Pers Mahasiswa Surabaya dukung Pengesahan RUU PKS

0
446

Dalam rangka memperingati IWD (International Women Day), PPMI Dewan kota Surabaya bersama LPM Retorika (www.retorika.id) mengadakan diskusi bertajuk “Polemik RUU PKS” (09/03). Hadir sebagai pemantik, Poedjiati Tan (Cofounder conde.co) dan Anindya Sabrina (Koordinator Merah Muda Memudar).

Diskusi ini merupakan respon Pers Mahasiswa Surabaya dalam menyikapi sebuah kebijakan publik. Sebagaimana dijelaskan oleh Qulub, selaku Sekretaris Jenderal PPMI Dewan Kota Surabaya bahwa, “diskusi ini bertujuan untuk menambah wawasan teman-teman LPM yang berada dibawah naungan PPMI Dewan Kota Surabaya, supaya tidak terbatas membahas seputar isu kampus  saja. Tapi harus berani keluar dari zona aman, dan mulai menjalankan fungsi pers yang lebih luas yaitu sebagai kontrol sosial dimasyarakat. Dalam konteks ini RUU PKS merupakan sebuah produk kebijakan pemerintah yang harus disikapi. Meskipun kita belum bisa memberi dampak yang signifikan namun paling tidak dapat memberitakan dan dapat berkontestasi dalam dinamika opini publik.”

Diskusi dibuka dengan pemaparan singkat dari Pemantik terkait urgensi disahkannya RUU PKS. Poedji menjelaskan bahwa RUU PKS ini mengatur apa yang belum diatur dalam landasan hukum sebelumnya terkait kasus kekerasan seksual. Dilanjutkan dengan pemaparan dari Anin. “Kalau kita mengacu lebih jauh akar masalahnya ada pada KUHP kita, kita tidak bisa munafik kalau payung hukum kita merupakan warisan belanda yang bersifat sangat Patriarkis,” jelasnya.

Ketika ditanya bagaimana pendapat para pemantik terkait anggapan beberapa tokoh publik bahwa RUU PKS merupakan Agenda Setting  dari kelompok LGBT, Feminis, dan Liberal, Poedji menanggapi dengan senyum. “Ya kalau memang itu dianggap agenda terselubung kelompok liberal, feminis, dan LGBT kira-kira poin mana, ayat berapa yang menjelaskan tentang itu. Kalau memang mau dialog terbuka kami berani, biar gak hanya Commen Sense. Kita ini berjuang untuk kebaikan bersama tapi malah dianggap macam-macam,” tambahnya. Anin pun menjelaskan bahwa apa yang kita (kelompok feminis) perjuangkan itu sudah sangat realistis, bayangkan jika kita masih kukuh dengan budaya lama. Mana ada perempuan yang berpendidikan tinggi, mana ada perempuan yang duduk diparlemen. “Kenapa istilah feminis ini menjadi sangat haram ditelinga masyarakat kita?” tanyanya.

Diskusi ditutup dengan Closing Statement dari masing-masing pemantik diskusi. Poedji menjelaskan bahwa adanya RUU PKS kita punya payung hukum yang menjadi pegangan, dimana Perempuan yang menjadi korban bisa dipulihkan. Hal ini diafirmasi oleh Anin, bahwa tanpa RUU PKS ini, korban rentan diskriminasi, apalagi kalau korban disebarkan foto Nude-nya (Revenge Porn).

Dari hasil diskusi tersebut menghasilkan kesepakatan bahwa Pers Mahasiswa Surabaya bersikap untuk mendukung pengesahan RUU PKS, dengan 5 (lima) pertimbangan, antara lain yaitu:

  1. Angka kekerasan Terhadap Perempuan di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat, bahkan sejak tahun 2012 Komnas Perempuan menyatakan bahwa kondisi Indonesia mengalami darurat kekerasan seksual. Jumlah kekerasan seksual terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani Komnas Perempuan selama tahun 2017 berjumlah 335.062 kasus. Jumlah tersebut naik drastis dari tahun sebelumnya yang berjumlah 259.150 kasus.
  2. Kami melihat bahwa Penyelesaian kasus kekerasan seksual selama ini, lebih banyak merugikan korban perempuan. Contoh kasus yang mungkin masih sangat terngiang dibenak kita adalah Agni (bukan nama sebenarnya) mahasiswi UGM dan Baiq Nuril pegawai honorer di SMAN 7 NTB. Dalam kasus Agni masalah diselesaikan dengan jalur damai, sedangkan Baiq Nuril lebih miris. Dia dinyatakan bersalah oleh MA (Mahkamah Agung) sehingga divonis hukuman 6 (enam) bulan penjara dan denda Rp 500 Juta.
  3. Tidak ada sistem pemidanaan dan penindakan terhadap beberapa jenis kekerasan seksual. Dalam RUU PKS, terdapat sembilan jenis tindak pidana kekerasan seksual antara lain Pelecehan Seksual, Eksploitasi Seksual, Pemakasaan Kontrasepsi, Pemaksaan Aborsi, Perkosaan, Pemaksaan Perkawinan, Pemaksaan Pelacuran, Perbudakan Seksual, dan Penyiksaan Seksual. Tidak ada pengaturan yaang komperhensif tentang 9 (sembilan) jenis tindak pidana tersebut dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  4. Dalam RUU PKS, Korban dan keluarga akan mendapat dukungan proses pemulihan dari negara. Hal ini lebih memperhatikan kebutuhan korban pasca mengalami pelecehan seksual. Karena pelecehan seksual tidak hanya membuat korban terluka secara fisik, tetapi juga psikis.
  5. Dalam RUU PKS, Pelaku kekerasan seksual akan mendapat rehabilitasi. Hal ini akan diberlakukan bagi pelaku kekerasan seksual non-fisik dan pelaku berusia dibawah 14 tahun.

Output dari diskusi ini adalah pernyataan sikap Persma Surabaya, yang akan dibuat dalam bentuk Pers Release dan aksi simbolik tanda tangan diatas benner putih yang didalamnya terdapat logo PPMI Dewan Kota Surabaya sebagai bentuk dukungan agar RUU PKS segera disahkan.