Kategori
Siaran Pers

Pembubaran Seminar dan Pengepungan LBH-YLBHI Jakarta: Darurat Demokrasi Kita

Aksi paksa pembubaran kegiatan Seminar Sejarah 65 dengan tema “Pengungkapan Kebenaran Sejarah 1965/66” yang diadakan pada Sabtu-Minggu, 16-17 September 2017 di gedung Lembaga Bantuan Hukum (LBH)-Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Jl. Diponegoro No. 74, Jakarta oleh kepolisian menjadi catatan yang menggambarkan betapa kritisnya kondisi demokrasi di Indonesia saat ini. LBH-YLBHI Jakarta sebagai pelaksana seminar sebenarnya telah mengklarifikasi tujuan diskusi kepada kepolisian bahwa diskusi tersebut merupakan diskusi akademis dan menyepekati adanya perwakilan pihak  kepolisian untuk mengikuti diskusi serta menampilkan secara live streaming diskusi tersebut. Seminar dengan peserta terbatas untuk 50 orang merupakan diskusi pelurusan sejarah sebagai upaya awal untuk pemulihan kejahatan hak asasi manusia yang berat di masa lalu, yang telah menjadi komitmen pemerintah.

Tanggal 16 september, sekitar jam 06.00 WIB kepolisian telah terlihat berjaga-jaga didepan gedung LBH-YLBHI. Polisi pun akhirnya ingkar janji. Pihak kepolisian yang dikoordinasikan oleh kapolsek Menteng membrikade jalan diponegoro menuju arah mendit. Para peserta yang terdiri dari lansia bahkan anggota LBH-YLBHI jakarta tak diizinkan masuk gedungnya sendiri. LBH-YLBHI Jakarta yang sudah memberitahukan hasil pertemuan dengan pihak kepolisian sehari sebelumnya juga tak digubris.

Berdasarkan rilis tim advokasi LBH-YLBHI Jakarta, pada pukul 08.30, berlangsung negosisasi antara pihak panitia dan kuasa hukum dengan pihak kepolisian, yaitu diwakili perwakilan dari Mabes Polri, Polda Metro Jaya, Polres Jakarta Pusat, dan Polsek Menteng. Mereka meminta diskusi ditunda dengan alasan tidak memiliki izin keramaian dan pemberitahuan, yang mana menurut hukum tidak diperlukan. Diskusi selama 2 jam tersebut bersepakat untuk menunda dan para peserta dibolehkan masuk gedung. Namun nyatanya polisi tetaplah ingkar janji. Setelah diskusi ditunda, para peserta tetap tak diperbolehkan masuk.

Sekitar pukul 15.58, pihak kepolisian baik Kapolres Jakarta Pusat, Kapolsek Menteng, dan jajaran Polda malah memaksa masuk ke gedung LBH-YLBHI Jakarta untuk melakukan penggeledahan tanpa adanya surat penggeledahan. Menurut rilis, Kapolsek Menteng justru mengintimidasi pengabdi bantuan hukum LBH Jakarta dengan mengatakan bahwa ia akan membonyoki mukanya. Lalu Kapolres Jakarta Pusat dan Kapolsek Menteng beserta jajarannya masuk ke lantai 4 dan melakukan pengrusakan barang. Mereka juga mencopot spanduk dan merusak plafon. Kepolisian pun menyita spanduk tanpa adanya surat penyitaan.

 

Tindakan yang mencacati ruang demokrasi ini tidak berhenti di situ saja. Menurut Siaran Pers LBH-YLBHI  Tentang Penyerangan Ke Gedung LBH-YLBHI , keadaan kembali memanas pada hari Minggu, 17 september 2017. Dalam rangkaian acara yang berisi penampilan seni, puisi, menyanyi, dll. Puluhan orang terkurung dan bertahan di dalam gedung LBH-YLBHI karena terdapat ratusan massa di luar gedung yang meneriakkan ancaman, melakukan tuduhan yang tidak berdasar, hingga melempari dengan batu.

Ancaman terhadap demokrasi di Indonesia telah mencapai titik kritis walau telah dilindungi oleh Undang-Undang. Landasan hukum kebebasan berpendapat, berekspresi dan berkumpul tertera dalam pasal 28 undang-undang dasar 1945, undang-undang no. 12 tahun 2005 tentang pengesahan instrumen HAM internasional terkait hak sipil politik warga negara yang dalam Deklarasi Universal HAM pasal 13 ayat (1), serta pasal 19 dan 20 bahwa setiap manusia diberikan pengakuan dan perlindungan terhadap kebebasan dasar setiap manusia yang meliputi hak kebebasan berpendapat, berekspresi, berkumpul dan berserikat. Ancaman secara langsung juga ditunjukkan dari banyaknya penggunaan delik UU ITE pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik bahkan masalah ujaran kebencian yang kian marak digunakan untuk menjerat masyarakat yang beropini melalui media sosial.

Pada tahun 2017 saja, rekam jejak atas buruknya kebebasan berpendapat dan makin diberangusnya ruang demokrasi masyarakat telah puluhan kali terjadi. Sebagai contoh, kasus persekusi oleh ormas reaksioner, pembubaran diskusi lentera negeri, pembubaran Pameran seni soal Wiji Thukul, represi dan pelanggaran HAM di papua oleh aparat, kasus kriminalisasi petani Surokonto Wetan, kriminalisasi petani Kendeng dan warga Tumpang Pitu, kriminalisasi petani Deli Serdang, termasuk kriminalisasi Dandhy Dwi Laksono.

Dalam lingkup pers mahasiswa sendiri, Fadel Muhammad Harahap dan Fikri Arif, dua wartawan lembaga pers mahasiswa (LPM) Bursa Obrolan Mahasiswa (BOM) bahkan ditangkap polres medan saat melakukan peliputan aksi hari pendidikan nasional di depan universitas sumatera utara. Mereka dituduh melakukan pemukulan terhadap polisi tanpa adanya bukti pemukulan. Alhasil mereka pun harus mendekam di penjara dan terpaksa menjalani persidangan hingga saat ini.

Atas ancaman represifitas dan kebebasan demokrasi yang makin memprihatinkan, maka Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia yang terdiri dari 20 dewankota/kota dan 8 cartaker menyatakan :

  1. Mengecam pembubaran seminar pengungkapan kebenaran sejarah 1965/66 di gedung LBH Jakarta yang dilakukan oleh kepolisian (mabes polri dan jajarannya) dimana kepolisian juga melakukan penggeledahan dan penyitaan barang tanpa izin/illegal
  2. Menuntut agar pemerintah menghentikan segala bentuk represifitas terhadap ruang demokrasi masyarakat baik dalam hal berkumpul, berpendapat dan berekspresi di muka umum sesuai dengan amanat undang-undang
  3. Menuntut Kapolri bersikap objektif dengan menindak tegas jajarannya yang telah melakukan tindakan ilegal yang melawan hukum/undang-undang dan menghukum organisasi masyarakat dan kelompok reaksioner yang melakukan tindakan sewenang-wenang.
  4. Menuntut kepolisian Medan Sumatera Utara yang membebaskan awak redaksi lembaga pers mahasiswa bom ITM Medan yang dipenjara dengan tuduhan yang tidak jelas.

 

Narahubung:

Irwan Syakkir (Sekretaris Jendral PPMI Nasional) : 0812 4877 1779

Imam Abu Hanifah (Badan Pekerja Advokasi PPMI Nasional) : 0856 9693 1450

 

Daftar Dewan Kota/Kota Anggota PPMI:

  1. PPMI Kota Jember
  2. PPMI Kota Malang
  3. PPMI Kota Palu
  4. PPMI Kota Pekalongan
  5. PPMI Tasikmalaya
  6. PPMI Dewan Kota Muria
  7. PPMI Dewan Kota Madura
  8. PPMI Dewan Kota Surabaya
  9. PPMI Dewan Kota Tulungagung
  10. PPMI Dewan Kota Madiun
  11. PPMI Dewan Kota Yogyakarta
  12. PPMI Dewan Kota Makassar
  13. PPMI Dewan Kota Mataram
  14. PPMI Dewan Kota Banjarmasin
  15. PPMI Dewan Kota Semarang
  16. PPMI Dewan Kota Manado
  17. PPMI Dewan Kota Bali
  18. PPMI Dewan Kota Surakarta
  19. PPMI Dewan Kota Palopo
  20. PPMI Dewan Kota Kediri

 

Daftar Cartaker PPMI:

  1. Purwokerto
  2. Salatiga
  3. Banten
  4. Jakarta
  5. Ambon
  6. Pontianak
  7. Riau
  8. Mojokerto
Kategori
Siaran Pers

Resolusi PPMI DK Manado Menyikapi Ditahannya Reporter LPM BOM

Dalam menyikapi ketidakadilan dan penyimpangan yang terjadi di dalam prosedur penanganan hukum yang dilakukan oleh Aparat Kepolisian di Kota Medan, Sumatera Utara, terkait ditangkapnya dua orang (Fikri Arif dan Fadel Muhammad Harahap) anggota Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Bursa Obrolan Mahasiswa (BOM) Institut Teknologi Medan (ITM) saat melakukan kegiatan peliputan sebuah aksi unjuk rasa pada Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), Selasa (2/5/2017). Maka dari itu, PPMI DK Manado mengeluarkan resolusi ini sebagai bentuk kecaman kepada pihak Aparat Kepolisian di Polrestabes Medan atas tindakan yang tidak terpuji dan telah mengkriminalisasi pegiat Jurnalistik (Pers Mahasiswa) yang sedang melakukan kegiatan peliputan.

Penangkapan kedua orang anggota persma tersebut, disebabkan oleh pihak Aparat Kepolisian yang telah menuduh mereka terlibat dalam pemukulan Personil Intelijen Aparat yang terjadi saat rusuhnya unjuk rasa yang dilakukan oleh Aliansi Konsolidasi Gerakan Mahasiswa Sumatra Utara dalam menanggapi momentum Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) di Kampus University Of North Sumatera (USU), Medan, Sumatera Utara.

Setelah hampir 2 minggu mendekam di Polrestabes Medan, kini kondisi ketiga orang tersebut sangat mengkhawatirkan. Terpantau di lokasi, Fikri dan Fadel yang sudah mengenakan baju tahanan, di sekujur wajah mereka telah dipenuhi dengan luka lebam dan beberapa luka fisik lainnya.

Sampai saat ini upaya hukum masih terus dilakukan oleh berbagai elemen yang terkait, guna membebaskan ketiga orang anggota LPM BOM ITM tersebut. Adapun upaya penangguhan sedang diupayakan sampai saat ini, mengingat selama berada di Polrestabes ketiga orang tersebut sering diintimidasi secara psikis dan fisik. Tak kala kekerasan fisik sering sering mereka alami dari para Aparat Kepolisian di tempat.

 

Berdasarkan itu, kami Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Dewan Kota (DK) Manado dengan dilandasi oleh rasa solidaritas dan rasa prihatin menanggapi begitu banyaknya fenomena di lapangan yang melibatkan Aparat Kepolisian yang sering bertindak semena-mena kepada masyarakat sipil, seperti halnya melakukan tindak kekerasan dan kontak fisik yang tidak diperlukan dalam menjalankan Standard Operating Procedure (SOP) di lapangan. Maka dari itu, PPMI DK Manado akan menyampaikan resolusi sikap sebagai berikut:

  1. Polrestabes Medan harus segera membebaskan Fikri Arif dan Fadel Muhammad Harahap supaya bisa melakukan tugas-tugas jurnalistiknya dan terpenuhi hak-hak asasinya sebagai warga negara.
  2. Polrestabes Medan semestinya mematuhi amanah konstitusi yang termaktub pada Pasal 28 UUD 1945 terkait kemerdekaan berserikat dan berkumpul, juga berpendepat secara lisan maupun tulisan bagi warga negara. Apalagi mengingat peran kepolisian sebagai institusi penegak hukum, sudah seharusnya Polrestabes Medan tidak menistakan amanah konstitusi tersebut.
  3. Polrestabes Medan tidak boleh melakukan tindak kekerasan fisik dan psikis selama Fikri Arif dan Fadel Muhammad Harahap dalam proses penahanan.
  4. Polrestabes Medan harus menjamin keadilan Fikri Arif dan Fadel Muhammad Harahap sebagai pihak tertuduh; serta tidak melakukan intimidasi-intimidasi dan menjadikannya sebagai sasaran kesalahan.
  5. Polri dan Kemenristekdikti harus peduli terhadap tragedi yang menimpa Fikri Arif dan Fadel Muhammad Harahap dengan cara menegur Polrestabes Medan supaya kasus-kasus represivitas yang dilakukan institusi kepolisian terhadap hak-hak asasi warga negara seperti mahasiswa bisa dicegah.

 

 

Narahubung:

Hisbun Payu (Sekjend PPMI DK Manado): 085256567849

Kategori
Siaran Pers

PPMI: Polrestabes Medan Harus Meminta Maaf dan Segera Bebaskan Reporter LPM BOM ITM

Salam Persma, Hidup Mahasiswa, Lawan Penindasan!

2 Mei 2017 merupakan hari nahas bagi Fikri Arif dan Fadel Muhammad Harahap. Keduanya merupakan reporter Lembaga Pers Mahasiswa Bursa Obrolan Mahasiswa (LPM BOM), Institut Teknologi Medan (ITM). Ketika sedang bertugas meliput aksi Hardiknas yang digalang oleh aliansi Konsolidasi Gerakan Mahasiswa Sumatra Utara, mereka berdua ditangkap aparat Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) Medan.

Tak hanya penangkapan, melalui rilisan kronologi yang dilansir Persma.org, Syahyan P. Damanik, Pemimpin Umum (PU) LPM BOM, menyatakan bahwa dua anggotanya mengalami kekerasan fisik. Syahyan menjelaskan bahwa Fikri mengalami lebam di wajah dan penglihatan mata kirinya menjadi kabur sedangkan Fadel mengalami luka di kepala.

Sementara, pihak kepolisian menuduh anggota LPM BOM telah melakukan pemukulan terhadap personil intelijen aparat sebagai alasan penangkapan dan penahanan mereka berdua selama sepekan lebih ini. Hingga pernyataan sikap ini dirilis, Fikri dan Fadel pun masih ditahan pihak kepolisian.

Melihat narasi kasus tersebut, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) tidak membenarkan tindak kesewenangan yang dilakukan aparat Polrestabes Medan. Aparat kepolisian seharusnya bertindak  kooperatif kepada para pelaku jurnalistik di medan peliputan. Apalagi, mengingat aktivitas peliputan ini begitu penting untuk memproduksi konten informasi kepada khalayak pembaca media pers mahasiswa (persma). Dengan melakukan penangkapan dan penahanan, Polrestabes Medan telah menghalangi aktivitas jurnalistik yang dilakukan reporter LPM BOM.

Penangkapan dan penahanan tersebut juga merupakan wujud tindakan meremehkan pentingnya kinerja jurnalistik persma. Sehingga, represivitas kepolisian bisa mengganggu produktivitas kinerja persma. Hal semacam ini kemungkinan besar bisa dialami pula oleh persma-persma lainnya.

Menurut kami, kegiatan jurnalistik yang dilakukan persma bukanlah kegiatan remeh walaupun bukan sebagai profesi. Kegiatan jurnalistik persma juga sama pentingnya dalam hal menyampaikan transparansi informasi dan pengunggahan aspirasi kepada publik. Kegiatan ini juga memiliki risiko yang sama besarnya dengan jurnalistik profesional. Walaupun sampai hari ini belum ada jaminan hukum pers yang pasti untuk aktivitas jurnalistik persma, namun menghormati aktivitas kami —–sama halnya dengan yang dilakukan Fikri dan Fadel —–merupakan keharusan yang dipatuhi oleh aparat penegak hukum.

Mengingat, aktivitas ini merupakan upaya pemenuhan hak-hak asasi warga negara sekaligus upaya kontrol terhadap dinamika sosial-politik melalui pers. Juga, bila dituju pada landasan hukum yang lebih mendasar, upaya jurnalistik persma merupakan pelaksanaan amanah Pasal 28 UUD 1945 tentang kemerdekaan berserikat dan berkumpul, dan berpendapat melalui lisan maupun tulisan bagi warga negara. Maka, apabila aparat negara dengan sengaja menghambat upaya-upaya kejurnalistikan persma, itu artinya sama saja dengan menghambat pemenuhan hak-hak asasi warga negara.

Yang pasti, kami mendesak kepada aparat penegak hukum untuk bisa menghormati upaya-upaya yang dilakukan oleh para jurnalis persma seperti Fikri dan Fadel dan juga mau berlaku kooperatif bagi kalangan yang sedang memperjuangkan hak-hak asasi dan kebebasan berekspresinya sebagai warga negara. Dan, tragedi yang menimpa Fikri dan Fadel merupakan perpanjangan narasi hitam aparat kepolisian yang begitu jauh dari kesan kooperatif dalam tugas mengawal hak-hak asasi warga negara. Sekali lagi, kami tidak akan membiarkan kejadian di Medan tersebut berlalu begitu saja.

 

Melihat betapa mirisnya kasus ini dan pentingnya penghormatan atas kinerja-kinerja kejurnalistikan persma, PPMI menyerukan hal-hal berikut:

  1. Polrestabes Medan harus meminta maaf kepada Fikri Arif, Fadel Muhammad Harahap, LPM BOM ITM, dan para pegiat jurnalistik karena telah melakukan upaya-upaya penghambatan kinerja jurnalistik melalui tindakan penangkapan dan penahanan dua orang reporter LPM BOM ITM.
  2. Polrestabes Medan harus segera membebaskan Fikri Arif dan Fadel Muhammad Harahap supaya bisa melakukan tugas-tugas jurnalistiknya dan terpenuhi hak-hak asasinya sebagai warga negara.
  3. Polrestabes Medan semestinya mematuhi amanah konstitusi yang termaktub pada Pasal 28 UUD 1945 terkait kemerdekaan berserikat dan berkumpul, juga berpendepat secara lisan maupun tulisan bagi warga negara. Apalagi mengingat peran kepolisian sebagai institusi penegak hukum, sudah seharusnya Polrestabes Medan tidak menistakan amanah konstitusi tersebut.
  4. Polrestabes Medan tidak boleh melakukan tindak kekerasan fisik dan psikis selama Fikri Arif dan Fadel Muhammad Harahap dalam proses penahanan.
  5. Polrestabes Medan harus menjamin keadilan Fikri Arif dan Fadel Muhammad Harahap sebagai pihak tertuduh; serta tidak melakukan intimidasi-intimidasi dan menjadikannya sebagai sasaran kesalahan.
  6. Polri dan Kemenristekdikti harus peduli terhadap tragedi yang menimpa Fikri Arif dan Fadel Muhammad Harahap dengan cara menegur Polrestabes Medan supaya kasus-kasus represivitas yang dilakukan institusi kepolisian terhadap hak-hak asasi warga negara seperti mahasiswa bisa dicegah.
  7. Menghimbau para pegiat jurnalistik; terkhusus persma, dan kalangan pendukung hak-hak berekspresi untuk bersama-sama mendesak Polri, Kemenristekdikti, dan Polrestabes Medan supaya keadilan hukum dan pemenuhan hak-hak asasi Fikri Arif dan Fadel Muhammad Harahap bisa terwujud.

 

Demikian pernyataan sikap dan tuntutan-tuntutan PPMI terkait tragedi yang menimpa Fikri Arif dan Fadel Muhammad Harahap; dua reporter LPM BOM ITM. Selanjutnya, kami meminta Polrestabes Medan untuk bisa mempelajari lagi amanah Pasal 28 UUD 1945, serta UU No. 8/1981 Tentang KUHAP dan Perkapolri No. 8/2009 Tentang Polri dan Standar HAM supaya hak-hak asasi Fikri Arif dan Fadel Muhammad Harahap selaku pihak tertuduh tidak dinista oleh institusi kepolisian.

Jika ada itikad dan kelakuan baik Polrestabes Medan untuk menuruti tuntutan-tuntutan kami, kami ucapkan terima kasih secukupnya.

Salam Juang, Sambungkan Perlawanan!

 

Narahubung:

Imam Abu Hanifah (BP Advokasi PPMI: 085696931450)

Irwan Sakkir (Sekjend PPMI: 081248771779)

Kategori
Siaran Pers

PPMI Kota Malang: Bebaskan Reporter LPM BOM dan Aktivis USU yang Ditahan oleh Polrestabes Medan

Baru saja insan Pers seluruh dunia merayakan Hari Kebebasan Pers Dunia pada 3 Mei 2017 lalu. Namun, upaya pemberangusan terhadap nilai-nilai kebebasan pers masih terjadi di tanah Indonesia. Ironisnya, upaya pemberangusan nilai demokrasi ini dilakukan oleh oknum Polisi yang seharusnya memberi perlindungan terhadap warga negara. Kriminalisasi terhadap insan Pers Mahasiswa ketika sedang menjalankan tugas sebagai agen penyampai informasi terjadi lagi. Kali ini tindakan kesewenangan oknum aparat penegak hukum itu meninpa dua Pers Mahasisa LPM Bursa Obrolan Mahasiswa (BOM) Institut Teknologi Medan (ITM) dan satu aktivis Universitas Sumatera Utara (USU).

Hal ini bisa saja menjadi pertanda tak dipahaminya konteks kebebasan Pers oleh aparat penegak hukum secara penuh. Padahal, di era reformasi ini, kebebasan insan Pers dalam melakukan kegiatan jurnalistiknya telah dijamin oleh UU no. 40 tahun 1999. Sementara kebebasan melakukan aksi dijamin dalam UU no 9 tahun 1998 pasal 2 yang berbunyi: “Setiap warga negara, secara perorangan atau kelompok, bebas menyampaikan pendapat sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab berdemokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”

Dengan begitu, sangat tidak patut jika aparatur negara justru mengebiri hak-hak dasar warga negara yang telah diatur dalam perundang-undangan itu. Apalagi, terdapat dugaan bahwa ada oknum yang melakukan penangkapan terhadap dua persma LPM BOM dan satu aktivis USU juga melakukan tindak kekerasan terhadap mereka. Tentu saja kejadian ini sudah sangat melenceng dari tugas aparatur saat terjadi aksi penyampaian pendapat di publik yang diatur dalam UU no 9 tahun 1998 pasal 7, yang berbunyi:

Dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum oleh warga negara. Aparatur pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab untuk : a) melindungi hak asasi manusia; b) menghargai asas legalitas; c) menghargai prinsip praduga tidak bersalah; dan d) menyelenggarakan pengamanan.

 

Berikut kronologi ditangkapnya Persma LPM BOM ITM yang diunggah laman persmahasiswa.id :

Saat terjadi aksi demonstrasi yang dilakukan oleh aliansi Konsolidasi Gerakan Mahasiswa Sumatra Utara dalam menanggapi momentum Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) di Simpang Pos Padang Bulan, Pimpinan Redaksi (Pimred) Lembaga Pers Mahasiswa – Institut Teknologi Medan (LPM – ITM) menugaskan 3 orang Badan Pengurus Harian (BPH) untuk meliput aksi tersebut. Tepat pukul 13.30 WIB, Jackson Ricky Sitepu sampai di lokasi dan segera melakukan peliputan sebagai mana mestinya dan disusul juga oleh Fikri Arif yang tiba di lokasi. Berbeda dengan Fadel yang memang telah hadir di lokasi sejak pagi hari namun baru mendapatkan surat tugas pada siang hari.

Saat melakukan peliputan di Simpang Pos, keadaan baik-baik saja tanpa terjadi sebuah pelanggaran Kode Etik Jurnalistik. Bahkan saat masa aksi melakukan perjalanan dari Simpang Pos sampai ke lampu merah Simpang Kampus Universitas Sumatra Utara (USU) masih tetap melakukan tugas-tugas pers dengan profesional. Namun situasi massa memanas saat ban bekas mulai dibakar oleh massa dan pihak kepolisian berdatangan beserta kendaraan barakudanya, namun ketiga wartawan tersebut tetap berada dekat pada barisan kepolisian dan Brimob. Situasi semakin memanas saat massa aksi berpindah ke depan pintu gerbang taman kampus USU dan kembali membakar ban.

Provokasi-provokasi dari berbagai pihak baik masyarakat, pereman setempat dan Intel mulai mewarnai aksi mahasiswa tersebut sehingga terjadi bentrokan secara tiba-tiba antara massa aksi dengan masyarakat dan pihak aparatur negara. Ketiga wartawan kami masih berada dekat barisan aparatur negara yang semakin mendekat kegerbang kampus USU bahkan sampai masuk kedalam kampus.

Saat berada di dalam kampus, kira-kira 10 meter dari gerbang wartawan kami dengan nama Jackson Ricky Sitepu dihalangi oleh masyarakat yang kabarnya adalah Intel. Sebelum meninggalkan lokasi, Ricky Jakson Sitepu sempat melihat Fadel Muhammad Harahap ditarik masyarakat dan jatuh tersungkur ke aspal. Sementara itu Fikri Arif tidak dapat terlihat lagi dilapangan.

Saat dihubungi Pimpinan Umum, kedua wartawan LPM BOM ITM mengatakan bahwa mereka telah berada di kantor Polrestabes Medan. Mereka ditangkap oleh kepolisian saat melakukan tugas reportasenya, meskipun mereka sudah menunjukkan surat tugas kepada masyarakat dan kepolisian saat peliputan. Namun pihak kepolisian tidak menanggapi dengan baik dan tetap menahan mereka. “Kami ditangkap Wa, udah kami tunjukkan surat tugas tapi gak percaya orang itu, cepatlah kesini Wa, udah mau geger otak aku.” ucap Fadel Muhammad Harahap melalui telephon genggam sebelum akhirnya ketahuan oleh polisi dan putus komunikasi.

 

Maka berdasarkan hal itu, PPMI Kota Malang menuntut:

  1. Bebaskan Pers Mahasiswa LPM BOM Institut Teknologi Medan dan Aktivis Universitas Sumatera Utara.
  2. Menuntut pihak kepolisian Polrestabes Medan untuk meminta maaf terhadap LPM BOM dan Mahasiswa USU.
  3. Mengadili oknum yang melakukan tindakan kekerasan terhadap Pers Mahasiswa dan Aktivis yang mengikuti aksi Hardiknas.

 

 

Narahubung:

Faizal Ad D., Sekjen PPMI Malang (085748181529)

Kategori
Diskusi

Pameran Karya Soal Wiji Thukul di PUSHAM UII Dibubarkan

Lagi, demokrasi Indonesia ternodai setelah aksi pembubaran yang dilakukan oleh sekelompok ormas yang menamai dirinya dengan Pemuda Pancasila, terhadap pameran karya Andreas Iswinarto yang bertemakan “Aku Masih Utuh dan Kata-Kataku Belum Binasa”, kemarin (08/05). Pameran tersebut dilaksanakan di Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) mulai 8 hingga 11 Mei 2017.

Acara tersebut diselenggarakan untuk memperingati hari pers nasional. Rencananya panitia akan mengadakan diskusi tentang kebebasan pers di Indonesia. Tapi terlebih dahulu menggelar pameran lukisan karya Andreas.

Andreas Iswinarto mengakui ia sengaja memilih tokoh Wiji Thukul untuk dipamerkan dalam acara tersebut, karena puisi wiji  dianggap masih relevan. “Aku sebaya dengan Wiji Thukul tapi aku tidak pernah bertemu. Tapi aku membaca karyanya dan aku tertarik dengan karyanya. Wiji Thukul adalah suara otentik dari Kaum miskin itu. Karena dia hanya lulus SMP, sempat di SMK. Dia pernah jadi  pekerja, jadi buruh Plitur, artinya dia adalah suara otentik dari rakyat.” katanya

Pameran karya tersebut digelar untuk memberikan pemahaman kepada khalayak luas tentang karya Wiji Thukul, sebagai follow up dari film istirahatlah kata-kata yang sambutannya cukup antusias. Andreas memilih tanggal 1 dan 8 Mei untuk pelaksanaan pameran di Semarang dan Yogyakarta. Hal tersebut dengan alasan, karena pada tanggal 1 itu May Day tercatat sebagai perjuangan buruh ketika, Wiji memimpin Serikat Buruh Tekstil untuk melakukan unjuk rasa. Saat itu Wiji mendapat pukulan keras dari tentara yang menyebabkan mata kanannya tidak bisa melihat, dan telinga kanannya sulit mendengar. Sedangkan, tanggal 8 adalah tanggal meningalnya marsinah.

“Catatan juga Mei itukan sembilan belas tahun reformasi, tapi sembilas tahun juga hilangnya Wiji, karena secara official dia hilang itu sekitar awal Mei, saat sebelum Suharto turun, memang dia yang tertangkap dari 13 aktivis buruh, kemungkinan dia yang paling akhir.” jelas Andreas

Andreas menambahkan, saat pameran tersebut diselenggarakan di Semarang, juga mendapat intimidasi. Bahkan acara yang dijadwalkan mulai pada tanggal 1 harus bergeser menjadi tanggal 3 Mei karena pihak gedung mencabut izin. Ternyata di Yogyakarta diskriminasi terhadap karyanya kembali terjadi.

“Sebenarnya beberapa karya diambil, saya dan beberapa teman ngotot menarik karya itu. Aku berhasil merebut beberapa kali, makanya aku beberapa kali aku disiku dan di didorong bahkan dicekik, karena aku berusaha mempertahankan karya itu. Untungnya semua karya bisa di rebut, kecuali ada 5 poster (yang dirampas, red).” ungkap Andreas.

Dilansir dari Detiknews, ketua Majelis Pimpinan Wilayah Pemuda Pancasila DIY, Faried Jayen, mengakui bahwa memang pihaknya yang melakukan pembubaran acara ini, karena dianggap tidak memiliki izin. “Kami indikasikan acara ini berbalut dengan gerak anak turun komunis, kami bukannya tidak boleh. Kami ingatkan ada izin, tidak ada izin juga dari polisi.” imbuhnya.

Direktur PUSHAM UII, Eko Riyadi mengatakan tidak ada ketentuan (undang-undang, red) di negeri ini yang mengharuskan diskusi memiliki izin. Menurutnya demonstrasi saja tidak memerlukan izin, cukup sekedar pemberitahuan saja.

“Pusham itu seminggu tiga kali diskusi semacam ini. Ini kan institusi kampus, nggak ada ketentuan di negeri ini mengatakan diskusi harus minta izin. Demonstrasi saja tanpa izin kok, hanya pemberitahuan, apalagi diskusi, itu ngaco.” Ungkap Eko

Eko berharap, kejadian serupa tidak terjadi lagi. Baginya Yogyakarta adalah kota dunia, yang seharusnya juga berbanding lurus dengan kebebasan ruang publik. “Sebenarnya ini menyedihkan, peristiwa ini kan bukan yang pertama. Saya berharap keseriusan dari kepolisian dan pemerintah daerah. Untuk memastikan kejadian serupa tidak terjadi lagi. Memalukan Jogja sebagai ruang terbuka bagi publik. Jogja ini bukan kotanya orang sini (saja, red), tapi kotanya dunia.” katanya.[]

Kategori
Diskusi

Lentera

Karena jika seorang manusia memang dilahirkan sebagai pemikir sejati di era saat ini, dia hanya butuh nyawa, bukan kebebasan.” Tulis Agustira Rahman dalam sebuah tulisan berjudul Renungan untuk Kasus Lentera di laman http://etegalboto.com/2015/10/21/renungan-untuk-kasus-lentera/.

Bergidik, merenungkan apa yang dituliskan Agustira. Ia merujuk pada sosok Pramoedya Ananta Toer, yang mungkin baginya adalah seorang pemikir sejati. Pram, menurutnya berhasil melahirkan karya-karya luar bisa, seperti karya tetraloginya, yang lahir dalam keadaan ‘tidak bebas’. Pram ditahan di Pulau Buru kala itu. Begitu juga dengan Majalah Lentera, justru karena pembredelan (tidak bebas), majalah itu bisa dibaca banyak orang, termasuk Agustira.

Mengutip kalimat Nietzsche, Orang sebaik-baiknya dihukum karena kebaikan mereka”. Ia menyimpulkan bahwa tak perlu takut untuk dihukum atau malah ingin dibebaskan, hanya perlu sedikit takut untuk dibunuh. Agustira mungkin memang bukan Rendra, ia tak sejalan.

Ma, bukan maut yang menggetarkan hatiku
tetapi hidup yang tidak hidup
karena kehilangan daya dan kehilangan fitrahnya

Kutipan puisi Karya WS Rendra, “Hai, Ma!”.

“Toh, kita tidak bisa menjamin bahwa kebebasan berpendapat juga akan mampu melahirkan karya yang berkualitas.” Tulis Agustira di lain paragraf. Dari sini saya berasumsi, bahwa Agustira kemudian juga tidak sejalan dengan Jean Paul Sarte yang menetaskan konsep bahwa manusia dikutuk untuk bebas. Mungkin baginya, manusia dikutuk untuk berkualitas.

Bahasa “berkualitas”, bersama dengan definisinya yang melekat dan diciptakan, memiliki kuasa. Tubuh dan pemikiran akan didesak untuk mengikutinya. Jika saja definisi “berkualitas” itu adalah membubuhi karya tulis dengan pandangan-pandangan filsuf. Untuk memenuhinya, menjadi wajib untuk membaca buku-buku filsafat yang tebal-tebal, diskusi siang-malam, bahkan mengurangi jatah waktu nonton Dahsyat di RCTI. Definisi “bekualitas” ini menuntun tubuh memenuhinya. Tiada kontrol atas diri sendiri, bahasalah yang mengontrolnya. Kebebasan telah direngut oleh bahasa. Hilang sudah daya atas tubuh sendiri, terasing dengan tubuh sendiri. Hidup menjadi tidak hidup.

Jika saja ini jaman Nazi, bisa-bisa yang dilabeli ‘tidak berkualitas’ sudah dibegal. Hidup menjadi benar-benar tidak hidup, alias mati. Tapi sekali lagi, bukan maut yang menggetarkan hatiku, tetapi hidup yang tidak hidup. Tapi hidup yang tidak ada daya atas dirinya sendiri. Hidup yang tidak bebas.

“Saya merasa kebebasan termasuk kondisi yang utopis untuk diperjuangkan.” Masih kata Agustira di lain paragraf. Mungkin iya, mungkin tidak. Tapi, selain ada yang dikuasai dengan definisi utopis. Di belahan bumi lainya ada yang  begitu menginginkan kebebasan, bebas untuk memilih tunduk. Tunduk pada definisi bahwa kebebasan adalah fitrah. Agar hidup menjadi lebih hidup, sesuai dengan definisi yang diaminiya, akhirnya kebebasan pun diperjuangkan. Karena ada yang tak ingin menjadi lentera, yang seakan-akan bebas, cahayanya terpendar kemana-mana. Namun sebenarnya terbelenggu kaca bening, tak terlihat.[]

Kategori
Diskusi

Biarlah Majalah Lentera Menebar Kebenaran

“Jas merah” lebih penting daripada jas almamater. Setidaknya itulah panji yang diteguhkan sekawanan LPM Lentera dari Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga untuk mempersembahkan karya jurnalistik kepada para pembaca. Istilah “jas merah” sebagai kepanjangan dari “jangan sekal-kali meninggalkan sejarah”, merupakan petuah Bung Karno pada pidato perayaan Hari Kemerdekaan tahun 1966 silam. Petuah tersebut terucap lantaran saat itu Indonesia baru saja mengalami tragedi: G30S 1965.

Soekarno berinisiatif memberi petuah demikian karena ia melihat adanya upaya merekayasa sejarah dari pihak-pihak tertentu demi nafsu berkuasa. Dan benar, tahun 1967, ia benar-benar (di)turun(kan) berdasarkan Ketetapan MPRS yang dipimpin A.H. Nasution. Soeharto pun diangkat, era baru dimulai. Siapapun yang dicap komunis oleh rezim bakal kena celaka. Ribuan orang lebih ditumbalkan namun masih ada saksi-saksi yang masih hidup hingga kini. Dari sisa-sisa yang hidup itulah upaya “jas merah” Soekarno ditegakkan. Kini, sejarah tidak lagi jadi wacana seragam milik penguasa.

Perjuangan sekawanan LPM Lentera menolak dominasi tunggal pembacaan sejarah memang penuh resiko. Tidak perlu membaca terlalu jauh, mereka pun berupaya menggali kuburan fakta–fakta sejarah di Salatiga. Bukan perkara mudah pula menego para korban selamat untuk bertutur. Kajian tebal literatur para pakar sejarah tak luput dibahas. Walhasil terbitlah majalah bertajuk “Salatiga Kota Merah”. Dalam rubrik Editorial-nya, Redaksi Lentera bermaksud baik agar masyarakat membuka mata terhadap sejarah. Karena mereka “Bukan Generasi Mbah” (judul Editorial Majalah Lentera), maka Lentera menghadirkan keterangan baru. Namun upaya baik tidak melulu disambut secara waras.

Pada 18 Oktober 2015, Polres Salatiga semena-mena memanggil sekawanan LPM Lentera untuk diinterogasi. Ironisnya, Dekanat Fiskom UKSW sebagai simbol akademik malahan ikut latah memerintahkan penarikan Majalah Lentera yang beredar. Apapun alasannya, ini adalah cara miskin kewarasan intelektual. Segala upaya tersebut berdalih meredam konflik di masyarakat. Justru, penarikan produk pers tersebut semakin mempersedap bumbu konflik yang selama ini dimasak oleh oknum-oknum tertentu. Perintah penarikan majalah sama halnya dengan mempersempit ruang gagasan. Akhirnya upaya penyelesaian konflik (rekonsiliasi) antara pelaku dan korban tragedi tersebut semakin jauh dari solusi.

Pertanyaannya ialah: sebagai insan intelektual-akademik, apakah Dekanat Fiskom UKSW benar-benar teliti dalam menginstruksikan penarikan majalah atau malah mereka juga ditunggangi kepentingan tertentu? Ini harus dipertanggungjawabkan!

Andai saja majalah tersebut bebas beredar, setidaknya keragaman wacana masyarakat sekitar semakin kaya. Para pembaca di luar lingkup akademis pun akan lebih jeli untuk mengamini sejarah versi mana yang dibenarkan. Memang benar adanya jika wacana yang berkaitan dengan peristiwa G 30 S begitu sensitif nan kontroversial. Konflik lama yang belum usai akan dibicarakan lagi. Jika nantinya masyarakat resah, ini artinya masyarakat mulai menggerakan dinamika sosialnya lewat jalan berpikir. Jangan melulu mengaitkan keresahan pikir masyarakat sebagai bentuk kerusuhan.

Resah bukan berarti rusuh. Apabila pihak Polres Salatiga dan Birokrat Kampus UKSW masih berupaya mati-matian meredam keresahan itu, artinya kedangkalan pikir telah berkuasa. Ada saran menarik untuk Polres Salatiga dan Birokrat UKSW, daripada bercuriga ria, lebih baik ke music store atau distro, belilah album “Serigala Militia” racikan band rock Seringai. Putar lagu nomor 10 berjudul “Lagu Ini Tak Sependek Jalan Pikiranmu”. Insya Allah lagu berdurasi cukup 10 detik itu benar-benar menampar kecurigaan kalian. Siapa tahu kalian akan lebih sadar jika dikritik oleh sekawanan metalhead asal Jakarta. Ini memang lelucon tapi serius untuk dipikir lebih waras lagi!

Dukung Penggalian Sejarah Melalui Kebebasan Pers
Sudah terlalu lama peribahasa “sejarah milik pemenang” berkuasa mengangkang di masyarakat. Bahkan tradisi akademis pun semakin takut menyentil kangkangan penguasa terhadap sejarah. Lantas, apalah artinya peran intelektual kaum akademis? Lama-lama akan menjadi mitos dan ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Di sinilah peran pers mahasiswa (persma) sebagai penyelamat kehidupan intelektual kaum akademis.

Majalah Lentera tidak mungkin terbit tanpa sebab. Sekiranya melalui kematangan nalar dan kepekaan rasa akan dunia sekitarlah yang menggairahkan sekawanan LPM Lentera untuk membikin majalah tersebut. Menyepakati pernyataan Editorial dari Bima Satria Putra, Pemred Lentera, bahwa penerbitan majalah ini bukan bermaksud mengorek luka lama tapi mencoba memberikan fakta sejarah lain yang selama ini terbungkam. Harapannya supaya membantu masyarakat generasi terkini untuk lebih teliti dan peka menyimpulkan kepastian peristiwa bersejarah. Itulah fungsi kebebasan pers.

Selayaknya insan bercap intelektual, semestinya birokrat-birokrat kampus mendukung penuh upaya kebebasan pers tersebut. Apalagi berkaitan dengan penggalian fakta sejarah yang dikubur terlalu dalam oleh penguasa. Persoalan paska tragedi G 30 S memang sulit dilupakan. Tanpa digaungkan oleh pers pun, masyarakat di luar sana masih ada yang membahasnya. Dualisme fakta terus bergulir bak bola panas. Ini jelas berpotensi menjadi permasalahan sosial yang laten. Kaum intelektual-akademis sudah saatnya berperan menemukan titik terangnya. Itulah yang diperankan baik oleh LPM Lentera.

Tempo hari, pemikir emansipatoris, Edward Wadie Said pun berpikir demikian. Lewat esai-esainya bertajuk “Peran Intelektual”, ia menyatakan bahwa kaum intelektual mesti terjun ke permasalahan masyarakat dengan cara membatasi diri dari kemapanan wacana penguasa. Artinya kaum intelektual harus mencari wacana yang lebih independen agar permasalahan masyarakat teratasi. Peran itu sudah dijawab dengan cara menerbitkan Majalah Lentera yang membahas fakta dampak G 30 S di Salatiga.

Daripada mengebiri LPM Lentera, baiknya Birokrat Kampus UKSW membuka ruang seluasnya untuk berdiskusi lintas elemen masyarakat. Jika upaya ini berhasil, UKSW bisa menjadi kampus teladan sebagai penjamin kebebasan pers dan berfungsinya kaum intelektual.

Tradisi kebebasan pers kaum intelektual memang tidak pernah lepas memperjuangkan hak-hak kaum tertindas. Dari era pra kemerdekaan Indonesia, banyak pula sesepuh intelektual bangsa ini yang berjuang melalui kerja pers. Sebut saja Marco Kartodikromo, Ki Hadjar Dewantara, Soekarno, Tirto Adhi Soerjo, dan barisan intelektual pejuang kemerdekaan lainnya. Intimidasi penguasa saat itu turut mengintai perjuangan mereka. Bahkan Soekarno yang pernah menjabat sebagai Pemred Fikiran Ra’jat sempat keluar-masuk penjara akibat perjuangan persnya. Pun koran Hindia Poetra milik Indische Vereeniging (perkumpulan mahasiswa Indonesia di Belanda), saat itu jurnalis-jurnalisnya kerap diburu intelijen penjajah.

Itu dulu sebelum bangsa ini dikatakan merdeka, apa sekarang sama saja?

Merenungi kondisi hari ini, seharusnya intelektual-akademis berpihak kepada kebebasan pers yang berusaha memperjuangkan kebenaran. Apa tidak malu kepada sesepuh intelektual sekaligus pejuang di masa terjajah dulu? Di banyak kampus, bertebaran persma yang masih bergairah mengungkap kebenaran dan memperjuangkan si tertindas. Maklum mereka inilah kaum intelektual yang sadar persoalan nan anti pembodohan. Begitu pun LPM Lentera di Fiskom UKSW.

Begitu boleh mengatakan tiran kepada Polres Salatiga dan Dekanat Fiskom UKSW. Sebab tindakan mereka jauh dari kesan: terpuji, waras, dan intelektual. Penarikan dan menghanguskan majalah adalah upaya menutup pencerdasan masyarakat. Itu sama saja menggerakan mundur laju roda kemerdekaan bangsa menuju masa kelam penjajahan. Pembodohan semacam ini perlu diperingatkan keras oleh aliansi kaum intelektual.

Nah, bodohnya lagi, alasan penarikan Majalah Lentera demi meredam keresahan di masyarakat. Coba pikir lagi, bila masyarakat resah itu pertanda apa hayo? Berarti di situlah ada kebenaran yang tidak adil, ada sekelompok orang yang masih ditindas haknya, ada yang menjadi korban sejarah, ada yang terlecehkan oleh penguasa, ada, ada, ada, dan teruuuusss ada…. Selama kebenaran sejarah masih diselewengkan, penindasan akan selalu ada!

Lha kalau sudah tahu begitu, bagaimana seharusnya aparat kepolisian dan birokrat kampus? Eh, kalian ini teladan di masyarakat lho, kok malah bikin masalah tambah ruwet? Astagaaa! Begini lho, ini permasalahannya ganda: kebebasan pers dan pengungkapan kebenaran sejarah. Solusinya cukup waras kok, birokrat kampus dan kepolisian harus menjaminnya tanpa intimidasi. Bila cap jelek sudah terlanjur mendera kalian akibat ulah kemarin, ya silahkan meminta maaf seluasnya ke segala penjuru media. Kemudian kalian bekerjasamalah dengan LPM Lentera untuk mengadakan mimbar-mimbar diskusi dengan masyarakat biar rekonsiliasi segera terwujud. Ajak juga tuh Pemerintah Kota Salatiga!

Penarikan atau pemusnahan Majalah Lentera bukanlah solusi penawar keresahan. Siapapun kalian yang terlibat kasus ini, segeralah pakai “jas merah” agar sama-sama menemu kebenaran.

***

Petuah “jas merah” memang begitu penting nan sakti. Demi membuktikan kesaktian petuah ini, marilah kita beramai-ramai: membaca Majalah Lentera “Salatiga Kota Merah”, menyimak pidato Soekarno, dan mendengarkan lagu-lagu Seringai…\m/. Salam Cadas Merah!