Kategori
Diskusi

Persma Butuh Lawan Tangguh

Sebagai sebuah pranata dan dan sebuah media massa, Persma punya modal sejarah dan berita yang berpotensi ledakan dalam gerakan perubahan. Dalam buku Anak Semua Bangsa yang ditulis Pramoedya sebagai potongan serial dari Tetralogi Buru, diceritakan potongan percakapan antara seorang wartawan senior De Locomotief dari Belanda, dengan Minke sang tokoh utama.

Pada obrolan keduanya diketahui tentang sebuah gerakan kaum terpelajar yang sedang besar di Filipina, sebuah gerakan pers yang keluar dari arus utama dan dimotori gerakan pemuda pelajar. Gerakan tersebut berusaha mengabarkan kenyataan yang disembunyikan pemerintah kolonial, dan diluar dugaan berhasil merubah iklim politik Negara-negara koloni di Asia.

Gerakan pers pemuda pelajar Filipina masa itu, kemudian menginspirasi gerakan pemuda Negara koloni di seluruh Asia termasuk Hindia Belanda. Disaat kemerdekaan gagal diupayakan dengan senjata, saat itulah pena harus mengambil perannya.

****

Karena tidak berniat melangkahi sejarah dalam memberi penjelasan, sehingga detail gerakan pers masa lalu tak perlu detil lebih jauh. Cukuplah perkara penjelasan sejarah yang seluruhnya dibebankan kepada pakar yang lebih berkapasitas.

Dalam diskursus teori kreativitas, pertanyaan jatuh pada “generasi emas sepanjang zaman” yang kemudian terjawab oleh “generasi yang tumbuh di masa perang.” Pada kajian konsep kreativitas, tekanan keadaan disebut-sebut sebagai faktor paling dominan. Sementara keinginan untuk segera lepas dari tekanan adalah motif yang mendasari sebuah gagasan ataupun gerakan.

Secara mendasar, tekanan keadaan dibutuhkan untuk memunculkan sebuah potensi hingga titik maksimal. Meminjam asumsi psikoanalisa, mengenai teritori kesadaran yang dipopulerkan Sigmund Freud lewat buku Introducing Psychoanalysis. Konflik id-ego-superego yang masing-masing mewakili kesadaran dorongan-kenyataan-keyakinan, akan menyeleksi informasi sebagai referensi dalam pengambilan keputusan.

Singkatnya, konflik yang terjadi antar teritori akan memaksa kognisi bekerja mencari pemecahan. Semakin sulit konflik dipecahkan, semakin banyak kognisi bekerja, semakin banyak pula pengambilan keputusan. Sehingga rangkaian keputusan yang dinilai gagal, akan menjadi evaluasi kognitif kemudian mengumpulkan seluruh informasi menjadi sebuah gagasan resolutif.

Rentetan pembungkaman persma yang belakangan terjadi, barangkali kemunduran bagi demokrasi. Tapi tidak bagi persma itu sendiri. Dari mengurusi pembangkangan terhadap kolonial,  sampai terlempar mengurusi pemberitaan remeh soal kegiatan ormawa. Persma tidak sedang mengalami kemunduran, hanya sedang mengurusi keadaan yang salah.

Bila harapannya, persma sebagai tonggak perubahan. Maka persma punya kewajiban untuk lekas menyembuhkan dari gejala disosiasi yang belakangan menaruh persma keluar dari arus balik. Persma mesti menyadari perannya sebagai sarana pengabaran alternatif, untuk  hal-hal yang enggan dikabarkan pers industri karena bakal mengganggu iklim investasi. Sementara bila persma memang diniatkan sejak awal oleh pegiatnya, semata demi melatih diri menulis dan menjadi jurnalis belaka. Rasanya industri media adalah tempat yang jauh lebih tepat.

Karena sebagai pers, dan sebagai mahasiswa. Persma adalah oposisi yang lengkap, wajah utuh dari independensi yang ideal. Posisi yang menganugerahkan bagi pegiatnya, tupoksi mengkoreksi minim potensi terkooptasi. Kooptasi kepentingan politik-ekonomi, dan tentu saja tabiat anti demokrasi. Kira-kira sejalan dengan petitih Tan Malaka “Idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki seorang pemuda.”

Meminjam pengakuan dari Alejandro Carpentin sebagai saran yang patut diterangkan pada akhir tulisan “menjalani hidup penuh resiko, jauh lebih bermakna ketimbang menunggu berkarung-karung tertigu dengan penuh kesalehan.” Ketimbang mengurusi soal pengabaran kegiatan kampus yang bersifat hura-hura. Persma perlu lebih banyak berurusan dengan lebih banyak resiko untuk memaksimalkan potensi. Barangkali bisa dengan menghadapi yang kualitas kolonial atau orde baru bila bernyali, atau minimal resiko kualitas ormas intoleran dan polisi, hingga yang paling dekat, resiko kualitas birokrasi.

Kategori
Diskusi

Lentera, Beredelforia, dan Popularitas di Belakangnya

Awal November 2015 lalu, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Lentera merilis majalah Lentera Nomor 3/2016 dengan judul “Salatiga Kota Merah”. Majalah yang melaporkan seputar peristiwa G30S dan pembantaian simpatisan PKI di Salatiga itu dianggap meresahkan masyarakat. Kemudian, tanpa keputusan pengadilan, majalah seharga 15 ribu itu diamankan oleh Polres Salatiga, Pengadilan Negeri, dan Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi (Fiskom) Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW).

Apa pertimbangan redaksi Lentera mengangkat tema tersebut? Saya harus cerita bahwa sebelum memutuskan untuk mengangkat tema tersebut, redaksi Lentera membaca laporan Tempo dengan tema yang sama. Judulnya: “Pengakuan Algojo 1965”. Dalam majalah tersebut, Tempo menyebut beberapa lokasi pembantaian di Salatiga. Karena hanya menyebut lokasi, saya dan beberapa awak redaksi lain penasaran untuk mengetahui lebih lanjut latar belakang dan kronologi pembantaian di Salatiga. Saya kemudian mengusulkan tema tersebut dalam rapat redaksi dan diterima.

Mengangkat tema tersebut adalah tepat. Mengingat beberapa bulan kemudian adalah momentum 50 tahun peristiwa 1965. Tentu saja, saya tidak menafikan diri bahwa tema tersebut punya potensi pasar yang sangat besar untuk segmentasi pembaca di Salatiga. Hal ini terbukti, seorang reseller membeli puluhan majalah tersebut dan menjualnya dua kali lipat harga sebenarnya. Sebagai LPM yang dianggarkan dana tiga juta rupiah dari kampus per tahun, kebutuhan dana untuk operasional redaksi adalah hal yang tidak dapat ditolak.

Jadi, pertimbangan kami tidak seidealis, yang mungkin beberapa orang pikirkan. Tentu saja, kami sangat-sangat mendukung adanya rekonsiliasi korban 1965. Namun kami tidak pernah bermaksud untuk “meluruskan kembali penulisan sejarah” mengenai narasi besar peristiwa 1965. Buat apa diluruskan? Sejarah tersebut sudah lurus sejak awal reformasi, saat saya masih Kelas 2 SD. Naskah-naskah akademis yang menguak borok Orde Baru bermunculan. Makanya saya sangat setuju kalau majalah Lentera itu “tidak ada apa-apanya”. Apalagi dibanding laporan sekaliber Tempo itu. Duh!

Sekarang bukan waktunya “lurus-lurusan sejarah”. Bukan waktunya pula untuk “menolak lupa”. Lah, siapa yang bisa lupa tragedi berdarah tersebut? Berdasarkan beberapa penulisan di luar sumber teks resmi pemerintahan RI, terbukti bahwa PKI bukan dalang G30S dan simpatisan PKI dibantai besar-besaran sepanjang 1965-1968 oleh nafsu ekstrem kanan. Tentu ini merujuk pada penelitian Peter Dale Schott, Geoffrey Robinson, John Roosa, serta sumber-sumber lain seperti dirangkum dalam “Bayang-bayang PKI” yang diterbitkan ISAI, di Jakarta  pada 1995. Termasuk penelusuran redaksi Lentera terhadap korban-korban tragedi 1965 (eks anggota PKI) di Getasan dan Tuntang, Kota Semarang.

Sekarang adalah waktunya pengakuan kembali akan sejarah. Waktunya “menolak buta”. Nah, penerbitan majalah Lentera itu adalah bentuk ambil andil kami terhadap pengakuan sejarah 1965. Itu saja.

Rasa Perih Menjadi Populer

Semenjak berita pemberedelan majalah Lentera meroket, Lentera populer. Banyak yang berkunjung ke Salatiga dan mewawancarai saya. Saya diundang terus dalam berbagai diskusi dan seminar yang berkaitan dengan HAM. Saya senang, karena akhirnya saya mengalami perbaikan gizi. Ibu saya mengatakan bahwa saya nampak semakin gemuk. Terima kasih.

Hingga suatu ketika, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) mengadakan Dies Natalis ke-23 di Semarang. Dalam sesi diskusi pembuka kegiatan tersebut, saya menjadi pembicara. Seseorang dari Dewan Kota Makassar, meminta konfirmasi kepada saya. Apakah benar bahwa majalah tersebut sengaja diterbitkan untuk mencari popularitas. Saya lemas mendengarnya. Selesai diskusi, tanpa pamit saya langsung balik ke Salatiga.

Yang menurut saya ironis, secara bersamaan saat diskusi para peserta Dies Natalis mengeluhkan lesunya gerakan pers mahasiswa belakangan ini. Beberapa orang bahkan beranggapan bahwa sudah saatnya pers mahasiswa memformulasikan strategi agar pers mahasiswa semakin didengar dan diperhitungkan. Lah, Lentera diberedel sampai populer, kok malah dianggap mencari sensasi? Jangan salahkan kalau Lentera populer karena diberedel.

Walau bukan tujuan utama, kita jangan malu untuk mengakui bahwa di balik “beredelforia”, intimidasi, pembubaran diskusi atau bedah film, nama masing-masing pers mahasiswa akan terangkat. Ketika saya di Jakarta,Bagir Manan, Ketua Dewan Pers bahkan mengatakan Lentera harusnya bersyukur karena telah diberedel. Seorang anggota AJI bahkan dengan enteng berkata bahwa diberedel itu menjadi cita-cita pers mahasiswa. Ketika masih menjadi jurnalis mahasiswa, ia sengaja cari gara-gara supaya diberedel. Kalau sudah diberedel, berarti hebat. Apalagi di era reformasi ini, beredel adalah sesuatu yang nyaris tidak mungkin. Akhirnya, semuanya berburu beredel.

Memang, ketika Orde Baru, pers mahasiswa yang nakal-nakal itu banyak yang diberedel. Dan akhirnya reformasi membawa angin tersendiri untuk membawa kemana pers mahasiswa berlayar. Menurut saya, ketika Soeharto mundur, pers mahasiswa sudah kehilangan musuh alaminya. Ketika pers mahasiswa kehilangan musuh alaminya, ia menjadi lemah. Gelombang pembredelan Lentera, juga UKM Media, dan Poros, seharusnya dijadikan momen untuk memperkuat kembali posisi pers mahasiswa yang selama ini terlokalisasi di dalam kampus.

Dan kalau kalian populer karena diberedel, ingat, itu bonus!

Kategori
Diskusi

Bangun Kekuatan Bangkitkan Semangat Juang Pers Mahasiswa

Dulu kita mendengar suara-suara para aktivis pers mahasiswa berteriak menyuarakan kebobrokan pemerintah, bicara lantang akan nasib rakyat miskin kota yang terus ditindas, dirampas haknya sampai diperkosa hasrat dan harga dirinya. Pena menjadi senjata yang mematikan untuk menusuk hati dan pikiran para pemangku kekuasaan yang fasis dan terus mencekam rakyatnya. Lembaran-lembaran hasil reportase yang disebarkan kepada rakyat menjadi medium yang sangat efektif untuk menyadarkan rakyat akan kondisi bangsa Indonesia.

Pada masa Orde Baru (1971-1980) kehidupan perpolitikan yang awalnya dirasakan liberal bergeser ke authoritarian yang mengingkan semua aktivitas politik berada di tangan kekuasaan pemerintah dan hal tersebut juga berefek pada aktivitas pers mahasiswa yang kemudian lahir gagasan Back to Campus. hal tersebut dikarenakan pemerintah tak kuasa menyaksikan gerakan pers mahasiswa yang terus mengontrol dan mengkrtik mereka yang tak becus dalam mengurus negara.

Pada tahun 1978  dikeluarkanlah konsep NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kamapus / Badan Koordiansi Kemahasiswaan)  oleh pemerintah guna meredam aktivitas pers mahasiswa di luar kampus yang selalu mengawasi kinerja mereka. Bagi pers mahasiswa yang tidak taat pada aturan, konsekuensinya adalah dibredel atau dihentikan segala bentuk aktivitasnya, Dari hal itu kemudian kasus pembredelan pers mahasiswa kian marak.

Suasana yang mencengakan tersebut sempat digambarkan  oleh  Amir Efendi Siregar (1983), ia mengatakan bahwa kondisi pers mahasiswa harus dihantam dengan keras agar diam,  keberanianya merefleksikan kenyataan yang hidup dan melontarkan kritik sosial yang tajam, pers mahasiswa harus dibredel oleh penguasa.

Kini, di zaman demokrasi, di mana semua berhak untuk menyampaikan pendapat dan melampiaskan ekspresinya dan itu dilindungi oleh Undang- Undang ternyata masih saja ada peristiwa pembungkaman pers mahasiswa. dunia yang sudah masuk pada era  keterbukaan informasi dan perkembangan teknologi ternyata gaya Orba masih saja melekat di otak birokrat, niat busuk untuk membelenggu pers mahasiswa kian nyata. Pola yang diterapkan untuk membungkam tak jauh beda dengan model Orba. Jika membangkang dari aturan maka Ancamanya tentu tak main-main, seperti pembredelan, pembekuan struktur lembaga, Drop Out (DO) sampai pada pemidanaan aktivis pers mahasiswa.

Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) mencatat pada kurun waktu 2015-2016 sekitar 12 kasus lembaga pers mahasiswa yang mengalami tindakan kekerasan oleh pejabat kampus dan lembaga Negara. Ini sungguh fenomena yang sangat mengerikan. Kejamnya mereka yang melakukan tindakan pengekangan dan perlakuan yang sewenang-wenang terhadap pers mahasiswa tidak bisa dibenarkan dan hal tersebut melawan hukum . padahal Negara menjunjung tinggi prinsip demokratis, sesuai dengan pasal pasal 28, 28 ayat (2) dan (3) serta pasal 28 F yang merupakan jaminan perlindungan terhadap kehidupan demokrasi yang sehat dan Negara hukum yang berdaulat. Dalam ranah perguruan tinggi-pun sudah dia atur dalam  undang-undang dasar no 12 tahun 2012 pada pasal 8 dan 9 yang sudah sangat jelas menjamin  adanya kebebasan mimbar akademik  dan otonomi keilmuan yang kemudian Pimpinan Perguruan Tinggi bertanggungjawab untuk melindungi segala aktivistas dan pelaksanaan kebebasan mimbar akdemik.namun masih saja ada tindakan kekerasan yang menjamur. Ini adalah sinyal jika pers mahasiswa sudah darurat akan kekerasan.

Akankah kita akan diam dan menyaksikan peristiwa ini terus-menerus tanpa ada tindakan yang kongkret? Apa yang mesti kita perbuat ketika hak dan jaminan kebebasan di perguruan tinggi dirampas dan dikekang dengan tindakan yang berlebihan? Kita harus menyadari serta melakukan perlawanan akan kebiadaban para birokrat fasis yang mengekang kebebasan berekspresi dan berpendapat mahasiswa.

Kita memang tidak bisa membalik sejarah, namun kita perlu belajar pada sejarah. Tujuan pers mahasiswa lahir adalah untuk menyampaikan kebenaran dan mengontrol kebijakan para pemangku kekuasaan. Sebagai aktivis pers mahasiswa, kita perlu sadar akan kondisi pers mahasiswa kini, keberadaanya sangat mengkhawatirkan, perlu dorongan kekuatan bersama untuk menyelamatkan pers mahasiswa dan mempersiapakan generasi yang akan datang.

Untuk kita perlu mewujudkan pers mahasiswa yang egaliter, progresif dan revolusioner guna membangun pondasi pers mahasiswa dengan konsep berjejaring yang perlu kita kuatkan dan rawat, Solidaritas yang perlu dibangun, sampai pada sikap kritis melihat kondisi bangsa dan Negara perlu dipertahankan.

Sudah saatnya pers mahasiswa menyuarakan anti pembungkaman, sudah saatnya pers mahasiswa melawan segala bentuk penindasan, dan sudah saatnya pers mahasiswa bangkit dari ketidakberdayaan melawan tirani penguasa kampus. Bara api tak akan pernah padam di tubuh pers mahasiswa. Jika bara apa tersebut menyatu tentu saja akan menjadi api yang lebih besar yang dapat membakar manusia-manusia yang anti terhadap demokrasi, gerakan intoleransi, sampai penghambat semangat intelektualitas. Gerakan pers mahasiswa harus kita munculkan kembali sebagai sebuah ruang untuk menyelematkan generasi mahasiswa dan melawan tindakan fasisme yang berkembang akhir-akhir ini.

Maka dari itu, pada momentum Rapat Pimpinan Nasional (RAPIMNAS) Perhimpunan Pers Mahasiswa Indoensia (PPMI) ini kita jadikan sebagai ruang untuk menyatukan pandangan dan memetakan basis perjuangan pers mahasiswa serta memperkuat barisan di tengah kemerosotan intelektualitas pejabat kampus di ranah perguruan tinggi serta fenomena penghancuran demokrasi di negeri ini. Satu orang tidak akan mampu melawan penguasa, namun seribu orang akan meruntuhkan tirani. Maka kita perlu semua elemen pers mahasiswa bersatu dan bergerak bersama-sama.

Seperti ungkapakan Pramoedya Ananta Toer pada roman Larasati  “Revolusi atau perjuangan apa saja bisa lahir dan mencapai keagungannya kalau setiap pribadi tampil berani”.

Kategori
Diskusi

Kampus, Masa Gitu?

Konon setelah Plato membeli halaman kuil Hekademos dari uang tebusan atas dirinya yang akan dijual sebagai budak oleh seorang tiran, kemudian Plato mendirikan Academia, universitas atau kampus modern pertama di abad 6 SM. Konon Plato juga menulis kalimat “Propopuli Discimus” di pintu gerbangnya. Kira-kira terjemahan bebasnya adalah kita belajar untuk rakyat.

Arti secara filosofisnya adalah kita belajar untuk menemukan kebenaran (keilmuan) dan diabdikan pada kepentingan masyarakat luas. Aktivitas dalam kampus tidak lain merupakan perburuan kebenaran keilmuan dan pengabdian pada kehidupan umat manusia. Tidak heran jika kampus selalu dipercaya menjadi pusat persemaian intelektualitas yang berkontribusi pada dunia kehidupan kemanusiaan. (Listiyono Santoso, Kampus dan Tanggung jawab Intelektualitas, Jawa Pos, 02/04/2016)

Kampus juga dikenal sebagai tempat berkumpulnya orang-orang pintar, para intelektual, bahkan para filsuf. Tingkat keleluasaan berpikir kelompok itu lebih tinggi jika dibandingkan dengan masyarakat biasa. Oleh karena itu, dikenal istilah-istilah seperti kebebasan akademik, kebebasan mimbar, dan otonomi universitas. Namun seiring perkembangan jaman dan merajalelanya pragmatisme di berbagai sektor kehidupan, kini tak banyak lagi yang peduli terhadap asas pendidikan tinggi, berikut kebebasannya.

Indikasinya terang benderang bagaikan siang; pelarangan diskusi LGBT di Fakultas Hukum (FH), Universitas Diponegoro, dihalanginya agenda pemutaran film Alkinemokiye dan Samin versus Semen oleh pejabat dekan Fakultas Ilmu Administrasi (FIA), Universitas Brawijaya, pembekuan Media Unram oleh rektor Universitas Mataram, dan yang masih segar adalah wacana pembekuan Lembaga Pers Mahasiswa Poros Universitas Ahmad Dahlan. Seperti yang di tulis pada kanal online Poros dan Persma.org, Abdul Fadlil selaku Wakil Rektor III menilai LPM Poros sudah keterlaluan dalam pemberitaannya. Dia menambahkan bahwa LPM Poros tidak ada manfaatnya bagi kampus. Seakan tak puas, wakil rektor menganggap bahwa LPM Poros sudah merugikan kampus yang mendanai kegiatannya selama ini.

Pernyataan Fadlil tentu saja sangat keblinger, mengingat dia adalah seorang pejabat sekaligus pengajar sebuah kampus terkemuka di Yogyakarta, karena apa yang dikatakannya akan mengandung dampak tertentu. Beda cerita ketika perkataan tersebut diucapkan oleh  penjual es cendol di depan SD Inpres, tak jadi masalah.

Pejabat sekelas wakil rektor mestinya paham betul bahwa secara moral-politik, kritik sekeras apa pun dari mahasiswa harus dipandang sebagai kontrol terhadap kekuasaan. Kritik itu sesuatu yang pahit, bukan hal yang menyenangkan seperti menenggak bir dingin di pinggir pantai saat hari sedang panas-panasnya. Akan tetapi, kritik niscaya akan menjadi umpan balik untuk melangkah ke depan. Begitu kata salah satu tokoh dalam novel “Perang” karya Putu Wijaya.

Dengan bertambah panjangnya daftar pembungkaman kebebasan berpikir di kampus, para penguasa kampus juga seperti gagal paham membaca zaman. Karena dengan adanya media sosial telah membuat era kampus sebagai menara gading telah berakhir. Penguasa tertinggi di kampus jangan sekali-kali membayangkan bahwa setiap tindakan represi, sekecil apa pun, dapat diproteksi dari penciuman publik. Perkembangan dunia maya telah memungkinkan setiap informasi, serahasia apa pun, dapat menyebar dan menuai tanggapan publik. Setiap arus kecil yang bertentangan dengan nurani dan keadilan bisa mengundang gelombang arus balik publik yang jauh lebih besar.

Dalam beberapa kasus, seperti pada kasus pembekuan pers mahasiswa Poros, publik bukan hanya akan terpancing untuk menyelamatkan si lemah yang menjadi obyek kezaliman penguasa kampus. Mereka justru akan menelisik obyek yang dikritik. Kalau kritik itu berkaitan dengan penyelewengan penggunaan anggaran, pembungkaman kritik tentu akan memantik tuntutan pengungkapan penyelewengan yang mungkin terjadi. (Halili, Menyelamatkan Gerakan Mahasiswa, Kompas, 12/01/2016)

Anti Kritik

Robertus Robet, Sosiolog di Universitas Negeri Jakarta, pernah menulis artikel berjudul ‘Anti Intelektualisme di Indonesia’ di harian Kompas. Menurut Robertus, negara kita sedang terjangkit gejala penyakit anti intelektualisme. Anti intelektualisme, menurut Robertus adalah gejala penolakan atau setidaknya perendahan terhadap segala upaya manusia untuk mengambil sikap reflektif, berpegang konsep, ide, atau pemikiran, dan perendahan terhadap mereka-mereka yang bekerja di dalamnya. Dalam praktik, anti intelektualisme sering didasari primordialisme dan sikap gampangan.

Anti intelektualisme juga pada dasarnya adalah anti pikiran dan anti kritik. Hilangnya sikap rigid, kritik, meluasnya kompromi, menguatnya anti rasionalitas secara perlahan akan mempengaruhi dunia pendidikan dan pembentukan kebudayaan serta melahirkan tumpukan generasi medioker.

Nah, sikap anti kritik inilah yang akhir-akhir ini sering dipertontonkan beberapa petinggi kampus. Padahal, gelar akademis mereka berderet panjang layaknya gerbong kereta api. Celakanya lagi, menurut Robertus, salah satu penyebab merebaknya gejala anti intelektualisme adalah universitas. Paradoksal sekali bukan?

Kenapa? karena dalam situasi di mana universitas secara politik dan ekonomi menjalin hubungan ketergantungan dengan orang-orang kuat, kultur akademik yang kritis redup digantikan dengan kompromi dan pengendalian.

Kampus-kampus di Indonesia belakangan juga ‘kosong’ sebab para dosen melakukan eksodus dalam tiga bentuk. Pertama, dosen-dosen itu bereksodus dari profesi kedosenan. Banyak dosen berpindah menjadi pengurus partai politik atau pejabat pada birokrasi pemerintah. Meskipun ada banyak dosen cum politisi-birokrat itu akhirnya berlabuh di penjara karena korupsi, hasrat untuk hijrah ke pusaran kekuasaan terus meluas.

Kedua, eksodus dosen dari niat dan orientasi kehidupan intelektual. Sebagian dosen yang tetap di kampus umumnya tak lagi berniat menjadi intelektual, tetapi pejabat struktural kampus. Orientasinya bukan lagi karya penelitian, publikasi ilmiah, dan pelayanan bermutu kepada mahasiswa, melainkan posisi manajerial.

Ketiga, eksodus dosen dari profil dan watak kecendekiawanan. Mereka umumnya semakin tidak menunjukkan gereget kerja akademik yang menginspirasi. Sebagian menjalani profesi kedosenan sebagai business as usual dengan menjadikan tuntutan administratif karier (kepangkatan, sertifikasi, lembar kinerja) sebagai acuan produktivitas tertinggi dan satu-satunya. (Agus Suwignyo ,Kosongnya Kampus Kita, Kompas, 30/10/2013)

Jika keadaan terus-menerus seperti ini, rasa-rasanya kampus akan semakin sulit untuk kita harapkan menjadi lokomotif moral dan intelektual bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa dan negara.

Kategori
Diskusi

Perangai Orbais Birokrat Pendidikan Kita

Yogyakarta adalah mimpi bagi kebanyakan pelajar sekolah usai kelulusan, termasuk saya. Anak mana yang tak bermimpi melanjutkan kuliah di Yogya? Tersohor sebagai kota pendidikan dengan ratusan perguruan tinggi dan puluhan ribu mahasiswa, tumplek blek jadi satu. Ratusan kios buku keren, perpustakaan terbesar se-Asia Tenggara, angkringan murah, seniman serta sastrawan bertebaran, penduduk lokal yang sumeh-sumeh, dan apa-apa yang perlu kita cari dari dunia yang fana ini semua ada di Yogya.

Setelah usaha berdarah-darah yang ternyata tak juga sanggup mengantarkan saya menjadi seorang mahasiswa Yogya, Malang menjadi kota alternatif. Meski sudah 3 tahun lebih berusaha mengakarkan diri di Malang, Yogyakarta dan segala ekspektasi tentang kota pendidikan yang ideal itu tak pernah hilang. Semasa kuliah, saya masih sering plesiran sambil Menyuburkan kembali harapan agar suatu hari dapat menuntut ilmu di Yogyakarta. Entah ilmu macam apa.

Namun beberapa hari lalu, saya tercekat saat mendapat kabar teman dari seorang mahasiswa Yogyakarta. Ia memberi kabar buruk. Sebuah lembaga pers mahasiswa di Yogyakarta, LPM Poros dibredel dan dibekukan oleh birokrat kampus, oleh jajaran orang-orang terhormat di Universitas Ahmad Dahlan, hanya karena membuat berita tentang kebijakan kampus. Saya kira hanya bercanda! Bagaimana bisa daerah beridentitas kota pendidikan itu punya pejabat-pejabat kampus dengan mental anti-kritik.

Saya berusaha menabahkan diri menerima realita, tidak Yogyakarta, tidak Malang, Mataram, Salatiga, Jakarta, ataupun Makassar. Nafas pendidikan kita penuh sesak dengan orang-orang yang bermental a la Orde Baru warisan Soeharto. Yogyakarta dan segala perangai manisnya, seperti laki-laki, sama saja! Di kota impian itu, bercokol pula pendidik-pendidik yang tak paham apa makna kritik, hingga mucul ucapan “tak bermanfaat” atau “itu cuma simulasi” dari mulut manis para pejabat pendidikan tinggi.

Saya heran, mengapa para pejabat pendidikan itu demikian tuli dan peduli setan dengan kritik yang dilontarkan mahasiswa. Memang wajah pendidikan kalian sudah sebaik apa, sampai tidak mau masuk pada kontestasi diskursus yang adil?

Adalah sebuah ungkapan yang sangat memalukan dari mulut seorang pendidik jika pers mahasiswa dianggap tidak bermanfaat karena hanya bisa mengkritik. That’s just how democracy work. Pers berperan menciptakan sebuah ruang diskursus yang adil, membentuk suatu ruang publik yang emansipatoris dan membebaskan masyarakat dari false consciousness. Tentu sangat memalukan jika seorang rektor atau wakilnya tak tahu soal demokrasi.

Tapi saya kira anda tidak mungkin tidak tahu, bapak-ibu yang terhormat hanya menutup mata. Sambil membuat situasi se-kondusif mungkin. Pengetahuan ternyata memang hanya milik mereka yang berkuasa, ya? Bukan untuk kami yang kecil ini. Lihat saja ketika kawan-kawan pers mahasiswa, lembaga yang tumbuh di akar rumput, berusaha menguak kebenaran yang mengusik kursi nyaman kalian, kami dibungkam. Sangat represif. Kejam dan dingin.

Beginikah kalian para pendidik memperlakukan pengetahuan. Kalian kemanakan butir pertama Tridharma perguruan tinggi itu? Pendidikan dan pengajaran. Pendidikan macam apa yang kalian doktrinkan pada kami jika kalian sendiri tak berani jujur pada kebenaran. Apakah kami yang menuntut kebenaran ini yang salah didik?

Jika ditelisik lebih jauh, keroposnya Tridharma kita itu tidak hanya pada butir pertamanya. Butir kedua tentang penelitian dan pengembangan, belakangan ini lebih populer sebagai kerja proyekan instansi-instansi besar untuk memperoleh legitimasi akademik, tanpa mengukur kelayakannya. Penelitian diperjualbelikan, nama besar kampus dijadikan stampel. Belum lagi butir ketiga tentang pengabdian masyarakat, yang pada beberapa kampus dinegosiasikan menjadi pengabdian korporat.

Sudah keropos sana-sini kok masih anti-kritik dan merasa maha benar. Mau tidak mau memang harus kita akui, nafas pendidikan kita makin pendek dengan banyaknya pendidik hipokrit macam ini. Kawan-kawan yang mengupayakan untuk memperpanjang nafas pendidikan kita dengan menciptakan ruang publik yang diskursif seperti LPM Poros, malah dipenggal oleh birokratnya sendiri, birokrat bermental orba yang menilai bahwa upaya kawan-kawan mahasiswa hari ini tak bermanfaat. Lembaga pendidikan ternyata sama bobroknya dengan lembaga negara lainnya. Upaya penegakkan Tridharma yang makin tak jelas arahnya malah dianggap “tidak membawa manfaat”.

Kalau sudah begini apa lagi yang bisa kami lakukan selain upaya agitasi dan propaganda untuk menuntut keadilan. Sementara dewan pers yang harusnya menjadi tempat kami berlindung masih sibuk dengan pertanyaan, apakah pers mahasiswa berhak menggunakan UU Pers? Oh kawan-kawan pers mahasiswa yang baik hatinya, sementara ini yang bisa kita lakukan hanya memperluas serta merawat pembaca dan jaringan.

Hingga ketika upaya represif tak berperikemanusiaan macam ini muncul, akan banyak orang yang berteriak: Lawan!!! Sejauh ini saya masih meyakini Sajak Suara karya Wiji Thukul yang maha syahdu ini:

suara-suara itu tak bisa dipenjarakan

di sana bersemayam kemerdekaan

apabila engkau memaksa diam

aku siapkan untukmu: pemberontakann

Kategori
Berita

Kronologi Pembredelan Pers Mahasiswa POROS Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta

Selasa (26/4) sekitar pukul 14.00 WIB, Lalu Bintang Wahyu Putra selaku Pimpinan Umum Poros dengan tidak sengaja bertemu Abdul Fadlil, Wakil Rektor III, di lobby kampus. Di pertemuan siang itu Bintang mendapat teguran terkait pemberitaan di buletin Poros yang menurutnya sudah keterlaluan. Sebagai orang yang membidangi urusan kemahasiswaan dan alumni, Fadlil mengatakan dirinya sudah tidak bisa lagi membela Poros saat rapat para pimpinan Universitas.

Buletin Poros edisi Magang yang kedua mengangkat isu tentang pendirian Fakultas Kedokteran. Dalam berita itu ditulis bahwasanya kampus saat ini masih belum maksimal dalam fasilitas namun tetap membuka Fakultas Kedokteran. Berkat berita ini Fadlil kemudian mengatakan dia kecewa dengan Poros dan menuduh Poros sudah keterlaluan dalam pemberitaan.

Merasa tidak paham dengan apa yang dikeluhkan, Bintang kemudian menawarkan Fadlil untuk bertemu guna membahas lebih rinci bagian mana yang menjadi keberatan dalam pemberitaan. Siang itu kami sepakat untuk bertemu lagi keesokan hari di ruangannya.

***

Rabu (27/4) sekitar pukul 12.30 Bintang bersama Pemimpin Redaksi Poros Fara Dewi Tawainella, datang menemui Fadlil di ruangannya. Masih dengan topik yang sama di hari sebelumnya, Fadlil mengungkapkan ketidakterimaannya dengan berita Fakultas Kedokteran tersebut. Dia mengatakan beberapa laporan antara wawancara dan yang ditulis kurang sesuai.

Awal pembicaraan Fadlil hanya mengatakan banyak komplain terkait Poros kepadanya. Namun ia tidak mengatakan spesifik yang dipermasalahkan. Dia mengatakan kenapa Poros selalu memberitakan kejelekan-kejelekan tentang kampus. Kenapa prestasi-prestasi mahasiswa tidak pernah diberitakan. “Masak bapak tu mendanai kegiatan yang seperti itu, yang tidak mengangkat UAD justru melemahkan, ini yang selalu saya dengar,” begitu kata Fadlil.

Fadlil juga mengatakan bahwa Poros tidak ada manfaatnya bagi Universitas. Jika memang tidak ada manfaat tidak apa-apa, asalkan jangan merugikan. Selain itu, pola pikir Poros dalam pemberitaan perlu diluruskan. Fadlil merasa kampus selama ini rugi telah mendanai kegiatan Poros karena tidak pernah memberitakan hal positif tentang kampus. Fadlil meminta kami untuk memberitakan hal-hal positif seperti prestasi mahasiswa agar bisa mendongkrak citra kampus.

Fara waktu itu menanggapi pernyataan Fadlil dengan bertanya bagian mana dalam berita yang menjadi keberatan kampus. “Bagian mana yang dipermasalahkan? Sisi kejurnalistikan atau yang mana pak?” tanya Fara. Ia melanjutkan jika memang ada data yang tidak sesuai atau reporter Poros salah dalam melakukan kerja jurnalistik tolong disampaikan. Namun Fadlil tidak menjawab dengan data atau fakta.

Dia tetap mengatakan bahwa tidak terima dengan berita Fakultas Kedokteran tersebut. Fara kemudian melanjutkan jika memang pihak kampus tidak terima dengan berita bisa menggunakan hak jawabnya. Fara bahkan menjelaskan prosedur jika publik keberatan dengan isi berita.

Fadlil menyatakan apa yang ditulis dalam berita adalah opini Poros, bukan tanggapan narasumber. Hal ini karena ada dosen yang menghubungi rektorat dan menyampaikan tidak mengatakan seperti yang tertulis dalam buletin Poros. Padahal Poros memiliki bukti rekaman dan transkip seperti apa yang tertulis dalam buletin.

Karena jawaban Fadlil dirasa melebar kemana-mana, Bintang menyarankan untuk memperjelas keluhannya. Apakah keluhan tersebut dari segi jurnalistik atau organisasi. Jika yang dikeluhkan adalah berita maka sebutkan poin mana saja yang menurutnya tidak sesuai.
Dalam pertemuan di ruangannya itu, Bintang dan Fara telah mengulangi pertanyaan yang sama sekitar enam kali. Namun tetap tidak menemukan jawaban yang jelas, yakni tidak terima dengan isu yang diangkat di berita. Fadlil tidak terima dengan berita Fakultas Kedokteran lantaran katanya kampus telah berusaha selama empat tahun untuk mendapat izin pendirian.

Fadlil mempertanyakan pola pikir Poros yang tidak mengangkat prestasi mahasiswa. Ia mengatakan tidak bermaksud membenci Poros. Namun karena ia adalah pembimbing di bidang kemahasiswaan.

“Jangan sampai anda pada jalan yang tidak betul,” ujar Fadlil.

Saat itu juga Fadlil mengatakan “Sudah ada intruksi kegiatan (Poros) diberhentikan.”
Bintang dan Fara mempertanyakan pertimbangan. Fadlil menjawab hanya keberatan atas apa yang diberitakan oleh Poros. “Hanya tadi itu, maka anda perlu berusaha meyakinkan pimpinan yang lain. Anda kirim surat permohonan maaf. Anda dianggap selama ini tidak memberikan manfaat,” tuturnya.

Di akhir pertemuan Fadlil mengatakan bahwa Poros telah dibekukan kegiatan organisasinya di kampus. Artinya Poros sudah tidak bisa melakukan kerja jurnalistik dan rangkaian kegiatan organisasi lainnya. Pembekuan hanya dengan pertimbangan ketidaksukaan terhadap isu yang diangkat dan Poros dianggap melemahkan kampus serta tidak bermanfaat. Dia juga menambahkan dirinya sama sekali tidak membenci Poros, namun apa yang dia sampaikan merupakan hasil rapat dengan jajaran Rektorat.

***

Kamis (28/4) sekitar pukul 10.00 WIB Bintang datang ke Biro Mahasiswa dan Alumni (BIMAWA), lembaga yang menaungi urusan pendanaan kegiatan organisasi mahasiswa. Kedatangan Bintang bertujuan menanyakan proposal kegiatan yang ia masukan ke BIMAWA tanggal 26 April. Hendro Setyono, kepala Kepala Bidang Kemahasiswaan dan Alumni, waktu itu mengatakan proposal kegiatan Poros tidak bisa diproses karena telah berstatus dibekukan oleh Rektorat. Bintang kemudian bertanya kenapa tidak bisa diproses sedangkan SK pembekuan belum keluar? Hendro menjawab ini intruksi lisan dari Rektorat. Di kesempatan ini Hendro juga menyampaikan hal senada dengan Fadlil bahwa Poros selalu menjelek-jelekkan kampus dan menuduh kami yang ada di Poros tidak suka dengan UAD.

***

Jumat (29/4) sekitar pukul 10.00 Bintang beserta Fara datang ke ruang Rektorat untuk menemui Safar, Wakil Rektor II. Kedatangan kami bertujuan untuk menanyakan kembali niat rektorat membekukan Poros. Namun waktu itu penerima tamu mengatakan Safar sedang ada rapat. Bintang memutuskan untuk menemuinya lagi sehabis shalat Jumat.
Sekitar pukul 12.00 WIB Bintang menunggu Safar keluar dari masjid kampus. Setelah keluar Bintang menghampirinya dan menanyakan alasan kampus membekukan Poros. Berbicara sambil berjalan, tidak terasa kami telah tiba di ruang rektorat. Waktu itu Fadlil juga sedang berada di ruangannya. Mengetahui hal itu Safar kemudian mengajak Bintang masuk ruangan Fadlil. Akhirnya kumpulah kami dalam satu ruangan.

Tidak jauh berbeda dengan Fadlil, Safar mengatakan apa yang kami lakukan (Baca: beritakan) adalah salah. Safar bahkan mempertanyakan pertanggungjawaban Poros di akhirat nantinya. Mereka menakutkan jika anggota Poros lulus dari kampus kemudian akan berada di jalan yang salah. Fadlil dengan suara menghardik dan hentakan tangan di meja berujar bahwa kami telah keterlaluan dan pemberitaan kami justru meruntuhkan kampus.
Berdasar pertimbangan ini, kampus tetap berupaya membekukan Pers Mahasiswa Poros. Safar mengatakan Poros sudah tidak bisa melakukan kegiatan apapun di kampus meski belum ada SK. Safar melanjutkan pembekuan ini instruksi rektor dan SK sedang dalam proses.

Narahubung:

Lalu Bintang Wahyu Putra (Pimpinan Umum +6285740216471)
Fara Dewi Tawainella (Pimpinan Redaksi +6285254968851)

Kategori
Diskusi

Pers Mahasiswa dan Segala Kengeriannya

Membaca tulisan dari seorang teman tentang gaya penyajian berita di media Tegalboto cukup membuat tidur saya kurang nyenyak. Kegiatan kami selama ini, menyusun media kepada pembaca dengan proses yang cukup panjang, mulai dipertanyakan. Proses editing semalaman, dengan sebotol kopi pahit dan beberapa linting rokok agar teman-teman saya bertahan tanpa tumbang demi menjamin tulisan yang layak diterima oleh pembaca, dipertaruhkan. Bahkan butuh berhari-hari, tulisan itu disunting dan diperbaiki lagi. Lalu seseorang mengatakan jika berita yang kami buat disajikan dengan ‘banyak gaya’.

Saya mulai bertanya-tanya. Gaya apa yang dimaksudkan dalam tulisan tersebut? Saya sebagai orang awam yang masih butuh banyak belajar mulai kembali membuka-buka materi yang pernah saya pelajari waktu masih menjadi anggota magang kala itu.

Setiap berita memang memerlukan gaya yang berbeda dalam penyajiannya. Sebut saja Straight News dan Features, atau mungkin penulisan opini dengan berita di media buletin yang kami terbitkan secara rutin. Mereka memerlukan gaya penulisan yang berbeda, dengan tetap mempertahankan kelengkapan isinya. Bukan berarti karena berbentuk Features, maka diksi yang digunakan mendayu-dayu, atau mungkin karena Straight News kami bisa memasukkan data-data seenaknya tanpa mempertimbangkan keluwesan kata-kata yang digunakan. Sekali lagi saya masih bingung ‘banyak gaya’ yang dimaksudkan itu gaya yang seperti apa?

Setiap media yang kami susun memiliki karakteristiknya masing-masing. Dari majalah, Newsletter, yang akan diluncurkan Sabtu ini, hingga buletin yang diterbitkan memiliki ciri sendiri yang membuatnya berbeda satu sama lain. Tidak perlu kami berkoar-koar tentang gaya yang kami gunakan di setiap tulisan yang ada di media tersebut. Kami sudah berusaha memastikannya agar sampai di tangan pembaca dengan istimewa.

Jika hasilnya masih belum memuaskan mereka, maafkan kami yang tidak berpedoman pada permintaan pasar. Media kami bukan barang dagangan yang bisa dijadikan komoditas demi menguasai dan memenuhi permintaan pasar. Kami masih mempertahankan disiplin verifikasi, seni mempertanyakan kebenaran dengan proses berkelanjutan. Kami mencoba memahami hal yang disampaikan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku Sembilan Elemen Jurnalisme bahwa kebenaran adalah prinsip pertama, sekaligus sesuatu yang paling membingungkan. Tidak bisa sekali wawancara pada satu narasumber lalu menuliskannya begitu saja sebagai kebenaran.

Tidak perlu jauh-jauh berbicara tentang mau dibawa ke mana, genre apa yang paling ideal bagi pers mahasiswa, dan apa-apa yang diperjuangkan oleh mereka. Kita saja masih sering lupa memastikan apakah penulisan ejaan yang digunakan sudah sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Tentang penulisan kata ‘verifikasi’, misalnya yang kadang tertukar antara huruf ‘f’ dengan ‘v’. Sebagai salah satu anggota amatir yang setiap editing harus jeli mengoreksi tulisan kawan-kawan saya dari tanda titik, koma, hingga huruf-hurufnya, mata saya cukup merasa tersiksa dengan kejanggalan itu. Tapi saya masih memakluminya, penulis juga manusia. Atau mungkin si penulis sengaja menuliskannya untuk menciptakan suatu gaya yang berbeda, saya juga tak begitu paham maksudnya.

Berbicara tentang genre jurnalisme mahasiswa yang dianggap paling “ngeri”, sarapan saya pagi ini mulai terhenti sejenak. Jika dibandingkan dengan sejarahnya, gerak pers mahasiswa yang mulai mengabur memang sudah tidak bisa disamakan lagi. Namun juga tak bisa dipukul rata jika posisinya tak jauh beda dengan pers umum lainnya. Pers mahasiswa bukan karyawan yang bekerja demi gaji, sekalipun memiliki jam terbang yang berbeda dengan wartawan umum kebanyakan, mereka masih bisa teriak merdeka dari intervensi. Tiada pemilik modal yang bisa mengusik independensi. Mereka, termasuk kami, menulis untuk masyarakat, dengan sesekali nyambi nugas perkuliahan di sela kegiatan liputan. Maafkan jika kami masih berani berteriak sekeras ini.

Belajar bekerja di bawah tekanan dengan aneka media yang dihasilkan menjadikan setiap pers mahasiswa menemukan gayanya. Layaknya pers umum kebanyakan, pers mahasiswa juga bebas menentukan gayanya dengan pedoman pada kode etik jurnalistik. Bukan berarti mereka bekerja tak dibayar lalu tidak bertindak secara profesional. Hanya saja terkadang langkahnya masih sering tersandung batu di tengah jalan.

Tiap media punya gaya yang berbeda dan di situlah keunikannya. Ukuran ideal ataupun tidaknya suatu media bukan hanya dari gaya penulisannya, tapi juga bagaimana suatu media mampu menyajikan tulisan yang menyehatkan pembaca.

Kita hidup di negara yang bernafaskan keanekaragaman di dalamnya. Mengapa memaksa harus mengidentikkan sesuatu yang jelas-jelas memiliki irama yang berbeda? Jika ukuran berat badan ideal yang dimiliki seseorang harus berpatok dengan hasil dari selisih antara tinggi dan berat badannya, bukankah media, khususnya yang ada di pers mahasiswa, harusnya juga memiliki indikator?

Jurnalisme ideal atau yang sering disebut sebagai jurnalisme profesional yang lebih cenderung beraliran positivistik mempersyaratkan adanya obyektivitas dalam penulisan berita. Istilah obyektif dalam buku Sembilan Elemen Jurnalisme juga sering disalahpahami. Bukan wartawannya tapi lebih pada metodenya yang harus obyektif dalam menggali data.

Kenyataannya, setiap media punya cara membingkai berita untuk disajikan kepada pembaca dengan cara yang berbeda. Namun demikian, kita masih punya pedoman dan kode etik sama yang harus dipegang teguh, apapun bentuk media yang dihasilkan oleh pers mahasiswa.

Jika sudah tahu bahwa esensi jurnalisme adalah pada disiplin verifikasi, mengapa masih mempertanyakan gaya, identitas, ataupun arah pergerakannya? Semuanya penting namun jangan sampai kita melupakan hal-hal yang lebih mendasar. Benahi rasa, tingkat kebersihan, dan kesehatan masakanmu dulu, baru belajar bagaimana cara penyajiannya agar enak dipandang mata. Rasa sakit akibat keracunan memerlukan penyembuhan lebih lama daripada rasa sepat di mata saat melihat penampilan luarnya. Sesekali kita perlu belajar banyak membaca KBBI, sebelum memandang tulisan suatu media disajikan dengan ‘banyak gaya’.

Terimakasih atas perhatiannya. Biarkan saya melanjutkan sarapan dan tidur saya yang sempat terganggu sebelumnya.

Kategori
Agenda

Comminfest 2016: The New Spirit of Local Wisdom

Globalisasi, kemajuan teknologi dan lemahnya semangat memiliki negeri ini cukup berpengaruh menggeser kearifan lokal. Ketakutan akan kehilangan identitas diri jelas menjadi keresahan bagi kita semua sebagai bangsa. Melalui Comminfest 2016, Artriwara yang menjadi salah satu mata lomba di dalamnya mencoba menggali lebih dalam isu-isu tersebut. Dengan tema “The New Spirit of Local Wisdom”, kami ingin mengajak mahasiswa untuk menuangkan ide dan aspirasinya mengenai kearifan lokal bangsa yang kini mulai terkikis akibat perubahan zaman.

PENDAFTARAN & BRIEF ARTRIWARA 2016 resmi dibuka hari ini. Segera daftarkan tim mu!

Informasi lebih lanjut klik www.fisip.uajy.ac.id/comminfest. Twitter: @Comminfest / @TERASPersUajy. CP: 085729917233 (Benedith Maria).

Artriwara

Kategori
Diskusi

Memahami Karakter Jurnalisme Pers Mahasiswa

Setiap media, jika dibandingkan satu dengan yang lainya, akan kentara perbedaan bagaimana sebuah berita disajikan. Tempo misalnya, cenderung menyajikan berita dengan liputan-liputan mendalam. Membuka apa yang ditutup-tutupi, atau sebut saja bergenre Jurnalisme Investigasi.

Meminjam istilah komodifikasi, katakanlah pilihan genre jurnalisme ini ada sebagai “nilai jual” sebuah media. Semakin terjual, semakin dibaca. Semakin dibaca, maka semakin berpengaruh. Keluasan pengaruh itu yang kemudian dijadikan tolak ukur, sejauh mana salah satu peran jurnalisme, yakni kontrol sosial, dapat diwujudkan.

Tapi perlu diketahui, setiap genre punya pemetaan pasarnya sendiri. Kemudian penentuan pasar adalah politik redaksi. Bergantung kemana arah gerak media tersebut. Dari sekian banyak genre jurnalisme, jurnalisme mahasiswa bisa dibilang paling ngeri! Kalau eksis, genre jurnalisme yang satu itu sulit dicari definisinya.

Definisi Pers Mahasiswa
*Grafik hasil analisa menunjukkan tidak ditemukanya “Definisi Jurnalisme Mahasiswa” pada mesin pencari Daum.net. Data ini menggunakan margin error 0%.

Dari analisis saya pada 6 April 2016 mulai pukul 21:40 hingga 22:41 WIB, 0 data ditemukan terkait “Definisi Jurnalisme Mahasiswa”  pada mesin pencari Daum.net, mesin pencari populer berbahasa Korea Selatan.

Tapi dalam pandangan penulis, genre jurnalisme satu ini sulit didefinisikan. Setiap Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) punya cara yang berbeda-beda dalam menyajikan berita. Unit Aktivitas Pers Mahasiswa (UAPM) Inovasi misalnya, menyajikan berita kelompok marjinal dengan gaya narasi. Atau Unit Kegiatan Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Tegal Boto, menyajikan berita dengan banyak gaya.

Selain cara penyajian berita yang beragam di tiap LPM, pembeda antara jurnalisme mahasiswa dan genre jurnalisme lainya juga kabur, terlebih paska reformasi. Sebelumnya, pada masa orde baru, begitu mudah membedakan antara jurnalisme mahasiswa dan jurnalisme lain. Jurnalisme mahasiswa tajam ke atas, yang lainnya masih cenderung malu-malu luwak. Paska orde baru, keadaan mulai berubah. Semua sudah mulai tajam keatas. Dengan mulai samarnya pembeda jurnalisme mahasiswa dan jurnalisme lain, pendefinisian makin sulit dilakukan. Sekaligus arah gerak makin kabur.

Menurut paparan buku 9 Elemen Jurnalisme karya  Bill Kovach dan Tom Rosentiels yang dikutip Andreas Harsono. Disiplin verivikasi adalah esensi dari jurnalisme. Bukan identitas, genre, bahkan arah gerak. Jika pandangan tersebut diamini, bisa saya simpulkan bahwa apapun genre jurnalismenya, verivikasi data adalah yang utama. Kecuali bagi jurnalis yang tunduk pada himbauan perusahaan konstruksi baja, “Utamakan Sholat dan keselamatan kerja!”.

Foto: dok. Artha Mas Graha Andalan (http://news.detik.com/tokoh/3112887/utamakan-salat-dan-selamat-kunci-kesuksesan-budi-harta-winata)

Verivikasi sendiri menurut saya juga beragam tingkatnya. Verivikasi menggunakan paradigma rasio, paradigma empiris, paradigma positifisme, dan lainya. Sementara, tiga paradigma itu saja yang mampu dicocokologikan dan terdengar cukup saintifik di telinga.

Dalam paradigma rasio, verivikasi dihentikan cukup pada keputusan rasio meng(iya)kan. Misalkan sang narasumber menyatakan bahwa api itu membakar kulit, kemudian karena rasio sang jurnalis sejalan, maka pernyataan dari narasumber dianggap valid, dan tidak diverivikasi lebih lanjut. Padahal, pengikut Nabi Ibrahim punya rasio yang berbeda, bahwa api tak selalu membakar kulit.

Mengetahui kebobrokan rasio itu, paradigma empiris kemudian menambalnya dan tak berhenti disitu saja. Jadi kalau anda jurnalis yang berparadigma empiris, anda bakal memverivikasinya dengan menyentuh api, setelah kulit anda terbakar, baru anda tulis sebagai karya jurnalistik.

Tapi ternyata, ada dua orang jurnalis yang mencoba menyentuh api dan hasilnya berbeda. Seorang jurnalis yang merasakan tangannya terbakar kemudian tanpa ragu mengamini pernyataan narasumber. Seorang lagi, karena tak merasakan tangannya terbakar, ia kembali memburu narasumber, guna mendekati “kebenaran”. Dia tak merasakan sensasi terbakar, sama seperti saat telunjuk kita menyentuh api dari lilin secara cepat.

Verivikasi empiris ternyata kemudian juga belum mendekati “kebenaran”, pasalnya metode pengujiannya berbeda-beda. Lantas paradigma positivisme kemudian berupaya membakukan metode pengujian. Jadi ketika dua jurnalis itu hendak memverivikasi apakah api membakar kulit secara empiris. Mereka bakal dipandu untuk mengujinya dengan variabel-variabel pengujian yang sama. Misalkan, dengan lilin yang sama, dan dengan kecepatan menyentuh api yang sama. Hasilnya, semakin mendekati “kebenaran”.

Parahnya, kemudian pengetahuan hasil positivisme ini kembali mengakar sebagai “rasio” tanpa tanda tanya. “Rasio” yang dibangun, tak menyertakan adanya pembatasan variabel dalam paradigma positivisme. Pada metode yang digunakan dalam studi kasus di atas, hanya menguji kebenaran “api itu membakar kulit” dengan dua variabel saja, yaitu jenis lilin dan kecepatan menyentuh api.  Padahal, jenis kulit berpengaruh. Kalau kita tambah lagi jenis kulit sebagai variabel pengujian, masih banyak lagi variabel-variabel lain, seperti suhu atau kelembapan udara. Berapa banyak variabel yang berpengaruh juga tak bisa didefinisikan, karena itu margin error juga tak terdefinisikan. Kemudian, muncul istilah “pembatasan masalah” karena keterbatasan indra manusia tuk menelaah keadaan.

Lebih parahnya lagi, semangat positivisme kemudian menjamur dan menjangkiti kehidupan sosial. Padahal, yang saya yakini bahwa setiap makhluk itu berbeda dan kehidupan sosialnya begitu kompleks. Membelenggu kekompleksan dengan batasan masalah, bisa dibilang kejahatan intelektual yang terstruktur, masif, dan sistematis. Tak ayal, menundukan keragaman dengan saintifikasi ilmu sosial menimbulkan banyak korban.

Mungkin sebagian kelompok tidak begitu ngeh, atau enggan dengan penjelasan yang bersifat filosofis. Jadi baiklah, saya berikan contoh nyatanya. Mungkin ilustrasi di bawah ini bisa membantu memahami akan adanya perbedaan metode verivikasi data.

Sumber Sama, SINDO Tulis “Ekonomi Lesu”, KOMPAS Kasih Judul “Ekonomi Membaik”, Tanya Kenapa? Sumber: http://www.posmetro.info/2016/01/sumber-sama-sindo-tulis-ekonomi-lesu.html (Jangan dibuka, bahaya!)

Di luar itu, katakanlah kita mengamini saintifikasi ilmu sosial di tengah hingar-bingar jurnalisme data dan segala jenis verivikasinya. Pemerintah misalanya, menerbitkan data masyarakat miskin yang pengolonganya didapat dengan batasan 4 variabel atau lebih, yang dipilih atau yang mampu dipikirkan. Kemudian kita mengutip data-data sensus pemerintah, yang sudah dibandingkan dengan data-data lembaga independen, hasilnya sama. Kemudian kita mengutipnya bak dewa, dengan perasaan yang begitu mendekati “kebenaran”. Katakanlah semua orang juga mengamini datanya, terverivikasi dan selesai sudah esensi jurnalismenya. Tapi ternyata dunia memang begitu beragam, coba saja tengok ilustrasi hasil visualisasi data kedua jurnalis ini.

Ilustrasi hasil visualisasi data yang sama di tangan dua jurnalis yang berbeda.
Ilustrasi hasil visualisasi data yang sama di tangan dua jurnalis yang berbeda.

Kedua ilustrasi visualisasi data diatas mengunakan data-data yang diamini bersama, tak ada yang meragukan kevalidanya, namun hasil visualisasinya berbeda. Bisa jadi hasil interpretasinya nanti juga berbeda.

 “Dan pada dasarnya memang tidak ada media yang netral. Media selalu berpihak dan memperjuangkan kepentingan tertentu. Tapi ketika ia menunjukkan kebencian dan penghakiman dengan begitu vulgar terhadap kelompok tertentu, patut kita pertanyakan kepentingan macam apa yang sedang diperjuangkan.” Wisnu Prasetya Utomo, dalam blog Pindai.

Jadi ketika kita sudah selesai dengan pekerjaan auditor (verivikasi) yang dianggap sebagai esensi jurnalisme. Lalu apa? Siapa kita? Ke mana kita? Kepentingan apa yang kita perjuangan? Bagaimana menjadi jurnalisme mahasiswa yang ideal, menjadi Inovasi atau menjadi Tegal Boto? Atau kenapa perlu keragaman yang ada disatukan dalam satu genre yang sama. Adakah yang tahu jawabanya, selain “Ntabs teori, kaget realita!” ?

Kategori
Siaran Pers

Deklarasi “SUMPA” PPMI Kota Palopo

Semenjak Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) PPMI X yang berlangsung di Makassar 28 September – 2 Oktober 2015, beberapa Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) di kota terdekat diundang untuk menghadiri agenda nasional tersebut. Salah satunya adalah LPM Grafity IAIN Palopo.

Disela-sela rangkaian Mukernas, Irwan Sakkir selaku Sekretaris Jenderal (Sekjend) PPMI Kota (DK) Makassar dan Irfan A. Sangadji selaku Koordinator Wilayah (Korwil) V PPMI, bersama dengan pengurus LPM Grafity mendiskusikan keberadaan LPM di Kota Palopo. Diantaranya menyangkut kondisi LPM di Palopo yang tidak memiliki wadah bersama, kemudian jarak PPMI DK Makassar yang jauh dengan LPM di Palopo.

Menindaklanjuti diskusi tersebut, muncul gagasan untuk mendeklarasikan PPMI Palopo. Agar LPM se-Palopo dapat berjejaring bersama. Gagasan tersebut kemudian diterima oleh kawan-kawan LPM Grafity.

Selanjutnya sesuai amanat konstitusi PPMI, minimal tiga LPM untuk pembentukan DK PPMI. Kawan-kawan LPM Grafity, yang dipelopori Bayu Segara berupaya membangun komunikasi dengan LPM Tociung dari Universitas Andi Jemma (Unanda). Selain itu upaya mendata keberadan LPM di Universitas Cokroaminoto dan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Muhammadiyah (STIEM) juga sudah dilakukan. Hasilnya, hanya dua LPM yang masih aktif melakukan kegiatan penerbitan. Seementara STIEM masih dalam proses pembentukan LPM Sang Pencerah dengan satu kali melakukan Diklat Dasar Jurnalistik. Sedangkan di Universitas Cokroaminoto (Uncen) sebelumnya memiliki LPM namun telah lama vakum.

Selanjutnya, 18 November 2015. Korwil V beserta Sekjend PPMI DK Makassar melakukan kunjungan perdana. Mereka menghadiri undangan LPM Grafity yang sedang melaksanakan Seminar Jurnalistik sekaligus sosialisasi pembentukan PPMI Palopo. Bertempat di kantin STIEM Palopo, LPM Grafity, LPM Tociung, dan LPM Sang Pencerah yang masih dalam proses pembentukan LPM sepakat untuk saling mendukung proses deklarasi PPMI Palopo. Setelah muncul kesepakatan tersebut, Bayu segera ditunjuk sebagai carte taker untuk memediasi tiap LPM agar mempersiapkan Deklarasi PPMI Palopo.

9 April 2016 di Aula PKM IAIN Palopo menjadi saksi sejarah baru bagi PPMI Nasional dengan deklarasi PPMI Palopo. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa PPMI menjunjung tinggi nilai demokrasi dan memperkaya pluralisme di tubuh lembaganya. Deklarasi PPMI Palopo dihadiri oleh LPM Tociung Unanda, LPM Sang Pencerah STIEM, dan LPM Grafity IAIN Palopo sebagai tuan rumah deklarasi.

Deklarasi kemudian dilanjutkan dengan Musyawarah Kota, hasilnya Bayu terpilih secara aklamasi menjadi Sekjend PPMI Palopo. “Dalam filosofinya, nama Bayu berarti angin, sedangkan Segara adalah segar. Oleh karena itu, berikan saya kesempatan untuk memberikan angin segar kepada PPMI Palopo dalam satu periode kedepan,” tutur Bayu dalam sambutanya sebagai Sekjend PPMI Palopo terpilih.

Korwil V

Sebelumnya, khusus untuk Indonesia Timur yang tercatat dalam sejarah PPMI hanya terdapat dua Kota. DK Makassar dan DK Palu, sedangkan kota Manado masih berstatus care taker yang ditunjuk oleh Defy Firmansya selaku Sekjend Nasional kala itu. Semenjak Deklarasi Pekalongan dan dilanjutkan dengan Kongres Luar Biasa (KLB) di Malang, PPMI telah mereformasi beberapa posisi struktural, diantaranya Dewan Etik Nasional (DEN) yang dianggap overlapping yang kemudian digantikan dengan Korwil yang bertujuan untuk menjalin komunikasi antar DK dengan Pengurus Nasional.

Korwil sendiri disamping memediasi pengurus PPMI antar DK, berfungsi sebagai penanggung jawab untuk melakukan pemekaran bagi daerah yang belum memiliki DK, namun memiliki LPM di setiap kampus. Sesuai dengan kesepakatan KLB Malang Korwil V Meliputi Sulawesi dan wilayah terdekat seperti Maluku dan Papua.

Dalam Master Plan Kowril V di sisa masa jabatan ini berencana melakukan pengembangan di beberapa kota yang menginginkan keberadaan PPMI, seperti kota Gorontalo yang dipelopori oleh Kawan Defri Sofyan, kota Manado oleh kawan Ilona, kota Ambon oleh kawan Zaki, dan Ternate oleh kawan Dzaki. Sedang Papua masih belum terdata keberadaan LPM yang aktif.

Deklarasi “SUMPA” PPMI ini merupakan kepanjangan dari Sulawesi, Maluku, dan Papua yang sangat membutuhkan keberadaan PPMI untuk mengawal berbagai isu lokal yang terjadi di wilayah Indonesia Timur.

 

Narahubung:

Irfan A. Sangadji, Korwil V PPMI: 082188476756

Bayu Segara, Sekjend PPMI Palopo: 082349619864