harus independen dari rektor, atau saya harus independen dari bupati, senat mahasiswa dan seterusnya,” kata Andreas saat diwawancari pada Musyawarah Kerja Nasional Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia 23 November 2018 di telaga Ngebel Ponorogo.

Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 Tentang Kode Etik Jurnalistik juga tidak mewajibkan praktisi pers untuk netral atau bersikap, tetapi wartawan diwajibkan untuk independen.  Pada pasal 1, wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang dan tidak beritikad buruk. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan hati nurani tanpa campur tangan, paksaan dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.

Dua sisi

Combine Resource Institution pada 4 Februari 2017 menghelat diskusi bertajuk “Media Komunitas Melawan Hoax” dan menghadirkan Ahmad Djauhar untuk berbicara mewakili Dewan Pers. Dikutip dari combine.or.id Ahmad Djauhar sempat menjawab kekhawatiran pegiat media non perusahaan. Menurutnya, jika media komunitas (semacam pers kampus) menerapkan dan mematuhi kaidah jurnalistik, maka para pegiat tidak perlu merasa khawatir. “Kalau anda tidak melakukan kesalahan, tidak usah takut,” ujarnya.

Dalam slide Merunut Media Hoax dan Upaya Melawannya yang ditulis oleh Yosep Adi Prasetyo selaku ketua Dewan Pers pada 12 Januari 2017 menempatkan persma dan media komunitas  dalam kuadran II dibawah media arus utama yang berada dalam kuadran pertama. Menurut slide ini, meski tidak tervervikasi media yang masuk dalam kuadran II masih berada dalam ‘zona aman’ ketimbang dua kuadran di bawahnya.

Di sisi lain, Persma kerap dianggap media amatir. Dalam definisi dewan pers berdasarkan UU Pers, pers harus berbentuk Perusahaan Pers dan sudah semestinya berbadan hukum. Dilansir dari dewanpers.or.id ada dua pilihan untuk pers kampus. Pertama, pers semacam pers kampus tidak digolongkan sebagai pers. Sehingga, tidak perlu tunduk terhadap kode etik dan Undang-Undang Pers. Akibatnya, pers kampus tidak berhak atas perlindungan yang diatur kode etik, Undang-Undang Pers, dan berbagai jaminan kemerdekaan pers. Kedua melonggarkan kegiatan pers. Pers tidak hanya dilaksanakan oleh atau melalui perusahaan pers. Kalau konsep semacam ini dapat diterima, harus ada perubahan UU No. 40 Tahun 1999.

Bersatu Untuk Keberpihakan

Dikotomi antara sekte aktivis dan akademis membuat persma memperlebar ruang konflik horizontal. Akibatnya, jangankan untuk memperjuangkan isu, persma kerap disibukkan oleh permasalah-permasalahan internal yang diwarisi tak berkesesudahan. Persma sekte aktivis seringkali terlena dengan keaktivisannya dan bahkan meninggalkan kampus. Pun sebaliknya, bagi persma yang akademistis turun ke jalan bukan bagian dari jurnalisme.

Pun ketika kita sudah berhasil mengawinkan pers (independensi) dengan dua bilahan aktivisme dan akademis dengan tidak memisahkan satu diantaranya adalah salah satu bentuk berhimpun. Perhimpunan ini akan melahirkan apa yang kita sebut idealisme. Tak ayal, muncul diktum “pers mahasiswa adalah idealisme”.

Karena idealisme tidak lahir dari pengakuan, tetapi lahir dari kebutuhan maka persma tidak perlu berbadan hukum. Tapi cukup berbadan pekerja (BP), artinya perkawinan yang lebih besar yaitu pers mahasiswa berhimpun dalam satu perhimpunan yakni PPMI. Dengan perhimpunan idealisme yang beragam tersebut, kepercayaan masyarakat kepada persma semakin meningkat. Diakui atau tidaknya persma oleh aturan hukum yang industria(jurna)listik itu menjadi pilihan yang boleh tidak dipilih.

Kategori
Diskusi

Kebebasan Pers Indonesia hanya Euforia

Ilustrasi: Syifaul Qulub/LPM Mercusuar
Ilustrasi: Syifaul Qulub/LPM Mercusuar

Pada 9 Februari lalu, Hari Pers Nasional (HPN) diselenggarakan di Surabaya, kota tempat saya berdomisili saat ini, dengan euforia luar biasa. Beragam acara diselenggarakan untuk menyambut HPN, yang banyak menguras dana. Presiden Joko Widodo yang hadir saat HPN pun mendapat penghargaan kemerdekaan pers.

Bicara soal kebebasan pers di Indonesia, saya jadi teringat kalimat pembuka pidato Presiden dalam peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia di Jakarta pada Mei 2017, “selamat datang di Indonesia, rumah dari jurnalisme paling bebas dan bergairah di dunia”. Jika berdasarkan logika sederhana, maka proses demokratisasi pasca runtuhnya Orde Baru dapat membuka keran kebebasan pers seluas-luasnya. Saya pun melihat banyak bermunculan media baru, serta kini pemberitaan media tak harus menurut pada keinginan pemerintah.

Namun,apabila mengacu pada indikator yang dibuat Reporters Sans Frontières (RSF), situasi kebebasan didasari pada kondisi kemajemukan media, independensi media, aturan legislatif yang mengatur pers, dan keselamatan jurnalis. Apakah kemudian Indonesia sudah memenuhi semua indikator tersebut?

Hampir dua tahun setelah pidatonya tersebut, iklim kebebasan pers Indonesia patut dipertanyakan eksistensinya. Presiden Jokowi sempat memancing polemik setelah memberikan remisi kepada I Nyoman Susrama, pembunuh wartawan Radar Bali AA Gede Bagus Narendra Prabangsa, yang kemudian dicabut kembali. Prabangsa dibunuh bukan karena permasalahan pribadi, tapi karena liputan investigasinya terhadap korupsi proyek pendidikan yang dilakukan Susrama. Dengan remisi tersebut, maka hukuman Susrama pun berubah, dari semula penjara seumur hidup menjadi 20 tahun penjara. Pemberian remisi terhadap pembunuh jurnalis menjadikan Presiden tampak tidak serius dalam merawat kebebasan pers Indonesia.

Selain kasus Prabangsa, faktanya Indonesia memang bukan rumah yang paling bebas bagi jurnalisme seperti yang digembar-gemborkan oleh Presiden. Berdasarkan data Committee to Protect Journalist, ada 10 jurnalis yang tewas dari tahun 1992 hingga 2019 (per 28 Januari 2019, termasuk kasus pembunuhan Prabangsa). Kemudian jumlah kekerasan terhadap jurnalis pada 2018 berdasarkan siaran pers AJI Catatan Akhir Tahun 2018: Jurnalis Dibayangi Persekusi dan Kekerasan Fisik menunjukkan adanya tren peningkatan, dari semula 60 kasus di 2017 menjadi 64 kasus di 2018. Sedangkan berdasarkan indeks kebebasan pers yang dirilis oleh RSF, Indonesia menempati peringkat 124 dari 180 negara, dan masuk dalam kategori bad (buruk).

Berdasarkan laporan singkat RSF, beberapa catatan buruk yang menyebabkan buruknya tingkat kebebasan pers Indonesia antara lain: pembatasan akses jurnalis ke Papua dan kekerasan terhadap jurnalis lokal Papua; kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis yang bahkan dilakukan oleh perangkat negara; ancaman kelompok garis keras; dan self-censorship yang dilakukan oleh para jurnalis karena ancaman UU ITE dan Penistaan Agama. Singkatnya, pemerintah kini memang tidak melakukan penyensoran terhadap berita yang akan dimuat, namun akses pers terbatas untuk mendapatkan dan menyebarkan informasi yang dianggap tabu seperti isu Papua dan agama. Hal ini dikarenakan batasan dari aturan yang berlaku dan ancaman kekerasan yang datang dari perangkat negara, dan bahkan kini aktor-aktor horizontal. Kondisi tersebut menyebabkan independensi pers tergerus untuk memberitakan informasi seutuhnya.

Bukan hanya catatan buruk soal keselamatan para jurnalis dan independensi pers, kemajemukan media di Indonesia pun menjadi pertanyaan hingga hari ini. Studi Remotivi (2014) menyebutkan bahwa berita dari wilayah Jabodetabek mendominasi layar kaca kita hari ini, dengan 69 persen secara frekuensi, dan 73 persen secara durasi. Tentu fenomena ini melanggar asas keberagaman dalam UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, dan memberi legitimasi bahwa seakan-akan hanya Jabodetabek sebagai gambaran umum dari Indonesia. Selain masalah keadilan informasi, sentralisasi informasi ini pun dapat menimbulkan masalah ekonomi, karena omzet usaha media banyak berputar di Jakarta.

Maka kebebasan pers yang kini sedang kita nikmati hanyalah euforia semata, tanpa pernah menyentuh substansi. Masih rendahnya kesadaran terhadap kebebasan pers yang substansial membuat permasalahan kebebasan pers hari ini dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan jarang diulas mendalam, bahkan mungkin oleh para pelaku media itu sendiri. Literasi media harusnya menjadi sesuatu yang penting, mengingat media merupakan barang publik. Tidak hanya itu, lembaga negara yang mengawasi media harus ditegakkan kembali fungsinya, untuk menjaga kualitas kebebasan pers yang seutuhnya ditujukan untuk kemaslahatan publik, bukan menyajikan informasi-informasi tak bermutu.

Tapi ngomong-ngomong, dengan banyaknya kejadian pemberangusan kebebasan pers yang melibatkan negara, masihkah kita berharap kepada negara?

Kategori
Diskusi

Donald Trump Adalah Pejabat Kita

Donald Trump geram pada hampir semua media massa yang menulis soal dirinya dengan buruk. Awal Agustus kemarin, calon Presiden Amerika Serikat yang didukung Partai Republik itu, dalam sebuah wawancara di televisi, mengklaim The New York Times memperlakukan dirinya sangat tidak adil.

Trump menghitung The New York Times menulis sekitar tiga atau empat tulisan tentang dirinya dalam satu hari. Meski sebaik apapun yang telah dilakukan Trump, “mereka tidak akan pernah menulis dengan baik.”

Bahkan Maggie Haberman, wartawan The New York Times dalam wawancara berdurasi 20 menit itu, dituding Trump sebagai seorang wartawan yang tidak tahu bagaimana cara menulis dengan baik. Haberman tak mau ambil pusing, karena “baik” bagi Trump adalah prestasi dan hal-hal baik tentang sosok dan kampanye retoriknya.

Trump bisa saja benar. Bahwa The New York Times media massa yang berusia lebih dari satu abad itu, tidak pernah dan tidak akan pernah bisa menulis dengan bagus. Membaca The New York Times bagi Trump hanya buang-buang uang. Tapi saya kira Trump juga bukan pembaca media yang baik.

Pada 1949, tiga tahun setelah hari kelahiran Trump, Mayer Berger membuat laporan sepanjang 3.170 kata tentang penembakan berantai di Camden, New Jersey. Laporan itu berisi kisah penembakan 12 orang warga oleh seorang pria bekas tentara bernama Howard Barton Unruh. Ia menulis dengan detail bagaimana Unruh melancarkan pembunuhan membabi-buta selama sekitar 12 menit, berjalan kaki dari satu kios dan warung, lalu mendorong pelatuk pistol Luger berisi peluru ke arah para korban, yang salah satunya adalah anak kecil berusia 6 tahun.

Tidak ada yang menarik dari laporan Berger. Selain laporan enam babak penuh adegan menegangkan dan ketakutan orang-orang di sekitar kejadian. Upaya Berger merinci latar belakang atau motif dari tragedi berdarah itu. Kegigihan mewawancarai sekitar 20 narasumber dalam waktu satu hari. Lalu absennya penghakiman Berger atas pelaku pembunuhan.

Itu tentu bukan perkara enteng. Menyulam fakta di balik sebuah tragedi berdarah, yang mulanya disulut oleh gosip antar tetangga, menjadi sebuah narasi sinematik. Mark Johnshon, peraih penghargaan Pulitzer untuk kategori Explanatory Reporting, ketika membaca laporan itu merasa sedang melihat rekaman video dari kamera yang membuntuti Unruh.

Laporan itu terbit di The New York Times, dengan judul Veteran Kills 12 in Mad Rampage on Camden Street. Beberapa bulan kemudian Berger meraih penghargaan Pulitzer untuk kategori laporan lokal terbaik.

Trump tentu setuju bahwa laporan Berger tak menarik. Karena tidak ada kisah heroik seorang tokoh tenar, atau seorang negarawan tulen yang memimpikan diri menjadi presiden. Tapi saya kira Trump juga perlu belajar dari Margalit Fox, wartawati The New York Times yang telah menulis hampir seribu obituarium.

Bahwa sebuah laporan jurnalistik tak melulu bicara tentang pahlawan kontroversial, atau sekadar hitam dan putih. Fox percaya sebuah kisah obituarium misalnya, yang paling bagus adalah kisah tentang pemain di balik layar, orang-orang tanpa tanda jasa, meski tidak ada yang tahu nama mereka, “tapi perlu gagasannya perlu hadir dalam tatanan masyarakat.”

Misalnya Fox lebih memilih menulis obituarium Alice Kober. Seorang profesor bergaji rendah di Brooklyn College, yang berusaha memecahkan kode dan membuat katalog tentang Linear B, Sebuah aksara kuno berusia sekitar 3000 tahun. Hampir tiap malam Kober memilah dan membuat catatan statistik. Sayangnya ia gagal.

Kober meninggal di usia 43, dua tahun sebelum Michael Ventris, seorang arsitek menjadi tenar karena berhasil memecahkan Linear B. Sebaliknya, nama Kober tak banyak diketahui. Hal ini, bagi Fox, karena sejarah selalu ditulis oleh para pemenang.

Roy Peter Clark, guru besar di Poynter Institute, menyebut nama Berger dan Fox sebagai ‘ahli kitab’ di The New York Times. Berger adalah “the captain of this All-Star team.” Clark bahkan berharap Fox mau menulis obituariumnya saat ia meninggal.

Bagaimana dengan Trump? Mungkin setelah Fox menulis obituarium untuknya, Trump akan paham bagaimana media massa menulis dengan baik atau buruk.

Pada titik ini, ada kesamaan antara pemahaman Trump dan pola pikir para pejabat di Indonesia. Sebagaimana banyak orang yang menganggap bahwa media massa harus selalu menulis hal-hal baik. Tidak perlu menulis hal-hal buruk.

Di kampus, banyak pejabat menekankan doktirn itu pada media pers mahasiswa. Tidak perlu melaporkan keluhan mahasiswa soal metode pengajaran dosen, soal mahalnya biaya pendidikan, apalagi simpang-siur dana proyek pembangunan gedung dan kelengkapan kampus. Media pers mahasiswa cukup menulis prestasi kampus, proyek penelitian dosen, atau tidak perlu melakukan semuanya. Agar bisa lulus dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Jika perintah itu dihiraukan, maka klaim dan penghakiman kelompok yang merasa dirinya superior bergeriliya. Mereka bisa memakai kuasa dan regulasi untuk membenarkan pernyataannya. Mereka bisa menekan, mengintimidasi, atau menyingkirkan gagasan yang mengancam stabilitas negara kecil mereka.

Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) pada Mei 2016, mencatat ada 47 lembaga pers mahasiswa di Indonesia yang mengalami kekerasan sepanjang 2013-2016. Riset itu mendefinisikan kekerasan sebagai bentuk intimidasi pada reporter, penghambatan dana organisasi, dan pemberedelan media pers mahasiswa.

Ada 11 media pers mahasiswa yang diberedel. 33 lembaga pers mahasiswa yang mendapat intimidasi saat melakukan kerja jurnalistik. Bahkan sebanyak 5 pers mahasiswa dikriminalkan. Aktor tertinggi dari kasus tersebut, sebanyak 11,3 % adalah pejabat kampus.

Hasil itu tentu sah jika dianggap hanya sebuah angka-angka atau statistik. Terutama bagi pejabat yang mengira kerja jurnalisme pers mahasiswa yang ideal seharusnya cukup memberitakan hal-hal ringan. Atau bagi seorang yang tak paham bagaimana lahirnya karya jurnalistik harus melewati beberapa tahapan, dengan susah payah.

Seperti humor yang dibuat Abdul Fadlil, setelah mengancam akan membekukan pers mahasiswa Poros Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Humor itu menuai bertubi-tubi kritik dari beragam kalangan. Ia geram mengapa tindakan konyolnya terus dibicarakan di media sosial.

Saya kira pejabat kampus di Indonesia sama ngawurnya dengan Trump. Begitu nama mereka disebut, mereka bisa menjadi temperamental atau marah. Seperti Voldemort, tokoh fiksi ciptaan JK Rowling dalam serial novel Harry Potter. Mereka tidak akan pernah paham bagaimana loyalitas jurnalis harus ditempatkan, untuk kepentingan publik atau hanya menjadi gincu.[]

Kategori
Diskusi

Keburaman dan Kejelasan Jurnalisme

Jurnalisme kini nyaris mengalami “senjakala” seiring “senjakala media cetak”. Isme (paham) yang satu ini, pada masanya bernilai luhur. Yakni, saat kebutuhan manusia akan informasi dipenuhi dengan kedisiplinan empiris dari jurnalis. Namun kita harus jujur mengenai sejarah jurnalisme sampai bisa menjadi bagian dari kepercayaan umat manusia. Kisahnya tidak begitu heroik dan dramatis seperti anggapan pada kata mutiara ini: “Siapa yang menguasai informasi, maka dia menguasai dunia”.

Dahulu kala, setelah acta diurna menjadi rujukan orang-orang romawi yang ingin mengetahui pengumuman penting dari kerajaan, candu akan informasi pun terus meningkat seiring dengan temuan baru untuk menyesuaikan dengan perubahan zaman. Informasi tak bisa lepas dari teknologi. Manusia akan selalu menemukan cara untuk meraih apa yang mereka inginkan. Tak terkecuali jurnalisme.

Evolusi komunikasi terjadi dengan skala besar, namun kurang disadari. Dari temuan lukisan pada dinding gua, kemudian bahasa lisan, juga tulisan. Manusia kemudian terus berkomunikasi dengan lisan dan tulisan menggunakan media ala kadarnya, sampai muncul mesin cetak pada abad ke-15 yang ditemukan oleh Johannes Gutenberg.

Dari sinilah evolusi komunikasi yang ‘tak wajar’ berkembang pesat. Seketika orang-orang terserang wabah baru: aktivitas baca-tulis massal. Buku-buku mulai disalin dan dicetak dalam jumlah banyak. Orang-orang mulai terbiasa dengan aktivitas komunikasi secara massal. Pada abad ke-17 dan ke-18 jurnalisme atau berita pun lahir dengan wujud selebaran, membawa kepentingan oposisi politik. Toh, sejak lahirpun berita sudah ternodai dengan kepentingan sekelompok orang.

Mungkin wajar saja, berita pada masa kelahirannya masih butuh perawatan. Beberapa waktu setelahnya, seiring kian banyaknya berita, lembaran-lembaran berita menjadi berlipat ganda, dan konsumen semakin banyak. Dengan kondisi seperti itu, berita menjadi laku di pasaran, maka independensi jurnalisme mulai terbentuk, jurnalisme tumbuh dewasa dengan independen.

Demokratisasi, Reorganisasi, dan Ketegangan

Ketika jurnalisme mulai independen, para pekerjanya (jurnalis) mulai terbentuk secara professional. Namun kerentanan masih terus menghantui. Evolusi terus saja terjadi, terutama pada 3 aspek: demokratisasi, reorganisasi, dan ketegangan. Wajar saja, informasi sudah menjadi konsumsi publik, dari para elite sampai ke kaum akar rumput.

Informasi yang mewabah ini tentu menggelitik semua orang untuk berbuat sesuatu, informasi menjadi landasan seseorang maupun kelompok untuk berbuat sesuatu. Efek domino informasi yang tersebar berkat jurnalisme, terus membentuk komunitas baru yang percaya pada satu hal dan berbuat berdasarkan hal itu.

Bahwa dari pemberitaan pers perjuangan pada tahun 1945 sampai 1950-an masyarakat Indonesia mempunyai wacana tentang liberalisme, parlementarisme, demokrasi, dan lain sebagainya. Inilah yang disebut sebagai demokratisasi.

Teknologi yang juga membantu penyebaran informasi melalui jurnalisme menimbulkan perubahan bentuk dan sistemnya. Jika pada masa sebelum munculnya mesin cetak, Bible (Alkitab) hanya bisa dinikmati melalui para rohaniawan, setelahnya orang-orang bisa membelinya sendiri di toko-toko buku. Koran dengan bentuk tulisan dan batasan kertas membuat orang harus meluangkan waktu untuk menghabiskannya. Setelah muncul radio, televisi, dan internet orang-orang bisa memilih mana yang dibutuhkannya. Inilah yang dinamakan reorganisasi.

Bukan hanya itu, dengan adanya radio, raja-raja tidak membutuhkan jurnalis untuk berbicara dengan rakyatnya. Koran, televisi, dan internet memberikan akses kepada berbagai kalangan, bukan hanya sebagai konsumen tapi prosumen (produsen-konsumen). Iklan nyaris tak lagi butuh untuk “numpang” di koran sebagaimana di masa awal kemunculan koran. Para pemilik kepentingan: pemerintah, perusahaan, dan kelompok-kelompok tertentu menggunakan teknologi komunikasi untuk mendominasi informasi. Jurnalis sudah bukan menjadi domain utama pada era banjir informasi ini.

Setelah demokratisasi dan reorganisasi, orang-orang lalu bertanya, informasi mana yang harus dipercayai. Fakta dan keyakinan menjadi kabur. Seperti saat filsuf klasik yang memperdebatkan antara kebenaran relatif dan kebenaran mutlak. Informasi yang mulai menumpuk membuat suatu ketegangan, yang mempertanyakan kebenaran. Jurnalisme seperti terjebak, dan mulai memasuki area berbahaya, banyak jurnalis yang menjadi partisan kelompok politik tertentu. Walau kadangkala tidak seekstrem itu, jurnalis pada praktiknya mengabaikan cara-cara tradisional dalam mencari, mengolah, dan menyajikan berita. Independensi jurnalisme mulai goyah. Hidup segan mati tak mau.

Keburaman dan Kejelasan

Jurnalisme hanya menjadi kedok agar kegiatan mencari, mengolah, dan menyebarkan berita ini masih menjadi pekerjaan profesional. Namun inti dari jurnalisme belum dan tidak akan pernah hilang, yakni kebutuhan akan informasi yang benar. Benar dalam artian yang sebenarnya. Kebenaran yang sebenarnya tidak akan didapatkan saat independensi hilang.

Independensi pun menjadi korban ketegangan di kalangan wartawan. Banyak yang mengartikan bahwa iklan atau advertorial serta halaman kontrak pada koran adalah satu-satunya cara untuk independen. Akibatnya mereka tidak bisa membedakan mana berita dan mana iklan. Independensi jurnalisme sebenarnya bukan pada bentuk yang tidak substansial itu, berita adalah berita dan iklan adalah iklan. Orang bisa saja menaruh iklan di koran, tapi koran punya cara sendiri untuk menyajikan berita. Sekalipun berita tentang perusahaan yang menaruh iklan di korannya.

Kalau begitu untuk apa ada jurnalisme? Kita harus fair, mengatakan identitas kita. Independensi jurnalisme bukan diperuntukkan sebagai penyedia jasa tukang ketik. Jika jurnalisme kurang menjanjikan untuk memenuhi uang saku Anda, maka jangan pakai kata jurnalisme sebagai pekerjaan Anda.

Sumber pembiayaan dalam jurnalisme bukanlah hal penting yang harus dibela sampai mati. Jurnalisme itu adalah kebenaran, kebenaran tidak selalu ada pada wartawan dan lembaga pers, kebenaran itu ada pada berita yang benar. Seharusnya wartawan menyadari ini, sekalipun teknologi komunikasi berubah, tidak peduli seberapa cepatnya, dia harus bisa menerima kebenaran, karena kebenaran tidak membutuhkan wartawan dan teknologi. Sekali saja dia sengaja membohongi masyarakat, maka dia sendiri yang akan rugi, tidak akan ada lagi yang mempercayainya.

Wujud dari keburaman informasi ini, bisa kita lihat sekarang, media mainstream yang mempunyai jangkauan luas, pendapatan yang lebih dari cukup, tapi memilih melanggar etika jurnalistik, membuat masyarakat semakin ragu. Banyaknya konsumen yang dihitung melalui rating, tidak menjamin kepercayaan publik. Publik hanya tidak punya pilihan untuk mengakses informasi. Kebenaran akan jelas terlihat di antara kebohongan yang banyak, seperti secuil jarum mengkilap di atas tumpukan jerami.

Revolusi Harus Terjadi

Menyadari hal ini, media-media alternatif bermunculan untuk memikat hati masyarakat. Mereka mempraktikkan independensi jurnalisme dan kebenaran hati nurani. Layaknya Watchdoc yang merupakan rumah produksi audio-visual, mereka memproduksi dokumenter dan feature televisi serta video komersial. Sponsor mereka tidak menjadi satu hal penting yang mempengaruhi kualitas produk jurnalistik mereka. Demikian halnya, pers mahasiswa, walaupun ‘di bawah’ otoritas kampus lantas tak membuat independensi jurnalismenya hilang. Lagi-lagi yang dimaksud dengan independensi jurnalisme itu bukan pada sumber biayanya, tapi ada pada produknya.

Berangkat dari independensi dan kebenaran jurnalisme ini, maka sebaiknya definisi pers (lembaga jurnalisme) di negara kita harus diperbaiki lagi. Dalam UU Pers nomor 40 tahun 1999, pasal 9 dan pasal 10 menyatakan bahwa perusahaan pers harus berbadan hukum dan berbentuk perusahaan. Harus berbadan hukum, berkolerasi dengan ‘kesejahteraan’ wartawan. Dua hal yang bentuknya tidak substansial jika memandang keluhuran jurnalisme. Hal ini akan membuat ketegangan baru. Media mainstream menjadi lupa, bahwa tugas mereka mutlak ada pada kebenaran, dan menomorsatukan ‘kesejahteraan’ pekerjanya. Sedang media alternatif, seperti pers mahasiswa yang berusaha menyajikan produk jurnalisme secara benar, justru merasa dihantui dengan pembredelan dan hukum pidana.

Revolusi harus terjadi di dunia jurnalisme. Jangan takut, karena pada sejarah tadi, manusia menghadapi perubahan besar-besaran dalam rentang waktu yang relatif singkat. Kita harus bisa menerima kebenaran. Kebenaran dan independensi jurnalisme itu harga mati, konsep ini di luar teks hukum-hukum yang ada. Melampaui otoritas media manapun.

Kategori
Diskusi

Media Online Pers Mahasiswa Harus Punya Karakter

“Kemajuan Teknologi didasarkan bagaimana membuat cocok sehingga anda tidak benar-benar menyadari, hingga menjadi bagian keseharian dalam hidup” Bill Gates

Kemajuan teknologi membuat masyarakat mengubah cara untuk mendapat informasi. Sebelum masuk era digital masyarakat disajikan dengan media- media konvesional, radio, dan televisi. Namun kini dengan adanya teknologi yang kian berkembang, terlebih dengan diciptakannya Smartphone ( Ponsel Pintar), masyarakat dapat dengan mudah mengakses informasi dengan cepat.

Perubahan juga berdampak pada penerapan media saat ini, media mulai melakukan reformasi besar- besaran. Hampir seluruh media cetak bergeser menggunakan media online. Ini dikarenakan media online dapat menjanjikan dan menghasilkan keuntungan yang lebih besar. Luwi Ishwara adalah satu wartawan senior Kompas dalam bukunya “Jurnalisme Dasar” menceritakan kondisi media di Amerika Serikat yang berubah dengan cepat. Ia menjelaskan masyarakat Amerika kini sudah banyak mengakses berita melalui layanan internet, hal tersebut karena media online lebih nyaman dan mudah dalam mendapatkan informasi. Dengan memasukkan keyword di mesin pencari Google, apa yang kita tulis akan dengan mudah bisa dinikmati.

Perkembangan media online yang cepat ternyata mengalihkan sebagian besar orientasi media. Sehingga kita sulit untuk melihat fakta dalam perspektif yang sebenarnya. Jakob Oetama mengungkapkan jika masyarakat digital itu tidak peduli dengan masa kini, akan tetapi mereka ingin tahu masa yang akan datang. Jadilah media sebagai sebuah usaha untuk menentukan arah dan tujuan hidup masyarakat.

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJJI) mencatat jika pengguna internet di Indonesia sekitar 65 juta naik sebanyak 2700 persen. Peningkatan yang cukup pesat bagi sebuah negara yang memiliki kepulauan dan jumlah penduduk yang besar. Sementara survei di tahun 2014 menunjukkan penetrasi pengguna internet di Indonesia adalah 34.9%.

Menurut lembaga riset pasar e-Marketer,  populasi netter Tanah Air mencapai 83,7 juta orang pada 2014. Pada 2017, eMarketer memperkirakan netter Indonesia bakal mencapai 112 juta orang, mengalahkan Jepang di peringkat ke-5 yang pertumbuhan jumlah pengguna internetnya lebih lamban.

Namun dari keberadaan media online, ternyata ada banyak permasalahan muncul dalam perkembangan arus informasi kini. Media online dapat menjerumuskan kita ke arah yang tidak kita inginkan. Masalah- masalah yang muncul seperti berita yang disampaikan tidak utuh hanya menggambarkan permukaanya saja, liputan tidak mendalam, analisis isu yang tidak matang, lebih mengutamakan rating, berlomba- lomba menjadi yang tercepat dan terupdate, miskin verifikasi sampai pada persoalan kode etik yang kian ditundukan.

Salah satu penyebab terjadinya hal tersebut ialah karena pengusaha media cendrung mengutamakan media sebagai lahan ekonomi basah. Sehingga jurnalis dan semua yang ada dalam komponen media dituntut untuk mendapatkan pasar yang tinggi. Alhasil media memposisikan masyarakat sebagai konsumen. Bahkan kini perusahaan media sampai membuat pembangkit sistem pemberitaan yang semakin cangkih dengan menggunakan mesin teknologi. Lagi- lagi itu semua itu karena kebutuhan penguasa yang haus akan kekuasaan

Herman dan Chomsky, menyebut media massa sebagai mesin atau pabrik penghasil berita (news manufacture) yang sangat efektif dan mendatangkan keuntungan besar dari sisi ekonomi. Menurut mereka saat ini media massa telah menjadi industri yang sangat besar. Media dapat pula menghancurkan harkat dan martabat sebuah bangsa.

Media Persma Jangan Terbawa Arus

Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Mencatat sekitar 200 media online Pers mahasiswa (Persma) turut meramaikan arus informasi di dunia maya. Namun dalam penerbitannya tidak banyak yang memperhatikan aspek- aspek media online seperti ketajaman analisis, kedalaman isu, dan sistem marketing pada media online. Hasilnya ialah banyak media online persma terbit tidak sesuai dengan irama. Kita bisa menyaksikan sendiri jika produk persma terbit bisa sehari sekali, seminggu sekali, bahkan sebulan sekali.

Persma belum banyak yang menyadari jika media online sangat penting serta mempunyai prospek yang bagus jika kita pandai-pandai mengaturnya. Saya kemudian berfikir, lantas dengan cara apa persma akan menghadapi perkembangan media online saat ini. Perlu sebuah kajian yang mendalam untuk menentukan arah gerak media online persma.

Kita menyadari, sejak dulu persma selalu mengutamakan prinsip penulisan berita yang kritis dan mendalam. Bahkan sampai muncul sebuah genre “Jurnalisme Advokasi” sebagai salah satu paham yang diyakini persma. Hal tersebut dipilih bukan tanpa alasan, pertama persma hadir tidak hanya sebatas membuat pemberitaan, namun terlibat juga dalam melakukan upaya-upaya advokatif terhadap berita yang dibuatnya. Kedua, persma tidak bisa terlepas dari persoalan sosial-politik dalam mengarungi kehidupannya. Jurgen Habermas, dalam buku The Theory of Communicative Action mengemukan Sebagai institusi sosial-politik, media berupaya menjembatani publik dalam menyampaikan aspirasi sosial-politik mereka terhadap penguasa.

Kawan terbaik saya di Jember pernah berdiskusi dengan saya, ia mengatakan jika media online persma itu hanya sebatas “ada”, tuntutan program kerja, ikut- ikutan media mainstreams namun tidak tahu cara mengelolanya. Padahal jika kita sadari persma tidak akan mampu mengimbangi pemberitaan media mainstream, wong secara kuantitas dan kualitas saja masih jauh. Persma kini sudah terjebak dengan orientasi media yang mengutamakan kecepatan. Padahal persma itu punya cara sendiri dalam menulis berita.

Selain itu, ada hal penting pula yang perlu diperhatikan persma, seperti manajamen redaksi yang harus jeli melihat perkembangan isu, penulisan berita persma harus mengutamakan analisi isi yang tajam kemudian mengutamakan verifikasi. Jika pers mahasiswa mengikuti arus media mainstream, maka suatu saat nanti persma akan merasa lelah oleh dirinya sendiri. Bukan bermaksud untuk menggurui, namun memang itu kenyataanya, lihat saja secara sumber daya manusianya masih belum mumpuni kemudian sistem kaderisasi yang masih mencari bentuk yang cocok.

Saya pikir persma perlu gaya baru dalam menentukan arah media onlinenya, semisal karakter (mendalam-analisis-ketepatan) dalam pemberitaan perlu dimunculkan, fungsi kontrol sosial dan ruang alternative perlu kita jaga. Tetaplah memposisikan dirinya sebagai media yang beorientasi pada institusi sosial, kritis, dan idealis.

Arus boleh cepat, namun kita bisa membuat sebuah arus baru dengan tidak meninggalkan apa yang sudah kita yakini. Mencoba menjadi sesuatu yang baru namun tidak meninggalkan yang lama adalah sebuah usaha menjaga keberlangsungan hidup persma yang sehat.