Kategori
Diskusi

PATTIRO Gresik dan LBH Surabaya Gelar Diskusi 16 HAKTP: Soroti Perlindungan Hukum untuk Perempuan Driver

SEMANGAT: Tampak foto bersama para peserta kegiatan sosialisasi di Aula Dinas KBP3A Kabupaten Gresik, Senin (18/12). (stv)

GRESIK–Memperingati 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP), Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) Gresik berkolaborasi dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya menggelar sosialisasi perundang-undangan tentang Perlindungan Perempuan Pekerjaan bertajuk “Kerja di Jalan, Hak Tetap Jalan: Perlindungan Hukum bagi Perempuan Driver” di Aula Dinas Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KBPPPA) Kabupaten Gresik, Senin (8/12).

Kegiatan yang berlangsung pukul 15.39 WIB ini dihadiri oleh Direktur LBH Surabaya, Habibus Shalihin selaku narasumber, serta para perempuan ojek online yang tergabung dalam komunitas Gerakan Sayang Perempuan Ojek Online (Gaspol) dan Ojek Online Perempuan Gresik (OPG).

Diskusi ini menyoroti maraknya bentuk kekerasan dan pelecehan yang dialami perempuan pekerja transportasi daring. Perempuan driver, yang selama ini bekerja di ruang publik tanpa perlindungan memadai, kerap menghadapi risiko kriminal, diskriminasi, dan intimidasi baik dari penumpang maupun relasi kerja digital.

Nor Mubin selaku Ketua Yayasan PATTIRO Gresik, dalam sambutannya menekankan pentingnya agenda ini sebagai momentum menyuarakan hak perempuan pekerja jalanan.

“Kerja di jalan bukan berarti hak-hak mereka hilang di jalan. Negara harus hadir melindungi mereka,” tambahnya.

Memasuki pemaparan inti, Habibus Shalihin, Direktur LBH Surabaya menegaskan bahwa persoalan utama yang dihadapi perempuan driver adalah ketidakjelasan regulasi.

“Sesi diskusi ini secara spesifik membahas tantangan dan perlindungan hukum bagi pengemudi ojek online, terutama perempuan di Kabupaten Gresik, karena status mereka yang belum jelas dalam kerangka hukum,” ujarnya.

Habibus menekankan bahwa pengemudi ojek online harus dipandang sebagai manusia dan pemilik hak, bukan sekadar ‘mitra’ yang terlepas dari perlindungan.

“Pengemudi ojek online, terutama perempuan, juga manusia. Mereka harus ditempatkan dalam perspektif hak asasi manusia, terlepas apakah mereka pekerja pabrik, karyawan, atau pekerja informal yang tidak berseragam,” tegasnya.

Habibus juga menjelaskan perbedaan mendasar antara driver ojek online dan pekerja formal. Ia menyebut bahwa pengemudi menggunakan kendaraan pribadinya, tidak memiliki gaji pasti, dan bahkan harus membayar fitur tertentu agar tetap dapat bekerja.

“Penghasilan mereka tidak bisa ditentukan. Mereka dikenai potongan, dan bahkan ada fitur berbayar, artinya mereka membayar untuk bisa bekerja,” jelasnya.

Modal kerja yang dikeluarkan berupa bensin dan paket data, jauh dari pola kerja buruh pabrik yang mengandalkan tenaga di bawah perlindungan Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003.

Dalam aspek pertanggungjawaban hukum, Habibus juga mengibaratkan posisi driver seperti kasus status “awak kapal” di masa lalu yang tidak memiliki domain hukum yang pasti.

“Ketika ada masalah, dinas terkait sering tidak bisa memberikan jawaban. Jika pengemudi melanggar hukum, mereka berurusan dengan polisi. Tapi kalau yang bermasalah aplikasinya, tidak ada pihak yang bisa dimintai pertanggungjawaban,” ujarnya.

Habibus menilai negara harus turun tangan dalam mengatur tiga aspek utama sebelum regulasi baru dibentuk, yakni keamanan, privasi, dan regulasi.

“Termasuk perlindungan data pribadi pengemudi, karena data mereka sangat rentan dicuri atau disalahgunakan,” imbuhnya.

Dalam sesi diskusi, salah satu perempuan driver Gojek, Ayu Retnowati, membagikan pengalamannya selama bekerja. Ia mengaku bergabung sejak masih bekerja di pabrik dan sering merasa takut ketika mendapat pesanan dari penumpang laki-laki.

“Kadang ada yang jahil, ada yang nggak. Mau nolak gimana ya, kadang sudah mau sampai,” ceritanya.

Wanita yang kerap disapa Retno tersebut juga menceritakan kasus pembatalan pesanan yang disengaja hingga membuatnya harus memikirkan cara untuk menghindar dari situasi berbahaya.

“Kadang kalau sudah kenal orangnya gitu, kadang ban sepedaku sampai tak gembosi sendiri. Karena kalau nggak ada istrinya kadang order Gojek, tapi pas sampai sana di-cancel,” ujar Retno.

Retno menilai adanya sosialisasi hukum ini dapat memberi rasa aman bagi perempuan driver untuk menyampaikan keluhan dan pengalaman tanpa takut diremehkan.

“Ini bagus, ada kemajuan, jadi kita ada perlindungan bagi cewek-cewek yang biasanya takut melapor,” katanya.

Ia berharap ke depannya ada ruang advokasi, termasuk posko pengaduan yang bisa diakses para driver. Ia juga menyampaikan harapan agar kesejahteraan mitra driver dapat semakin meningkat.

“Harapan, mungkin bisa memakmurkan mitranya,” pungkas wanita asal Gresik tersebut. (stv)

Kategori
Diskusi

PPMI Nasional Mengecam Keras Atas Penangkapan Pelajar oleh Polres Kediri

Ilustrasi gambar pernyataan sikap PPMI Nasional.

Persma.id–Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Nasional dengan tegas menolak tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh Kepolisian Resor (Polres) Kediri Kota atas penangkapan FZ, seorang pelajar madrasah sekaligus penulis media Omong-Omong. FZ ditangkap di rumahnya pada malam Minggu, 21 September 2025, dengan tuduhan sebagai provokator aksi pada 25 Agustus 2025.

Selain itu, pihak kepolisian juga melakukan penyitaan terhadap tiga buku milik FZ.Tindakan tersebut jelas merupakan bentuk represi dan kriminalisasi terhadap kebebasan berpendapat, berekspresi, serta berpikir kritis yang dijamin oleh Konstitusi. Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa setiap warga negara berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat.

Aparat kepolisian seharusnya menjadi pelindung hak warga negara, bukan justru menjadi pihak yang menindasnya.Atas kejadian tersebut, PPMI Nasional menyatakan sikap sebagai berikut:

Menuntut dengan tegas kepada Polres Kediri Kota untuk segera membebaskan FZ tanpa syarat.

Mendesak Kepolisian Republik Indonesia untuk menghentikan segala bentuk represi, intimidasi, dan kriminalisasi terhadap aktivis, jurnalis, dan penulis.

Mengutuk keras tindakan penyitaan buku, karena hal tersebut merupakan upaya membungkam pikiran kritis dan bertentangan dengan semangat kebebasan akademik.

Mengajak seluruh pers mahasiswa, aktivis, masyarakat sipil, dan warga negara Republik Indonesia untuk menyuarakan solidaritas atas kebebasan FZ dan melawan segala bentuk pembungkaman demokrasi

narahubung: persmahasiswa

Kategori
Diskusi

Rakyat VS Investor: Hentikan Pertambangan di Raja Ampat!

Raja Ampat merupakan kepulauan yang terletak di Papua Barat, yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Tempat ini mendapat julukan surga bawah laut terindah di dunia. Lautnya menjadi habitat bagi lebih dari 1.600 spesies ikan, penyu, dan pari manta yang terancam punah. Raja Ampat juga memiliki pasir selembut tepung dan pemandangan yang begitu indah, seakan menyihir siapa pun yang berkunjung dengan kelestarian alamnya yang terjaga. Perekonomian mayoritas masyarakat di sana bergantung pada sektor pariwisata yang berbasis keindahan alam.

Namun, belakangan ini, keindahan yang dimiliki Raja Ampat tampaknya dirusak oleh tangan-tangan rakus melalui kegiatan pertambangan nikel. Para pelaku tidak menunjukkan rasa kemanusiaan maupun cinta pada alam dan kelestariannya. Para investor hanya memikirkan keberlangsungan perusahaan mereka tanpa mempertimbangkan dampak dari perbuatan biadab tersebut.

Raja Ampat bukanlah tempat untuk tambang nikel; ia adalah surga yang harus dijaga dari cengkeraman oligarki kapital. Pemerintah Republik Indonesia, yang dijuluki “Negeri Konoha”, seharusnya tidak menutup mata terhadap fenomena kerusakan lingkungan yang kian parah ini. Kerusakan lingkungan di Raja Ampat menjadi bukti bahwa pemerintah belum mampu menertibkan perizinan tambang nikel yang sarat akan pelanggaran.

Dilansir dari Tirto.id, hal itu dibuktikan dengan pernyataan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Menurut Direktur Pengaduan, Pengawasan, dan Sanksi Administrasi KLHK, Hanif Faisol Nurofiq, ada empat perusahaan yang terbukti melakukan pelanggaran, yaitu PT Gag Nikel, PT Kawei Sejahtera Mining, PT Anugerah Surya Pratama, dan PT Mulia Raymond Perkasa. Hasil pengawasan menunjukkan berbagai pelanggaran serius terhadap peraturan lingkungan hidup dan tata kelola pulau kecil.

Menurut Nurofiq bahwa PT Kawei Sejahtera terbukti telah melakukan pelanggaran dengan membuka pertambangan seluas lima hektare di Pulau Kawe, di luar kawasan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH).

Pelanggaran tidak berhenti di situ. PT Anugerah Surya Pratama telah melakukan kegiatan pertambangan di Pulau Manuran seluas kurang lebih 746 hektare. Proses pertambangan tersebut dilakukan tanpa sistem manajemen lingkungan yang baik dan tanpa pengelolaan air limbah larian. Pihak kementerian telah memasang papan peringatan di lokasi ini.

Sementara itu, PT Gag Nikel melakukan pertambangan di sebuah pulau kecil seluas 6.030,53 hektare. Aktivitas pertambangan tersebut jelas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Selain itu, PT Mulia Raymond Perkasa juga ditemukan melakukan aktivitas pertambangan di Pulau Bale tanpa memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP). Hal tersebut membuktikan bahwa pemerintah tidak serius dalam menjaga kelestarian alam, laut, dan keberlangsungan hidup yang berkelanjutan.

Oleh karena itu, kerusakan lingkungan di Raja Ampat adalah masalah serius yang harus segera diperhatikan. Segala bentuk kegiatan pertambangan yang melanggar perizinan dan tidak sesuai dengan norma sosial harus dihentikan. Pemerintah perlu mengkaji ulang secara mendalam dampak lingkungan dan tidak hanya mengutamakan kepentingan investor yang semata-mata mengejar keuntungan, tanpa memedulikan dampak dari perbuatan brutal mereka.

Sungguh miris melihat kondisi Indonesia hari ini. Pemerintah hanya bersikap manis saat ada kepentingan politik. Ketika sudah duduk di kursi birokrasi, suara rakyat tak lagi menjadi prioritas. Kepentingan investor asing justru lebih dikedepankan. Sebagai aktivis pers mahasiswa, kami tentu tidak akan tinggal diam melihat kondisi carut-marut Indonesia hari ini. Hal yang perlu ditegaskan kembali di akhir tulisan saya adalah: Raja Ampat bukan objek tambang, melainkan kekayaan alam Papua Barat yang harus kita jaga bersama. Tanggung jawab ini bukan hanya milik masyarakat Papua, tetapi seluruh bangsa Indonesia, demi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bebas dari penjahat lingkungan, mafia tanah, dan investor brutal.

Terima kasih telah membaca.

Penulis: Ach Zainuddin
Editor: Rohman

Kategori
Diskusi

Menjaga Barakisme Lewat Pintu Belakang. Kita Ingin Tragedi Masa Lalu Dituntaskan Agar Tak Terulang, Apalagi Dilupakan 

Militer selalu beroperasi dengan mumpuni asal tuannya beri perintah. Munir Said Thalib menolak kekerasan militerisme demi pengamanan. Kesepakatan menuju demokratisasi tanpa adanya kesadaran menolak bentuk dan manifestasi militerisme adalah upaya mustahil. Namun, sejarah yang berhubungan dengan miiter justru sebaliknya. Militerisme digunakan sebagai mesin perluasan kewenangan sosio-politik sehingga kekuatan militer akibatkan laku “kekerasan absah” pada warganya.

Penghancuran cita-cita reformasi adalah mimpi buruk, yang terjadi akibat membesarnya kekuatan militer, tanpa pernah kita bayangkan sejak terpilihnya Prabowo sebagai Presiden. “Saya prajurit yang ksatria,” berikut omon-omon pernyataan diri patriotik khas Prabowo hanya bikin kita jengah. Padahal yang kita tahu dia itu gelagatnya tantrum, benci kegaduhan sipil karena ia tak suka protes dan penolakan. 

Inilah mengapa corak pemerintahan Prabowo cenderung bungkam kritik warga terlebih setelah ia sukses kuasai istana tua di Jalan Merdeka Barat, seratus meter di depan berdirinya korban pelanggaran HAM berat: aksi kamisan.

***

Prabowo mengingatkan saya dengan perkataan George Junus Aditjondro. Ia bilang enam tahun setelah Soeharto lengser keprabon, setidaknya ada delapan indikator remiliterisisasi di Indonesia akibat penghapusan peran politik militer dan pemisahan angkatan bersenjata. Sebagian kecil–namun selalu langgeng–militer gunakan keunggulan dan kekuatan fisiknya di lapangan menghadapi rakyat yang berani memberontak.

Hal ini makin parah dengan disahkannya Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) pada 20 Maret 2025. Meminjam istilah Aditjondro, demokratisasi kini menabrak tembok arus balik pemisahan militer. Artinya perlawanan terhadap kondisi demokrasi yang makin buruk diwarnai badai pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan fakta bagi-bagi jabatan buat tentara. 

Belum sampai situ, remiliterisasi yang dianggap nir-kekerasan seperti Operasi Militer Selain Perang (OPMSP) mandatnya turun langsung dari Presiden. Kita bisa melihat sinyal-sinyal kecil, antara lain, pendekatan tentara terhadap mereka yang kritis. Seperti aktivis dan mahasiswa. Remiliterisasi terbaca saat tentara teritorial lakukan sosialisasi di Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto; permintaan data mahasiswa yang menolak PSN melalui surat Kodim 1707/Merauke; perjanjian kerjasama Kodam IX/Udayana dengan Universitas Udayana, Bali; hingga teror dan intimidasi terhadap mahasiswa Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta (yang gugat UU TNI ke Mahkamah Konstitusi).

Taman bermain militer bukan kampus apalagi ruang publik. Tentara sudah mengobok-obok wilayah akademik, mencari data personal, sampai nekat ikut campur dalam urusan konstitusional perguruan tinggi. Kunjungan tentara dengan kamuflase pakaian sipil di tubuhnya ibarat serigala berbulu domba sehingga tak masuk akal jika personilnya lakukan tugas “pembinaan masyarakat” di kampus semata-mata kegiatan rutin.

Bikin Barak Tandingan

Jika remiliterisasi sudah mulai dilakukan, maka diskursus militerisme boleh saja masuk kampus sebagai bahan obrolan atau diskusi bagi akademisi, praktisi, aktivis, dan siapapun agar mewaspadai bahaya yang muncul dari kekuatan militer di wilayah akademik-sipil. Muhidin M. Dahlan menganggap kampus sebagai tempat yang cocok, karena di sanalah regenerasi kaum terpelajar berlangsung ajeg. Cara tentara berpikir itu khas madrasah bersenjata, lanjut Muhidin, dalam militerisme manusia terdidik terbaik tidak lahir dari kampus.

Begitu pula seharusnya kampus tak bikin kerjasama dengan Kodam. Alih-alih membuka pintu bagi tentara supaya dapat kursi di kelas reguler. Ini bakal mendepak calon mahasiswa baru yang sudah membidik kampus impian sejak kelas sepuluh di Sekolah Menengah Atas (SMA). Kalau pintu kampus dibuka lebar-lebar untuk sanak famili tentara, apa mereka tidak makin jemawa? Pakai seragam saja sudah dibilang “orang berseragam” apalagi ditambah jas almamater. Ini malah jadi olok-olok tiga kata lucu: seragam jas loreng. Aneh!

Belum lagi Gubernur di Jawa Barat mengirim siswa nakal ke barak tentara. Rupanya yang terhormat Kang Dedi Mulyadi tak serius belajar membaca sejarah. Jakarta 1993, Panglima Kodam Jaya A.M. Hendropriyono kirim pelajar yang gemar tawuran ke barak tentara. Kriteria siswa nakal itu ialah yang berperilaku menjurus pada kriminalitas: membawa senjata tajam, mengganggu kepentingan umum, meminum BK (diduga sejenis narkoba). Hendropriyono juga kirim siswi provokator perkelahian. Model pembinaan di barak paling lama satu bulan. Angkatan pertamanya hanya menjalani empat hari dan dianggap tak lagi berpotensi jadi biang keladi tawuran. Program ini berjalan sampai 1997. Namun, Sekolah Khusus Kodim itu justru meningkatkan angka perkelahian remaja pelajar. Awalnya hanya siswa dari delapan sekolah lalu meningkat jadi lima puluh sekolah pada1995. Karena tidak efektif, Kepala Staf Kodam Jaya Susilo Bambang Yudhoyono menghapus program itu.

Sebenarnya, bentuk kebijakan yang melibatkan militer bukan  jalan keluar sungguhan. Ia membunuh kritisisme. Karena tentara teritorial berikut pendidikan militernya berorientasi pada pembentukan fisik, bukan nalar. Terlebih doktrin militer yang ditanamkan berpotensi mencuci otak. Inisiatif akan tumpul sebab budaya barak melatih penghuninya patuh pada instruksi.

Maka perlawanan barakisme seperti ini adalah dengan menghidupkan budaya kultural (konstrusi berpikir kritis) bukan struktural (perintah dan instruksi) sekalipun di wilayah akademik. Percayalah, membantah bukan berarti membangkang melainkan ciri kebebasan akdemik dan berpendapat itu hidup.

Menengok Pintu Belakang Militer

Selama hampir 80 tahun, kondisi demokrasi Indonesia terus berjalan mundur. Bukannya maju, kita justru terus mengulang sejarah lama yang buruk. A Historia Se Repete, kata Karl Marx. Jika keadaan terus seperti ini, slogan Indonesia Emas 2045 hanya akan menjadi bualan rezim Prabowo-Gibran. Bangun, lihatlah realita, Jenderal!

Generasi remaja di Indonesia medio 1970-1980 pernah dibuat kagum dengan lagu “Seorang Kapiten” yang begini liriknya:

Aku seorang kapiten
mempunyai pedang panjang
kalau berjalan prok-prok-prok
aku seorang kapiten!

Sosok yang ‘kalau berjalan prok-prok-prok’ kemudian masuk ke desa-desa, film-film perjuangan, sampai cerita mulut ke mulut dan tafsir tunggal bagaimana tentara berhasil melewati masa sulit republik dengan kesetiaan dan pengorbanan yang diproduksi oleh rezim Orde Baru. Tapi ini tak menampik bahwa di pintu belakang barak, konflik internal tentara pun pecah ketuban.

Jauh sebelum Gestok 1965 (Gerakan Satu Oktober) pecah, konflik di AD pada 17 Oktober 1952 antara Bambang Soepeno dengan Nasution bikin keruh hubungan antar prajurit. Soepono pernah menunjukkan ketidakpuasannya pada Kepala Satuan Angkatan Darat (KASAD) yakni AD Nasution. Ia dianggap pemecah TNI oleh Yoga Soegomo mengingat pada 1952-1955 keduanya dipasang-copot oleh Soekarno akibat konflik yang tak kunjung padam.

Berlanjut pada peristiwa 1965. Ini juga menjadi awal kekuatan tak seimbang antara AD, AL, dan AU. Yang terakhir dianaktirikan karena dianggap terlibat dalam penculikan para jenderal dalam naskah Cornell Paper. Kumpulan makalah berjudul “The Coup of October 1 1965” itu membahas sejumlah anggota Divisi Diponegoro membangkang akibat frustasi melihat sejumlah jenderal bergelimang harta di Jakarta. Pelaku penculikan Cakrabirawa (sekarang Paspampres) sebenarnya tentara juga persisnya Angkatan Darat. Lalu AD membela bahwa mereka disusupi anasir lain. 

Hal ini terjadi berulang sampai periode transisi 1998 antara Soeharto-Wiranto selepas Soeharto dipaksa turun dari kursi Presiden. Awalnya, Wirantolah yang ditunjuk menggantikan Soeharto, bukan Habibie.  

Sebenarnya, konflik Tentara di pintu belakang barak sudah terjadi sejak negara ini berdiri. Pada 1945, berdasar identifikasi Harold Crouch, setidaknya ada dua penyebab terlibatnya militer di urusan sipil. Pertama, militer bermuatan politis sejak awal. Orientasi tentara ketika bergabung bukan ingin kejar karir melainkan lebih tertarik dengan perjuangan kaum nasionalis melawan kolonialisme. Dalam “Militer dan Politik di Indonesia” Crouch berpendapat penyebab kedua ialah kegagalan golongan sipil dalam menjalankan pemerintahan. Militer beranggapan bahwa merekalah satu-satunya golongan yang dapat mengatasi gejolak politik-ekonomi seperti krisis, pergantian kabinet, terutama pemberontakan.

***

Militer dijadikan alat politik Suharto pasca-1965. Mata kuliah “kewiraan” masuk dalam kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) sampai pembentukan Resimen Mahasiswa merupakan cara “penghijauan kampus” di era Orde Baru tepatnya pada 1978. Gejala ini bukan tidak mungkin bakal terulang apabila kita tak acuh atas “mata dan telinga” penguasa otoritarian jebolan barak. 

Sekarang, seorang mantan penculik aktivis ‘98, anggota Tim Mawar, dicopot jabatannya pada pengadilan militer 1999, tiga kali mencalonkan diri jadi presiden,  yang mengatakan asetnya mandek karena tidak berkuasa, yang bermaksud melakukan autogolpe, suka teriak anti asing itu adalah presiden kita. Ini realita pahit yang harus kita terima. Meskipun demikian, diam bukanlah pilihan. Kekuatan militer terus menggemuk. Kritik dibalas penangkapan. Hanya ada satu cara: lawan! 

Andai kita tak menjaga pintu belakang, maka si penjahat tak pernah mau tuntaskan kejadian masa lalu, sejarah akan terulang. Ia akan tetap kabur lewat pintu belakang istana tua: melenggang dari Aksi kamisan.

Penulis: Rossihan Anwar
Editor: Solichah & Delta

Kategori
Diskusi Esai

Memahami Payung Hukum dan Perlindungan Pers Mahasiswa

Munculnya wacana mengenai payung hukum kembali mencuat setelah Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) di Yogyakarta pada tahun 2022. Pers mahasiswa mulai berbondong-bondong mendorong pembentukan landasan hukum untuk melindungi mereka. Upaya ini bukan tanpa alasan, melainkan merupakan respons terhadap berbagai kasus represi yang dialami oleh pers mahasiswa.

Pada tahun 2019, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Suara USU mengalami represi berupa pemecatan anggota LPM secara paksa oleh Runtung Sitepu, Rektor Universitas Sumatera Utara. Pemecatan tersebut bermula dari penulisan cerpen berjudul “Ketika Semua Menolak Kehadiran Diriku di Dekatnya” yang diunggah di situs web suarausu.co. Runtung menganggap bahwa cerpen tersebut mendukung kelompok LGBT.

Kasus yang menimpa LPM Lintas terjadi akibat penerbitan majalah berjudul “IAIN Ambon Rawan Pelecehan” pada tahun 2022. Rektor IAIN Ambon, Zainal Abidin Rahawarin, merespons majalah tersebut dengan menerbitkan Surat Keputusan pembekuan LPM Lintas. Selain itu, Pemimpin Redaksi LPM Lintas, Yola Agne, juga dicabut hak akademiknya.

Musibah yang menimpa LPM Lintas dan Suara USU merupakan bentuk represi yang dialami oleh pers mahasiswa. Dalam catatan kasus yang dipublikasikan oleh BP Advokasi PPMI, tercatat sepanjang tahun 2020-2021 terjadi 48 kasus represi terhadap pers mahasiswa di berbagai wilayah. Data tersebut hanyalah sebagian kecil dari fenomena gunung es. Masih banyak kasus represi lainnya yang belum tercatat dan dialami oleh pers mahasiswa.

Keinginan untuk mendapatkan perlindungan melalui payung hukum muncul setelah berbagai kasus represi di kampus. Pers mahasiswa memang memerlukan jaminan perlindungan agar dapat merasa aman dalam menjalankan fungsinya sebagai kontrol sosial di lingkungan kampus. Namun, sebelum hal tersebut terwujud, diperlukan pemahaman yang mendalam untuk mempertimbangkan bagaimana pers mahasiswa bisa mendapatkan perlindungan hukum yang tepat.

Pers Mahasiswa Berpijak

Sebelum melangkah lebih jauh, perlu dipahami makna dari pers mahasiswa (persma). Pers adalah individu yang melakukan kegiatan jurnalistik, sedangkan mahasiswa adalah individu yang menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Dengan demikian, persma dapat dimaknai sebagai mahasiswa yang melakukan kegiatan jurnalistik di bawah naungan perguruan tinggi.

Pijakan bahwa pers mahasiswa adalah mahasiswa yang menempuh pendidikan di perguruan tinggi tidak boleh diabaikan dalam pemahamannya. Mereka berbeda dengan jurnalis di lembaga media arus utama yang menjalankan kerja jurnalistik secara profesional. Persma memikul tanggung jawab yang lebih luas, yaitu sebagai jurnalis, aktivis, dan akademisi.

Secara garis besar, pers memikul tanggung jawab sebagai pilar keempat dalam negara demokrasi. Pers diibaratkan sebagai *watchdog* (anjing penjaga) yang bertugas mengawasi pemerintah dan masyarakat demi kepentingan publik. Oleh karena itu, pers bekerja dengan memikul tanggung jawab sosial kepada publik, bukan sebagai humas yang melayani kepentingan penguasa.

Koridor hukum yang menaungi persma dan pers memiliki perbedaan. Dalam UU Pers No. 40 Tahun 1999, persma tidak disebutkan secara spesifik. Dewan Pers menaungi dan mengatur persoalan media atau jurnalis sebagai profesi. Sementara itu, persma berada di bawah naungan perguruan tinggi.

Dewan Pers memiliki keterbatasan dalam menjangkau aturan yang berlaku di perguruan tinggi karena mereka hanya bertanggung jawab atas ranah pekerja media. Selain itu, dalam UU No. 40 Tahun 1999, persma tidak dapat dimasukkan, karena undang-undang tersebut mengatur bahwa media harus berbentuk perusahaan yang memiliki konsep komersialisasi.

Untuk dapat diakui dalam regulasi UU Pers, persma harus mengubah status lembaganya menjadi sebuah perusahaan. Untuk mencapai status tersebut, persma perlu mengurus akta notaris secara mandiri. Setelah itu, diperlukan penataan manajemen administrasi kelembagaan sebagai syarat pengajuan menjadi perusahaan. Namun, jika mengikuti regulasi UU Pers, persma berisiko mengalami pergeseran nilai perjuangan ideologi.

Yosep Adi Prasetyo, Ketua Dewan Pers (2016-2019), mengkategorikan jenis pers di Indonesia. Penjelasan ini tercantum dalam jurnal Dewan Pers berjudul “Mendorong Profesionalisme Pers melalui Verifikasi Perusahaan Pers” yang diterbitkan pada tahun 2017. Persma dikategorikan dalam kuadran kedua, yaitu pers yang tidak terverifikasi tetapi menjalankan aturan sesuai ketentuan kode etik jurnalistik. Dalam pengelompokan tersebut, Dewan Pers menggolongkan persma sebagai bagian dari jurnalisme kelompok.

Gagasan tentang regulasi hukum yang menaungi persma dibahas oleh Herlambang P. Wiratraman, dosen Hukum Tata Negara UGM, dalam artikel berjudul “Persma, Kebebasan Pers, dan Akademik” yang dimuat dalam majalah Poros edisi XII. Landasan kebebasan persma sebenarnya sudah diatur dalam beberapa regulasi kementerian pendidikan. Sistem yang mengikat di Indonesia berdasarkan dua landasan, yaitu konstitusi dan undang-undang.

Pertama, secara konstitusional, kebebasan akademik dapat dijamin melalui penafsiran yang luas terhadap ketentuan Pasal 28, 28C, 28E, dan 28F Undang-Undang Dasar (UUD) Republik Indonesia (RI) Tahun 1945. Kedua, secara undang-undang, kebebasan akademik bisa dilindungi secara umum dengan merujuk pada Undang-Undang (UU) No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Secara khusus, perlindungannya merujuk pada Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 54 ayat (3) UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti). Dalam UU Dikti, kebebasan ini diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan.

Dari segi landasan hukum, persma perlu menjadikan koridor pendidikan sebagai fondasi. Meskipun Dewan Pers memiliki kewenangan untuk melindungi atau menindak pers, mereka memiliki keterbatasan dalam menjangkau koridor hukum yang mengatur persma. Herlambang menyarankan agar kampus mendorong penegasan posisinya dengan memperkuat standar kebebasan akademik melalui beberapa langkah berikut:

Pertama, kebijakan kampus harus berdasar pada hukum yang kuat, memiliki legitimasi, dan tetap mempertimbangkan standar hukum HAM. Kedua, pembatasan ekspresi hingga pemberian sanksi harus merujuk pada pembatasan-pembatasan yang sah, sebagaimana dikenal dalam Prinsip-Prinsip Siracusa mengenai Ketentuan Pembatasan dan Pengurangan HAM dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (1984), atau dengan mempelajari Laporan Komisi Tinggi HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Lokakarya Ahli terkait Larangan Penghasutan pada Kebencian terhadap Bangsa, Ras, dan Agama (2013). Ketiga, kerangka hukum yang dapat digunakan sebagai basis perlindungan persma adalah melalui dua pilar kebebasan: Prinsip-Prinsip Surabaya untuk Kebebasan Akademik (2017) dan kebebasan yang dijamin dalam sistem hukum pers Indonesia.

Upaya Dewan Pers dalam memberikan komitmennya terhadap pers mahasiswa tidak berhenti dengan pengakuan de facto. Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, berusaha mengupayakan perjanjian kerja sama (PKS) dengan Kemendikbud Ristek dan Kemenag. Namun, perjanjian tersebut belum disepakati oleh kedua lembaga besar yang menaungi bidang pendidikan di Indonesia. Dewan Pers telah merilis PKS dengan Kemendikbud Ristek melalui laman Instagram mereka, @officialdewanpers.

Setelah diterbitkannya PKS, PPMI mengadakan diskusi terbuka bertema “Perlindungan Terhadap Pers Mahasiswa” bersama Dewan Pers pada 27 April 2024. Zulkifli Hasan, selaku Ketua Komisi Hukum dan Perlindungan di Dewan Pers dan sebagai narasumber diskusi, menyampaikan keterbatasan dalam mengupayakan regulasi hukum. Menurutnya, koridor pendidikan memiliki aturan sendiri yang bersifat otonom. Selain itu, landasan hukum yang mengampu pers mahasiswa adalah lembaga pendidikan itu sendiri.

“Dewan Pers tidak bisa masuk ke ranah kampus karena mereka bersifat otonom. Maka melalui PKS, diharapkan ketika terdapat sengketa di pers mahasiswa, kampus dapat melibatkan Dewan Pers,” terang Zulkifli Hasan dalam diskusi virtual tersebut.

Agar PKS ini dapat berjalan sesuai harapan, Dewan Pers perlu mensosialisasikan perjanjian tersebut ke beberapa kampus besar. Pengupayaan tidak hanya berhenti pada pembuatan PKS dengan lembaga Kemendikbud Ristek, tetapi juga memerlukan upaya untuk memberikan pemahaman kepada kampus-kampus tentang PKS yang telah dibuat.

PKS yang telah diterbitkan merupakan rekomendasi Dewan Pers untuk penyelesaian sengketa pers mahasiswa. Artinya, PKS tersebut hanya berisi saran mengenai pelibatan Dewan Pers dalam penyelesaian sengketa. Sejalan dengan itu, Noval Kusuma, selaku BP Advokasi PPMI, menanggapi adanya celah dalam PKS tersebut. Salah satunya adalah tidak adanya sanksi yang jelas jika salah satu pihak tidak menjalankan tanggung jawab perjanjian.

Jika berbicara tentang payung hukum, penting untuk memahami langkah-langkah pembuatannya. Perlindungan pers mahasiswa berbeda dengan payung hukum itu sendiri. Langkah dalam mengupayakan payung hukum untuk pers mahasiswa perlu memiliki landasan legalitas berbadan hukum.Agar mencapai legalitas itu persma perlu mengupayakan akta notaris dan berbagai administrasi lainnya. 

Sulit dibayangkan betapa rumitnya urusan administrasi yang akan menjerat pers mahasiswa itu sendiri. Selama ini, pers mahasiswa berpijak pada payung hukum di bawah naungan kampus. Jika keinginan tersebut tetap dipaksakan, pers mahasiswa mungkin akan kehilangan statusnya sebagai mahasiswa, karena tidak mungkin ada badan hukum lain dalam koridor lembaga badan hukum yang sudah ada.

Tantangan pers mahasiswa tidak berhenti di situ. Mereka perlu menyadari berbagai gejolak internal yang ada. Pertama, sumber daya manusia (SDM). Hingga saat ini, pers mahasiswa mengalami kendala dalam mempersiapkan regenerasi untuk melanjutkan kepengurusan yang belum konsisten. Kedua, masa kepengurusan yang pendek. Sebagian besar pers mahasiswa dibatasi oleh kampus untuk menjalankan roda kepengurusan selama kurang lebih 3 tahun. Ketiga, produktivitas, mengingat pers mahasiswa juga berstatus sebagai mahasiswa, mereka memiliki beban ganda yang menghambat konsistensi dalam menjalankan produktivitasnya.

Payung hukum pers mahasiswa tidak hanya berkaitan dengan perlindungannya, tetapi juga regulasi lain yang mengikat. Konsekuensi dari mengupayakan payung hukum untuk pers mahasiswa adalah tuntutan profesionalisme sebagai pekerja media. Pers mahasiswa sendiri harus memahami koridor hukum yang menaunginya melalui regulasi perguruan tinggi. Pemahaman mengenai payung hukum dan perlindungan pers mahasiswa, meskipun memiliki tujuan yang sama, namun mekanisme pencapaiannya berbeda.

Editor: Delta & Sholichah

Kategori
Diskusi

Tak Ada Berita Seharga Nyawa: Beberapa Panduan Meliput Aksi Bagi Persma

Meliput demonstrasi merupakan salah satu jenis liputan yang beresiko tinggi. Sebab, ada kemungkinan terjadi kericuhan saat demonstrasi tengah berlangsung. Tidak jarang jurnalis turut menjadi korban. Para jurnalis diharapkan dapat mengutamakan keselamatan. Berikut adalah panduan liputan aksi yang dapat diikuti:

  • Sebelum Liputan
  1. Ketahui dengan sungguh-sungguh demonstrasi yang akan diliput. Cari tahu seluruh informasi yang bisa didapat, seperti isu, isi tuntutan, dan peta lokasi demo.
  2. Pastikan semua perangkat liputan siap digunakan. Bawa perangkat cadangan seperti SD card, powerbank, flahsdisk dan smartphone apabila diperlukan.
  3. Pelajari peta lokasi dan tentukan jalur evakuasi apabila sewaktu-waktu diperlukan untuk meninggalkan lokasi. 
  4. Siapkan nomor kontak darurat, jika diperlukan nomor itu bisa diakses dengan cepat, akan lebih bagus kalau nomor itu dihapalkan.
  5. Pastikan perangkat digital dan komunikasi selalu berada dalam keadaan terkunci. Hindari menggunakan kunci pola, sidik jari, face id, atau PIN kurang dari 6 angka.
  6. Bagikan rencana liputanmu kepada seseorang yang bisa kamu percaya dan lakukan konsolidasi antarpersma setempat.
  7. Perhatikan pakaian yang kalian akan gunakan. Utamakan kenyamanan dan yang dirasa dapat melindungi.
  8. Bawa obat-obatan pribadi dan P3K untuk pencegahan luka.
  • Saat Liputan
  1. Bawa kartu identitas ‘Pers’ atau surat tugas dari lembaga pers masing-masing.
  2. Bekerjalah dengan tim. Hindari bertugas seorang diri. Jika tidak memungkinkan, carilah orang lain sesama jurnalis yang juga melakukan liputan.
  3. Pastikan tidak terhubung dengan jaringan wifi terdekat, lebih baik gunakan paket data pribadi.
  4. Jangan berdiri di antara polisi/pasukan dan demonstran atau di tengah-tengahnya. Jika perlu berdiri diantara demonstran atau polisi/pasukan untuk mengambil gambar, usahakan tidak lama dan sudah ada antisipasi akan berlindung di mana.
  5. Selalu waspada terhadap aktivitas polisi. Jika mereka memakai masker gas dan perlengkapan anti huru hara, yang terbaik untuk mulai mengarah ke pinggiran.
  6. Saat meliput protes atau kerusuhan, jangan sampai terjebak di antara bentrokan yang terjadi. Berjalan sepanjang di sisi massa aksi adalah pilihan yang aman.
  7. Tetap tenang jika ditangkap. Sebaiknya tenang dan tidak agresif terhadap aparat, ini dapat memperburuk situasi. Melakukan perlawan fisik bisa memperburuk keadaan apalagi kalau dalam kondisi “dikeroyok”. Jika berbicara, berusahalah untuk mempertahankan sikap profesional saat menjelaskan bahwa kita adalah jurnalis yang meliput berita”.
  8. Jika pihak berwenang memutuskan untuk melanjutkan penangkapan, patuhi perintah dan tunggu sampai ada proses hukum di kepolisian. Selanjutnya, hubungi lembaga pers yang memberikan tugas beserta jaringan yang memungkinkan dapat mengadvokasi.
  9. Selalu memberikan kabar kondisi terkini kepada teman atau keluarga.
  • Setelah Liputan. 
  1. Gunakan jalur yang berbeda dengan waktu berangkat untuk menghindari dibuntuti orang yang tidak dikenal.
  2. Periksa kondisi perangkat elektronik dan komunikasi serta pastikan data hasil liputan tersimpan dengan baik.

TAK ADA BERITA SEHARGA NYAWA. KESELAMATAN ADALAH YANG PERTAMA DAN UTAMA.

Kategori
Diskusi

Mengapa Kita Harus Menolak RUU Polri

Draft Revisi Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) telah disepakati oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menjadi Rancangan Undang-Undang (RUU) Inisiatif DPR pada 28 Mei 2024.

Rancangan Undang-Undang (RUU) yang digarap secara kilat ini berpotensi membuat polri menjadi tangan besi bagi penguasa, alih-alih melindungi dan mengayomi warga negara.

Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya, Fathul Khoir dalam diskusi yang diselenggarakan Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) pada 25 Juni 2024 memaparkan, setidaknya terdapat delapan poin bermasalah dalam RUU Polri:

1. Pembatasan dan Pemblokiran Ruang Siber (?)

Pasal 16 Ayat 1 Huruf (q) dari RUU Polri memperkenankan Polri untuk melakukan pengamanan, pembinaan dan pengawasan terhadap Ruang Siber. Kewenangan atas Ruang Siber tersebut disertai dengan penindakan, pemblokiran atau pemutusan, dan memperlambat akses Ruang Siber untuk tujuan keamanan dalam negeri.

2. Perluasan kewenangan interkam (?)

Pasal 16A dan 16B menjelaskan bahwa Polri perluasan kewenangan untuk melakukan penggalangan intelijen dan intelkam. Perubahan ini terlalu membuat posisi polri menjadi super body yang menyebabkan tumpeng tindih dengan lembaga lain.  Hal tersebut berarti bahwa Polri juga memiliki kewenangan untuk menagih data intelijen dari lembaga-lembaga lain yang menjalankan fungsi intelijen seperti Badan Intelijen Nasional (BIN), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Badan Intelijen Strategis TNI (BAIS).

Penambahan pasal RUU Polri memuat bias penafsiran perihal diksi “kepentingan Nasional”. Penafsiran pada pasal tersebut memungkinkan multi tafsir secara subjektif pada kewenangan polri itu sendiri. Selain itu, dengan pasal tersebut mengancam kebebasan berekspresi yang ada pada prinsip-prinsip Hak Asasi manusia.

3. Kewenangan Penyadapan

Poin ini bermasalah karena: 1) Kewenangan penyadapan dalam RUU Polri disebut dilakukan dengan didasarkan pada undang-undang terkait penyadapan. Padahal, hingga saat ini Indonesia belum memiliki peraturan perundang-undangan mengenai penyadapan dan; 2) Kewenangan penyedapan dalam RUU Polri menimbulkan disparitas dengan kewenangan serupa yang dimiliki lembaga penegak hukum lainnya seperti KPK.

4. Polri menjadi Superbody investigator

Berdasarkan Pasal 14 Ayat 1 (g) RUU Polri, polisi berwenang untuk melakukan pengawasan dan pembinaan teknis kepada penyidik pegawai negeri sipil, penyidik lain yang ditetapkan oleh undang-undang. Artinya, penyidik Polri bisa intervensi kepada seluruh jajaran kementrian maupun lembaga-lembaga hukum yang lain, yang mempunyai kewenangan penyidikan dan harus di bawah kontrol polisi.

5. Menghidupkan Pamswakarsa

Polisi berwenang memegang komando untuk membina Pasukan Pengamanan Masyarakat (PAM) Swakarsa. Sebuah upaya untuk membekali masyarakat sipil dengan kewenangan skuritisasi. PAM Swakarsa memiliki sejarah kelam era 1998 yang digunakan untuk menghadang gerakan reformasi.

6. Batas Usia Pensiun

RUU Polri menaikkan batas usia pensiun menjadi 60-62 tahun bagi anggota Polri dan 65 tahun bagi pejabat fungsional Polri. Kebijakan ini justru akan menghambat proses regenerasi—selama ini terjadi penumpukan jumlah perwira tinggi hingga menengah di dalam internal Kepolisian.

7. Tumpang tindih kewenangan

RUU Polri Pasal 14 Ayat 1 (g) menyatakan polisi akan turut serta dalam pembinaan hukum nasional sehingga menimbulkan ketidakjelasan tentang apa yang akan dilakukan dan bersifat tumpang-tindih dengan kewenangan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) di bawah Kementerian Hukum dan HAM. Selnjutnya, Pasal 14 Ayat 2 (c) juga memberikan kewenangan Polri untuk menyelenggarakan sistem kota cerdas (smart city) sehingga memberikan kewenangan tata kelola kota yang terlalu berlebihan. Rencana pemberian Kewenangan kepada Polri dalam tata kelola Smart City juga menunjukkan bahwa rancangan smart city ala pemerintah mengutamakan pendekatan keamanan yang bertumpu pada pengarusutamaan sekuritisasi.

8. Lemahya mekanisme pengawasan

RUU Polri tidak menegaskan posisi dan mekanisme Komisi Kode Etik Kepolisian serta Komisi Kepolisian Nasional sebagai lembaga pengawas dan pemberi sanksi bagi anggota Polri yang melakukan pelanggaran. Pengawas Internal Polri termasuk Kode Etik justru sering kali menjadi “benteng” impunitas dan diskriminasi penegakan hukum di internal Polri. 

Di tengah banyaknya kasus kekerasan terhadap warga yang dilakukan oleh anggota kepolisian, pemerintah tampaknya ingin melanggengkannya dengan memberi kewenangan lebih kepada polri, alih-alih mebenahinya.

#TolakRUUPolri

Kategori
Diskusi

Apa yang Sebaiknya Diperhatikan Media Dalam Memberitakan Pemilu?

Pemilu 2024 tinggal sebulan lagi. Para calon legislatif juga calon presiden dan wakil presiden beserta tim suksesnya semakin gencar memaparkan visi-misinya. Periode kampanye yang sudah mendekati masa akhir, tentu menjadi detik-detik penting. Kesempatan untuk mencari sebanyak-banyaknya suara tersisa sedikit lagi.

Begitu juga dengan pemilih (masyarakat). Masa kampanye merupakan periode penting dalam menentukan pilihan. Maka, sudah barang wajib masyarakat mendapatkan informasi yang selayaknya didapatkan. Disinilah media memegang peran penting.

Media mesti memperhatikan pemberitaannya agar informasi yang sampai kepada publik dapat menjadi sumber pertimbangan rasional untuk memilih. Bukan malah menyajikan informasi yang memandang publik hanya sebagai penonton dalam perhelatan lima tahunan ini. Apalagi sampai memecah belah bangsa. Jangan sampai.

Tiga hal yang sebaiknya diperhatikan oleh media dalam memberitakan pemilu:

1. Utamakan Isu Substansial

Harus diakui, menjelang pemilu 2024 ini, tidak sedikit media yang memberitakan politik menggunakan logika entertainment. Sederhananya, ranah personal para politisi lebih masif diberitakan ketimbang gagasan, rekam jejak, dan kualitas kepemimpinannya. Padahal, hal tersebut sedikit (atau bahkan tidak ada sama sekali) pengaruhnya bagi kehidupan publik.

Pemberitaan semacam itu dikenal dengan istilah politainment, yang merujuk pada fenomena kultural dan politis di mana tidak ada batas yang jelas antara politik dan entertainment.

Politainment tidak dilarang. Tetapi bisa merugikan. Mengapa demikian?

Sebab, politainment bisa mengalihkan informasi-informasi penting (substansial) karena sisi entertainment lebih disoroti. Besar kemungkinan, persepsi publik terhadap para kandidat akan terpengaruh model pemberitaan semacam ini – yang parahnya bisa berkebalikan dari aslinya. Dan yang tidak kalah buruk, politainment bisa saja menutupi bobroknya gagasan, kebijakan, rekam jejak, serta kualitas kepemimpinan para kandidat.

2. Jangan Mengamplifikasi Ujaran Kebencian dan Hasutan

Dalam buku panduan peliputan pemilu 2024 yang diterbitkan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, ujaran kebencian dan hasutan didefinisikan sebagai bentuk komunikasi yang bertujuan untuk memicu emosi negatif dan sikap intoleransi terhadap lembaga, kelompok, atau individu tertentu.

AJI juga mengingatkan sebagaimana kondisi masyarakat Indonesia yang terpecah belah akibat pemilu 2014 dan 2019. Menurutnya, ujaran kebencian dan hasutan merusak demokrasi karena ruang-ruang komunikasi publik berpotensi terhambat oleh syak wasangka.

Maka, media perlu hati-hati dalam menerbitkan berita-beritanya. Terlebih lagi pada saat masa kampanye. Jangan sampai turut menyebarkan berita bermuatan ujaran kebencian dan hasutan.

3. Hati-hati Memberitakan Hasil Jajak Pendapat (polling)/survei

Survei menjadi sesuatu yang sulit dipisahkan dalam setiap gelaran pemilu. Pun demikian, hasil survei juga tidak pernah luput dari sorotan media. Persoalannya, memberitakan hasil survei bukan hanya siapa/partai mana menempati urutan nomor berapa. Memberitakan hasil survei perlu analisa dan pemahaman konteks secara menyeluruh. Alias, jangan memberitakan hasil survei secara mentah-mentah. Dengan demikian, publik akan mendapatkan informasi yang utuh mengenai hasil survei dan apa yang melatarbelakanginya.

AJI Indonesia dalam buku panduan peliputan pemilu 2024 telah memberikan pedoman perihal poin apa saja yang perlu diperhatikan dalam memberitakan hasil survei.

1. Pilihlah lembaga survei yang kredibel dan punya rekam jejak yang bagus.
2. Cek, apakah lembaga tersebut terdaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU) atau tidak. Lembaga survei yang terdaftar di KPU adalah lembaga yang dianggap resmi dan diakui kredibilitas dan profesionalitasnya oleh KPU.
3. Kenali mana lembaga survei yang bekerja secara independen dan mana lembaga yang bekerja untuk pemenangan kandidat/partai tertentu.
4. Usahakan tidak membuat berita hanya berdasarkan hasil satu lembaga survei. Bandingkan dengan hasil survei lembaga lain.
5. Laporkan hasil survei dalam konteks yang lebih besar atau dalam trens yang lebih panjang. Tren bisa dilihat dari hasil survei sejumlah lembaga utama unntuk periode tertentu. Hasil survei yang bebeda dari tren perlu diwaspadai dan diperlakukan dengan skeptis.
6. Jangan mengandalkan interpretasi lembaga survei, periksa daftar pertanyaan, bandingkan dengan hasilnya, dan tren hasil survei lain.
7. Laporkan waktu pelaksanaan survei dan perhatikan peristiwa penting yang kemungkinan besar mempengaruhi hasil survei tersebut.
8. Laporkan metode survei, cara pengambilan sampel, keterbatasan, serta margin of error.
9. Jelaskan profil lembaga pelaksana survei, lebih baik bila bisa mengungkap siapa penyandang dananya.

Selain tiga hal yang telah diuraikan. Tidak boleh dilupakan bahwa media harus tetap berpegang teguh pada prinsip jurnalisme. Pun juga jurnalis yang mesti patuh terhadap kode etik jurnalistik.

Sumber&referensi:
– remotivi.or.id
– Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, “Panduan Peliputan Pemilu 2024 Bagi Jurnalis”

Kategori
Diskusi Esai

Pers Mahasiswa dan Persoalan yang Tertinggal

Tidak berlebihan rasanya kala Jarar Siahaan, mantan redaktur koran harian Jawa Pos Grup di Medan, menyebut bahwa tugas jurnalis laiknya menjalankan fungsi kenabian. Di antara yang ia sampaikan adalah jurnalis dapat membidani sejarah, menyebarkan kebajikan, membela kebenaran, memperjuangkan keadilan, membongkar kejahatan, dan mencerahkan pikiran. Dalam tataran paling dasar, itu merupakan tugas sehari-hari seorang jurnalis yang nantinya akan menghasilkan luaran bermacam rupa. Fungsi-fungsi tersebut akan membawa jurnalis melewati kerja-kerja pencarian berita yang menyeluruh, berimbang, dan disiplin melakukan verifikasi. 

Predikat tugas kenabian itu akan gugur apabila jurnalis melewatkan salah satu tahap saja. Tidak terkecuali pers mahasiswa yang merupakan bagian dari ekosistem pers. Bukan karena mereka mahasiswa-bekerja secara sukarela, dianggap sedang main jurnalistik-jurnalistikan-lantas tidak dikenakan konsekuensi tugas mulia tersebut, tetapi siapa saja yang mengenyam predikat pers cum jurnalistik, tugas kenabian itu sesungguhnya melekat di dalam dirinya. Kendati, peran pers mahasiswa acap kali direduksi dan dipandang sebelah mata hanya karena mereka masih mahasiswa. Ya, sesederhana itu.

Padahal, apabila ingin sedikit meromantisasi, pada periode kelam dunia pers Indonesia lantaran pembatasan-pembatasan yang begitu ketat oleh rezim, pers mahasiswa muncul sebagai media alternatif yang mengedarkan berita dan wacana kritis di tengah masyarakat. Di era kiwari seperti saat ini, sebenarnya pers mahasiswa masih dianggap sebagai media alternatif yang mampu bersaing dengan media arus utama yang konon terverifikasi itu. Apalagi, pers mahasiswa yang luwes, tanpa ada kepentingan akumulasi kapital, dan dekat dengan isu publik–dalam hal ini pendidikan tinggi–yang tidak mungkin semua isunya diangkat oleh media arus utama, harusnya menjadi momentum untuk lebih progresif dan menghasilkan liputan yang “berdampak”.

Masih begitu segar di ingatan tentang peristiwa awak LPM Lintas dipolisikan oleh kampusnya sendiri, IAIN Ambon, karena menguak fakta terkait dugaan kekerasan seksual di lingkungan kampus dan dianggap mencemarkan nama IAIN Ambon. Saat itu, LPM Lintas menerbitkan majalah berjudul IAIN Ambon Rawan Pelecehan edisi 14 Maret 2022 yang berisi laporan investigasi 32 kasus kekerasan seksual di IAIN Ambon periode 2015-2021. Selain mempolisikan beberapa anggota LPM Lintas, pihak kampus juga menerbitkan surat pembekuan yang membuat aktivitas LPM Lintas terpaksa berhenti. Padahal, kalau kampus yang mengklaim sebagai “Institute Agama Islam” itu  bijak dan arif dalam merespons laporan jurnalistik, harusnya temuan LPM Lintas bisa dijadikan bahan awal untuk mewujudkan kampus yang aman dan bebas dari kekerasan seksual. Namun, sikap kampus itu jauh panggang dari api: bar-bar dan tidak mencerminkan sikap kedewasaan perguruan tinggi dan semangat dalam mewujudkan Islam Kaffah sebagaimana Islam yang dicatut di nama kampus mereka. Ibaratnya, IAIN Ambon ingin Jumatan, tetapi dia salat di hari Sabtu. Tersesat jauh hidupnya.  

Kasus Lintas ini baru satu dari sekian banyak kasus represi yang menimpa pers mahasiswa karena aktivitas jurnalistiknya. Berdasarkan laporan dari PPMI Nasional, sejak tahun 2013-2021, terdapat tren peningkatan represi terhadap pers mahasiswa.

Peningkatan tersebut cukup tajam setelah pada periode 2017-2019 ‘hanya’ terdapat 58 kasus represi yang tercatat dan kemudian meningkat menjadi 185 kasus represi yang tercatat pada periode 2020-2021. Pereduksian pers mahasiswa bisa datang dari mana saja, kasus terbanyak dilakukan oleh birokrat kampus (48), sesama mahasiswa (16), dan Badan Eksekutif Mahasiswa/Dewan Eksekutif Mahasiswa (12).

Bentuk represinya pun beragam dengan yang paling banyak berupa teguran (81), pencabutan berita (24), dan makian (23).

Fenomena represi yang dialami pers mahasiswa ini tidak boleh dinormalisasi, meski sesama pers mahasiswa persoalan ini selalu menjadi sajian utama di forum diskusi: bahwa pers mahasiswa direpresi karena kesalahannya sendiri. Ya, memang harus diakui masih ada pers mahasiswa yang melakukan kesalahan, berupa tidak melakukan verifikasi, menulis berita hanya berdasarkan sentimen dan opini pribadi, tidak menerapkan asas praduga tak bersalah terhadap “subjek” yang diduga melakukan kejahatan, dan aneka umpan yang pers mahasiswa pasang sendiri agar disantap oleh “mereka”. Namun, bukan berarti merepresi pers mahasiswa boleh dilakukan ketika mereka melakukan kesalahan, kembali lagi: kalau yang bermasalah berita atau aktivitas jurnalistik, langkah yang dilakukan, ya, diselesaikan dengan mekanisme pers. Itu!

Diskursus ini menurut saya penting dibahas di barak pers mahasiswa: peningkatan kapasitas awak dan menjadikan kode etik jurnalistik sebagai pegangan ketika melakukan aktivitas jurnalistik. Sembari kita terus mengupayakan payung hukum yang selama ini diperjuangkan agar bisa menjamin aktivitas jurnalistik dan perlindungan bagi pers mahasiswa secara komprehensif.

Meningkatkan Kapasitas itu Penting

Di saat banyak sekali pembicaraan yang mengudara tentang perlindungan hukum bagi pers mahasiswa (Persma), ada satu hal yang tertinggal di sudut-sudut kesadaran kita. Hal ini menjadi kapiran dan ironisnya, pereduksian itu datang dari diri Persma itu sendiri: kurangnya kesadaran untuk senantiasa meningkatkan kapasitas yang sampai pada waktunya bisa berakibat fatal.

Permasalahan ini membawa Persma pada suatu fenomena tersendiri. Persma tidak bisa menutup mata bahwa kurangnya kapasitas untuk menyajikan liputan yang komprehensif dapat berujung bahaya bagi mereka. Dengan perlindungan terhadap persma yang ringkih saat ini, bisa dibilang penyelamat pertama bagi awak persma adalah diri mereka sendiri. Kondisi ini menyebabkan setiap awak pers mahasiswa, mau tidak mau, harus menggenapkan pengetahuan-pengetahuan mereka terlebih dulu, baik pengetahuan sebelum, ketika, maupun setelah liputan. Sialnya, hal ini banyak terabaikan lantaran Persma kerap kali disibukkan dengan kerja-kerja klasik organisasi, menggarap event, mengejar tenggat, lantas sudah keburu lelah untuk menambah bekal ilmu. Dan, selalu tergoda untuk menerbitkan berita “sensitif” secara terburu-buru?

Biarpun kata pepatah, pengalaman adalah sebaik-baiknya guru, sebagai bagian dari awak pers yang tidak terlepas dari etika keprofesian, Persma tetap butuh didudukkan bersama teori-teori. Kerapkali pendidikan jurnalistik pada pers mahasiswa berhenti di diklat dasar. Padahal awak pers mahasiswa berjalan dari pemberangkatan yang berbeda-beda, yang itu artinya perlu rancangan silabus yang optimal untuk diajarkan agar setiap awak persma memiliki pemahaman yang sama. 

Pengajaran ini pun tidak boleh hanya pada masa pengkaderan, tapi juga terus sampai selesai keanggotaan. Bentuk dan cara pengajarannya dapat bermacam-macam, tidak mentok hanya pengajaran konvensional di ruang kelas. Soal ini, kita bisa diskusikan lagi lain waktu. Sebab, persoalan lain yang perlu diingat adalah barangkali kawan-kawan di kanan-kiri kita inilah yang nanti akan mewarnai dunia pers Indonesia ke depannya. Tentu kita tidak mau, di masa mendatang perusahaan-perusahaan media menyaru sebagai pemroduksi propaganda dan dikuasai oleh jurnalis bodrek, mereka-mereka yang mengabaikan panduan moralnya dalam menjalankan profesi jurnalistik.

Saya memahami gairah yang berkelindan di dalam tubuh pers mahasiswa karena saya sendiri pernah merasakannya. Mendengar selentingan ketidakberesan dari birokrat kampus, misalnya. Biasanya, sesaat kita mendapat ‘isu bagus’ yang memiliki nilai berita tinggi, kita akan menggebu-gebu membawanya ke meja redaksi. Bersemangat merencanakan dan merancang liputan. Mencari data dan berkas sana-sini, melontarkan hipotesa begitu dan begini, wawancara si itu dan si ini. Namun, barangkali ketergesa-gesaan ini justru bisa berbalik memakan kita.

Dalam konteks liputan investigasi, Andreas Harsono dalam bukunya ‘A9ama’ Saya adalah Jurnalisme, membeberkan meski ukuran waktu bersifat nisbi, tetapi sebuah karya investigasi memakan waktu pengerjaan yang cukup lama. Karya investigasi tidak dimulai dari sebelum terjun ke lapangan, tapi jauh sebelum itu. Liputan investigasi dimulai sejak desas-desus beredar, lalu pencarian data-data awal dan pengajuan hipotesa, merekonstruksi kejadian, hingga pada akhirnya menjadi liputan yang utuh. Agar menjadi liputan yang berdampak, liputan investigasi butuh ketelatenan yang memakan waktu. 

Dalam liputan investigasinya yang berjudul Bre-X: Sebungkah Emas di Kaki Langit, Bondan Winarno, seorang jurnalis lepas bercerita bahwa ia memerlukan waktu dua bulan penuh untuk menyelesaikan liputan tersebut. Menengok ke Tempo, kantor berita yang sudah menghasilkan banyak sekali liputan investigasi, menurut pengakuan jurnalis-jurnalisnya, juga menguraikan pernyataan yang kurang-lebih serupa.

Kita, pers mahasiswa, memang tidak bisa membandingkan diri dengan Bondan Winarno atau Tempo yang telah malang-melintang di dunia pers Indonesia, khususnya peliputan investigasi. Namun, kita bisa mencontoh satu pakem watak dari mereka, yaitu tenang dan tidak grasak-grusuk. Bondan dengan tekun bolak-balik Calgary-Toronto lalu Jakarta-Manila kemudian Samarinda-Balikpapan-Busang agar dapat merekonstruksi temuannya secara utuh. Pun dengan Tempo yang berhati-hati menggeledah berkas-berkas, menelusuri data-data, melakukan lobi-lobi receh sampai tingkat tinggi. Semua dilakukan dengan tenang dan tidak jarang secara senyap.

Entah berapa kali, tapi yang pasti setiap pers mahasiswa pernah bersinggungan dengan liputan investigasi. Tentang ini, sampai sekarang, saya masih teringat akan satu hal. Saat itu, di kampus terdengar selentingan adanya ketidakberesan dari suatu event yang digelar oleh salah satu UKM. Lama tidak diurai, kerunyaman itu berujung pada perang dingin antar beberapa UKM yang berkaitan. Mendengus hal tersebut saya tergugah dan mengajak salah seorang rekan untuk menelusurinya. Kebodohan saya tiada tanding karena di hari pertama saya mendengar kabarnya, saya langsung bernafsu untuk mewawancarai pihak-pihak yang bersengketa. Tanpa pegangan latar belakang, profil, atau duduk sengkarut masalahnya. Hingga pada akhirnya, entah harus senang atau sedih, permintaan wawancara saya untuk kedua pihak ditolak. Kelak saya menyadari, andaikan liputan itu saya teruskan dengan kapasitas yang alakadarnya pada saat itu, besar kemungkinan saya akan terjerumus dalam bahaya.

Menjalankan liputan investigasi tanpa bekal dan persiapan yang matang hanya akan membawa jurnalis pada pengabaian terhadap kode etik jurnalistik. Kita akan mudah hilang kesabaran, ketekunan, dan yang paling berbahaya, hilang keteguhan. Analoginya seperti kita menaiki tangga gantung vertikal yang harus dititi satu per satu. Sebutlah tangga pertama dengan mencari penyokong; mentor, dana, dlsb. Tangga kedua adalah perencanaan; tangga ketiga sebagai mencari sumber-sumber awal; dan seterusnya hingga mencapai tangga terakhir yaitu publikasi. Tidak bisa tidak kita harus menaikinya satu per satu atau tangga akan bergoyang, dan kemungkinan terburuknya kita akan jatuh. Sebuah definisi nyata dari sudah jatuh, tertimpa tangga pula.

Menurut hemat saya, pers mahasiswa tidak perlu seperti media penghamba klik lantas tergesa-gesa dan ingin menjadi yang paling terkini, tetapi hasilnya jadi terasa kitsch. Menurunkan kualitasnya demi kecepatan. Alih-alih menunggangi ombak, dengan kapasitas optimumnya, pers mahasiswa justru dapat menciptakan ombaknya sendiri. Meluapkan fakta yang dihasilkan dari praktik-praktik jurnalisme yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan.

Oleh karena itu, perjuangan meningkatkan ketahanan diri dari represi akan muspro kalau tidak dibarengi dengan peningkatan kapasitas individu. Sebab, seandainya pun payung hukum untuk pers mahasiswa sudah ada lalu dikemudian hari terjadi konflik, apabila sejak awal kerja-kerja dibalik liputannya sudah keliru, tetap akan sukar untuk mengadvokasinya. 

Untuk itu, tidak ada salahnya menarik langkah mundur sebentar untuk kemudian melenting dengan ilmu-ilmu yang sudah genap. Kapasitas individu ini nantinya berkorelasi dengan kapasitas kolektif pers mahasiswa itu sendiri. Kalau sudah begini, saya jadi ingat wejangan salah satu senior saya dulu, persma tidak perlu terjebak dari hiruk-pikuk informasi di media sosial maupun media mainstream. Sudah saatnya pers mahasiswa memiliki agenda setting sendiri yang bermuara untuk kepentingan publik. Tentu hal ini akan tercapai apabila pers mahasiswa senantiasa mawas diri dan bersedia terus mengakselerasi kemampuannya. 


Penulis: Mardhiah Nurul Lathifah, pembelajar di LPM Kentingan UNS

Penyunting: Adil Al Hasan

Kategori
Diskusi Esai

Pers Mahasiswa: Dewan Pers, Ayolah!

Dewan Pers klaim sudah lindungi pers mahasiswa sebelum rancangan regulasi tentang jaminan perlindungan dan kebebasan pers mahasiswa itu dibahas. Buktinya adalah sikap Dewan Pers dalam pembredelan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Lintas. Pengakuan ini jelas problematik. 

Hal itu disampaikan dalam sebuah unggahan Instagram @officialdewanpers, yang diunggah pada 10 Maret 2023. Melalui video tersebut, Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers, Yadi Hendriana, mengatakan Dewan Pers akan berdiri di depan untuk membela wartawan kampus jika mengalami sengketa pers.

“Setelah dikatakan produk pers, bebas,” kata Yadi. 

“Jadi saya pastikan apa yang kami katakan bukan lip service,” sambung Yadi.

Apa yang dikatakan Yadi Hendriana di atas sangat heroik. Pernyataanya barangkali bukan lip service, tapi jelas mengaburkan fakta bahwa pers mahasiswa dewasa ini sangat-sangat butuh legalitas.

Beliau yang terhormat bilang, bahwa pers mahasiswa tidak perlu cemas soal perlindungan hukumnya jika karyanya benar-benar produk pers. Jika direpresi, silakan menghubungi Dewan Pers yang buka 24 jam. 

Sepintas, pernyataan itu bisa dibenarkan. Tapi berbahaya jika ditelan bulat-bulat. Mengapa demikian? 

Dalam kasus pembredelan Lintas, benar, bahwa Dewan Pers telah mengakui karya yang diterbitkan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Lintas. Pengakuan itu dikeluarkan Dewan Pers ketika Lintas mengirimkan surat permohonan untuk menilai karya jurnalistik dan perlindungan pers mahasiswa. Dewan Pers kemudian membalas permohonan Lintas pada 13 Mei 2022, melalui Surat Dewan Pers Nomor 446/DP-KV/2022 tentang Penilaian Karya Jurnalistik dan Perlindungan Pers Mahasiswa. 

Pada intinya, surat itu menyatakan, majalah Lintas bertajuk IAIN Ambon Rawan Pelecehan sudah dibuat sesuai mekanisme UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan sesuai Kode Etik Jurnalistik (KEJ).

Selain itu, sikap Dewan Pers juga disampaikan oleh Imam Wahyudi dalam sidang gugatan Surat Keputsan Rektor Nomor 92 tentang Pembekuan LPM Lintas di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Ambon. Imam Wahyudi mewakili Dewan Pers hadir melalui ruang virtual zoom sebagai saksi ahli dari pihak penggugat—LPM Lintas—dan memaparkan letak pers mahasiswa. Imam merujuk Jurnal Dewan Pers Edisi 14 Juni 2017 dan mengakui pers mahasiswa masuk dalam kuadran kedua sebagai pers yang produk jurnalistiknya diakui oleh Dewan Pers.

Di sinilah masalahnya. Dalam praktiknya, pernyataan Yadi di atas, bahwa ketika Dewan Pers sudah turun tangan untuk melindungi pers mahasiswa maka akan “bebas”, itu justru jauh panggang dari api. 

Lintas dibuat gigit jari oleh PTUN Ambon. Gugatan Lintas ditolak sebelum masuk pokok perkara. Alasannya, Lintas dinilai tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing

Di sisi lain, Lintas yang dilaporkan oleh IAIN Ambon ke Polda Maluku karena mengungkap kasus dugaan kekerasan seksual di kampus, masih bergulir sampai sekarang. Bahkan, IAIN Ambon menahan dan menghalang-halangi hak anggota Lintas yang menolak represi itu untuk melanjutkan studi.

Dari sini kita bisa melihat, bahwa sebagian pengakuan sekaligus heroisme Dewan Pers yang ditampilkan oleh Yadi hanya retorika saja. Perlindungan pers mahasiswa tidak cukup sekadar mengakui karya pers mahasiswa ketika ada kasus yang “viral” dan kasuistik saja. Namun harus menyeluruh: jaminan perlindungan dan kebebasan pers sebagaimana diamanatkan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pada bagian inilah yang luput dari pernyataan Yadi. 

Selain itu, beberapa kasus yang didampingi PPMI, tidak semua represi terjadi setelah pemberitaan terbit, beberapa dari mereka juga direpresi ketika melakukan peliputan. Tiga jurnalis pers mahasiswa di Makasar, misalnya, ditangkap Direktorat Kepolisian Perairan dan Udara (Polairud) Polda Sulsel saat meliput aksi nelayan tolak tambang pasir. Ketiganya telah menunjukkan kartu pers dan surat tugas kepada polisi, tetapi polisi tidak mengindahkan kartu pers tersebut. Sebelum dibawa, ketiganya diduga mendapat tindakan intimidasi dan kekerasan dari polisi. Berikut ini adalah rentetan kasus represi pers mahasiswa yang didampingi PPMI. 

Timeline Dark Infographic
Infogram

Dewan Pers, Ayolah, Segera!

Dalam artikel Elegi Pers Mahasiswa: Hujan Represi tanpa Kendali Payung Regulasi yang terbit di laman Persma.id pada 8 Januari 2023 silam, juga sudah disinggung soal tanggung jawab moral dan institusional Dewan Pers. Harusnya Dewan Pers bisa melakukan inovasi progresif berkaitan dengan payung hukum dan situasi pers mahasiswa dewasa ini. 

Modalitas simbolik, politik, ekonomi, intelektual yang ada di sekujur tubuh lembaga itu harus menyentuh akar masalah pers mahasiswa. Dewan Pers tidak boleh lepas tangan atau sekadar cuci tangan dengan membuat program seminar, goes to campus, coaching clinic, atau apapun istilahnya untuk diklaim sebagai wujud peduli terhadap pers mahasiswa. Apalagi sekadar bertanya kabar, seperti artikel di Buletin Etika milik Dewan Pers Vol. 34 Oktober 2022 berjudul Apa Kabar Pers Kampus? 

Jawaban pertanyaan itu jelas, kabar pers mahasiswa tidak baik, dan kami menuntut hak perlindungan dan jaminan kebebasan atas kerja jurnalistik pers mahasiswa kepada Dewan Pers! Kami tidak bermaksud untuk mengemis, hak memang mesti dijamin, bukan? 

Dewan pers yang memiliki fungsi melindungi kemerdekaan pers, sekaligus lembaga yang mempunyai jalur komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah seharusnya bisa lebih tegas dan proaktif membantu pers mahasiswa mendapat keadilan dan rasa aman dalam kerja-kerjanya. Pers mahasiswa yang bekerja dengan mengacu pada KEJ sudah sepatutnya mendapatkan perlindungan. Tentu ini tak hanya menyangkut tentang pers mahasiswa, tetapi siapa saja yang melakukan kerja jurnalistik, termasuk jurnalisme warga.

Apa yang menimpa Lintas sangat mungkin terjadi kepada LPM lainnya. Ketika pers mahasiswa mencari keadilan di meja hukum, maka legalitas akan terus dipertanyakan. 

Kita tahu, pembredelan Lintas tak berdasar. Tapi apa yang bisa dilakukan jika sebagai subjek hukum saja, pers mahasiswa tak dianggap. 

Legalitas telah menjadi celah besar bagi kampus untuk terus bertindak sewenang-wenang. Serangan dan ancaman akan terus ada selama legalitas pers mahasiswa masih buram. 

Kerentanan tak hanya sampai di legalitas, keanggotaan secara personal di lembaga pers mahasiswa juga menjadi sasaran empuk pihak kampus untuk melakukan intimidasi. Salah satunya menghalang-halangi hak mahasiswa untuk studi. 

Dalam kasus Lintas, misalnya, IAIN Ambon terbukti melanggar hak atas pendidikan terhadap beberapa awak Lintas. Hal itu telah diakui Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)  Republik Indonesia, dalam Surat Rekomendasi Nomor 160/PM.00/R/I/2023.

IAIN Ambon dinilai melanggar hak atas pendidikan karena membatasi studi anggota Lintas. Surat rekomendasi yang terbit pada 27 Januari 2023 ini, juga berisi rekomendasi dari Komnas HAM ke IAIN Ambon, agar memberikan hak penuh atas pendidikan kepada anggota Lintas

Namun kampus hijau—julukan IAIN Ambon—tersebut tak mengindahkannya, hingga saat ini kampus masih belum memberikan akses pendidikan kepada sebagian anggota Lintas

Sementara itu, jangan lupa, kalau pelaku represi tidak hanya kampus. Dalam catatan kasus PPMI, Organisasi Masyarakat (Ormas), mahasiswa, aparat (polisi/TNI), dll juga menjadi pelakunya. Jadi, persoalan pers mahasiswa jangan sampai hanya dilokalisasi di kampus saja. Sebab, pers mahasiswa tidak hanya meliput fenomena di kampus, tetapi di luar kampus juga. Nah, di sini, sekali lagi, Dewan Pers harus turun gunung.

Menjadi Pers Mahasiswa itu “Profesi”

“Manusia yang cukup beruntung mampu mengenyam pendidikan ini memang kerjaannya membaca, termasuk membaca keadaan, politik, kekuasaan, problem sosial, kesewenangan, penyimpangan, memang itulah kerjanya. Mengkritik dan bertanya adalah kerjaannya. Jangan bilang sebagai calon intelektual, tapi intelektual muda,” begitu kutipan dari Kata Pengantar Buku Putih Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) yang ditulis oleh Moh. Fathoni, salah satu pengurus PPMI Nasional periode 2008-2010. 

Sementara itu, selain intelektual muda, pers mahasiswa memang memiliki nilai khas atas kerja-kerja jurnalistik mereka, yaitu independensi. Kalau di PPMI ada lima rumusan besar tentang pers mahasiswa–spririt intelektualitas; kemanusiaan (keberpihakan pada moral dan etika); kerakyatan (keberpihakan dan kepedulian pada rakyat lapisan bawah); kebangsaan (demokratisasi dan kemartaban); dan indepedensi (khas dari pers cum mahasiswa). 

Namun, jangan salah. Pers mahasiswa bukan sekadar unit kegiatan mahasiswa biasa, tetapi “profesi”. Ya, saya sebut “profesi” (dalam tanda petik), karena apa yang mereka kerjakan di LPM sudah sungguh-sungguh selayaknya media dan pers arus utama lakukan: reportase, taat pada kode etik dan UU Pers, kontrol sosial, dll. Nah dari sinilah alasan mengapa pers mahasiswa tidak mengadu atau meminta jaminan perlindungan dan kebebasan pers ke Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Kalau ke Kemendikbudristek apa bedanya dengan Unit Kegiatan Mahasiswa dan Organisasi Mahasiswa pada umumnya? Sebab, kendati pers mahasiswa hidup di ruang lingkup perguruan tinggi, tetapi aktivitas yang dilakukan itu sudah seperti pers pada umumnya. Pers mahasiswa sudah menjadi “profesi”, bukan sekadar unit kegiatan mahasiswa atau humas kampus.  

Karena itu, bagi saya, pers mahasiswa memang unik dan spesial. Bukan bermaksud meromantisasi atau membanggakan diri, tetapi siapa yang berkenan liputan jauh-jauh, ke sana ke mari ngejar narasumber/data, membuat liputan untuk publik, kerentanan direpresi tinggi, tetapi tidak digaji? Ya, pers mahasiswa! Pun jika ada biaya atau ongkos liputan, itu pasti hasil iuran, ongkos pribadi, atau ada beasiswa dari organisasi pers di luar. 

Nah, dari sini, sudah sepatutnya tidak ada dikotomi antara pers mahasiswa, jurnalisme warga, dan media arus utama yang konon terverifikasi itu. Apalagi, penilaian “media terverifikasi” dan “tidak terverifikasi” hanya melihat dari badan hukum perusahaan pers. Mengapa tidak dari produknya, karyanya, atau kerja-kerjanya? Pada situasi ini, saya rasa hanya Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang sudah mengakui pers mahasiswa bukan dari legalitasnya, tetapi dari karya dan kerja-kerja jurnalistiknya. Dewan Pers harusnya memiliki pandangan yang progresif seperti ini. 

Sekarang, bola panas sudah di tangan Dewan Pers. Publik–pers mahasiswa khususnya–menunggu sikap dan regulasi yang akan digarap. Kabarnya, regulasi tentang Jaminan Perlindungan dan Kebebasan Pers Mahasiswa yang menggandeng beberapa kementerian terkait pendidikan tinggi dan beberapa organisasi jurnalis itu sudah mulai dikerjakan, ditarget akhir tahun ini sudah jadi. Semoga. Peluk jauh buat Dewan Pers! Tabik***

Penulis: Adil Al Hasan dan Yolanda Agne

Editor: Arya Prianugraha

Kontributor Ilustrator: Fikri Maswandi