Kategori
Riset

Ringkasan Represi terhadap Pers Mahasiswa Tahun 2017-2019

Badan Pekerja Advokasi Nasional Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (BP Advokasi Nas PPMI) melakukan riset tentang represi terhadap pers mahasiswa di Indonesia. Riset ini merupakan ringkasan dari kasus represi yang diadvokasi serta data-data yang sudah dihimpun BP Advokasi Nas PPMI selama 2017-2019. Ringkasan ini disusun dari gabungan data BP Advokasi Nas PPMI periode 2018-2019 dan BP Advokasi Nas PPMI periode 2017-2018 (oleh Imam Abu Hanifah dan Taufik Nur Hidayat).

Riset Ringkasan Represi terhadap Persma Tahun 2017-2019 merupakan bentuk tanggung jawab BP Advokasi Nas PPMI sebagai fungsi pendampingan advokasi. Pendampingan yang dilakukan BP Advokasi Nas PPMI mengacu pada UU Pers No 40 tahun 1999, Kode Etik Jurnalistik, Kode Etik PPMI, UU No 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, dan UU No 12 tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi. Selain itu, BP Advokasi Nas PPMI juga mengacu pada Buku Pedoman Advokasi PPMI serta kajian keilmuan lainnya.

Beberapa bentuk pendampingan yang dilakukan BP Advokasi Nas PPMI, yaitu 1) pendampingan litigasi dan non-litigasi, 2) memberi saran penyelesaian kasus, 3) membuat kronologis, pernyataan sikap, dan kajian advokasi, 4) blow up kasus dan membuat konten media sosial (infografis/video), 5) perluas jejaring pers mahasiswa, mahasiswa, serta kelompok/individu masyarakat pro-demokrasi.

BP Advokasi Nas PPMI mencatat ada 58 jenis represi dari 33 kasus represi terhadap pers mahasiswa selama 2017-2019. Jenis represi yang paling sering dialami pers mahasiswa adalah intimidasi dengan jumlah 20 kali. Berikutnya ada pemukulan (delapan kali), ancaman drop out (DO) (empat kali), kriminalisasi (empat kali), dan penculikan (tiga kali).

Ada juga penyensoran berita, ancaman pembekuan dana, pembubaran aksi, pembekuan organisasi, kekerasan seksual, serta ancaman pembunuhan yang masing-masing tercatat pernah terjadi sebanyak dua kali. Selain itu, ada satu kali represi pada beberapa jenis represi seperti penyebaran hoaks, pencabutan tulisan, ancaman perusakan sekretariat, pembubaran diskusi, pemecatan anggota, peleburan organisasi, dan perundungan (bullying).

Pelaku represi terhadap pers mahasiswa yang paling banyak adalah pejabat kampus dengan jumlah 18 kali. Berikutnya ada mahasiswa (tujuh kali), dosen (tiga kali), Satuan Keamanan Kampus (tiga kali), oknum organisasi mahasiswa (dua kali), serta warganet kampus (dua kali). Selain itu ada juga represi yang dilakukan oleh pihak luar kampus seperti polisi (tujuh kali), masyarakat sipil (satu kali), dan oknum organisasi masyarakat (dua kali).

Berdasarkan daerah terjadinya represi, Kota Malang mendapat peringkat terbanyak dalam kasus represi terhadap pers mahasiswa yaitu sembilan kasus. Selanjutnya ada Kediri dan Surabaya masing-masing tiga kasus. Lalu ada dua kasus masing-masing di Kota Gorontalo, Medan, Yogyakarta, dan Makassar. Ada juga di Jombang, Ponorogo, Pangkep, Solo, Jember, Pekalongan, Surakarta, Jakarta, Bandung, dan Mataram masing-masing satu kasus.

Berdasarkan kampus dari pers mahasiswa yang mengalami represi, peringkat terbanyak ada UIN Maulana Malik Ibrahim Malang dengan lima kasus. Berikutnya ada UIN Sunan Ampel Surabaya, IAIN Gorontalo, Universitas Negeri Malang, dan IAIN Kediri dengan masing-masing dua kasus. Selain itu ada satu kasus pada masing-masing kampus di Universitas Sumatera Utara, Politeknik Pertanian Negeri Pangkep, Politeknik Elektronika Negeri Surabaya, dan IAIN Ponorogo.

Kampus lain dengan jumlah satu kasus juga ada di Universitas Muhamadiyah Malang, Universitas Muslim Indonesia Makassar, Universitas Pesantren Darul Ulum Jombang, Universitas Gadjah Mada, Universitas Hasanuddin Makassar, serta Universitas Brawijaya Malang. Selain itu ada juga satu kasus di kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Universitas Negeri Yogyakarta, Institut Agama Islam Tribakti Kediri, Universitas Indra Prasta Jakarta, UIN Mataram, Universitas Muhamadiyah Mataram, Universitas Negeri Jember, Universitas Pekalongan, Institut Teknologi Medan, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, serta Universitas Muhamadiyah Surakarta.

Melihat berbagai tindakan represi yang dialami pers mahasiswa perlu digarisbawahi bahwa akar permasalahannya adalah tidak adanya pengakuan hak untuk menyampaikan pendapat. Kampus kerap mengerdilkan persoalan dengan memberi tuduhan kepada pers mahasiswa bahwa kritik adalah bentuk pencemaran nama baik kampus. Ketika pers mahasiswa mengkritik, kampus tidak mau menerima bahwa kritik adalah salah satu bentuk dari kebebasan menyampaikan pendapat.

Hampir tak ada kampus yang melakukan kajian secara akademik untuk menanggapi kritik dari pers mahasiswa. Padahal, seharusnya kampus bisa melakukan kajian akademis misalnya dengan instrumen hukum seperti UU No 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum maupun UU No 40 tahun 1999 tentang Pers.

Bahkan seharusnya kampus mengkaji kritik pers mahasiswa dengan instrumen hukum yang berlaku di lingkungan perguruan tinggi seperti Kebebasan Akademik di dalam UU No 12 tahun 2012. Selain itu, ada juga peraturan yang berlaku di kampus sendiri seperti statuta kampus, pedoman kemahasiswaan, ataupun kode etik mahasiswa.

Ketika hak untuk menyampaikan pendapat bagi pers mahasiswa tidak diakui dan tindakan kampus tidak mencerminkan kebebasan akademik, maka represi terhadap pers mahasiswa akan terus terjadi. Tentu perlu ada perbaikan sistem pendidikan di dalam kampus untuk menyelesaikan permasalahan ini.

Ke depannya, pers mahasiswa perlu memperjuangkan kebenaran dan melawan segala bentuk pembungkaman kebebasan berekspresi, kebebasan pers, dan kebebasan akademik. Apalagi perjuangan semakin sulit ketika alat pembungkam negara semakin beragam, seperti munculnya Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Maka dari itu, pers mahasiswa perlu membangun gerakan bersama. Pers mahasiswa perlu memperkuat jejaring antarpers mahasiswa maupun dengan kelompok masyarakat atau individu yang mendukung kebebasan berekspresi. Selain itu, pers mahasiswa harus lebih memperkuat gerakan advokasi (dengan melakukan kelas advokasi LPM dan sebagainya) serta memperkuat kajian tentang isu sosial yang ada (seperti isu komersialisasi pendidikan dan transparansi di kampus). Ketika pers mahasiswa dan kelompok masyarakat maupun individu lainnya saling mendukung dan menguatkan, maka gerakan bersama yang lebih kuat akan terwujud.

Salam Solidaritas…!!! Salam Pers Mahasiswa…!!!

Narahubung BP Advokasi Nas PPMI:

Wahyu Agung (085211994458), Jenna M. Aliffiana (085220497184)

Lampiran: Data Ringkasan Represi terhadap Persma Tahun 2017-2019

Kategori
Diskusi

Mahasiswa Harus Nakal

Sejarah peradaban dunia dan khususnya di Indonesia, tentu kita tidak bisa terlepas dari peranan mahasiswa, sosok yang digelari sebagai kaum intelegensi. Setiap gagasan serta pergerakannya menjadi pengharapan besar dalam upaya mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Sosok mahasiswa begitu diharapkan peranannya untuk mampu mengubah ketimpangan-ketimpangan sosial yang kini terjadi. Atas ke-Maha-an terpatri di pundaknya, menjadi barometer majunya suatu bangsa pada masa di waktu mendatang.

Tapi mungkin itu hanyalah sebatas mimpi, menyadari kenyataan yang begitu memilukan. Sistem pendidikan di Indonesia pada sejarahnya merupakan warisan kolonial dengan tujuan utamanya untuk menciptakan tenaga kerja murahan. Maka tak heran untuk memenuhi syarat tersebut, berbagai embel-embel yang sama sekali tak memiliki relasi dengan peningkatan kualitas pendidikan turut menghiasi hingga kini. Mulai dari kebijakan negara hingga aturan yang berlaku di Universitas. Bahkan aturan yang mengekang nalar kritis juga diberlakukan pada ruang-ruang belajar.

Misalnya aturan pedoman mahasiswa yang memperkarakan rambut, pakaian, dan juga aturan yang secara tidak langsung mengatur isi kepala mahasiswa. Aturan dibuat secara tidak demokratis, membatasi ruang gerak hingga otak. Output-nya mencetak sarjana seragam hingga isi kepalanya.

“Jangan nakal, tidak usah terlalu kritis, ikuti saja aturan biar cepat sarjana.” Yah mungkin itu beberapa ungkapan yang pernah penulis dengar dan telah menjadi rahasia umum. Sebuah pernyataan yang tak sepantasnya terlontar dari mulut mereka yang mengaku sebagai orang tua. Sebab, secara langsung memberikan kita pengajaran untuk bersikap apatis terhadap ketimpangan realitas yang terjadi. Inilah fenomena yang nyata menjangkit dunia pendidikan Indonesia saat ini. Adanya struktur yang mapantelah mematikan kebenaran dialektika, sehingga melahirkan paradigma yang sangat irasonal.

Dalam prakteknya, birokrasi kampus berperan sebagai subjek yang memiliki kewenangan untuk mengatur mahasiswa yang dipandang sebagai objek. Imbasnya, aturan yang diberlakukan pun selayaknya sabda Tuhan yang tak dapat lagi dipertanyakan. Opsinya jangan bertanya apalagi berani menentang aturan atau anda akan dipinta untuk mencari kampus lain.

Rasionalitas dan Moralitas

Dua perkara ini dalam dunia kampus acapkali berseberangan persepsi antara birokrasi kampus dengan mahasiswa hingga tak jarang berujung pada perdebatan yang tak kunjung usai. Khususnya dalam konteks kajian kebijakan kampus yang menuai kontraversial. Birokrasi mengklaim bahwa aturan yang dibuatnya baik untuk peningkatan kualitas pendidikan. Akan tetapi disisi lain aturan tersebut dinilai sangatlah tidak mendasar dan merugikan bagi mahasiswa.

Sebelum memecahkan perselisihan ini, terlebih dahulu perlu dipahami konflik yang melatarbelakangi perbedaan persepsi antara kedua pihak. Bahwa gerakan aksi protes yang dilangsungkan oleh mahasiswa atas suatu kebijakan kampus pada dasarnya merupakan wujud sikap kritisnya. Perumusan dan penetapan aturan yang secara tidak demokratis (sepihak) menjadi alasan terbesar kerisauan mahasiswa menuntut rasionalisasinya. Akan tetapi birokrasi menanggapinya dengan kacamata moralitas, asumsinya bahwa gerakan protes mahasiswa adalah tindakan amoral.

Bagi mahasiswa yang berani mengkritisi atau memprotes suatu kebijakan, maka predikat negatif pun dilayangkan. Misalnya saja mahasiswa susah diatur, tidak mau mendengar, sering melanggar, mahasiswa nakal, mahasiswa pemberontak, atau dituding sebagai anak durhaka. Yah, masih beruntung jika mahasiswa yang kritis tersebut tidak dijadikan bualan cerita belakang kepada mahasiswa baru yang dilakukan oleh beberapa oknum dosen.

Tentu kita sudah memiliki gambaran mengenai perdebatan perbedaan pandangan antara orang tua dan anak (birokrasi kampus/mahasiswa). Pada akhirnya, “seorang anak harusnya menghargai orang tuanya, tidak sepantasnya anak menjatuhkan atau berkata keras kepada orang tuanya.” Implikasi dari mahasiswa yang diposisikan sebagai anak, tuntutan rasionalitas dibenturkan dengan penilaian moralitas. Keadaan inilah yang membentuk sekat. Selayaknya jurang pemisah antara anak dan orang tua yang pada hakikatnya tidak pantas disebut keluarga tanpa adanya rajutan kasih untuk saling melengkapi satu sama lain.

Dua hal tersebut mesti dipahami dengan porsi yang benar dalam kehidupan kampus sebagai wadah ilmiah.Terlebih dalam konteks kebijakan kampus yang esensinya sangatlah terikat dengan tuntutan rasionalitas dan moralitas sebagai prinsip dalam perumusan serta penerapannya. Aturan yang dikeluarkan oleh pihak kampus mesti dipertanggungjawabkan kejelasan fungsi dan tujuannya. Jika aturan yang dibuat dinyatakan baik untuk meningkatkan kualitas pendidikan, maka perlu adanya pembuktian dengan pertimbangan dan penjelasan objektif berdasarkan kepentingan bersama tanpa adanya pihak yang dirugikan.

Jadi tuntutan rasionalitas disini menjadi instrumen penegasan atau mempertanyakan kembali iktikad baik oleh birokrasi kampus. “Apakah benar iktikad baik birokrasi sudah sesuai ekspektasinya, atau justru malah sebaliknya?” Tetapi birokrasi menanggapi pertanyaan kritis mahasiswa bukan dengan memberikan jawaban solutif. Birokrasi malah memberikan penilaian moralitas dengan legitimasinya mengaku sebagai orang tua. Rumusan besarnya, tidak ada kebaikan tanpa kebenaran.Sebab dalam hal ini perihal moralitas telah dikonstruksi sebagai senjata pembungkaman nalar kritis demi kepentingan sepihak (elit kuasa).

Mahasiswa dan kenakalannya

Kita perlu mengulas kembali petuah Ki Hajar Dewantara yang sangat jarang dikutip dan terabaikan dalam dunia pendidikan. Ada petuah Menteri Pendidikan pertama Republik Indonesia dalam bahasa jawa, “ngandel, kendel, kandel, dan bandel.” Petuah itu sarat makna dan kandungan nilai tentang manusia dalam bersikap. Keempat sikap ini secara tersirat menjadi cerminan sikap yang harus dimiliki kaum terpelajar.

Ngandel artinya percaya diri atau rasa keyakinan yang tinggi, sedangkan kendel berarti berani atau berjiwa patriotik yang mesti ditanamkan di dalam diri manusia. Untuk menambah power keberanian dan jiwa patriotik ini, maka penting didasarkan pada kandel atau ilmu pengetahuan agar lebih terarah dan memiliki mutu. Tentu tak kalah penting bandel, menjadi pelengkap terakhir sebagai mana yang telah diteladankan oleh Bapak Pendidikan Indonesia pada masanya.

Akan tetapi, dewasa ini bandel mengalami perubahan makna kandungannya secara peyoratif (menghina atau merendahkan). Jika mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bandel artinya “melawan kata atau nasihat orang, tidak mau menurut atau mendengar dan kepala batu”. Akan tetapi jika menilik sejarah gerakan kaum terpelajar pada masanya, bandel pada praktiknya menjadi titik terang yang menghantarkan Indonesia merdeka.

Bandel teraktualisasikan sebagai tindakan kritis kaum terpelajar. Mereka memilih langkah yang tak biasa dan berpikir tentang sesuatu yang luput dipikirkan oleh khalayak. Bisa kita amati dari sikap Ki Hajar Dewantara dalam menentang tatanan sosial yang telah dibentuk demi kepentingan kolonial.

Dengan gagah berani, Ki Hajar Dewantara bertarung melawan pemerintah kolonial Hindia Belanda lewat tulisannya, “Seandainya saya seorang Belanda” yang dimuat pada tahun 1913. Akibat ulah kebandelannya, Ki Hajar Dewantara kemudian dijatuhi hukuman pembuangan di Negeri Holland (1913-1919). Namun itu tidak membuat semangatnya surut, menyerah atau patuh dibawah telunjuk pemerintahan kolonial. Justru malah sebaliknya, selepas dari pembuangan Ki Hajar Dewantara bergerak dan melawan melalui jalan pendidikan dengan gagasan memanusiakan manusia.

Sekolah Taman Siswa kemudian didirikannya pada 13 Juli 1922 dengan tujuan memberikan kesadaran politik kepada rakyat pribumi dan sebagai antitesa dari lembaga pendidikan pemerintah kolonial yang berorientasi komersial. Konsep pendidikan memanusiakan-manusia ini juga merupakan implementasi dari sikap penentangannya terhadap praktek penjajahan di atas tanah Nusantara.

Sosok bandel lainnya, Raden Mas Djokomono Tirto Adi Suryo, tokoh yang digelari sebagai bapak Pers Indonesia ini telah banyak memberikan kontribusi terhadap kemerdekaan Indonesia. Tulisan-tulisan cadasnya menjadi penerang arah bangsa, membangun kesadaran kritis mengenai situasi politik Hindia Belanda dan membedah kebijakan-kebijakan pemerintahan Hindia yang disinyalir merugikan rakyat pibumi.

Tirto Adi Suryo merupakan salah satu tokoh bumi putera terdidik yang mempelopori pergerakan kemerdekaan menggunakan surat kabar. Baginya surat kabar adalah sarana perjuangan melawan ketidakadilan pemerintah kolonial Belanda. Tak tangung-tanggung pada tahun 1900, ia memutuskan untuk keluar dari Sekolah Dokter Jawa (STOVIA) dan memilih untuk menekuni jurnalistik karena sikap politiknya yang sangat bersebrangan dengan kolonial. Maka tak heran dimasa mudanya banyak ia habiskan bergelut di media-media, diantaranya menerbitkan surat kabar Soenda Berita (1903-1905), Medan Prijaji (1907) dan Putri Hindia (1908).

Tirto Adi Suryo berani mengungkap beberapa kasus pada surat kabar serta mengkritik sistem kolonial. Sosoknya yang begitu vokal membuat pemerintahan Hindia geram dengan ulahnya.Ia sering ditangkap dan dibuang kebeberapa tempat seperti Lampung dan Ambon. Karena dianggap sebagai orang yang berbahaya, pemerintah Belanda mengutuskan orang khusus untuk mengikuti gerak-geriknya. Sebagaimana yang diulas oleh Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya “Sang Pemula.” Rinkes merupakan tokoh yang ditugaskan oleh Gubernur Jenderal AWF Idenburg untuk mencari tahu lebih jauh tindak-tanduk Tirto Adi Suryo serta mengawasi keterlibatannya pada Medan Prijaji.

Motif lain dari pengintaian yang dilakukan oleh pemerintah Hindia secara tidak langsung juga mencoba menyurutkan pergerakan yang dilakukan oleh Tirto Adi Suryo. Namun sepertinya tidak begitu berpengaruh besar. Pasalnya upaya tersebut tidak berhasil menghentikan langkah perjuangan Tirto Adi Suryo untuk terus menggelorakan kesadaran kemerdekaan bagi rakyat pribumi. Hingga akhir hayatnya (1918), Tirto Adi Suryo merupakan tokoh yang berpengaruh besar dalam membangun kesadaran awal bangsa. Sosok yang juga merupakan salah satu pendiri Serikat Dagang Islam (SDI) serta pemrakarsa Serikat Islam (SI) ini berhasil menginspirasi beberapa tokoh pergerakan lainnya.

Berbeda dengan Tirto Adi Suryo yang tidak begitu tersohor, tak elok rasanya jika pada tulisan ini tidak membahas tokoh sang proklamator pendiri bangsa Indonesia. Menelusuri rekam jejaknya, pada tahun 1922, beberapa partai-partai lokal mengadakan rapat besar-besaran (Radicale Concentratie) secara terbuka di lapangan Bandung untuk mengumpulkan petisi demi membela hak-hak pribumi. Soekarno (1901) pada waktu itu yang masih berstatus sebagai mahasiswa juga turut hadir dan untuk pertama kalinya tampil berbicara di depan publik.

Pada penyampaian gagasan politiknya, dengan suara lantang penuh percaya diri ia berhasil mengobarkan api kemerdekaan pada jiwa rakyat pribumi. Secara terang-terangan ia menentang Belanda serta menolak cara-cara pengumpulan petisi dan mengusulkan agar membangun gerakan Non-Kooperatif secara total kepada pemerintahan Hindia. Akibat ulah kebandelannya, Rektor Technische Hogeschool  Bandung, Prof. Jon Klopper memanggil Soekarno ke kantornya dan memberikan peringatan serius agar ia tidak mengulangi lagi perbuatannya.

Sikap politik Soekarno yang sangat menentang kolonialisme sebenarnya sudah sejak lama mendarah daging dalam dirinya. Jiwa pemberontakan telah nampak jelas pada usianya ke-19 tahun. Ada sekitar 500-an tulisan yang ia terbitkan di Harian Oetoesan Hindia dengan nama samaran Bima. Pada setiap tulisan-tulisannya memberikan pesan kobaran semangat pemberontakan kepada seluruh rakyat pribumi untuk menentang pemerintahan Hindia.

Selepas studinya (1926), sikap anti kolonial terus menggelora dalam dirinya. Hal ini dibuktikan dari penolakannya untuk mengerjakan proyek-proyek pembangungan pemerintahan Hindia Belanda. Hingga pada 4 Juli 1927, Soekarno mendirikan organisasi Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didasarkan atas semangat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Sikap politik PNI secara tegas ditetapkan pada kongres pertamanya di Surabaya tahun 1928 dengan slogannya “Indonesia Siap Medeka”.

Soekarno memutuskan pemberontakan terhadap Belanda dengan mengacu kepada tiga program politik besarnya yaitu mencapai Indonesia merdeka, ekonomi dan sosial untuk memajukan pelajaran nasional, menetapkan asas non-kooperatif terhadap Belanda untuk perjuangan PNI. Soekarno dianggap sebagai ancaman bagi Hindia Belanda dengan aktivitas politiknya di PNI.Ia pun dijebloskan ke dalam penjara, mulai dari penjara Banceuy (29 Desember 1929) hingga dipindahkan ke penjara Sukamiskin (9 desember 1930 – 31 Desember 1931).

Mungkin tak satupun dari rakyat Indonesia yang berani mengecam bahwa tindakan yang mereka lakukan menentang Belanda adalah salah, tidak bermoral, ataukah tidak mencerminkan seorang kaum terpelajar. Yah memang benar, tak satupun yang akan mengecam kebandelanbapak pendidikan, bapak pers Indonesia, maupun sang proklamator pendiri bangsa. Akan tetapi berbeda halnya dengan fenomena yang dialami mahasiswa sekarang. Khususnya lagi dalam kehidupan kampus.

Bagaimana framing birokrasi yang kerap menyudutkan aksi-aksi kebandelan mahasiswa tanpa mengetahui atau memang tak ingin mengetahui dasar filosofi kebenaran yang disuarakan mahasiswa. Kenapa mahasiswa melakukan aksi? Apa yang dituntut oleh mahasiswa? Bagaimana menyelesaikan permasalahan yang disampaikan oleh mahasiswa? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang semestinya dijawab oleh birokrasi kampus secara konperhensif dalam menyikapi kebandelan mahasiswa.

Terlepas dari persoalan ego fundamentalisme birokrasi kampus, kemerdekaan yang dinikmati rakyat Indonesia saat ini juga merupakan hasil dari kebandelan-kebandelan yang dilakukan kaum terdidik terdahulu. Inilah sebuah kebenaran yang tak bisa dinafikan oleh rakyat Indonesia. Dengan kata lain, jiwa pemberontak melawan ketidakadilan merupakan marwah yang esensial dalam diri mahasiswa.

Kategori
Diskusi

Racun Keluarga dalam Birokrat Kampus

Selama birokrat kampus terus mengamini universitas sebagai ladang kekuasaan, maka ia akan terus menjajal pola birokrasi yang pakem guna mengukuhkan pengaruhnya atas mahasiswa. Apalagi jika mahasiswa dianggap hanya sekadar barang dagang dengan embel-embel lulus cepat dan pekerjaan bagus, kritisisme akan menjadi barang mewah dalam kebebasan akademik mahasiswa.

Dengan orientasi pendidikan yang mencetak keseragaman karakter, kuasa bahasa adalah salah satu jalan ampuh yang lazim digunakan pihak kampus. Birokrat kampus tentu memiliki akses berlebih guna membubuhkan jargon-jargon demi kuasa bahasa yang tak terbatas atas mahasiswa. Belakangan jargon yang sering mencuat dalam polemik di pendidikan tinggi kita adalah keluarga.

Saya sendiri pernah terpapar oleh daya magis dari diksi ”keluarga”. Syahdan, salah satu kawan menggelar diskusi bertema gender di dalam kampus, namun sayangnya diskusi kecil-kecilan itu ditolak oleh birokrat. Alasan pertama adalah izin. Satu alasan yang cukup untuk disebut dangkal karena kampus adalah ruang publik milik mahasiswa, bukan birokrat. Lalu alasan seterusnya adalah ketidaksesuaian tema diskusi dengan visi-misi kampus.

Lantas, ketika saya mulai membuka argumentasi mengenai hubungan visi-misi kampus dan tema diskusi itu, birokrat pun menutup diskusi dengan kalimat yang sangat menakjubkan, ”kita ini kan keluarga. Kami orang tua kalian di kampus. Kita punya arahan buat kalian, punya visi-misi buat kalian. Selama itu bagus menurut kita, itu pasti baik buat mahasiswa.” Jujur, ini sangat ironis. Orang tua kandung saya saja memberi kebebasan berilmu dan pengetahuan, kenapa mereka yang mengaku sebagai orang tua di kampus harus memukul rata isi kepala semua mahasiswa?

Pada akhirnya saya tak ingin melanjutkan perdebatan. Sekuat apapun argumentasi hanya akan berakhir menjadi ludah jika alasan yang digunakan adalah jargon-jargon basi macam kekeluargaan, orang tua di kampus, dan ujung-ujungnya menanyai nomor induk mahasiswa. Percuma. Setidaknya jalan lain untuk menguji daya tahan nalar politis birokrat kampus semacam itu adalah dengan mengkritiknya di forum-forum mimbar akademik, atau kalau perlu di ruang perkuliahan secara langsung.

Rupanya, kasus seperti ini tak hanya menimpa saya saja. Agni, mahasiswi penyintas kekerasan seksual yang berasal dari Universitas Gajah Mada harus mengalami hal serupa tetapi tak sama dengan saya. Belakangan kasus Agni berakhir damai, namun itu tak lepas dari wibawa rektor yang coba ditunjukkannya melalui jargon ”keluarga” saat mendamaikan Agni dengan sang pelaku.

Ternyata, polemik jargon keluarga ini menemui korban baru lagi. Baru beberapa hari yang lalu, Pers Mahasiswa SUARA USU dibubarkan oleh pihak birokrat. Alasannya adalah SUARA USU dituding mempromosikan LGBT lewat karya sastra yang dimuat di laman SUARA USU. Semakin aneh lagi ketika ditanya mengapa harus mengumpulkan seluruh pengurus Suara USU, rektor menjawab, ”kalian dengar saja suruhan kami. Kami orang tua kalian.” (Tirto, 26 Maret 2019)

Membaca pengalaman saya dan dua kasus terakhir ini, tampak jelas bahwa ”keluarga” adalah bentuk wacana yang sengaja digunakan oleh birokrat kampus untuk mengendalikan mahasiswanya. Mahasiswa dituntut, diatur, dan dilarang ini itu. Tetapi ketika menuntut haknya, dianggap sebagai anak yang harus patuh pada orang tuanya. Di sini kita menemui keluarga bentukan birokrat adalah sebentuk racun bahasa dalam dunia pendidikan tinggi kita.

Diksi ”keluarga” dalam penyelesaian masalah dengan mahasiswa adalah bentuk lain upaya dari birokrat kampus untuk mengukuhkan posisinya di dalam menara gading akademik. Mahasiswa seakan-akan dijadikan barang jualan, dan birokrat kampus adalah penyelamat mahasiswa. Dengan isitlah dari Paulo Freire, kerja macam ini disebut dengan solider semu.

Kini kita akan sering melihat partisipasi mahasiswa dalam pembangunan kampus semakin ke sini semakin dikurangi. Mahasiswa semakin didikte oleh kampus dan merasa semuanya seolah baik-baik saja. Proses pendidikan berakhir satu arah. Ruang dialog di dalam pendidikan pun tambah menyempit jika fenomena ini terus dibiarkan. Kuasa bahasa dalam diksi ”keluarga” menjerat mahasiswa sampai di titik kesadarannya.

Akan tetapi kesadaran-kesadaran naif dari mahasiswa ini bukan terbersit begitu saja. Ia ada lantaran kuasa bahasa kampus dijejalkan bersamaan dengan proyek pembangunan fisik yang memukaukan mata. Kesadaran naif mahasiswa lantas menjadi produk turunan dari orientasi pendidikan yang serba materialistik. Setelah itu, birokrat kampus menjadi kelas dominan. Pikiran dan rasa mahasiswa tersamakan oleh hegemoni kampus.

Kategori
Diskusi

Idealisme Persma Atasnama Kebutuhan

Saya mungkin paling wareg menyandang status sebagai orang pers mahasiswa (persma). Setelah  menempuh studi di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Ekspresi selama 2011-2015, berikutnya, saya diamanahi menjadi Sekjend Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Dewan Kota (DK) Yogyakarta selama setahun lebih; yang artinya, petualangan berpersma saya menjadi lebih luas nan mendalam. Dari situlah, saya memperoleh banyak kesempatan untuk memahami karakter persma-persma sekaligus membenturkan isi kepala antar anggota persma. Dialektika pun kerap terjadi hingga saya dan teman-teman sering mempertanyakan: apakah yang diwariskan oleh para pendahulu kami di persma merupakan hal-hal yang perlu dilanjutkan pelaksanaannya?

Pertanyaan seperti di atas begitu wajar mengingat apa yang dilakukan oleh para pendahulu bisa menjadi beban bagi generasi penerusnya. Misalnya, ihwal idealisme persma bahwa orang-orang persma harus begini-begitu; seperti gemar berbuku, diskursif, pandai menulis, kritikus kekuasaan, hingga selalu membela yang mustadh’afin. Kenapa harus begitu? Apa perlunya?

Perlu diketahui, tidak semua orang memiliki titik berangkat yang sama untuk memasuki persma. Yang biasanya mereka tahu, persma merupakan tempat pelatihan jurnalistik atau wadah untuk mempersiapkan seseorang menjadi pekerja media. Memang betul jika persma menjadi wadah pelatihan skill jurnalistik, walau tak dipungkiri, organisasi tersebut juga menjadi wadah pendidikan karakter anggota-anggotanya.

Untuk melaksanakan pendidikan karakter, tentunya ada nilai-nilai yang ditransferkan dan teladan-teladan perilaku ideal yang mesti ditiru. Di sinilah, biasanya permasalahan terasa; ketika nilai-nilai dan perilaku-perilaku ideal kepersmaan ditelan atau bahkan dimuntahkan mentah-mentah oleh beberapa anggota. Hingga akhirnya, idealisme persma yang menjadi pakem pendidikan dan perjuangan malah hanya menjadi diskursus identitas yang debateable. Hal ini sungguh melelahkan dan tidak membikin persma semakin sibuk mengasah daya.

Sejauh pergaulan saya dengan orang-orang persma, saya sadari, idealisme persma yang saya misalkan pada paragraf kedua di atas akan menjadi permasalahan pokok yang tak mungkin tuntas diatasi. Setiap persma selalu memiliki permasalahan idealisme yang selalu dicurhatkan dalam forum-forum. Begitulah yang saya alami sebagai konsultan kepersmaan ketika menjadi pejabat PPMI setingkat DK.

Dari mereka, ada yang menyatakan bahwa organisasinya kesulitan membikin anggotanya berdaya intelektual mumpuni. Ada pula, mereka yang memiliki anggota berdaya intelektual bagus namun sulit mengajaknya menapaki jalan perjuangan atau menegaskan keberpihakan. Nah, dari situlah, saya sering membuka pertanyaan: apa yang ditawarkan persma kepada anggotanya? Jika yang ditawarkan hanyalah citra identitas, tentunya, semua yang diajarkan menjadi mentah belaka.

Maka dari itu, saya selalu mencoba menggiring kawan-kawan persma untuk memikirkan kebutuhan keberadaannya. Soal intelektualisme dan sikap menghantam penindasan adalah potensi yang harusnya berguna memenuhi kebutuhan berpersma. Sayangya, idealisme semacam itu kerap diajarkan muluk-muluk untuk memperoleh gengsi tinggi dan citra terhormat. Ajaran semacam itulah yang akhirnya menjadi penyakit dan malah menjadi serangan balik bagi persma.

Ajaran yang menempatkan idealisme sebagai citra identitas hanya akan membikin anggota persma sibuk mengejar penghargaan semu. Pada akhirnya, akan sangat sulit menemukan banyak anggota persma dengan keilmuan mendalam dan peka nuraninya terhadap situasi sekitar. Jika persma-persma semakin menghayati kebutuhannya, mereka akan menghindari ajaran idealisme yang cenderung menggairahkan anggotanya pada pencitraan semu.

Sejatinya, persma selalu membutuhkan apresiasi atas kerja keras berkarya medianya. Apresiasi itu tidak datang dengan sendirinya. Kinerja jurnalistik persma yang dianggap bagus berasal dari proses keilmuan dan laku perjuangan yang militan. Kalau mereka membutuhkan apresiasi bagus, maka pakem berilmu dan berjuang harus sungguh-sungguh dilaksanakan. Dan sesungguhnya, pakem tersebut benar-benar sederhana, asalkan mau konsisten dan tidak terlalu tergiur oleh urusan citra.

Itulah mengapa, saya dan beberapa orang persma di Yogyakarta selalu berusaha mengencangkan arus diskursus dan mengajak para anggota persma terjun ke dalam akar rumput dimana adanya orang-orang yang ditindas kekuasaan. Tanpa bermaksud menyiksa anggota persma dengan beban peranannya, hal ini bisa menjelaskan kepada mereka bahwa idealisme itu berguna untuk memenuhi kebutuhan sendiri.

Contohnya, ketika akhir-akhir ini mulai banyak orang-orang persma yang mengawal kasus-kasus agraria di Yogyakarta dan mengangkat narasi kritik terhadap Rezim Keistimewaan. Dengan sendirinya, anggota persma menggembleng proses keilmuan sambil menegaskan sikap perjuangannya. Dengan begitu, mereka akan semakin giat bergerak, belajar, dan menerbitkan konten. Apresiasi bagus terhadap media-media persma pun berdatangan dari mereka yang membacanya dan merasa diadvokasi aspirasinya. Beginilah kiranya pakem idealisme persma bisa terjaga. Yakni, membangun simbiosis mutual dengan basis pembacanya. Selain aspirasi dari basis pembaca teradvokasi, persma-persma pun semakin mendapat apresiasi.

Sederhananya, idealisme adalah pembacaan atasnama kebutuhan. Seperti kata Mike, vokalis Marjinal, kepada saya, “Melakukan budaya tanding bukan semata-mata untuk menandingi (kemapanan). Melainkan, memenuhi kebutuhan kita sendiri,” ujarnya.

Kategori
Diskusi

Berita Kepada Kawan

Ada 4 kesamaan saya dengan Ilham Nur Padmy Lestia Adi. Pertama adalah nama Ilham. Kedua tinggal di desa yang sama. Ketiga dia hobi naik gunung. Keempat ia ngekos di tempat yang saya tempati sebelumnya, di Yogyakarta.

Berita meninggalnya tiga mahasiswa UII saat mengikuti The Great Camping (TGC) XXXVII, di Gunung Lawu menjadi sorotan publik, Tempo.co misalnya ; berita tiga mahasiswa UII yang meninggal setelah mengikuti TGC XXXVII menjadi berita Populer selama beberapa hari. Begitu juga dengan media lokal di Yogyakarta, baik cetak dan online. Terlebih terjadi kota pelajar seperti Yogyakarta dan di institusi pendidikan. Salah seorang yang menjadi korban meninggal, saudara dan kawan saya Ilham Nur Padmy Lestia Adi.

Ham arak Keril? (Ham ada Keril?)” kata pria yang biasa di sapa Ilham. Menjadi pesan pertama Ilham pada saya di Facebook tanggal 15 Agustus 2014, menanyakan apakah saya punya tas gunung. Saya saat itu tak membalas pesanya. Sampai suatu ketika, kami bertemu langsung. Dia berkata pada saya sudah dapat tas dan siap untuk mendaki Gunung Rinjani.

Menjadi kebiasaan para pemuda di desa kami mendaki ke Gunung Rinjani. Bahkan ada beberapa pemuda yang kami kenal beberapa menjadwalkan tiap tahunnya mendaki Gunung Rinjani, bahkan ada juga yang setahun 3 kali. Sampai ada beberapa pemuda berkata “Rinjani itu umroh (haji kecil) orang Lombok”. Pemuda Lombok yang tidak pernah ke Rinjani—cukup membayangkan cerita tentang indahnya panorama alamnya dan suka-duka selama di Rinjani. Karena terus mendengar cerita tentang Gunung Rinjani semakin membuat orang penasaran untuk mendaki gunung yang memiliki ketinggian 3.636 Mdpl dan Danau bernama Segara Anak.

Ilham mengalami hal yang sama, ia penasaran akan cerita Gunung Rinjani. Selama setengah semester bersama 6 sahabatnya saat masih di SMP 1 Pringgasela, Ilham merencanakan untuk muncak ke Gunung Rinjani dan danau Segara Anak. Rasa penasaran itu pun sirna dan terwujud selesai Ujian Nasional (UN) yang menjadi pendakian pertama ilham menyaksikan Gunung Rinjani. Tapi karena mereka melalui Jalur Selatan mereka hanya sampai ke Danau Segara Anak dan tak bisa ke puncak Rinjani. Kemudian pada 21-27 Juni 2013, Ilham kembali mendaki Gunung Rinjani. Sejak saat itu naik gunung menjadi hobinya. Pun ketika melanjutkan studi di Kota Yogyakarta.

Di Yogyakarta

Pemuda berbadan tegap ini mengirimkan pesan kedua via Facebook pada saya, kali ini ia menanyakan tempat kos saya. Saat itu saya sudah semester 3 di salah satu Universitas di Yogyakarta.

Ham mbe tok a ngekos? (Ham ngekos dimana?)” tanya Ilham.

Taman Siswa,” jawabku

Ternyata tanggal 5 Maret tahun 2015 lalu, Ilham dinyatakan lulus Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Melalui jalur CBT yang diadakan Sekolahnya, SMAN 2 Mataram.

Ilham mengatakan kalo bisa di carikan tempat di pesantren, ia berpikir tidak ingin membebani orang tua dengan biaya tambahan. “Arak kost kosong sekitar iti ke? (ada kos kosong sekitar situ?) Atau Pondok Pesantren Mun bu ja. (Atau kalo bisa Pondok pesantren),” ungkapnya.

Saya memintanya untuk menempati kos saya saja. Ilham mengiyakan. Kemudian sekarang mulailah ia belajar di Yogyakarta. Ilham sempat ragu bisa menjalani belajar di Fakultas Hukum karena mengambil kelas internasional. “saya nggak terlalu bisa bahasa Inggris,” Tutur Ilham

Ilham termasuk tipe orang mau belajar. Merasa nilai semester satu di anggap tidak memuaskan karena tak bisa bahasa Inggris, tak lantas membuatnya menyerah. Ia kemudian berangkat ke Pare, di Kediri untuk belajar bahasa Inggris selama satu bulan. Di sela belajarnya Ilham tak melepaskan hobinya, di Malang bersama dengan temanya, ia mendaki Gunung Kelud. Tercatat beberapa gunung yang didaki selama di Yogyakarta. Gunung Andong adalah yang pertama di dakinya, kemudian Kelud, dan Merbabu selama dua kali: acara bersih gunung dan penanaman pohon.

Menurut pendapat saya Ilham orang yang berinisiatif: menanyakan apa yang ingin dipelajarainya. Pemahaman itu saya dapatkan setelah beberapa kali berdiskusi bersama. Kami beberapa kali berdiskusi kecil tentang persoalan Hukum, kebudayaan, pendidikan, dan masalah sosial. Kami juga kami sering berdiskusi di media sosial. Dia tahu saya masuk pers mahasiswa yang memiliki budaya diskusi.

“Di kampus hukum itu ada Keadilan (Lembaga Pers Mahasiswa Fakultas Hukum UII),” katanya.

“Ayok Ham kapan diskusi, diskusi bareng,” ia mengajak saya.

“Maaf, Ham lagi sibuk,” jawabku.

Sejak saat itu kami jarang bertemu lagi. Saya masih memendam pikiran Ilham tertarik masuk pers mahasiswa. Karena memang sebelumnya ia sempat berkata demikian. Tapi dugaan saya tidak tepat, saya tahu dia memilih Mapala Unisi UII. Ketika senja di warung kopi seorang teman menyodorkan gawainya, ada berita online tentang meninggalnya tiga mahasiswa UII yang mengikuti The Great Camping XXXVII. Teman yang menyodorkan gawainya itu sempat mengira saya lah yang meninggal.

Kemudian saya membaca berita online tersebut. Tertulislah nama Ilham. Saya membaca ulang kembali memastikan kebenarannya. Kemudian teman yang lain menyodorkan video tentang keterangan orang tua korban, salah satunya narasumbernya, Pak Syaff’i orang tua Ilham. Setelah itu saya baru percaya ilham lah yang meninggal.

Orang tua Ilham yang datang untuk bertemu, memilih melaporkan kasus ini ke pihak kepolisian. Karena mendengarkan keterangan sang anak dan melihat kondisinya secara langsung di Rumah sakit Bathesda. Sebagai orang tua, Syaff’i hanya berharap kebenaran dalam kasus yang terjadi pada anak bungsunya saat itu dan tidak perlu di tutup-tutupi. Meski air wajah Syaff’i tak bisa menyembunyikan duka yang mendalam kehilangan anak sulungnya. Di UII, Syaff’i yakin anaknya bisa belajar dengan baik, namun sayang harus pulang lebih dulu. Saya sendiri tidak bisa melihat wajah Ilham saat terakhir kali ketika ia harus meninggalkan peraduan di kota pelajar untuk terakhir kalinya. Bagi saya, Ilham adalah kawan diskusi yang tak tuntas.

Metode Pendidikan Mencintai Alam

Almarhum Ilham di rumah sakit waktu sempat bercerita kepada seorang kawannya, bahwa ia sempat menyerah karena tidak kuat. Namun karena di katakan dalih untuk pembentukan karakter dan melihat teman-temanya diperlakukan lebih keras lagi karena menyerah—almarhum Ilham saat itu terpaksa memilih melanjutkan. Salah seorang peserta yang M. Rahmaddaniel mengatakan hal yang sama, ada tim Operasional yang memang memukul meski tanpa tahu kesalahannya apa. “Yang mundur di habisi…,” ungkap Rahmatdaniel kepada Tempo.co.

Bukankah metode pembelajaran bertahan dan bermain di alam bebas itu meminimalisir risiko, bukan membuat-buat risiko yang tak ada hubungnya dengan mendidik. Apalagi risiko kehilangan nyawa. Dari beberapa artikel yang saya baca, Diksar (Pendidikan Dasar) Pencinta alam memiliki persiapan yang banyak. Dengan menyampaikan ilmu-ilmu yang sudah dipersiapankan matang dan membutuhkan waktu yang cukup lama, karena dalam melakukan Diksar (pendidikan dasar), organisasi dan seluruh anggotanya bertanggungjawab terhadap keselamatan para calon anggota yang “dididik” pada Diksar tersebut. Persiapan tidak hanya menyangkut persiapan fisik para “pendidik”, namun juga meliputi tentang pembekalan pengetahuan dan keahlian, kesiapan materi pendidikan, sarana pendukung pendidikan, hingga keselamatan bagi calon anggota, senior serta pembina yang turut dalam Diksar tersebut. Bukankah intinya keselamatan yang utama.

Menurut keterangan salah satu ketua panitia kegiatan, Mapala Unisi mereka memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) untuk melakukan pendidikan dasar. Meski mereka tak menampik ada suatu yang tidak bisa di kontrol.

Tentu banyak metode untuk belajar mencintai alam dan tanpa harus menggunakan kekerasan. Terlebih dunia di akademis yang memiliki budaya intelektual harusnya bisa menjadi ajang mengasah hal tersebut. Bukan ajang untuk menyuburkan budaya kekerasan dan mempertegas otoritas “untuk membenarkan tindak kekerasan”. “Sebagai KPA (Kelompok Pecinta Alam) tertua di Indonesia, hingga kini Mapala UI dapat terus meneruskan regenerasi tanpa kekerasan fisik, sebaliknya mengedepankan pendampingan (mentoring). Saya rasa kami dapat terus mencetak anggota yang loyal, memiliki kemampuan basic outdoor skill yang mumpuni dan aktif bergiat di alam bebas dengan konsep tersebut”, ujar Yohanes Poda Sintong (M-954-UI), Ketua Umum Mapala UI 2017.

Tan Malaka pernah berkata tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan. Bukankah lagu Kepada Alam dan Pencintanya, karya Rita Rubi Hartland yang biasanya sering di nyanyikan pencinta alam bisa menjadi bahan refleksi untuk mengerti makna pencinta alam dan arti kehidupan.

Mendaki gunung sahabat alam sejati/Jaketmu penuh lambang/ lambang ke gagahan/ memproklamirkan dirmu Pecinta alam/ sementara maknanya belum kau miliki/…/oh, alam korban Ke Akuan/ maafkan mereka yang tak mengerti arti kehidupan.

Kami Hanya Bisa Berharap Kebenaran dan keadilan Kawan

Saya masih tak percaya melihat teman yang kemarin sempat tertawa, marah, dan berbagi suka duka bersama, harus meninggal dengan bekas luka membiru di sekujur tubuh. Akal sehat kami sempat tidak berjalan sempat terbersit di benak kami bahwa “hukum nyawa harus di bayar nyawa” pada pelaku. Tapi sebagai mahasiswa yang bisa kami lakukan saat ini lebih memilih mengawal kasus kawan kami Ilham dan dua korban lainya di tuntaskan dengan sejujur-jujurnya dan seadil-adilnya. Dan tak terjadi kasus yang sama di kemudian hari dan di mana pun, terlebih seperti di dunia pendidikan.

Kategori
Diskusi

Dilematik Perempuan Antara Ego dan Realitas

“Kalau setelah lulus kuliah, kerja, terus menikahnya kapan?”

Tidak satu, dua, atau tiga kali saya mendengar cerita mengenai komentar itu dari beberapa kawan yang habis pulang kampung. Bahkan saya sendiri berkali-kali mendapat tanya semacam itu. Kesannya memang wajar orang bertanya demikian, tidak perlu emosi membela diri di hadapan penanya yang penasaran soal hidup kita.

Dan yang sering mengusik saya beberapa hari terakhir ini adalah, mengapa pertanyaan soal menikah di usia 20 tahun ke atas sering berdatangan? Terutama pada perempuan yang berasal dari desa yang mayoritas penduduknya (khususnya perempuan) menikah setelah lulus SMA. Tentu saja tulisan ini bukan bermaksud memunculkan persoalan yang diskursif, di mana pandangan umum mempercayai hal yang tak bisa dielakkan antara desa dan kota.

Hanya sedikit refleksi terhadap makna kebebasan yang terus diupayakan di berbagai forum kesetaraan. Ada pertanda bahwa perempuan memiliki peluang menikmati hidupnya secara utuh, terlebih ketika mengetahui lembaga organisasi yang interaktif. Tengoklah Yayasan Jurnal Perempuan, yang konsisten mengkaji isu-isu perempuan mutakhir. Juga Samsara, senantiasa mengadvokasi perempuan yang mengalami kekerasan seksual. Lihat pula Aisyiyah yang sampai sekarang tetap setia mendukung kemajuan perempuan melalui pendidikan. Dan tentunya masih banyak sekali lembaga-lembaga yang sangat positif menjadi penggerak.

Dalam persoalan yang kentara di wilayah desa, nampak tidak mungkin menjadi sebebas seperti di wilayah kota. Dua perbedaan itu melahirkan stigma yang perlu dimengerti oleh pribadi masing-masing tanpa menilai buruk satu sama lain. Diutamakan bagi mereka yang mengenyam pendidikan di kota, jelas pemahamannya dituntut lebih arif, karena berpeluang menikmati kebebasan. Sedangkan nilai dan norma yang mengakar di desa sangat kuat, sehingga segala sikap yang kita ambil menjadi sorotan banyak pihak.

Sejauh saya mengamati, kawan-kawan yang bergelut dengan aktivitas di perkotaan cenderung merasa risih dengan aturan di desanya. Alhasil, beberapa di antara mereka memutuskan tinggal lebih lama dan menghindari pulang kampung, atau bahkan malah menetap. Sementara tuntutan masyarakat di tempat kelahiran agar putra-putri daerah yang telah mengenyam pendidikan di kota bisa menerapkan ilmunya kembali di desa.

Kadang di situ muncul “ego” yang meninggi. Pernah saya dapat curhatan kawan yang mengaku perlu untuk mengesampingkan kesenangan pribadi guna mempersiapkan rumah tangga. Itu juga karena mendapat nasihat dari orang tua, karena usianya lebih dari matang. Saya yakin, ada dilematis yang sulit dijadikan cerita, di sisi lain, keadaan punya porsi kuat untuk terus mendesak. Antara membiasakan hidup sebagai pribadi merdeka, ataukah patuh terhadap aturan kultural yang mengekang?

Barangkali kita lambat laun akan lahir sebagai pribadi yang terbiasa memakan kritik. Dan bisa jadi malah didominasi sifat anti-kritik. Keduanya mesti jadi landasan kuat menghadapi kenyataan di masyarakat luas, bahwa perempuan patut memperjuangkan keyakinannya berdasarkan akal sehat. Seperti kisah Roro Mendut sewaktu dikasih pilihan antara jadi istri raja atau membayar pajak kepada kerajaan, dan Roro Mendut memilih untuk membayar pajak.

Di situ, akal dan rasa diadu, dan soal bayar pajak, tentunya lebih menguras tenaga-pikiran, eh tapi Roro Mendut berani ambil risiko. Akal sehatnya main. Kemudian, upaya yang dilakukan untuk membayar pajak, ia berjualan rokok keliling. Dan ya, ini yang menjadi kekhasan cerita, di mana semua orang mengingat betul keistimewaan rokok yang dijualnya. Roro Mendut menjual rokok yang sudah diincip dari mulutnya.

Tak ada larangan untuk menilai kehidupan desa yang kolot dan patriarkis. Tetapi kalau tidak diimbangi pengertian, sementara perdebatan serta usaha penyadaran hanya meruang di kota, usaha kesetaraan hanya akan jadi debat kusir.

Kategori
Diskusi

Bunuh Diri dan Kreativitas Pergerakan Mahasiswa

Tulisan ini akan punya nada sebagai berikut: nostalgia, semikritik, dan sedikit sentimental. Perlu saya jelaskan di awal tulisan agar tidak terkesan penipuan, mengingat, saya sadar benar ke mana dan pada siapa tulisan ini akan bermuara.

Saya akan mulai menghembuskan suatu ingatan, beberapa tahun silam, ketika saya begitu aktif bergeliat di dunia pers mahasiswa, justru di titik itu saya kemudian sadar bahwa sesungguhnya saya tidak berkeinginan menjadi seorang jurnalis. Hal ini memang aneh, buat apa menghendaki dunia pers mahasiswa begitu serius, jika nantinya pilihan karir saya adalah bukan seorang wartawan.

Beberapa hal yang membuat saya bertahan adalah ikatan batin dengan beberapa partner kerja dan kecintaan saya terhadap dunia kepenulisan. Meksipun pers mahasiswa adalah suatu ruang yang rumit sekaligus klise, tetapi saya tak sekalipun menyesali keberadaan proses tersebut. Jikalau ada yang perlu dibicarakan lebih lanjut, adalah tentang kultur di dalamnya, baik yang sifatnya sangat kontekstual maupun sesuatu yang menjadi penanda zaman di mana sebuah pergerakan akan dijalankan.

Saya mungkin dapat dikategorikan mahasiswa kurang pergaulan karena cenderung tidak begitu memahami politik kampus, memilih berperan menjadi tim penggembira ketika Pemilu Raya datang, alih-alih menjadi heroik dan kontroversi. Saya cenderung menepi dan lebih memilih menjadi pengamat sebuah keributan, sesekali juga terbawa arus berapi-api, sekali-dua kali menulis suatu ulasan dengan serius tetapi tak banyak yang menghiraukan, dan sering marah-marah sendiri karena tak kunjung dapat menyelesaikan konflik batin antara idealisme pribadi dan lingkungan.

Betapa saat itu saya sering merasa tak baik-baik saja. Tetapi dalam situasi tersebut, kemudian saya mendapat suatu pandangan (yang entah datangnya dari mana), bahwa selain sebuah prinsip atau idealisme, suatu hal yang alpa dari pers mahasiswa sebagai suatu pergerakan alternatif adalah stimulus kreativitas. Entah bagaimana persepsi terhadap pergerakan mahasiswa itu sendiri di zaman kini, sementara pengalaman saya beberapa tahun lalu: pergerakan mahasiswa (khususnya Pers Mahasiswa) masihlah mempertahankan sikap-sikap konvensional untuk menggaungkan performansi sebutan aktivis, yang Hidup Mahasiswa di garis depan para demonstran. Tentu saja potret heroik itu akan selalu terbingkai manis, sebagai spirit anak muda yang mengandung anak sejati berupa empati tingkat tinggi.

Akan tetapi, terkadang kita seringkali menutup mata. Seolah satu-satunya untuk mewujudkan cita-cita mulia masyarakat marjinal hanya dengan perasaan marah dan aksi reaktif. Padahal, ada banyak potensi anak muda—salah satunya kreativitas—yang semestinya dapat subur tergarap pada realitas kehidupan seorang aktivis mahasiswa, setidaknya sebagai seorang jurnalis yang mengalami proses kreatif dalam membikin produk jurnalistik.

Tolong jangan salah paham dahulu, kreativitas yang saya maksudkan janganlah diartikan begitu sempit. Bukan berarti kultur ngopi sambil diskusi yang rutin dilakukan di malam Kamis, lantas berubah menjadi pesta disko atas nama apresiasi musik urban remix. Bukan juga berarti awak media kampus bersedia menulis pencitraan seorang birokrat yang kasus korupsinya sudah menjadi rahasia umum, saat hendak mencalonkan diri menjadi rektor atas nama kebutuhan headline produk jurnalistik.

Kreativitas yang saya maksud akan sedikit rumit untuk didefinisikan secara gamblang. Ia lebih kepada sesuatu yang mendorong nasib pergerakan itu sendiri untuk lebih adaptif terhadap situasi dan kondisi. Ia juga diibaratkan sebagai jembatan untuk mentransformasikan inti-inti idealisme pergerakan agar dapat memberikan jalan bagi para pengikutnya untuk menyesuaikan diri.

Saya pun juga sedang mencari contoh yang lebih konkret, mungkin sejauh yang dapat saya jabarkan, kreativitas dapat menjadi semacam penawar bagi yang terlalu lama terjebak dalam romantika pergerakan masa lalu. Sejatinya, Ia (kreativitas) akan mendampingi proses interpretasi dan pola pikir melintasi zaman, sehingga dapat menjadi embrio produksi pemikiran kritis sekaligus solutif. Hal ini tentu terbuka untuk diperdebatkan dan dieksplorasi lebih dalam, mengingat kompleksnya pembahasan soal eksistensi pergerakan di tengah euforia dan gegap gempita perayaan pesta kemapanan yang masih semu wujudnya.

Bahkan kita sendiri tak jarang menjadi paradoks sebagaimana perasaan jatuh cinta dan patah hati dalam satu waktu. Seperti juga perasaan rindu dan benci dalam satu purnama. Ah, jika tak ingin krisis berkepanjangan, jika tak mau mati bunuh diri lantaran tak mampu menghalau rumitnya situasi, maka kreativitas adalah suatu bentuk formula untuk merumuskan strategi menghadapi tantangan di hari depan. Dengan demikian, perputaran roda pergerakan mahasiswa diharapkan dapat membentuk sebuah siklus yang menawarkan ruang adaptasi bagi para kawula untuk terus bertumbuh dan berkembang.

Kategori
Diskusi

Lara Nasionalisme

Rabu pagi kemarin, pemangku kepentingan merayakan 71 tahun Republik Indonesia merdeka. Merdeka dari penjajahan, merdeka dari penindasan, merdeka dari ketidakbebasan, merdeka dari pelanggaran Hak Asasi Manusia oleh bangsa penjajah, dan merdeka dari banyak hal.

Kemerdekaan yang diproklamasikan Soekarno 17 Agustus 71 tahun silam itu menjadikan bangsa Indonesia berdaulat. Diakui bangsa internasional secara de facto dan de jure. Undang-Undang Dasar 1945 yang disebut sebagai suatu sistem khas menurut kepribadian bangsa Indonesia pun dijadikan dasar negara ini. Semua hukum yang dibuat kemudian tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Rabu pagi kemarin, setiap lembaga negara Republik Indonesia yang tersebar di 34 provinsi kembali membaca Undang-Undang Dasar 1945 pada upacara kemerdekaan. Pembacaan undang-undang itu dipastikan didengar seluruh peserta upacara karena dibacakan dengan pengeras suara. Diiringi lagu Indonesia Raya, bendera merah-putih pun dinaikkan hingga puncak tiang. Semua orang menjunjung, memberi hormat.

Cukup sampai di situ, semua orang menaruh hormat pada bendera, pada bangsa, yang dirangkum dalam kata nasionalisme. Kata Tentara Nasional Indonesia, “NKRI Harga Mati!”. Para pejabat mungkin tak punya semboyan baku untuk lukiskan rasa nasionalisme, tapi mereka sering berkata kepada khalayak, “saya berbuat untuk bangsa dan negara.” Semua pemangku kepentingan bilang cinta bangsa. Semua demi negara. Kalaupun rakyat tersakiti biarlah, karena semua demi bangsa. Tapi, apalah kehebatan sebuah bangsa tanpa kekuatan rakyat? Nanti akan saya sebutkan betapa hak rakyat dikangkangi nasionalisme salah tempat.

Pernahkan Engkau menghafal Undang-Undang Dasar 1945? Saran saya jangan. Renungkanlah arti Undang-Undang Dasar 1945. Karena setelahnya, Engkau akan tahu munafiknya pejabat pengkata nasionalisme yang bertindak di luar batasnya. Sekarang, bukalah Undang-Undang Dasar 1945 dan baca kembali.

Undang-Undang Dasar 1945 berbicara mengenai kemerdekaan yang bebas dari penjajahan, penindasan, perbudakan, dan kejahatan apapun yang bisa mengusik kemakmuran rakyat. Sejatinya petuah undang-undang ini tidak pantas dilanggar, baik bangsa asing maupun sesama rakyat Indonesia. Baca saja sila kedua dan kelima, coba cari apa maksudnya. Tapi sekarang, pejabat negara pun berani mengusik kemerdekaan rakyat.

Kita sebutkan saja, bangsa Indonesia sudah merdeka sebagaimana sebenarnya arti merdeka. Lihatlah bagaimana kebebasan negara ini berdiplomasi dengan negara lain, sudah merdeka bukan? Tapi janganlah Engkau palingkan pandangan dari isi bangsa ini. Coba libat wajah anak bangsa ini. Lihat lekat-lekat. Pandangi satu per satu, terutama yang sering bertindak seraya teriakkan kata nasionalisme. Mungkin Engkau terkejut memandangi wajah anak bangsa ini.

Baru saja kemarin, dua hari menjelang peringatan kemerdekaan sila kedua dilanggar pejabat negara. Sejumlah warga Kelurahan Sari Rejo, Medan Polonia, yang melakukan aksi unjuk rasa terkait sengketa lahan mendapat tindak kekerasan dari anggota Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU) yang berada di lokasi. Secara sistem demokrasi, TNI AU tidak beradab karena mengeroyok warga yang bersuara melakukan pembelaan atas sengketa tanah. Bukankah mereka itu pelindung masyarakat, petugas keamanan yang seharusnya meminimalisir tindak kriminal. Ini malah melakukan kriminal.

Alasan apapun, termasuk rasa nasionalisme tidak dibenarkan jika realisasinya dalam bentuk kejahatan. Pada kasus ini bisa dilihat rakyat belum merdeka. Rakyat belum bebas menyatakan pembelaan. Pada hari yang sama, dua rakyat lainnya yang berprofesi sebagai wartawan terpaksa masuk ke rumah sakit karena di keroyok TNI AU berseragam lengkap. Padahal, niat mereka sungguh mulia, ingin menyiarkan pembelaan warga Kelurahan Sari Rejo atas ketidakadilan terkait lahan.

Sehari menjelang kemerdekaan Indonesia, wartawan Indonesia berkabung mengingat Fuad Muhammad Syafruddin yang akrab disapa Udin. Dia wartawan Bernas yang dibunuh karena berita pada 16 Agustus 1996. Dugaan besar pelakunya berasal dari aparat keamanan negara. Jika melihat kronologis usai pembunuhan Udin, Kanit Reserse Umum Polres Bantul, Edy Wuryanto yang saat itu berpangkat sersan kepala menghilangkan barang bukti berupa sampel darah dan buku catatan Udin dengan dalih penyelidikan. Ia kemudian terbukti bersalah karena membuang sampel darah itu.

Udin dibunuh karena berita yang ia tulis bersifat kritis, hal yang juga dibenci pengkata nasionalisme. Pada awal mei 2016 lalu, wartawan suarapapua.com, Ardiles Bayage dipukul anggota Brimob Polda Papua saat meliput aksi unjuk rasa Komite Nasional Papua Barat. Bahkan, saat konflik antara Gerakan Aceh Merdeka dan Republik Indonesia berlangsung, wartawan yang meliput terlebih dahulu diberikan pelatihan militer dan ditanamkan paradigma jurnalisme patriotis agar pemberitaan pro Tentara Indonesia. Berita pun menjadi lebih soft dan penuh eufemisme.

Segitu takutnya pejabat negara merdekakan keadilan rakyat dengan tidak mengekang hak-hak rakyat. Tidakkah mereka, para pemangku kepentingan, aparat keamanan, dan pejabat negara lainnya, belajar dari pengalaman masa reformasi dahulu? Apa yang terjadi ketika aparat keamanan membungkam rakyat dan mahasiswa yang kritis, membunuh pejuang keadilan seperti Munir, menekan kebebasan wartawan. Kebencian demi kebencian lahir dari berbagai elemen rakyat yang merasa tertindas, untuk kemudian bersatu melawan aparat bangsa(t) pengkata nasionalisme.

Mereka pikir, bisa menakutkan rakyat yang tak punya kekuasaan dengan melakukan kekerasan. Mereka pikir, orang kritis tak punya rasa nasionalisme sehingga kerap di kriminalkan. Tidaklah salah jika Engkau meneriakkan kata naisonalisme untuk menyatakan kecintaan terhadap bangsa. Tapi ingatlah, setiap diri kita punya moral untuk tidak melakukan tindak kejahatan kepada makhluk apapun, tanpa pandang status dan penghasilan. Memanglah tidak bisa dipungkiri jika bangsa ini sudah merdeka. Tapi tidak dengan moral pejabat bangsa.

Kategori
Diskusi

Tugas Kuliah; Sesekalilah Menghapus, Jangan Menulis Terus

Tulisan ini dibuat sewaktu saya iseng scroll kiriman di akun BBM sampai menemukan kutukan seorang kawan yang akhirnya saya pilih jadi judul tulisan kali ini. Konon kutukan itu dituturkan sebab setumpuk tugas dari dosen pengampu yang lebih terkesan ingin menyiksa ketimbang mencerdaskan. Berdasarkan keterangan dari teman saya, dia disuruh meresume isi mata kuliah dengan batas minimal 17 halaman, ditulis tangan.

Bukan apa-apa, di zaman serba teknologi, utamanya bagi mahasiswa masa kini. Aktifitas menulis di kertas, selain terlalu klasik, juga teramat sangat aniaya, apalagi setelah bertahun-tahun dibuai kemudahan copy+paste+edit.

Belum lagi fakta yang sama di hampir semua kampus (kampus saya termasuk), bahwa tugas kuliah yang seringkali dikerjakan berhari-hari, tidak akan berakhir jauh-jauh dari nasib dikilokan, seperti pernah diulas oleh Kholid Rafsanjani di situs tetangga siksakampus.com . Dan yang paling pahit dari nasib seluruh tugas kuliah, adalah hampir tidak ada yang pernah benar-benar berhasil menjadi sesuatu yang berguna, dijual kiloan termasuk kegunaan, tapi bukan itu maksud saya.

Mari kita ambil contoh terdekat semisal tugas skripsi, dari sekian banyak judul yang masuk dalam setahun, dari sekian juta sarjana yang diwisuda dalam setiap tahun. Coba ditelusuri, ada berapa banyak skripsi yang terealisasi menjadi sebuah program konkrit dan dapat bermanfaat bagi bidang keilmuan masing-masing. Iya memang ada beberapa, itu tidak dapat disangkal, tapi mari kita ukur, apakah ribuan kertas yang terbuang setiap tahun itu, apa benar sepadan dengan manfaat yang diberikan kepada pembuatnya, atau bagi orang-orang disekitarnya.

Satu-satunya alasan terbaik yang bisa diberikan oleh kampus, bahwa aktifitas menulis adalah cara terbaik melatih pikiran, memproduksi pengetahuan, dan menciptakan perubahan, bahkan menulis sering disebut sebagai ibadahnya kaum cendekia. Tapi terlepas  dari bagaimana besarnya manfaat menulis bagi yang melakukan, apakah menjadi cerdas benar-benar menjamin perbaikan bagi sekitar?

Tidak perlu dijawab, mari melihat kenyataan. Kasus kaum tani melawan industri ekstraktif, para nelayan melawan reklamasi, pendidikan melawan komersialisasi, kesehatan melawan privatisasi, miskin kota melawan penggusuran, semuanya adalah peristiwa yang sedikit banyaknya melibatkan kaum terdidik yang tercerdaskan oleh menulis itu. Melalui riset-riset ekonomi, sosial, psikologi, hukum, dan segala rupa, menindas masyarakat kelas bawah dibenarkan atas nama bisnis dan perbaikan ekonomi. Bila masyarakat bawah mulai sadar dan melawan balik kepada penindasnya, kaum terdidik yang lain akan dihadirkan untuk mengomentari perilaku kaum tertindas dan memberikan label kriminalitas massa rakyat yang marah.

Bila aktifitas menulis hanya melahirkan penindas, kenapa kampus meski sekali saja tidak pernah memikirkan konsep tugas kuliah yang bebannya cukup menghapuskan sesuatu? Perpres 51 misalnya, atau UUPT, atau bisa juga menghapus korupsi di kampus saya, yang usut punya usut menurut data Anti Corruption Commite (ACC) Sulawesi, juga melibatkan rektor yang menjabat saat ini, ya semoga cuma rumor. Kenapa mesti dihapus? Karena sangat terang menurut Undang-undang Dasar 1945 “penjajahan harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan” menjajahnya bagian mana? Makanya baca! Kamu kok maunya nulis terus, tanpa mau baca dulu atau baca sesuatu.

Pada intinya, kampus harus belajar dari teman angkatan saya di Fakultas, si Herman. Herman adalah laki-laki yang jika putus hubungan minggu ini, minggu depan sudah punya pacar baru lagi. Mirip dengan saya yang mengganti kaus kaki seminggu sekali. Pesan moral dari cerita ini adalah, ketika ada bagian yang keliru tentu harus dihapus dan diperbaiki, kalau ada yang sudah lebih busuk dari kaus kaki yang belum pernah diganti, harus diganti dengan yang masih bersih meski tidak wangi.

Hidup Mahasiswa, dan salam pers mahasiswa!

Kategori
Diskusi

Menjadi Asing di Bumi Pertiwi

Wahai Cenderawasiku …..

Keindahan bulumu sangat mempesona

Bak sebatang emas terkena sinar matahari

Membuat mata sang elang membayangimu

Wahai Cenderawasiku……..

Kicauan suaramu yang begitu merdu

Memanggil semua makhluk mencarimu

Segala makhluk di bumi, seakan ingin memilikimu

Wahai Cenderawasiku……..

Pantaslah kamu berbangga hati

Mempunyai bulu indah

suara merdu

Tapi…

Ingatlah Cenderawasiku……

Bulu tubuhmu yang mempertahankan hidupmu

Kicauanmu yang mempertahankan keberadaanmu

Ketika semuanya itu habis

Kau akan ditendang

Kau akan diterlantarkan

Sepenggal puisi di atas rasanya tidak perlu saya jelaskan, sebab para pembaca yang akan menafsirkan. Pada tanggal 14-16 juli 2016, sebuah kejadian yang begitu memilukan terjadi di kota yang memiliki slogan “berhati nyaman” tersebut. Kota yang disebut sebagai City of Tolerance sekaligus yang menyadang kota pelajar,menjadi pusat perhatian nasional maupun internasional.” Hal tersebut dikatakan oleh Komisaris Komnas Ham, Natalius Pigai.

Mengapa City of Tolerance menjadi pusat perhatian dunia? Sebab kejadian yang terjadi pada tanggal 14-16 Juli 2016 tersebut, mengindikasikan adanya tindakan-tindakan oleh pihak kepolisian terhadap mahasiswa Papua yang melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Bukan hanya itu, Yogyakarta pada tanggal 15 Juli 2016 tepatnya, menjadi pusat tindakan rasial, diskriminatif, dan represif yang dilakukan oleh pihak ormas terhadap mahasiswa-mahasiswi asal Papua. Sementara polisi yang berada di tempat kejadian cenderung membiarkan.

Apakah Tugas Polisi?

Jika kita hendak bertanya, sebenarnya apa tugas Polisi? Apakah menjaga keamanan atau menjadi pelindung dan pengayom masyarakat Indonesia. Apakah menilang orang merupakan salah satu tugas primernya. Atau apa tugas sebenarnya?

Pertanyaan tersebut yang selalu melekat di benak setiap Warga Negara Indonesia. Tugas polisi dan kredibilitasnya di pertanyakan. Mengapa di pertanyakan? Supaya lebih jelas, baiknya kita mengangkat sebuah peristiwa berdasarkan kehidupan nyata (kontekstual) dan sesuai realita yang terjadi di lapangan.

Pada tanggal 15 hingga 16 Juli 2016 lalu, Polisi mengepung asrama mahasiswa Papua Kamasan I yang berada di Jl. Kusumanegara, Yogyakarta. Dalam pengepungan tersebut, Kapolda yang bekerjasama dengan Kapolresta, mengerakan kurang lebih seratus personel kepolisian dengan berpakaian lengkap bak pengandil yang “bijak”. Para Brigader Mobil (Brimob), berada pula di tempat kejadian menggunakan motor-motornya dan berpakaian lengkap, serta menyandang alat negara yang sering di salah gunakan. Tujuan dari pengepungan tersebut ialah, untuk mencegah Mahasiswa Papua yang hendak melakukan orasi di nol kilometer pada tanggal 15 juli 2016.

Mahasiswa Papua yang tergabung dalam Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Papua Barat (PRPPB) rencananya akan melakukan aksi pernyataan sikap pada tanggal 15 juli 2016. Berdasarkan pernyata dari salah satu mahasiswa Papua, acara tersebu terkait dengan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Melanesia Spearhead Group (MSG) di Honiara, Kepulauan Solomon pada 14-16 Juli. Di samping itu, aksi tersebut bertepatan dengan peringatan 47 tahun Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tanggal 14 Juli. Aksi yang akan dilakukan oleh Mahasiswa Papua tersebut, ternyata dibatalkan oleh pihak kepolisian dan ormas yang katanya adil dan menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila.

Pada hari pertama aksi, salah satu mahasiswa Papua mendapat luka di dahi akibat terkena pukulan rotan dari salah seorang pihak kepolisian. Hal tersebut terjadi ketika terjadi aksi saling dorong antara mahasiswa Papua dan pihak kepolisian.

Pada tanggal 15 juli 2016 saya sedang menjalankan tugas sebagai reporter, sekaligus menjalankan salah satu fungsi pers yang tercantum dalam UU Pers nomor 40 tahun 1999 BAB II (4) butir ketiga. Sayangnya saya mendapat perlakuan rasial dan intimidasi dari pihak kepolisian. Mengapa saya katakan demikian? Pertama saya diinterogasi dan kedua saya mendapat perlakuan kasar dari salah seorang aparat yang kemudian menanyakan identitas saya. Semua perlakuan tersebut disebabkan karena kulit saya hitam. Begitu ironis Pak Polisi yang “bijaksana”.

Pada saat saya diperlakukan demikian, rasa kekecewaan yang mendalam timbul di dalam hati saya. Pihak kepolisian yang seharusnya bertugas sebagai pelindung masyarakat, justru menjadi musuh bagi masyarakat sendiri.

Mengutip apa yang dikatakan oleh Komisaris Komnas Ham, Natalius Pigai, “Tak ada hak bagi negara untuk membatasi kebebasan berekspresi, berkumpul dan berpendapat.” Apa yang dikatakan Natalius Pigai benar adanya, sebab hak setiap manusia sudah ada ketika seseorang dilahirkan ke dunia. Seperti yang telah dikatakan, negara tidak mempunyai hak untuk membatasi apalagi menghalangi kebebasan berekspresi, berkumpul dan berpendapat, begitu pula polisi dan pemerintahan daerah.

Menurut premis saya, apa yang dilakukan aparat pada beberapa hari lalu, merupakan sebuah pengedukasian terhadap masyarakat Indonesia umumnya dan Jawa khususnya, tentang begitu berbahaya masyarakat Papua. Mengapa dikatakan demikian? Penerjunan personel yang begitu banyak, dan berpakaian lengkap serta membawa senjata, seakan-akan ingin mengatakan ke masyarakat umum bahwa, suasana pada saat itu benar-benar bahaya. Ironis sekali.

Kontribusi Mahasiswa Papua di Yogyakarta

Banyak pemberitaan yang mengatakan bahwa, anak-anak Papua makan dan tidak mau bayar. Adapula yang mengatakan anak-anak Papua tidak bayar kos. Semua pemberitaan maupun opini publik tersebut benar adanya. Akan tetapi, yang perlu diingat adalah, streotip yang diberikan oleh sekolompok masyarakat kepada masyarakat lain yang berbeda wilayah merupakan sebuah kesalahan yang fatal dan berbahaya. Mengutip perkataan Komisaris Komnas Ham, Natalius Pigai, “Setiap mahasiswa yang datang ke Yogyakarta memberikan kontribusi terhadap perekonomian daerah dan pemasukan APBD yang tidak sedikit (begitu pula mahasiswa yang berada dari kota lainnya).

Setiap anak yang datang ke Yogyakarta minimal membawa uang sebanyak lima sampai sepuluh juta, coba dikalikan saja”. Berdasarkan pernyataan tersebut, rasanya jika suatu kelompok masyarakat mengatakan bahwa kelompok masyarakat tertentu makan dan tidak bayar, merupakan kekeliruan yang besar. Jika ingin membuktikan secara lebih jelas, silakan dihitung, berapa jumlah anak Papua yang makan tidak bayar dan jumlah yang membayar. Perlakukan hal yang sama terhadap masalah yang ditimbulkan oleh anak Papua dengan kategori berbeda. Dengan begitu, anda akan mengetahui kebenarannya.

Streotip yang diberikan kepada sebuah kelompok masyarakat kepada masyarakat lain, jelasnya dilatarbelakangi oleh pandangan masyarakat terhadap kejadian yang terjadi di permukaan saja. Maksudnya, masyarakat kebanyakan entah berpendidikan maupun yang tidak memiliki kesempatan untuk memperoleh pendidikan, hanya melihat permasalahan yang terjadi di lingkungannya tanpa ada upaya untuk memverifikasinya, sehingga pemberitaan atau apa yang dilihat tersebut “ditelan” dengan bulat-bulat. Saya sebagai seseorang yang cukup lama berdomisili bersama masyarakat Papua, tahu persis sifat dan karakter mereka. Jadi jika boleh saya usulkan, jika kita ingin mengetahui kehidupan suatu kelompok masyarakat, haruslah kita mengetahui kebudayaannya dan bila perlu tinggal bersama-sama dengan mereka.