Kategori
Siaran Pers

Press Release PPMI terhadap Kasus Pelecehan Seksual yang Dilakukan Sekjend PPMI DK Semarang

I. Pengantar Advokasi Kasus Pelecehan Seksual

14 Februari 2020, Badan Pekerja Advokasi Nasional Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (BP Advokasi Nas PPMI) mendapatkan laporan dari salah satu anggota Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) (selanjutnya disebut pelapor)  terkait pelecehan seksual yang dilakukan oleh Muhammad Shofi Tamam, Sekjend PPMI Dewan Kota (DK) Semarang. Pelapor menjelaskan bahwa ada lebih dari satu penyintas dari pelecehan seksual yang dilakukan Tamam.

Pelapor memberikan keterangan itu kepada BP Advokasi Nas PPMI ketika PPMI mengadakan Kongres Nasional ke 15 PPMI di Madura. Pelapor bercerita kepada BP Advokasi Nas PPMI supaya PPMI maupun lembaga lainnya bisa menghadirkan lingkungan yang ramah perempuan dengan mengadili serta membuat jera pelaku, melindungi penyintas, dan mendengar tuntutan penyintas.

Setelah mendapatkan keterangan dari pelapor, BP Advokasi Nas PPMI mengajak seluruh BP Nas PPMI yang hadir di Kongres untuk membahas hal tersebut. Setelah membahas keterangan dari pelapor, BP Advokasi Nas PPMI membentuk tim advokasi kasus kekerasan seksual. Tim advokasi kasus kekerasan seksual terdiri dari seluruh BP Nas PPMI dan BP Advokasi PPMI DK Malang. Kemudian, pada tanggal 15 Februari 2020, forum Kongres dipending ketika Laporan Pertanggungjawaban BP Advokasi Nas PPMI. Forum dipending dengan alasan ada kasus yang harus segera diselesaikan oleh BP Nas PPMI. Setelah forum dipending, BP Advokasi Nas PPMI menemui Tamam untuk melakukan proses verifikasi dan memberi ruang pembelaan pelaku.

Hasil proses dari ruang pembelaan pelaku kemudian dibahas oleh seluruh BP Nas PPMI. Lalu pada 16 Februari 2020, BP Nas PPMI melalui Rahmat Ali selaku Sekjend Nas PPMI memberikan keputusan kepada Tamam untuk memenuhi tuntutan penyintas yang salah satunya adalah memberhentikan Tamam dari jabatan Sekjend PPMI DK Semarang.

Berikut kami sampaikan ruang pembelaan pelaku, hasil pembahasan dan keputusan BP Nas PPMI kepada Tamam, serta advokasi bersama AJI Semarang dan LRC-KJHAM Semarang.

II. Ruang Pembelaan Pelaku

BP Advokasi Nas PPMI memberikan ruang pembelaan pelaku kepada Tamam pada tanggal 15 Februari 2020. Pihak yang hadir di ruang pembelaan pelaku itu adalah Wahyu sebagai BP Advokasi Nas PPMI, Tamam sebagai terduga pelaku pelecehan dan Fitron sebagai BP Advokasi PPMI DK Malang yang membantu BP Nas PPMI dalam advokasi kasus. Selain itu ada pengurus PPMI DK Semarang yaitu Gunawan (LPM Dimensi) sebagai BP Advokasi PPMI DK Semarang, Bagas (LPM Suprema), Yusron (LPM Gema Keadilan) dan Diki (LPM Vokal).

Ruang pembelaan pelaku dimulai dengan proses verifikasi keterangan pelapor kepada Tamam sebagai terduga pelaku pelecehan seksual. Ketika proses verifikasi, Tamam membenarkan bahwa dia melakukan pelecehan kepada penyintas. Tamam juga membenarkan bahwa dia menggunakan relasi kuasanya di LPM Menteng, PPMI DK Semarang dan Aliansi Jurnalis Independen(AJI)Semarang (berupa sekretariat LPM, kantor AJI Semarang), maupun kegiatan-kegiatan Persma seperti malam keakraban (Makrab) dan kunjungan LPM untuk melakukan tindakan pelecehan kepada penyintas.

Tamam juga mengakui bahwa dia melakukan pelecehan kepada penyintas dengan mengajaknya camping (dengan tenda pinjaman milik AJI Semarang) maupun ketika membonceng penyintas dengan motor. Selain itu, Tamam juga mengakui bahwa dia tidak hanya melakukan pelecehan ke beberapa anggota LPM, tapi Tamam juga melakukan pelecehan ke penyintas dari organisasi di luar LPM atau PPMI DK Semarang.

Selain membenarkan tindakan pelecehan yang dilakukan, Tamam juga memberi klarifikasi atas tindakannya itu. Klarifikasi pertama, pelecehan di atas motor ketika membonceng penyintas sepulang dari kunjungan LPM. Tamam tidak merasa melakukan pelecehan karena waktu itu ia meminta penyintas untuk pegangan ke perut Tamam, namun penyintas menolak. Kemudian ketika Tamam mempercepat laju motor, penyintas tiba-tiba memeluknya tanpa Tamam memintanya.

Klarifikasi kedua ketika pelecehan di tenda waktu camping, di sekretariat LPM Menteng dan kantor AJI Semarang. Tamam mengatakan kalau penyintas tidak menolak kontak fisik (pelukan maupun ciuman) yang dilakukannya dan penyintas membalas kontak fisik itu. Sehingga, Tamam merasa kalau dia tidak melakukan pelecehan karena penyintas membalas kontak fisik itu.

Klarifikasi ketiga yaitu tentang pelecehan yang terus menerus dilakukan Tamam kepada penyintas. Tamam terus melakukan pelecehan itu karena dia menganggap bahwa yang dilakukannya bukan pelecehan, tapi suka sama suka karena penyintas juga membalas kontak fisiknya. Tamam juga mengatakan kalau penyintas merasa nyaman dan menikmati kontak fisik itu. Selain itu, Tamam mengatakan kalau penyintas juga pernah mengajaknya camping, sehingga Tamam merasa bukan hanya dia yang salah, tapi penyintas juga salah.

Setelah mendengar klarifikasi dari Tamam, Wahyu melakukan verifikasi kembali terhadap klarifikasi Tamam dengan mengajukan beberapa pertanyaan. Pertama, Wahyu menanyakan apakah kontak fisik yang dilakukan Tamam itu melalui persetujuan (consent) dari penyintas? Lalu Tamam menjawab bahwa dia tidak meminta persetujuan dalam bentuk verbal (kata-kata) untuk melakukan kontak fisik ke penyintas, tapi Tamam langsung melakukan kontak fisik dengan gerakan tubuhnya.

Kedua, Wahyu menanyakan ajakan camping Tamam ke penyintas, apakah Tamam mengajak camping dengan penyintas untuk melakukan kontak fisik itu? Kemudian Tamam menjawab bahwa dia tidak mengajak camping penyintas untuk melakukan kontak fisik itu. Begitu juga penyintas, Tamam mengatakan kalau penyintas tidak mengajak camping Tamam untuk melakukan kontak fisik itu. Tamam maupun penyintas saling mengajak camping untuk mengerjakan tugas atau untuk refreshing saja.

Ketiga, Wahyu menanyakan kepada Tamam siapa yang pertama dan paling sering mengajak camping serta melakukan kontak fisik? Lalu Tamam menjawab bahwa dia sendiri yang pertama dan paling sering mengajak camping serta melakukan kontak fisik. Sedangkan penyintas hanya mengajak camping sekali saja, itu pun tidak jadi camping.Penyintas juga tidak pernah mengajak atau memulai untuk melakukan kontak fisik. Tamam sendiri mengatakan kalau penyintas tidak pernah berkata merasa nyaman dan menikmati kontak fisik itu.

Keempat, Wahyu menanyakan kepada Tamam, apakah dia tahu bahwa penyintas merasa terpaksa, takut dan tidak punya pilihan ketika Tamam melakukan semua kontak fisik itu sampai penyintas mau lompat dari motor ketika Tamam memaksa penyintas untuk memeluknya? Kemudian Tamam mengiyakan kalau dia mengetahui semua itu. Tamam mengatakan kalau dia baru mengetahui ketidaknyamanan penyintas setelah penyintas menolak kontak fisik dari Tamam dengan tegas. Setelah mengetahui kalau penyintas merasa tidak nyaman dan berani menolak kontak fisiknya, Tamam mengatakan beberapa bulan setelah Reuni Nasional dan Dies Natalis PPMI (25 – 28 Oktober 2019 di Semarang) selesai, dia tidak melakukan lagi kontak fisik itu ke penyintas.

Setelah melakukan verifikasi kembali terhadap klarifikasi Tamam dan mendengar jawaban-jawabannya, Wahyu menyampaikan bahwa Tamam juga sudah mengakui tindakan pelecehan yang dilakukannya, sehingga Tamam harus memenuhi tuntutan penyintas untuk memberhentikannya dari jabatan Sekjend PPMI DK Semarang. Selain itu, Tamam juga harus memenuhi tuntutan lain dari penyintas yaitu meminta maaf secara langsung kepada semua penyintas yang pernah dilecehkan serta kepada publik dan berjanji tidak akan mengulangi tindakan pelecehan lagi kepada siapapun. Serta menanggung biaya pemulihan semua penyintas yang pernah dilecehkan.

Namun, Tamam tidak terima dengan tuntutan penyintas untuk berhenti atau mengundurkan diri dari Sekjend PPMI DK Semarang. Tamam memberatkan pemberhentian itu dengan alasan kalau dia tidak sepenuhnya salah tapi penyintas juga salah, serta alasan-alasan lain dari klarifikasi yang sudah disebutkan sebelumnya.

Melihat Tamam yang tidak terima dengan konsekuensi itu, Wahyu membuka sesi dialog untuk mendengar pendapat dari Fitron, Gunawan, Bagas, Yusron dan Diki.

Bagas yang pertama menyampaikan pendapatnya. Bagas mengatakan kalau dia kecewa dengan tindakan Tamam. Bagi Bagas, tindakan Tamam adalah tindakan yang sangat tidak etis. Bagas menilai kalau tindakan Tamam tidak bisa dilanjutkan lagi, kalau dilanjutkan tentu menjadi kebiasaan yang buruk. Bagas menekankan kalau penyintas adalah seorang wanita, kalau dipaksa melakukan kontak fisik, pasti dia akan takut, dia ingin menolak tapi dia diam dan tidak bisa berbuat apa-apa.

Bagas meminta supaya Tamam lebih merasakan rasa sakitnya penyintas ketika dilecehkan. Bagi Bagas, penyintas mungkin bisa menahan rasa sakitnya, tapi kalau suatu saat nanti dia tidak menahannya, dia bisa melakukan hal-hal yang tidak diinginkan. Bagas memperingatkan Tamam supaya tidak terus melakukan pelecehan kepada wanita lain. Menurut Bagas, perempuan harus lindungi, bukan malah dimanfaatkan.

Setelah itu, Diki memberi pertanyaan kepada Tamam, apakah Tamam bersedia untuk tidak memojokkan penyintas setelah forum ruang pembelaan ini? Lalu ketika Tamam memojokkan penyintas setelah forum ruang pembelaan ini apakah Tamam mau tanggungjawab? Kemudian, Tamam mengatakan kalau penyintas mempunyai hak untuk melaporkan ke BP Advokasi Nas PPMI sehingga Tamam bersedia untuk tidak memojokkan penyintas dengan meminta klarifikasi dan sebagainya. Tamam juga akan bertanggungjawab kalau setelah forum ruang pembelaan dia malah memojokkan penyintas.

Setelah itu, Yusron menyampaikan pendapatnya. Menurut Yusron, dia tidak ingin tindakan pelecehan ini terjadi lagi, karena itu akan berdampak ke nasib PPMI DK Semarang.

Kemudian, Gunawan memberikan pendapatnya. Dia mempertanyakan pemberhentian Tamam dari Sekjend PPMI DK Semarang. Gunawan bertanya kepada Wahyu, apakah tuntutan penyintas untuk memberhentikan Tamam dari Sekjend PPMI DK Semarang tidak mempertimbangkan faktor lain? Kemudian, Wahyu menjawab kalau penyintas berhak menuntut Tamam untuk berhenti dari Sekjend PPMI DK Semarang. Kemudian yang berwenang untuk memberi sanksi pemberhentian itu adalah Rahmat Ali, selaku Sekjend Nas PPMI. Hal ini sesuai Anggaran Rumah Tangga (ART) PPMI Pasal 63 tentang Mekanisme Pemberian Sanksi ayat 1 yang menjelaskan, “sanksi diberikan oleh Sekjend Nasional atas pertimbangan Koordinator Wilayah”.

Lalu Gunawan menanyakan lagi, apakah sanksi itu sudah menjadi hasil keputusan pengurus Nas PPMI? Kemudian Wahyu menjawab bahwa sanksi itu belum bisa diberikan, karena yang dilakukan Wahyu adalah pemberian ruang pembelaan pelaku kepada Tamam sebelum Tamam diberi sanksi. Hal ini sesuai Anggaran Rumah Tangga (ART) PPMI Pasal 63 tentang Mekanisme Pemberian Sanksi ayat 2 yang menjelaskan, “sebelum sanksi dijatuhkan, setiap anggota berhak melakukan pembelaan”.

Menambahi pertanyaan Gunawan, Tamam kembali menyatakan ketidakterimaannya dengan tuntutan penyintas. Tamam mengakui kalau dia melanggar AD/ADT, tapi Tamam mempertanyakan sanksi pemberhentian yang akan dia terima. Tamam membandingkan dengan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh PPMI DK lainnya ketika tidak membayar iuran kas rutin ke pengurus Nas PPMI. Menurut Tamam, masalah pelecehan ini terlalu dibesar-besarkan karena PPMI DK lainnya juga melanggar AD/ADT dengan tidak membayar iuran kas rutin, tapi hanya ditegur oleh pengurus Nas PPMI, sedangkan ketika melakukan pelecehan dia harus diberhentikan oleh pengurus Nas PPMI.

Tamam kembali mengatakan bahwa dia merasa tidak sepenuhnya salah. Tamam merasa kalau dia salah, tapi penyintas juga salah karena penyintas pernah mengajaknya camping, penyintas juga membalas kontak fisiknya dan Tamam merasa bahwa kontak fisik itu didasari suka sama suka. Bahkan, Tamam juga menyatakan tuntutan balik kepada penyintas. Tamam menuntut supaya penyintas merasa biasa-biasa saja dan tidak tertekan. Bagi Tamam, penyintas merasa tertekan karena tindakan penyintas sendiri yang membalas kontak fisik itu dan pernah mengajak Tamam camping.

Menurut Tamam, tuntutan penyintas untuk memberhentikannya dari Sekjend PPMI DK Semarang terlalu berat. Tamam mengatakan kalau meminta maaf saja ke penyintas itu sudah cukup. Tidak hanya itu, Tamam juga mengungkit sifat penyintas yang mirip anak kecil. Tamam mengatakan kalau penyintas suka dekat-dekat dengannya sehingga Tamam merasa terpancing untuk melakukan kontak fisik ke penyintas. Tamam merasa kalau penyintas itu awalnya bersikap cuek, maka Tamam akan cuek dan tidak akan melakukan kontak fisik itu.

Tamam terus menyatakan keberatannya dengan alasan bahwa dia sudah bertahun-tahun mengabdi di PPMI, tapi hanya karena pelecehan yang dia lakukan dia harus diberhentikan dari Sekjend PPMI DK Semarang. Kemudian, Tamam juga mengatakan kalau tuntutan pemberhentiannya yang berdasarkan AD/ART PPMI itu tidak logis.

Selain itu, bagi Tamam tuntutan pemberhentian itu tidak adil karena tuntutan itu hanyalah asumsi penyintas yang tidak relevan. Tamam merasa kalau penyintas tidak melihat apa yang dilakukan Tamam di PPMI. Bahkan Tamam menyamakan sikap penyintas seperti orang putus pacaran yang merasa tertekan dan ingin bunuh diri, serta memiliki nuansa benci sehingga menuntut Tamam seperti itu. Dalam pertimbangan Tamam, dia sudah melakukan banyak hal, tapi karena hal kecil ini, semuanya ambruk.

Menanggapi pendapat Gunawan dan Tamam, Wahyu menjelaskan bahwa kasus pelecehan seksual tidak bisa dibandingkan dengan masalah pelanggaran pembayaran iuran kas rutin PPMI. Mekanisme penyelesaian masalah pelanggaran pembayaran iuran kas rutin jelas berbeda dengan mekanisme penyelesaian kasus pelecehan seksual. Sasaran iuran kas rutin adalah PPMI DK, bukan personal seperti Sekjend PPMI DK. Kemudian pihak yang berwenang adalah Biro Umum Bendahara Nas PPMI, seperti yang dijelaskan dalam ART PPMI Pasal 17 ayat 2 yang menyebutkan bahwa Biro Umum berwenang untuk menarik iuran anggota.

Sedangkan dalam kasus pelecehan seksual, sasarannya adalah Sekjend PPMI DK. Kemudian pihak yang berwenang memberi sanksi adalah Sekjend Nas PPMI. Kemudian yang lebih penting lagi adalah penilaian pelanggaran antara pembayaran iuran kas dan kasus pelecehan seksual itu didasarkan oleh masing-masing dampak yang diakibatkan. Kalau pelanggaran pembayaran iuran kas rutin PPMI dampaknya pada keuangan BP Nas PPMI dan diperbaiki dengan cara menekan PPMI DK untuk membayar iurannya. Tapi kalau kasus pelecehan seksual, dampaknya pada kondisi psikologis penyintas. Sehingga dampak dari pelecehan seksual itu diperbaiki dengan pemulihan kondisi psikologis penyintas dan pemenuhan keadilan bagi penyintas.

Wahyu juga menjelaskan pertimbangan lain ketika Tamam tetap tidak terima dengan tuntutan penyintas. Ada pertimbangan kalau PPMI, terutama Tamam sebagai pelaku, akan mendapatkan tekanan dari individu atau organisasi di luar PPMI. Individu atau organisasi di luar PPMI itu bisa saja menekan PPMI karena menilai PPMI tidak bisa menindak tegas pelaku pelecehan seksual dan tidak bisa menciptakan ruang yang aman bagi perempuan. Selain itu, PPMI bisa dianggap malah melindungi pelaku pelecehan seksual.

Menanggapi penjelasan Wahyu, Tamam mengatakan kalau dia sudah menyadari dampak itu. Tamam mengatakan kalau dia sudah berubah dan tidak pernah melakukan pelecehan lagi mulai beberapa bulan lalu.

Kemudian, Fitron menjelaskan kembali bahwa forum tersebut adalah ruang pembelaan pelaku kepada Tamam. Jadi, hasil forum ruang pembelaan pelaku ini perlu segera dikembalikan kepada pengurus Nas PPMI untuk ditindaklanjuti.

Menanggapi penjelasan Fitron, Wahyu mengatakan kalau di ruang pembelaan pelaku ini Tamam dan pengurus PPMI DK Semarang lain bisa menyatakan pendapat termasuk menolak tuntutan penyintas beserta alasan penolakannya. Kemudian sebelum menutup forum ruang pembelaan pelaku, Wahyu menayakan kembali kepada Tamam, apakah dia bersedia menerima tuntutan penyintas? Lalu Tamam mengatakan kalau dia tetap tidak menerima dengan alasan-alasan yang sudah dia sebutkan sebelumnya. Mendengar jawaban akhir Tamam, Wahyu menutup forum ruang pembelaan pelaku itu.

III. Hasil Pembahasan dan Keputusan BP Nas PPMI

BP Nas PPMI kemudian membahas hasil dari ruang pembelaan pelaku pada 15 Februari 2020. Kemudian dari pembahasan itu kami mencatat tiga poin penting, yaitu:

  1. Berdasarkan pembahasan kronologi dari penyintas dan hasil ruang pembelaan, Tamam melakukan pelecehan seksual kepada penyintas. Mengacu pada Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), yang dimaksud dengan pelecehan seksual adalah tindakan seksual lewat sentuhan fisik maupun non-fisik dengan sasaran organ seksual atau seksualitas korban. Ia termasuk menggunakan siulan, main mata, ucapan bernuansa seksual, mempertunjukan materi pornografi dan keinginan seksual, colekan atau sentuhan di bagian tubuh, gerakan atau isyarat yang bersifat seksual sehingga mengakibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung, merasa direndahkan martabatnya, dan mungkin sampai menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan.

    Tamam sendiri membenarkan bahwa dia melakukan pelecehan kepada penyintas. Tamam juga membenarkan bahwa dia menggunakan relasi kuasanya di LPM Menteng, PPMI DK Semarang dan AJI (berupa sekretariat LPM dan kantor AJI Semarang), maupun kegiatan-kegiatan pers mahasiswa seperti malam keakraban (Makrab), dan kunjungan LPM untuk melakukan tindakan pelecehan kepada penyintas.

    Tamam juga mengakui bahwa dia melakukan pelecehan kepada penyintas dengan mengajaknya camping (dengan tenda pinjaman milik AJI Semarang) maupun ketika membonceng penyintas dengan motor. Selain itu, Tamam juga mengakui bahwa dia tidak hanya melakukan pelecehan ke beberapa anggota LPM, tapi Tamam juga melakukan pelecehan ke penyintas dari luar LPM maupun PPMI DK Semarang.
  1. Tamam berulang kali melakukan kontak fisik ke penyintas tanpa persetujuan (consent) dari penyintas. Tamam sendiri mengakui kalau dia tidak meminta persetujuan dalam bentuk verbal (kata-kata) untuk melakukan kontak fisik ke penyintas, tapi dia langsung melakukan kontak fisik dengan gerakan tubuhnya. Tamam tidak menerima kondisi penyintas yang tertekan, terpaksa, takut dan tidak punya pilihan dengan kontak fisik yang terus dilakukannya.

    Bagi Tamam kontak fisik yang dilakukannya itu didasari oleh rasa suka sama suka karena penyintas membalas kontak fisik dari Tamam dan pernah mengajak Tamam camping. Hal ini berbanding terbalik dengan pernyataan Tamam sebelumnya yang mengakui bahwa dia melakukan pelecehan dan mengetahui bahwa penyintas yang tertekan, terpaksa, takut dan tidak punya pilihan dengan kontak fisik yang terus dilakukannya.

    Seharusnya, ketika mengetahui kondisi penyintas yang tertekan, Tamam mengakui sepenuhnya bahwa tindakannya itu salah karena dia melakukan pemaksaan kepada penyintas, bukan malah mengatakan bahwa tindakannya didasari rasa suka sama suka. Apalagi, Tamam sendiri mengakui kalau penyintas tidak pernah mengajaknya camping untuk melakukan kontak fisik, tapi penyintas mengajaknya camping untuk mengerjakan tugas atau untuk refreshing saja.
  1. Tamam malah menyalahkan penyintas (victim blaming). Tamam mendiskreditkan tuntutan penyintas karena Tamam merasa tuntutan itu tidak adil dan tuntutan itu hanyalah asumsi penyintas yang tidak relevan. Tamam merasa kalau penyintas tidak melihat apa yang dilakukannya di PPMI.

    Bahkan Tamam menyamakan sikap penyintas seperti orang putus pacaran yang merasa tertekan dan ingin bunuh diri, serta memiliki nuansa benci sehingga menuntut Tamam seperti itu. Dalam pertimbangan Tamam, pelecehan yang dilakukannya adalah hal kecil dan tuntutan pemberhentiannya itu terlalu dibesar-besarkan.

    Upaya mendiskreditkan penyintas itu kemudian dilanjutkan Tamam dengan menyalahkan penyintas. Tamam mengatakan kalau sifat penyintas mirip anak kecil karena penyintas suka dekat-dekat dengannya, sehingga Tamam merasa terpancing untuk melakukan kontak fisik ke penyintas. Tamam merasa kalau penyintas itu awalnya bersikap cuek, maka Tamam akan cuek dan tidak akan melakukan kontak fisik itu.

Tamam mengatakan bahwa dia merasa tidak sepenuhnya salah. Tamam terus menyalahkan penyintas dengan alasan yang sama, bahwa penyintas pernah mengajaknya camping, penyintas juga membalas kontak fisiknya dan Tamam merasa bahwa kontak fisik itu didasari suka sama suka. Bahkan, Tamam juga menyatakan tuntutan balik kepada penyintas. Tamam menuntut supaya penyintas merasa biasa-biasa saja dan tidak tertekan. Bagi Tamam, penyintas merasa tertekan karena tindakan penyintas sendiri yang membalas kontak fisik itu dan pernah mengajak Tamam camping. Semua alasan yang digunakan Tamam untuk menyalahkan penyintas itu kemudian dijadikan dasar bahwa dia tidak menerima tuntutan pemberhentian dari Sekjend PPMI DK Semarang dan mengatakan kalau meminta maaf saja ke penyintas itu sudah cukup.

Berdasarkan pembahasan kronologi kekerasan seksual dari penyintas, hasil ruang pembelaan pelaku dan tiga poin penting dari ruang pembelaan pelaku, maka kami BP Nas PPMI memutuskan untuk:

  1. Memberhentikan Muhammad Sofi Tamam dari jabatan Sekjend PPMI DK Semarang.
  2. Menuntut Muhammad Sofi Tamam untuk meminta maaf secara langsung kepada semua penyintas yang pernah dilecehkan serta kepada publik dan berjanji tidak akan mengulangi tindakan pelecehan lagi kepada siapapun.
  3. Menuntut Muhammad Sofi Tamam untuk menanggung biaya pemulihan semua penyintas yang pernah dilecehkan.
  4. Mengimbau kepada seluruh PPMI di masing-masing Dewan Kota untuk bersolidaritas dalam mendukung penyelesaian kasus pelecehan seksual yang dialami oleh pers mahasiswa, mendukung pemenuhan tuntutan penyintas, bertanggungjawabmendampingi penyintas dalam proses pemulihan, menciptakan ruang yang aman bagi penyintas, serta tidak memberi ruang bagi Tamam maupun segala bentuk tindakan kekerasan seksual.

Pada 16 Februari 2020, Tamam sudah diberhentikan dari Sekjend PPMI DK Semarang. Kemudian, PPMI DK Semarang mengadakan Musyawarah Kota Luar Biasa (Muskotlub) pada 1 Maret 2020. Hasil Muskotlub PPMI DK Semarang memutuskan Amiruddin Nur Yusron dari LPM Gema Keadilan sebagai Sekjend PPMI DK Semarang.

IV. Advokasi bersama AJI Semarang dan LRC-KJHAM Semarang

BP Nas PPMI (kemudian menjadi Demisioner PPMI karena kepengurusannya sudah selesai setelah Kongres PPMI di Madura) melanjutkan advokasi bersama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Semarang. Pada 4-9 Maret 2020, Rahmat Ali dan Wahyu (perwakilan Demisioner PPMI) bertemu dengan AJI Semarang untuk membahas pemulihan dan pemenuhan keadilan bagi penyintas. AJI Semarang menyarankan PPMI untuk bekerjasama juga dengan Legal Resource Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) Semarang dalam advokasi kasus pelecehan seksual ini. Kemudian Demisioner PPMI dan AJI Semarang bertemu dengan LRC-KJHAM Semarang untuk membahas advokasi kasus pelecehan seksual. Dalam pembahasan itu, disepakati bahwa tim advokasi akan menempuh jalur hukum sebagai bentuk tindakan tegas ke Tamam.

Setelah pembahasan dengan AJI Semarang dan LRC-KJHAM, Demisioner PPMI membentuk tim advokasi yang beranggotakan Wahyu dan Jenna (perwakilan Demisioner PPMI), Tsamrotul Ayu Masruroh dan Muhammad Firman (perwakilan BP Nas PPMI), Yusron dan Gunawan (perwakilan PPMI DK Semarang) bersama perwakilan AJI Semarang dan LRC-KJHAM. Pada 2 April 2020, tim advokasi melakukan pembahasan untuk mempersiapkan bukti, saksi dan keperluan lain yang berkaitan dengan pelaporan ke kepolisian. Selain itu, tim advokasi juga mempersiapkan aduan ke Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang (tempat Tamam berkuliah) terkait kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh Tamam. Laporan tersebut akan ditembuskan ke Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana Provinsi Jawa Tengah, Komisi Perlindungan Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Anak Provinsi Jawa Tengah, dan LLDIKTI Wilayah VI Jawa Tengah.

11 Juni 2020, tim advokasi mengirimkan surat pengaduan kasus pelecehan seksual ke Unwahas Semarang serta tembusan ke lembaga-lembaga lainnya. Pada 3 Agustus 2020, Komnas Perempuan memberikan surat rekomendasi kepada Unwahas Semarang untuk menjatuhkan sanksi tegas terhadap Tamam yang sudah melakukan pelecehan seksual. Kemudian, pada 2 September 2020, Unwahas Semarang memberikan sanksi Drop Out kepada Tamam dengan keterangan karena telah melanggar Kode Etik Mahasiswa dan Peraturan Akademik Unwahas Semarang.

Pada 17 September 2020 penyintas memutuskan untuk tidak melanjutkan advokasi jalur hukum. Penyintas merasa lelah menunggu dan bergantung kepada pendamping hukum dari LRC-KJHAM Semarang yang proses pelaporan ke kepolisiannya lambat. Pelaporan ke kepolisian seharusnya dilakukan pada 28 Agustus 2020, namun pelaporan tersebut tidak terealisasikan karena fokus pendamping hukum yang terpecah-pecah. Komunikasi yang kurang intens dari pendamping hukum terkait kepastian pelaporan ke kepolisian juga membuat penyintas lelah menunggu dan bergantung. Ketidakpastian tersebut berdampak pada kegiatan sehari-hari penyintas. Penyintas merasa tambah tertekan karena lelah menahan amarahnya dan merasa sulit untuk mengingat pengalaman getirnya itu.

V. Permintaan Maaf dan Evaluasi dari PPMI

PPMI menyadari keterlibatannya dalam kesalahan dalam advokasi yang membuat penyintas tambah tertekan. Maka dari itu PPMI menyatakan:

  1. Meminta maaf kepada penyintas karena belum bisa memberikan pendampingan yang maksimal untuk memulihkan kondisi mental serta mewujudkan keadilan bagi penyintas, malah pendampingan yang diberikan PPMI juga membuat penyintas tambah tertekan karena adanya ketidakpastian selama proses advokasi.
  2. Berusaha untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama dalam advokasi kasus kekerasan seksual di PPMI.
  3. Melakukan evaluasi terhadap AD/ART dan Kode Etik PPMI sbagai salah satu bentuk komitmen dalam mendukung upaya penindakan tegas pelaku kekerasan seksual, menciptakan ruang yang aman bagi penyintas, serta melawan segala bentuk kekerasan seksual di PPMI.
  4. Membuat Standar Operasional Prosedur (SOP) Penanganan Kasus Kekerasan Seksual di PPMI.
  5. Mendorong setiap Lembaga Pers Mahasiswa untuk menciptakan ruang aman bagi penyintas dan melakukan pengawalan kasus kekerasan seksual yang ada di kampus.

Sampai rilis ini diterbitkan, Tamam masih tidak mengakui pelecehan seksual yang dilakukannya serta belum memenuhi tuntutan dari penyintas. Maka dari itu, PPMI mengimbau kepada seluruh PPMI di masing-masing Dewan Kota serta seluruh organisasi yang mana Tamam aktif di dalamnya untuk bersolidaritas dalam mendukung pemenuhan tuntutan penyintas, menciptakan ruang yang aman bagi penyintas, serta tidak memberi ruang bagi Tamam maupun segala bentuk tindakan kekerasan seksual.

Narahubung:

Tsamrotul Ayu Masruroh, Badan Pekerja Advokasi 2019-2020-085704248033
Wahyu Agung Prasetyo,  Badan Pekerja Advokasi 2018-2019-089682373953
Amiruddin Nur Yusron  Sekjend PPMI DK Semarang 2020-2021-089652294488

Kategori
Siaran Pers

Pernyataan Sikap Kasus Pelecehan Seksual Yang Dilakukan Sekjend PPMI DK Kediri dan Sekjend PPMI DK Malang

Trigger Warning: ada penjelasan upaya melakukan bunuh diri.

Pada 25-28 Oktober 2019, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) mengadakan kegiatan Reuni Nasional dan Dies Natalis PPMI XXVII. Salah satu agenda dalam kegiatan tersebut adalah forum konsolidasi pers mahasiswa, 26 Oktober 2019 yang dipandu oleh Wahyu Agung Prasetyo dan Jenna Meuthia Aliffiana selaku Badan Pekerja Advokasi Nasional PPMI 2018-2019. Dalam forum tersebut, ada salah satu anggota pers mahasiswa (selanjutnya disebut penyintas) yang berani menceritakan pengalaman kekerasan seksual yang dialaminya di sebuah kampus. Penyintas berani bercerita karena merasa forum itu adalah tempat yang aman untuk bercerita dan dia percaya kepada semua teman-teman di forum itu bisa memahami dan mendukungnya. Kemudian, peserta forum turut berkomentar untuk menguatkan penyintas atas kekerasan seksual yang dialaminya.

Setelah forum konsolidasi pers mahasiswa tersebut selesai, penyintas yang sudah berani menceritakan pengalaman kekerasan seksual yang dialaminya malah mendapatkan Cat Calling dari Achmad Hidayatullah, Sekjend PPMI Dewan Kota Kediri dan Mohammad Khalid, Sekjend PPMI Dewan Kota Malang. Ujaran Cat Calling yang dilakukan Achmad Hidayatullah tersebut seperti “tubuhmu menggoda, kamu cantik sekali” dan lain-lain yang dilakukan secara berulang-ulang.

Kemudian di grup whatsapp peserta Reuni Nasional dan Dies Natalis PPMI, Mohammad Khalid mengutarakan kata-kata yang menyinggung penyintas. Berawal dari obrolan tentang saling berbagi akun instagram, obrolan itu mengarah ke pencarian akun instagram beberapa peserta perempuan. Lalu, setelah Mohammad Khalid mengutarakan bahwa ia tidak menemukan akun instagram penyintas, obrolan grup mengerucut ke penyintas saja. Hingga penyintas merasa tidak nyaman karena obrolan itu, lalu penyintas keluar dari grup ketika Mohammad Khalid mengutarakan “kalau aku butuh **** (penyintas) juga langsung japri”.

30 Oktober 2019, penyintas memberitahukan kepada temannya Tsamrotul Ayu Masruroh dari LPM Unipdu Jombang bahwa ujaran Cat Calling yang ia alami setelah menceritakan kekerasan seksual di forum tersebut membuat penyintas mencekik lehernya sebagai upaya melakukan bunuh diri. Namun upaya bunuh diri tersebut tidak berhasil karena tangannya yang luka setelah kecelakaan membuatnya tidak kuat untuk melakukan hal tersebut.

Pada saat itu, Ayu panik, sehingga dia mengabarkan dan bertanya kepada teman-teman di grup whatsapp ‘baca buku’ milik Front Santri Melawan Kekerasan Seksual (ForMujeres). Karena panik, Ayu menuliskan kronologi singkat yang terjadi, bahwa dalam forum konsolidasi pers mahasiswa tersebut ada penyintas yang mendapatkan Cat Calling setelah menceritakan pengalaman kekerasan seksual  yang dialaminya dan hal itu membuat penyintas melakukan upaya bunuh diri. Di grup tersebut ada diskusi panjang tentang bagaimana kejadian itu dan apa yang harus bisa dilakukan untuk membantu penyintas.

Persoalan menjadi kacau ketika Yuga Gumilang Pambudi Wijaya salah satu anggota grup For Mujeres dan mantan pengurus PPMI Dewan Kota Malang menyebarkan kronologi singkat dan terpotong dari Ayu tersebut. Salah satu yang mendapat sebaran kronologi tersebut adalah Ugik Endarto, mantan Sekjend PPMI Dewan Kota Malang. Kemudian Ugik membagikan kronologi singkat tersebut di grup whatsapp Persma Indonesia tanpa melakukan verifikasi terkait kebenaran informasinya. Kronologi tersebut menuai banyak komentar dari peserta grup.

Wahyu yang mengetahui bahwa kronologi singkat itu dibuat oleh Ayu kemudian mengkonfirmasi soal kebenaran kronologi tersebut. Kemudian Ayu mengaku bahwa dia yang membuat kronologi tersebut. Wahyu juga mengirim screenshoot komentar-komentar di grup whatsapp Persma Indonesia itu kepada Ayu supaya Ayu mengetahui dampaknya, karena waktu itu Ayu belum masuk grup tersebut. Ayu juga mengaku bahwa dia membagikan screenshoot komentar-komentar di grup whatsapp Persma Indonesia saat penyintas tanya tanggapan pengurus Nasional PPMI itu kepada penyintas tanpa memperhatikan kondisi mental penyintas dan tanpa peringatan pemicu (trigger warning) ke penyintas. Screenshoot komentar-komentar di grup whatsapp Persma Indonesia itu membuat mental penyintas tambah tertekan.

Kemudian, Wahyu menegur Ayu untuk meminta maaf kepada penyintas karena telah membagikan screenshoot komentar-komentar di grup whatsapp Persma Indonesia itu kepada penyintas tanpa memperhatikan kondisi mental penyintas dan tanpa peringatan pemicu (trigger warning) ke penyintas. Wahyu juga menegur Ugik untuk meminta maaf kepada penyintas karena sudah membagikan kronologi singkat tersebut tanpa melakukan verifikasi terkait kebenaran informasinya.

Wahyu dan Ayu kemudian bekerjasama untuk melakukan pendampingan dan advokasi kasus Cat Calling ini. Pada 1 November 2019, Ayu menemani penyintas untuk melakukan konseling kepada Women Crisis Center (WCC) Jombang. Seusai konseling, penyintas menyampaikan tuntutannya kepada Wahyu untuk Achmad Hidayatullah dan Mohammad Khalid yang sudah menjadi pelaku kekerasan seksual Cat Calling. Tuntutan penyintas yaitu membekukan Mohammad Khalid sebagai Sekjend PPMI Dewan Kota Malang sampai Kongres PPMI selesai. Kemudian memberhentikan Achmad Hidayatullah sebagai Sekjend PPMI Dewan Kota Kediri.

Merespon tuntutan tersebut, pada 2 November 2019, Rahmat Ali selaku Sekjend PPMI Nasional 2018-2019 memberi sanksi kepada Achmad Hidayatullah dan Mohammad Khalid untuk meminta maaf kepada penyintas secara tertulis dan meminta mereka mengundurkan diri dari jabatan Sekjend PPMI Kota. Kemudian pada tanggal 2 November 2019, Wahyu menemui Ayu di Jombang untuk merespon tuntutan penyintas dan merencanakan langkah advokasi kedepannya.

3 November 2019, Wahyu menemui Achmad Hidayatullah dan pengurus PPMI Dewan Kota Kediri untuk menyelesaikan kasus Cat Calling ini. Achmad Hidayatullah mengakui kesalahannya karena sudah melakukan pelecehan seksual Cat Calling kepada penyintas serta menyebar kontak penyintas ke laki-laki lainnya. Achmad Hidayatullah juga mengaku bahwa ia maupun Mohammad Khalid tidak mengetahui kalau penyintas pernah mengalami kekerasan seksual oleh dosen di kampusnya. Kedua pelaku  juga tidak tahu kalau penyintas pernah menceritakan kekerasan seksual yang dialaminya itu di forum konsolidasi pers mahasiswa. Kedua pelaku tidak mengetahui hal tersebut karena waktu konsolidasi pers mahasiswa, mereka tidak berada di forum tapi mereka sedang di forum bedah buku bersama Forum Alumni Aktivis (FAA) PPMI. Setelah itu, Achmad hidayatullah dan Mohammad Khalid meminta maaf secara langsung kepada penyintas dan menerima sanksi untuk mengundurkan diri dari jabatan Sekjend PPMI Kota.

Namun, setelah sanksi itu diberikan, penyintas menarik tuntutannya tersebut karena dia merasa tuntutan tersebut memberatkan kedua pelaku. Wahyu dan Ayu sudah menguatkan penyintas untuk tetap memberikan sanksi tersebut, namun penyintas tetap bersitegas menarik tuntutan tersebut. Akhirnya kedua pelaku hanya diberi sanksi meminta maaf atas pelecehan seksual yang dilakukan serta berjanji tidak akan mengulanginya lagi.

Setelah itu, dibentuklah kembali tim advokasi yang berisi Badan Pekerja Advokasi PPMI Nasional dan Badan pekerja Advokasi PPMI Dewan Kota Malang dan Kediri untuk menyelesaikan kasus Cat Calling ini dengan beberapa fokus. Pertama, membantu pemulihan penyintas dengan menjadi support systemnya. Kedua, membuat kronologi kasus pelecehan seksual Cat Calling. Ketiga, membantu advokasi kasus kekerasan seksual yang dialami oleh penyintas dan dilakukan oleh dosen di kampus tersebut. Keempat, membuat Standar operasional (SOP) Penanganan kasus pelecehan dan kekerasan seksual di PPMI.

Tim advokasi melakukan pertemuan untuk penyelesaian kasus Cat Calling pada tanggal 28 Januari 2020 di Kediri dan tanggal 28 Februari 2020 di malang. Namun, dari beberapa pertemuan tersebut belum ada progres yang baik untuk menyelesaikan kasus, seperti belum adanya kronologi kasus Cat Calling, belum maksimalnya pendampingan pemulihan penyintas, belum maksimalnya advokasi kasus kekerasan seksual yang dialami penyintas di kampus dan pembuatan SOP Penanganan Kasus Pelecehan dan Kekerasan Seksual yang belum selesai. Tim advokasi juga kurang tegas dan masih bingung dalam menangani kasus pelecehan atau kekerasan seksual karena belum ada SOP yang jelas. Ditambah laporan kasus pelecehan atau kekerasan seksual dan kasus represi terhadap pers mahasiswa yang masif terjadi, sehingga membagi fokus kerja untuk diselesaikan.

Pada 24 Oktober 2020, penyintas menyatakan bahwa dia sudah memaafkan kedua pelaku dan meminta pelaku untuk menyatakan sikap serta meminta maaf ke publik atas pelecehan seksual yang dilakukannya, sebagai bentuk perwujudan menciptakan ruang aman di PPMI.

Berdasarkan kronologi tersebut, kami Tim Advokasi kasus pelecehan seksual Cat Calling menyatakan:
  1. Meminta maaf kepada penyintas karena belum bisa memberikan pendampingan yang maksimal untuk memulihkan kondisi mental serta mewujudkan keadilan bagi penyintas.
  2. Menuntut Achmad Hidayatullah selaku Sekjend PPMI Dewan Kota Kediri dan Mohammad Khalid selaku Sekjend PPMI Dewan Kota Malang untuk menyatakan sikap dan meminta maaf ke publik atas pelecehan seksual yang dilakukannya.
  3. Membuat Standar Operasional (SOP) Penanganan Kasus Pelecehan dan Kekerasan Seksual di PPMI sebagai upaya untuk menciptakan ruang aman dan melawan segala bentuk pelecehan atau kekerasan seksual di PPMI.
  4. Mendorong setiap Lembaga Pers Mahasiswa untuk menciptakan ruang aman bagi penyintas dan melakukan pengawalan kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang ada di kampus.
Narahubung:

Badan Pekerja Advokasi Nasional PPMI 2019-2020 (Tsamrotul Ayu Masruroh, 0857 0424 8033)
Badan Pekerja Advokasi Nasional PPMI 2018-2019 (Wahyu Agung Prasetyo, 0896 8237 3953)

Kategori
Siaran Pers

Solidaritas Untuk S: Kekerasan dan Pelecehan Seksual Harus Dijadikan Musuh Bersama

Kami dari KOMITE SAHKAN  RUU PKS dan LBH APIK Sulsel, mendapatkan laporan kekerasan yang dilakukan oleh MSF alumni universitas Hasanuddin (UNHAS), dengan prodi Hukum Perdata, angkatan 2011 dan lulus di tahun  2018 yang sekarang bekerja sebagai Pegawai di Bawaslu Sulbar. MSF telah dilaporkan ke polisi atas kasus penganiayaan, meskipun begitu pelaku sempat meremehkan laporan penyintas ke kepolisian dengan mengatakan bahwa “ahh paling 3 bulan ji”(ahh paling (penjaranya) 3 bulan).

Tak bisa dipungkiri, kekerasan dan pelecehan seksual merupakan persoalan pokok dalam tatanan sosiologis masyarakat. Ia muncul sesungguhnya sebagai benalu sosial, memantik ketimpangan sosial. Anomali budaya patriarki memicu maraknya lelaki yang berperilaku misoginis. Dan sudah tentu, korban dari segala persoalan dari itu adalah perempuan yang memang tergolong rentan. Hal ini dibuktikan dengan semakin banyak bermunculan korban kekerasan maupun pelecahan seksual.

Salah satu dari sekian banyaknya kekerasan disertai pelecehan seksual dialami oleh penyintas berinisial “S” yang dilakukan oleh pelaku berinisal MSF. Tak sebatas itu, adanya tindak penganiayaan yang dialami penyintas selama membangun relasi bersama pelaku sejak Desember 2016 silam. Bahkan, kekerasan fisik maupun verbal dirasakan oleh penyintas sehingga sadar tidaknya, penyintas mengalami tekanan psikis yang luar biasa.

Awal mula cerita pilu ini pada 2016 ketika pelaku membujuk penyintas untuk menjadi ketua organisasi daerah (Organda). Setahun kemudian, sekitar bulan Maret – April, pelaku mulai mengekang dan mengintimidasi penyintas dan membatasi ruang gerak penyintas dalam beraktifitas, termasuk ruang pertemanan penyintas. Hal itupun memicu pertengkaran sehingga penyintas merasa tertekan. Imbasnya, penyintas melarikan diri dari kegiatan organisasi daerah.

Pada Mei 2017, pelaku berupaya mendekati penyintas dengan pendekatan personal. Pelaku memanipulasi penyintas dengan memacari (relasi) dengan dalih agar penyintas tidak mundur dari jabatannya sebagai ketua organisasi daerah. Selama periode kepengurusannya, penyintas merasa dikekang dan diintervensi secara tidak sehat sehingga penyintas tentu merasa kehilangan independensinya dalam kerja – kerja organisasi, misalnya dalam pengambilan keputusan di organisasi.

Juli 2017, penyintas memberitahu pelaku bahwa dirinya kini sedang hamil. Ia meminta pertanggung jawaban pelaku. Tetapi, pelaku tidak mempercayai kebenaran yang disampaikan penyintas terkait kehamilannya. Sampai pada Agustus 2017, pelaku mulai percaya atas kehamilan penyintas dan pelaku mulai memaksa penyintas untuk menggugurkan kandungannya.

Oktober 2017, dengan kondisi yang dialaminya, penyintas merasa bahwa dirinya hanya dijadikan alat untuk memenuhi ambisi pelaku di organisasi sehingga penyintas kembali menjauhi pelaku. Penyintas juga mengabari wakil ketua dan teman-temannya di Organda bahwa ia berniat mengundurkan diri sebagai Ketua organda karena tekanan yang terus-menerus ia dapatkan dari pelaku. Mengetahui hal tersebut, sontak pelaku kembali berulah dengan memanipulasi penyintas. Pelaku kembali meyakinkan penyintas bahwa ia akan bertanggung jawab atas perbuatannya. Selain itu, pelaku juga membujuk penyintas untuk menikah secara mut’ah pada 08 oktober 2017

Sejak saat itu, penyintas terus mengalami intimidasi berulang kali dan perlakukan yang tidak sesuai dengan norma kesusilaan pada umumnya. Hal ini ditandai dengan relasi yang tidak sehat antara penyintas dan pelaku atau yang dikenal dengan Toxic Relationship. Tentunya, penyintas, merasa tidak aman, depresi dan penuh kecemasan. Pengekangan yang dialami penyintas berupa sikap dan tindakan pelaku yang over posesif, egois, suka memberi komentar negatif serta merendahkan penyintas.

November 2017, pelaku kembai berhasil membujuk dan mengintimidasi penyintas dengan memanfaatkan kondisi emosional penyintas yang kasihan ketika pelaku menceritakan kondisi Ayah pelaku yang katanya sedang sakit keras. Pasca itu, pelaku mulai menghilang dan tidak menghubungi penyintas lagi sekitar seminggu lamanya. Hal itu tentu membuat penyintas merasa khawatir ditinggalkan pelaku. Dengan kondisi penuh ketakutan penyintas memberanikan diri untuk Speak up terkait kondisi yang dialaminya di salah satu senior Organda-nya. Namun hal tersebut diketahui oleh pelaku. Pelaku pun marah dan mengancam penyintas dan meminta penyintas segera menarik pernyataan tersebut. Pelaku mendesak penyintas untuk menyatakan bahwa apa yang dikatakan penyintas itu tidak benar. Pelaku pun menmberi ultimatum bahwa ia tidak mau lagi mendampingi kepengurusan di Organda. Tetapi penyintas menolak desakan pelaku terhadapnya. Karena terus-menerus ditekan oleh pelaku, penyintas berusaha berkomunikasi dengan kakak pelaku yang juga senior di Organda. Namun sayangnya, bukannya mendapat titik terang dari persoalannya, justru kakak pelaku tidak memberi respon yang soluktif atas persoalan si penyintas.

Persoalan yang dialami penyintas semakin rumit dikemudian hari. Desember 2017, kembali terjadi pertengkaran mulut antara penyintas dan pelaku. Penyintas meminta pelaku untuk mengembalikan dan memberikan rincian uang selama periode kepengurusan penyintas. Beberapa kali, pelaku mengelak dan bersikeras tidak mau memberikan uang tersebut. Kemudian, penyintas menghubungi salah seorang pengurusnya terkait sikap pelaku dan sekaligus meminta untuk menghentikan kegiatan yang dilaksanakan saat itu.  Pelaku lalu mendatangi kost penyintas dan menyeret penyintas untuk masuk ke dalam mobil yang dikendarai pelaku. Pada saat itu, penyintas menolak untuk masuk ke dalam mobil. Kemudian pelaku dengan bengisnya menjepit tubuh penyintas dengan pintu mobil. Kejadian itu disaksikan langsung oleh teman penyintas yang datang ke kost penyintas pada malam itu.

Tindakan menyimpang pelaku tidak berhenti sampai di situ. Demi menjaga nama baik dan kepentingan pelaku secara organisasional, pelaku kembali membujuk penyintas untuk berdamai dan mengancam agar penyintas jangan meninggalkan pelaku (mengakhiri hubungan). Untuk meyakinkan penyintas, pelaku sempat menusukkan pulpen ke kepalanya sendiri hingga darah bercucuran sehingga hal itu membuat pelaku nyaris pingsan di hadapan penyintas. Kejadian tersebut membuat penyintas tertekan secara psikologi. Akhirnya, penyintas dengan terpaksa kembali berhubungan baik dengan pelaku. Pelaku juga berkali – kali mengiming – imingi penyintas tentang niat pelau untuk menikahi penyintas.

Pasca kejadian itu, penyintas beberapa kali menagih janji pelaku untuk datang menemui orang tua penyintas. Akan tetapi, pelaku selalu mengelak dengan alasan belum memiliki kerja dan berbagai alasan lain seperti agama ayah penyintas yang berbeda dengan agama keluarga pelaku. Karena merasa pelaku inkonsistensi dan ingin melarikan diri dari tanggung jawab, penyintas memutuskan untuk menceritakan kejadian tersebut ke sahabat pelaku untuk mendapat solusi. Sahabat pelaku kemudian menghubungi pelaku, Tetapi, pelaku menghindar bahkan memblokir nomor kontak sahabatnya. Pelaku yang mengetahui hal tersebut langsung datang ke kost penyintas dan membanting handphone penyintas hingga rusak. Pelaku menyatakan bahwa ia menyesal atas apa yang dilakukan oleh penyintas. Penyintas pun tidak mau menyerah untuk mencari bantuan atas apa yang telah terjadi pada dirinya. Ia memutuskan untuk menceritakan persoalannya ke organisasi pelaku dengan maksud agar penyintas bisa dimediasi dengan pelaku. Namun jauh panggang dari api, pihak organisasi tersebut mengatakan bahwa tidak ingin ikut campur dalam masalah penyintas dan pelaku.

Kondisi penyintas semakin memprihatinkan. Pelaku semakin tidak tahu diri dengan tindakan yang semakin mengintimidasi penyintas. Pada Februari 2019, penyintas menyadari dirinya kini tengah hamil dan memberitahu kepada pelaku. Penyintas trauma karena pernah mengalami pemaksaan aborsi oleh pelaku. Sempat penyintas memutuskan untuk berusaha pulang ke kampung halaman namun beberapa kali dicegah oleh pelaku. Dan pada tanggal 06 Maret 2019, penyintas mengalami keguguran. Penyintas saat itu meminta pelaku untuk membawanya ke rumah sakit. Tetapi, pelaku menolak dengan alasan yang tidak jelas. Bahkan, angkin tidak ada keseriusan pelaku dalam bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya, justru pelaku kembali menunjukan tindakan yang tak terpuji. Bukannya menemani penyintas, tetapi pelaku justru meminta izin untuk pergi mengikuti tes di Bawaslu Sulbar. Dan benar saja, si pelaku meninggalkan korban dalam keadaan yang tidak sehat.

Pada Desember 2019, penyintas kembali mengalami kekerasan oleh pelaku. Penganiayaan terhadap penyintas dilakukan oleh pelaku dengan menonjok dan menampar wajah penyintas. Tak hanya itu, pelaku juga menghancurkan barang-barang yang ada di kost penyintas dan kembali membanting handphone milik penyintas hingga rusak. Peristiwa penganiayaan itu dipicu karena penyintas yang saat itu menemani pelaku untuk membeli tiket pulang kampung di pelabuhan di minta oleh pelaku untuk pulang ke kost dengan ojek online karena pelaku berdalih ingin menemui temannya. Akibat kekerasan dan penganiayaan yang dialaminya, penyintas menjadi kesulitan untuk bekerja dan beraktivitas bebagaimana mestinya.

Di akhir tahun 2019, penyintas mengalami tekanan psikis selama berhubungan dengan pelaku hingga membuat penyintas berusaha untuk bunuh diri dengan meminum Baygon (Obat Nyamuk). Tetapi selang beberapa menit, pelaku dating. Bukannya menenangkan penyintas, pelaku justru mengejek penyintas dengan mengeluarkan bahasa yang terkesan merendahkan. Setelah itu, pelaku mengajak dan memaksa penyintas untuk berhubungan badan dengannya. Pelaku juga kerap memaksa penyintas untuk berhubungan dengan dalih agar mereka tenang. Tetapi penyintas kerap menolak dengan mendorong tubuh pelaku yang berakibat kembali terjadi kekerasan seksual. Penyintas juga sering mengeluhkan kondisi psikisnya kepada pelaku tetapi pelaku justru memarahi penyintas atau bahkan mencaci maki penyintas.

Februari 2020, pelaku telah bekerja di kota Mamuju. Imbasnya, pelaku sulit dihubungi oleh penyintas. Bahkan, pelaku memblokir kontak penyintas di salah satu nomor whatsapp-nya. Penyintas kemudian memutuskan untuk pergi ke tempat dimana pelaku bekerja. Tetapi ternyata pelaku sedang berada di Makassar. Penyintas yang kecewa dengan sikap pelaku kemudian mengatakan akan memberitahu instansi tempat pelaku bekerja terkait perbuatan bejat pelaku. Mengetahui hal itu, pelaku meminta penyintas kembali ke Makassar Namun ditolak. Pelaku kemudian mencaci – maki penyintas dengan sebutan Anjing dan mengirimkan pesan tidak senonoh ke penyintas yang isinya mengajak penyintas berhubungan badan. 

Pada 30 April, di tahun yang sama, penyintas mulai mencurigai tingkah pelaku yang ditandai dengan nomor WA penyintas disembunyikan. Pelaku juga memiliki 2 (dua) handphone, yang salah satunya pelaku sembunyikan isinya kepada penyintas. Sekitar pukul 16.00 Wita, penyintas melihat adanya Sim card pelaku yang tertinggal di kost-nya. Dengan penasaran, penyintas kemudian memasang sim card tersebut di handphonenya dan mengaktifkan whatsapp pelaku. Penyintas mendapati chat seorang perempuan. Akhirnya, penyintas mengkonfirmasi chat tersebut dengan menanyakan hubungan perempuan tersebut dengan pelaku melalui Video Call. Saat itu, penyintas melihat pelaku berada di kamar perempuan tersebut melalui video call. Pelaku juga sempat mengirim pesan melalui instagram yang isinya menyuruh penyintas bunuh diri dengan cara memotong tangan atau meminum racun. Dengan tanpa perasaan, pelaku mengatakan bahwa ia ingin melihat penyintas mati. Penyintas yang mengetahui bahwa pelaku berselingkuh kemudian menelpon senior organda dan meminta bantuan. Sekitar pukul 19.00 Wita, pelaku mendatangi kost penyintas dan berusaha menahan penyintas. Tetapi, di saat yang sama, salah seorang senior organda datang dan membawa penyintas yang saat itu sempat dikunci di dalam kamar oleh pelaku. Kemudian, pelaku dan penyintas sempat dimediasi oleh senior organda. Pelaku berjanji untuk bertanggung jawab, Namun penyintas yang ragu dengan sikap pelaku tidak berani mengiyakan untuk menikah dengan pelaku.  Pada malam yang sama, setelah mediasi, penyintas kembali untuk menemui pelaku meminta kejelasan sikap pelaku terkait chat pacar pelaku yang memojokkan penyintas yang menjustifikasi penyintas adalah orang gila yang mengarang-ngarang cerita. Setelah pertemuan itu, pelaku mengantar penyintas pulang ke kost. Kemudian, kembali terjadi cekcok dikarenakan penyintas ingin melihat handphone pelaku. Pelaku kemudian kembali melakukan kekerasan terhadap penyintas. Ia berdiri dan mencengkram muka dan tangan penyintas hingga penyintas mengalami luka di wajah dan di tangan serta lebam di tangan kiri.

Hingga kini, penyintas masih mencari keadilan atas apa yang dilakukan oleh pelaku. Kekerasan maupun pelecehan seksual yang dialami oleh penyintas tentu menjadi catatan bagi kita bahwa kekerasan serta pelecehan seksual masih menjadi momok dan harus dijadikan musuh bersama. Oleh karena itu, dengan beberapa pertimbangan atas apa yang dialami oleh penyintas, kami dari Komite Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan LBH APIK Sulsel mendesak :

  1. Hukum pelaku MSF dengan hukuman yang setimpal.
  2. Mendesak Polrestabes Makassar untuk mempercepat proses Kasus secepatnya.
  3. Pecat pelaku dari instansi ia bernaung, yaitu Bawaslu Sulbar.
  4. Mengganti kerugian korban baik material maupun nonmaterial.
  5. Memulihkan nama baik korban di dalam ruang sosial.
  6. Tidak memberi ruang kepada pelaku baik organisasi maupun instansi-instansi.
  7. Sahkan RUU-PKS.

List organ solidaritas:

  1. Srikandi
  2. LBH APIK Sulsel
  3. FMk
  4. Komunal
  5. Fosis
  6. Pembebasan
  7. PMII FAI UMI
  8. FNKSDA Kom Makassar
  9. Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (Nasional)
  10. LPM UNIPDU
  11. BOPM Wacana
  12. PPMI DK Banjarmasin
  13. LPM Platinum
  14. LPM CANOPY FP UB
  15. Front Santri Melawan Kekerasan Seksual
  16. PPMI DK Surabaya
  17. PPMi DK Makassar
  18. LPM Libratum Atmajaya mks
  19. PPMI DK Yogyakarta
  20. PPMI DK Kediri
  21. LPM Wisma
  22. PPMI Kota Malang
  23. PPMI DK Kedu
  24. PPMI DK Pekalongan
  25. PPMI DK Jember
  26. LPM Progress
  27. PPMI DK Palu
  28. LPM CEMERLANG
  29. LPM FUM UNHASY
  30. LP2M Corong
  31. LPM AL-MIZAN
  32. LPM Pers to’ciung
  33. LPM Civitas UNMER
  34. LPM AQUA FPIK UB
  35. LPM Basic FMIPA UB
  36. LPM Didaktik FKIP UMM
  37. LPM Mei FEB Unisma
  38. LPM Fenomena FKIP Unisma
  39. LPM Siar UM
  40. LPM ManifesT FH UB
  41. LPM Papyrus UNITRI
  42. LPM DIANNS FIA UB
  43. LPM MIMESIS FIB UB
  44. LPM API ASIA Malang
  45. LPM KAVLING 10 UB
  46. LPM MAFATERNA FAPET UB
  47. LPM MANIFEST FTP UJ
  48. LPM KULTURA FP UNKHAIR
  49. Asosiasi Pers Mahasiswa (ASPEM) Sumatra Barat
  50. LPM GEMERCIK UNSIL
  51. LPM Tanpa Titik IBN
Kategori
Siaran Pers

Pers Mahasiswa Surabaya dukung Pengesahan RUU PKS

Dalam rangka memperingati IWD (International Women Day), PPMI Dewan kota Surabaya bersama LPM Retorika (www.retorika.id) mengadakan diskusi bertajuk “Polemik RUU PKS” (09/03). Hadir sebagai pemantik, Poedjiati Tan (Cofounder conde.co) dan Anindya Sabrina (Koordinator Merah Muda Memudar).

Diskusi ini merupakan respon Pers Mahasiswa Surabaya dalam menyikapi sebuah kebijakan publik. Sebagaimana dijelaskan oleh Qulub, selaku Sekretaris Jenderal PPMI Dewan Kota Surabaya bahwa, “diskusi ini bertujuan untuk menambah wawasan teman-teman LPM yang berada dibawah naungan PPMI Dewan Kota Surabaya, supaya tidak terbatas membahas seputar isu kampus  saja. Tapi harus berani keluar dari zona aman, dan mulai menjalankan fungsi pers yang lebih luas yaitu sebagai kontrol sosial dimasyarakat. Dalam konteks ini RUU PKS merupakan sebuah produk kebijakan pemerintah yang harus disikapi. Meskipun kita belum bisa memberi dampak yang signifikan namun paling tidak dapat memberitakan dan dapat berkontestasi dalam dinamika opini publik.”

Diskusi dibuka dengan pemaparan singkat dari Pemantik terkait urgensi disahkannya RUU PKS. Poedji menjelaskan bahwa RUU PKS ini mengatur apa yang belum diatur dalam landasan hukum sebelumnya terkait kasus kekerasan seksual. Dilanjutkan dengan pemaparan dari Anin. “Kalau kita mengacu lebih jauh akar masalahnya ada pada KUHP kita, kita tidak bisa munafik kalau payung hukum kita merupakan warisan belanda yang bersifat sangat Patriarkis,” jelasnya.

Ketika ditanya bagaimana pendapat para pemantik terkait anggapan beberapa tokoh publik bahwa RUU PKS merupakan Agenda Setting  dari kelompok LGBT, Feminis, dan Liberal, Poedji menanggapi dengan senyum. “Ya kalau memang itu dianggap agenda terselubung kelompok liberal, feminis, dan LGBT kira-kira poin mana, ayat berapa yang menjelaskan tentang itu. Kalau memang mau dialog terbuka kami berani, biar gak hanya Commen Sense. Kita ini berjuang untuk kebaikan bersama tapi malah dianggap macam-macam,” tambahnya. Anin pun menjelaskan bahwa apa yang kita (kelompok feminis) perjuangkan itu sudah sangat realistis, bayangkan jika kita masih kukuh dengan budaya lama. Mana ada perempuan yang berpendidikan tinggi, mana ada perempuan yang duduk diparlemen. “Kenapa istilah feminis ini menjadi sangat haram ditelinga masyarakat kita?” tanyanya.

Diskusi ditutup dengan Closing Statement dari masing-masing pemantik diskusi. Poedji menjelaskan bahwa adanya RUU PKS kita punya payung hukum yang menjadi pegangan, dimana Perempuan yang menjadi korban bisa dipulihkan. Hal ini diafirmasi oleh Anin, bahwa tanpa RUU PKS ini, korban rentan diskriminasi, apalagi kalau korban disebarkan foto Nude-nya (Revenge Porn).

Dari hasil diskusi tersebut menghasilkan kesepakatan bahwa Pers Mahasiswa Surabaya bersikap untuk mendukung pengesahan RUU PKS, dengan 5 (lima) pertimbangan, antara lain yaitu:

  1. Angka kekerasan Terhadap Perempuan di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat, bahkan sejak tahun 2012 Komnas Perempuan menyatakan bahwa kondisi Indonesia mengalami darurat kekerasan seksual. Jumlah kekerasan seksual terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani Komnas Perempuan selama tahun 2017 berjumlah 335.062 kasus. Jumlah tersebut naik drastis dari tahun sebelumnya yang berjumlah 259.150 kasus.
  2. Kami melihat bahwa Penyelesaian kasus kekerasan seksual selama ini, lebih banyak merugikan korban perempuan. Contoh kasus yang mungkin masih sangat terngiang dibenak kita adalah Agni (bukan nama sebenarnya) mahasiswi UGM dan Baiq Nuril pegawai honorer di SMAN 7 NTB. Dalam kasus Agni masalah diselesaikan dengan jalur damai, sedangkan Baiq Nuril lebih miris. Dia dinyatakan bersalah oleh MA (Mahkamah Agung) sehingga divonis hukuman 6 (enam) bulan penjara dan denda Rp 500 Juta.
  3. Tidak ada sistem pemidanaan dan penindakan terhadap beberapa jenis kekerasan seksual. Dalam RUU PKS, terdapat sembilan jenis tindak pidana kekerasan seksual antara lain Pelecehan Seksual, Eksploitasi Seksual, Pemakasaan Kontrasepsi, Pemaksaan Aborsi, Perkosaan, Pemaksaan Perkawinan, Pemaksaan Pelacuran, Perbudakan Seksual, dan Penyiksaan Seksual. Tidak ada pengaturan yaang komperhensif tentang 9 (sembilan) jenis tindak pidana tersebut dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  4. Dalam RUU PKS, Korban dan keluarga akan mendapat dukungan proses pemulihan dari negara. Hal ini lebih memperhatikan kebutuhan korban pasca mengalami pelecehan seksual. Karena pelecehan seksual tidak hanya membuat korban terluka secara fisik, tetapi juga psikis.
  5. Dalam RUU PKS, Pelaku kekerasan seksual akan mendapat rehabilitasi. Hal ini akan diberlakukan bagi pelaku kekerasan seksual non-fisik dan pelaku berusia dibawah 14 tahun.

Output dari diskusi ini adalah pernyataan sikap Persma Surabaya, yang akan dibuat dalam bentuk Pers Release dan aksi simbolik tanda tangan diatas benner putih yang didalamnya terdapat logo PPMI Dewan Kota Surabaya sebagai bentuk dukungan agar RUU PKS segera disahkan.