Kategori
Diskusi

Revolusi Pasar Tradisional

Mopanas ..
ramai ..
bau ..
kotor ..
jorok ..
becek ..
pedagang
pembeli beradu mulut
tawar
menawar barang disini

sampah yang menumpuk
ulah orang yang tidak
bertanggungjawab

tukang ojek
tukang
parkir
menimbulkan
sakit di telinga

Akankah semua ini akan berubah ?

Anna Theresia Irawan

Inilah sepenggal puisi yang berjudul pasar tradisional dari Anna Theresia Irawan. Puisi tersebut secara terang-terangan mendukung bahwa kalimat ‘tradisional’ selalu dikontraskan dengan modern. Tradisional identik dengan kumuh, jorok, becek, dan membosankan; sementara modern lebih mengesankan bersih, nyaman, dan menarik.

Dalam UU Perdagangan no.7 tahun 2014, pasar tradisional berubah menjadi pasar rakyat, dan pasar modern berubah jadi pasar swalayan. Bisa jadi hal tersebut berpengaruh pada eksistensi pasar tradisional. Lalu eksistensi seperti apa yang dimaksudkan? dalam aktivitas ekonomi eksistensi ini seringkali dihubungkan dengan kemampuan bersaing.

Saat ini pasar modern di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup pesat. Keberadaan pasar modern di Indonesia kemungkinan besar akan berkembang dari tahun ke tahun. Perkembangan dapat menjadi tantangan keberadaan pasar tradisional. Pasar modern yang pada dasarnya dimiliki oleh pengusaha asing dan para investor lokal dapat dengan mudah menggantikan peran pasar tradisional yang mayoritas dimiliki oleh masyarakat kecil.

Pada tahun 2012, data dari Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Malang mencatat bahwa terdapat 91 ritel atau pasar modern berbentuk minimarket yakni 57 Indomaret dan 37 berbentuk Alfamart dan jumlah swalayan modern di wilayah Kota Malang telah melebihi batas ideal yang seharusnya antara 18-20 lokasi.

Pasar tradisional seakan tak mau kalah dengan pasar modern. Pasar tradisional berupaya mengembangkan strategi untuk memenuhi kebutuhan atau tuntutan konsumen sebagaimana yang telah dilakukan oleh pasar modern.

Beberapa pasar tradisional di kota Malang mengalami revitalisasi dengan alasan kenyamanan konsumen saat berbelanja. Hal ini bisa dilihat dari tulisan Eko Widianto dalam Tempo.co (02/14). Dalam tulisan tersebut dijelaskan bahwa pemerintah Kota Malang bakal merevitalisasi 14 pasar tradisional di kota Malang untuk memperbaiki citra buruk pasar tradisional.

Citra buruk yang dimaksudkan adalah tampilan pasar, atmosfir (udara atau suasana), tata ruang, tata letak, keragaman dan kualitas barang, promosi penjualan, jam operasional pasar yang terbatas, serta optimalisasi pemanfaatan ruang jual. Salah satu pasar tradisional yang direvitalisasi adalah pasar Dinoyo Malang.

Pasar Dinoyo yang dulunya  kumuh, kini sudah bermetamorfosis menjadi pasar tradisional yang bersih. Bukan hanya suasana saja yang baru, nama pasar Dinoyo pun kini diubah menjadi Pasar Terpadu Dinoyo (PTD). Pasar tiga lantai tersebut juga bersebelahan dengan Mall Dinoyo City (MDC).

Walaupun PTD merupakan pasar tradisional, tapi konsep pengelolaannya seperti pasar modern. Di pasar terpadu ini terdapat tiga lantai. Di lantai dasar akan digunakan untuk menjual bahan-bahan kering seperti sayur-sayuran, pakaian, dan sembako. Sedangkan di lantai satu akan dibuat menjual bahan-bahan basah seperti daging, ayam, dan lain sebagainya.

Tidak hanya itu, untuk parkir pun akan ditata layaknya mal. Semua parkir akan dipusatkan di lantai dua. Selain penataan, untuk pengelolaan di dalam pasar tradisional sudah menggunakan SOP (standard operating procedure) seperti mal. Jadi, disetiap lantai ditempatkan sejumlah  penjaga keamanan. Sehingga keamanan pengunjung benar-benar terjamin.

Dengan fasilitas yang seperti itu tentunya pedagang harus merogoh kocek lebih dalam untuk dapat menyewa gerai atau toko untuk tempat berjualan .Ketika pasar Tradisional sibuk berbenah diri dan menyamakan segala sesuatunya dengan pasar modern. Mereka melupakan sesuatu yang penting. Adanya proses tawar menawar antara pedagang dan pembeli bias jadi tidak akan bisa kita jumpai lagi. Apakah ada yang pernah melihat  pembeli yang menawar harga saat berbelanja di supermarket?

Dalam pasar Tradisional seorang pedagang tidak sekedar menerima uang dan pihak lain menerima barang, tetapi terdapat kebutuhan sosial yang ingin didapat dari pihak lain, yakni penghargaan yang bersifat timbal-balik berlangsung dalam hubungan yang setara, terjalin ikatan hubungan personal emosional. Demikian juga dengan konsumen atau pelanggan tidak semata mendapat sesuatu barang yang diperlukan, tetapi terdapat “kepuasan” lain yang diperlukan, diantaranya tempat dan dengan siapa penjual yang dihadapinya.

Dalam budaya masyarakat timur, berbelanja sambil bersosialisasi adalah lebih menjadi preferensi dari pada berbelanja secara individualis, maka berbelanja sambil tukar bicara adalah salah satu modus pemuas kebutuhan, atau sebagai salah satu bagian yang menyertai komoditi yang harus dipenuhi.

Dalam penelitian S. Leksono (2009) menemukan bahwa pasar tradisional adalah sebagai modus interaksi sosial-budaya bahkan pasar juga mengandung fungsi religius sebagai sarana ibadah. Didalam proses tawar-menawar akan berlangsung proses komunikasi yang dapat menunjukkan kejelasan tentang karakter obyek barang yang diperjual belikan serta terjadi proses penyesuaian harga.

Proses transaksi mempunyai peluang berkelanjutan berdasarkan interaksi social yang terjadi karena diantara keduanya menjadi saling kenal. Jika Anna TheresiaIrawan tadi bertanya dalam puisinya apakah semua akan berubah? Tentu jawabannya iya. Bayangkan jika semua pasar tradisional berevolusi menjadi swalayan atau bentuk pasar modern seperti hypermart, supermarket dan lain sebagainya.

 

Catatan redaksi: Naskah ini terpilih menjadi juara satu Lomba Esai bertema “Eksistensi Pasar Tradisional” yang diadakan pada Dies Natalis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) ke-23 di Semarang.

Kategori
Diskusi

Membaca Esai atau Pidato

Saya selalu merasa bahagia ketika mengetahui ada mahasiswa masih bergairah menulis, apalagi menulis esai. Esai, dalam pemahaman saya, adalah jenis tulisan yang tidak terlalu banyak memiliki kaum pembaca. Dugaan ini berangkat dari sebuah survei sederhana: untuk menjadi penulis yang digemari, seorang cerpenis, novelis, atau penyair, bisa saja hanya cukup menulis satu karya, atau satu buku, yang akan membuat penulisnya mendapat pembaca sekaligus penggemar, juga pengakuan. Iksaka Banu, misalnya. Ia cukup menerbitkan sebuah buku kumpulan cerpen, yang mengantarkannya mendapat penghargaan sebagai karya terbaik pada tahun 2014. Atau, Rio Johan yang berhasil mendapat pengakuan sebagai tokoh sastra dari sebuah majalah terkemuka hanya dengan menerbitkan sebuah novel. Kita bisa saja bergumam: mungkin itu sudah nasib mereka.

“Hukum” di atas, tentu saja, tidak berlaku bagi esais. Silakan bertanya pada diri sendiri, berapa banyak penulis di negeri ini yang konsisten menyandang predikat esais? Tak banyak. Seorang esais mesti memiliki kelebihan dalam hal referensi bacaan, kedalaman permenungan, serta kecakapan bertutur—kita biasa menyebutnya “gaya menulis”. Juga keberanian dalam bermain-main dengan pikiran-pikiran liar. Dan, tentunya, tak melulu bicara data dan fakta. Esai memungkinkan untuk mengaitkan imajinasi dan hal-hal personal berkelindan sekaligus bertentangan dengan yang umum, yang tabu, yang banal, juga yang ideologis sekalipun. Esai, dalam bahasa Goenawan Mohamad, bisa dimaknai sebagai ajang untuk “coba-coba”. Karena itu, kesimpulan dan usul konkrit tidak menjadi sesuatu yang wajib.

Esai tak melulu membicarakan hal-hal besar dan rumit. Esai bisa saja mengajak kita melihat diri sendiri. Saya pribadi, memberi “hormat” pada esai-esai yang tak memberi teror, paksaan, atau serentetan doktrin yang mesti dipercaya. Maka, mereka yang berpikir bahwa esai bisa dipakai untuk ajang demonstrasi dalam bentuk teks, tentu saja akan saya singkirkan jauh-jauh. Tak hanya toa dan radio rusak saja yang bisa “memekakkan” telinga. Esai juga bisa berlaku sama.

Nah, beberapa tulisan mahasiswa peserta lomba menulis diadakan Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) ini, sebagian besar masih menganggap esai adalah mimbar, panggung, atau podium, tempat suara harus keras. Mereka menganggap teriakan saat demonstrasi di jalan-jalan “layak” dituangkan dalam tulisan. Saya memilih kata “layak” karena bagi sebagian orang hal itu diperbolehkan. Maka, yang saya persoalkan di sini, lebih tepatnya terkait layak atau tidak, bukan boleh atau tidak. Dan karena ini adalah lomba menulis, pada mulanya sekali, saya akan mempertimbangkan sekali kapasitas dasar yang mesti dipahami dan (harus) dimiliki oleh seorang penulis: teknis, etika, dan hal dasar dalam menulis. Taruhlah semisal, bagaimana penulis menyusun kalimat yang baik—dan benar—dan paham bagaimana EYD mesti dipergunakan. Sayangnya, panitia lupa mencantumkan hal dasar ini dalam kriteria penilaian. Saya beranggapan: panitia mungkin menilai para peserta lomba ini sudah khatam untuk urusan-urusan dasar tersebut. Tetapi mereka keliru….

***

Ada dua tema lomba. Pertama, “Mahasiswa Bangkit dan Melawan Pembungkaman”. Para esais dalam tema ini, seperti sudah saya singgung, begitu “berisik” dan kerap “berteriak” dalam tulisannya. Pantas kita renungkan bersama: apakah dalam keadaan berteraik-teriak kita sanggup merenungkan sesuatu dengan khusyuk? Esai yang demikian, pada akhirnya akan menjadi deretan slogan, untuk tidak menyebutnya optimisme yang berlebihan. Tulisan berbeda disajikan oleh Salis Fahrudin dengan judul tulisan Hilang. Salis menarik dua peristiwa yang beberapa pekan silam heboh di media sosial, yaitu terkait keluhan Bre Redana menghadapi gempuran medai digital, untuk kemudian menariknya ke dalam pembahasan yang sederhana namun substantif. Sayang sekali tulisan tersebut tidak disangga dengan judul yang “kuat”.

Dua esai berikutnya yang menonjol adalah Kampus Ladang Demokrasi Antikritik karya Pebri Tuwanto dan Pertahankan Sikap Mahasiswamu! Karya Defri Sofyan. Esai pertama kuat dan tajam dari sisi judul dan diperkuat dengan penjelasan yang runtut, dengan logika dan penjelasan yang tertata pula. Pebri Tuwanto merunut hal mendasar yang menyebabkan terjadinya represi dari kampus. Di akhir tulisan, ia memberi kritik tajam terhadap sistem birokrasi kampus yang berjasa melahirkan “jambret-jambret”. Esai ini akan semakin bernas bila disampaikan pula faktor dari “dalam”, yaitu dari pihak mahasiswa: semacam otokritik. Esai kedua, justru lebih mendakik, terutama bagaimana ia mengisahkan birokrasi yang terjadi di dalam kampus. Meski menggunakan judul yang keras, di akhir tulisan Defri Sofyan mengajukan sejumlah otokritik yang berpangkal pada persatuan mahasiswa. Kedua esai ini, dibanding esai yang lain, termasuk yang paling bisa dibaca sebagai sebuah tulisan—bukan sebagai sebuah debat atau pidato.

Tema lomba yang kedua adalah “Eksistensi Pasar Tradisional”. Ada tiga esai yang memiliki kelebihan. Pertama, esai Kemahalan yang Diterima vs Harga yang Terus Ditawar karya Nasrul Muhammad Rizal. Esai yang reflektif, sederhana, namun sangat substantif. Nasrul memberi kritik bukan pada sudut pandang pasar melainkan lebih kepada bagaimana mentalitas manusia Indonesia melihat dan memperlakukan renik-renik dalam sebuah objek besar bernama “pasar”. Kedua, Revolusi Pasar Tradisional karya Reni Dwi Anggraini. Meski memasang judul yang terkesan bombastis dan klise—hal yang banyak dilakukan oleh para penulis dalam lomba ini—esai ini berbeda karena mengutip puisi sebagai analogi pengisahan. Reni kemudian mengajak pembaca untuk menengok kembali bagaimana pasar dalam perspektif kejawaan—hal yang tidak dikerjakan oleh penulis lain. Tulisan Reni lemah dalam kaidah penulisan. Esai ketiga Pasar Tradisional, Mengapa Ditinggalkan? karya Ayu Dyah Hapsari nyaris begitu tertata dalam penyajiannya. Saya memberi penghargaan lebih kepada penulis yang sanggup menyajikan tulisan dengan bermartabat. Kesalahan hanya satu-dua. Ayu menyorot keseriusan pemerintah dalam mengelola pasar.

Esai-esai yang saya pilih tersebut masih memungkinkan untuk menjadi perdebatan. Namun, tentu saja, setelah perlombaan ini selesai. Karena sangat memungkinkan, pembaca memiliki perspektif dan penilaian lain. Sekian.

Widyanuari Eko Putra

Kategori
Diskusi

Revolusi sampai Mati

Tema “Revolusi Mental untuk Memerkokoh Karakter Bangsa” yang dikawal oleh para rektor perguruan tinggi seluruh Indonesia dalam Forum Rektor Indonesia (FRI) 2016 di Universitas Negeri Yogyakarta, akhir Januari lalu, dalam hemat saya, gagal dipahami sebagai perwujudan mengubah kebiasaan tak baik. Hal itu terlihat dari perilakunya yang tak mau “bekerjasama” dengan mahasiswa yang mengatasnamakan diri Gerakan Pendidikan Nasional (GNP). Justeru mereka menyambutnya dengan perlakuan represif dari pihak keamanan. Hal ini tak akan terjadi apabila salah satu rektor dari pihak FRI, terlebih ketua FRI terpilih Rochmat Wahab, keluar untuk mendinginkan suasana.

Apakah perlakuan semacam itu dapat kita jadikan harapan bahwa revolusi mental yang dicanangkan oleh Presiden RI, Joko Widodo, dapat mengantarkan Indonesia menjadi lebih, berkarakter sesuai dengan cita-cita bangsa? Saya kira, orang-orang yang hadir ke acara FRI 2016 itu bukanlah orang-orang yang tak beradab – secara berlebihan mereka itu bisa kita sebut pahlawan; penyelamat jiwa-jiwa yang tertawan. Mereka adalah pemimpin kampus – yang notabene – berbudi pekerti luhur – meski tak jarang keluhuran itu sering kita pertanyakan.

Sampai detik ini pun, saya masih mempertanyakan keluhuran mereka. Pasalnya, perlakuan mereka menunjukkan sikap tak bersahabat dalam menyambut “kehadiran” mahasiswa yang tergabung dalam GNP. Padahal, mereka – saya masih meyakini – datang dengan berbekal aspirasi, yang bisa dikatakan, membawa secercah perubahan terhadap pendidikan tinggi kita menjadi lebih baik – meski tak menutup kemungkinan sudah baik dari sono-nya.

Sedikitnya, ada tiga keinginan yang mereka bawa waktu itu. Yaitu, pertama, mereka ingin penerapan uang kuliah tunggal (UKT) dihapus dari perguruan tinggi negeri (PTN). Kedua, mereka ingin adanya jaminan pendidikan tinggi bagi seluruh rakyat. Dan ketiga, mereka ingin terwujudnya demokratisasi kampus.

Ketiga aspirasi tersebut bukannya ditampung – paling tidak didengarkan – malah disambut dengan barikade keamanan kampus. Saling dorong antara massa aksi demo dari GNP dengan pihak kampus pun tak terhindarkan. Mereka saling bersitegang. Ketegangan itu akhirnya dapat diredam setelah terjadi negosiasi. Pihak rektorat UNY berjanji akan menemui massa.

Akan tetapi, janji tinggallah janji. Sampai malam menjelang, pihak rektorat UNY tak kujung keluar menemui massa aksi demo. Situasi pun kembali memanas. Namun akhirnya, dengan berat hati mereka (massa aksi demo) memilih mengalah dan membacakan pernyataan sikap. Setelah itu, mereka membubarkan diri – barangkali pulang ke kost-an atau rumah masing-masing.

Kejadian yang tak kita inginkan pun kembali terjadi, tepatnya setelah melintas mobil pengangkut anggota FRI 2016. Mengetahui hal itu, massa aksi demo dari GNP pun berusaha mencegat. Dan, terjadilah kemacetan.

Pada saat itu, terjadilah hal yang tak pernah kita inginkan. Aparat kepolisian datang, mengejar, memukul, dan bahkan menangkap sejumlah mahasiswa. Seperti dilansir Berdikarionline.com, ada sekitar 20 mahasiswa yang ditangkap. Sebelum akhirnya “digelandang” ke Mapolres Sleman, mereka sempat diamankan di Social Centre UNY.

Gerakan revolusi mental

Perlakuan represif dari pihak keamanan terhadap massa aksi demo dari GNP menunjukkan aparat keamanan masih suka “main tangan” dalam menangani aksi demo yang digelar oleh mahasiswa. Ini tak jauh beda dengan perlakuan aparat keamanan ketika membendung aksi demo mahasiswa pada tahun 1998. Aparat yang seharusnya mengamankan, justeru menciderai tugasnya dengan turut berperan aktif melakukan pemukulan, bahkan pembantaian yang berujung kematian.

Situasi seperti ini tentunya berdampak pada melempemnya gerakan mahasiswa. Mahasiswa yang berhimpun untuk menyampaikan aspirasi mereka selalu terngiang-ngiang dengan ancaman. Sehingga mereka ketakuan, dan tak lagi berani mengkritisi kampusnya karena setiap kampus dikelilingi oleh para keamanan yang bertangan besi. Disini, pihak (penguasa) kampus yang memiiliki kepentingan akan terbahak-bahak di ruangannya.

Apabila para rektor sadar dengan kenyataan ini, acara FRI 2016 tidak hanya dijadikan ajang berkongkow ria, melainkan sebagai upaya menghentikan segala bentuk intimidasi di dalam kampus. Hal ini mengingat terlalu tebal “buku catatan hitam” yang dihasilkan oleh perguruan tinggi. Yang paling kentara dalam ranah pengekangan kebebasan berekspresi. Maka tak heran, apabila dalam tuntutannya, mahasiswa dari GPN itu menuntut terwujudnya demoktratisasi kampus.

Satu hal lagi yang perlu diingat, acara FRI 2016 ini bukanlah acara kecil, sederhana, melainkan acara yang luar biasa “wah”-nya. Bagaimana tidak “wah”! Bayangkan saja, sampai mengundang Presiden RI, Joko Widodo. Saya sebagai mahasiswa tentu memaklumi undangan itu. Dalam hemat saya, Jokowi – panggilan Joko Widodo – adalah orang yang tepat dalam berbicara soal Revolusi Mental. Di samping dia sebagai presiden, dialah yang mem-booming-kan Revolusi Mental, sehingga Revolusi Mental yang diharapankannya sejalan dengan cita-cita bangsa.

Tak berhenti sampai disini. Selepas dari acara FRI 2016 ini, para rektor memiliki “pekerjaan rumah” untuk menyalurkan materi Revolusi Mental yang telah diperolehnya kepada para jajaran birokratnya, mulai dari karyawan, dosen, aparat keamanan, office boy­, hingga mahasiswanya. Khusus para aparat keamanannya, mereka perlu diberi pembelajaran khusus agar mereka menyadari bahwa mengatasi aksi demo akan lebih baik, anggun, seksi dan bersahaja, apabila menggunakan hati; tidak menggunakan “tangan besi”. Karena mengatasi aksi demo dengan “tangan besi” adalah prilaku orang-orang barbar.

Terakhir, harapan saya; semoga acara FRI 2016 ini membuat para rektor di seluruh perguruan tinggi di Indonesia semakin memahami arti/esensi Revolusi Mental. Revolusi Mental tak hanya dipahami sebagai jargon semata, melainkan sebagai gerakan kolektif yang mengubah kebiasaan tak baik menjadi kebiasaan baru yang dapat mendukung daya saing bangsa. Paling tidak, satu tahun pasca araca FRI 2016 ini, terlihat hasil penerapan konsep Revolusi Mental di kampus pada khususnya, di masyarakat pada umumnya. Tentunya – meminjam kata Bung Tofix Noerhidajat dalam akhir tulisannya – dengan resep obat ramuan Forum Rektor.[]

Kategori
Diskusi

Kongkow Rektor di UNY: Revolusi Mental Lebih Seksi daripada Hak Intelektual Kampus

Pembaca yang Seksi nan Intelek, marilah kita berlupa-lupa ria sejenak akan persoalan nilai ujian akhir semester, IPK naik-turun, riang gembira libur akhir semester, dan segala urusan akademik yang membikin lena esensi intelektualitas.

Jika sudah berhasil melupa sejenak, saatnya bung dan nona mengingat berbagai peristiwa nahas yang menimpa sekawanan intelektual kampus. Masih belum ingat? Segeralah cepat lulus, mungkin otak bung dan nona butuh istirahat!

Beberapa catatan suram akademik tertulis di lembaran tahun 2015. Ada diskusi intelektual yang dibubarkan: pelarangan diskusi bertema LGBT di FH Undip, pelarangan pemutaran film Senyap di USD Jogja, dan dihalanginya agenda pemutaran film Alkinemokiye dan Samin versus Semen oleh birokrat FIA UB. Belum lagi, terekspos pembredelan lembaga kontrol-kritik kampus: kasus Media Unram di Unram NTB dan LPM Aksara di Madura. Akhir tahun lalu malah beberapa aktivis mahasiswa UNJ di-dropout lantaran mempelopori aksi aliansi mahasiswa.

Tahun sudah berganti menjadi 2016. Namun masa 2015 masih terlalu menyebalkan untuk dilupakan. Bagi para kamerad sadar pendidikan, tahun lalu merupakan agenda perang melawan intimidasi elit pengekang ekspresi keilmuan. Sepertinya, tahun 2016 ini perang pun masih berlanjut.

Pada tahun ini pula para komandan kampus   biasanya disebut rektor   yang diklaim sejumlah seribuan kepala orang itu akan berkongkow di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), dari 29-31 Januari 2016. Mereka yang berkelompok dalam Forum Rektor Indonesia (FRI) menggelar hajat Konvensi Kampus XII dan Temu Tahunan XVIII bertajuk “Revolusi Mental untuk Memerkokoh Karakter Bangsa”.

Apa guna hajat itu? Lantas apa maksud dari tema absurd itu?

Silahkan sekawanan bung dan nona pembaca mengeceknya pada official website UNY dan beberapa portal berita yang sudah memuat pernyataan Rektor UNY, Rochmat Wahab selaku Ketua FRI periode ini. Inti maksudnya, konferensi rektor akan membahas persoalan kemunduran karakter anak bangsa. Maka konferensi ini bergenre “revolusi mental” supaya tuan-tuan rektor bisa menyumbang konsep kepada otoritas negara bahwa penyakit-penyakit semacam korupsi, penyelewengan hukum dan kuasa, penyalahgunaan narkoba, paham radikal, dan segala penyakit cacat karakter lainnya bisa disembuhkan. Tentunya dengan resep obat ramuan Forum Rektor.

Lho itu kan maksud baik tuan-tuan rektor tho, lantas apa yang jadi soal?

Rektor itu makhluk yang berkepentingan. Entah kepentingan tersebut berpihak kepada siapa, seringkali misterius. Idealnya, sebagai makhluk bercap intelektual, kepentingan tuan-tuan rektor adalah kepentingan yang menjamin urusan keilmuan makhluk intelektual lainnya: mahasiswa.

Berpolitik merupakan proses mencapai kepentingan itu. Manusia yang berkodrat sosial-politis, pastilah akan membikin kelompok kepentingan antarsesama manusia lainnya. Analoginya, seorang rektor akan berkongkow dengan tuan-tuan rektor dari kampus lain. Seharusnya memang membikin konsensus (kesepakatan) internal Forum Rektor agar mereka mampu mewujudkan kepentingan keilmuan di tiap kampus.

Forum tersebut bisa menjadi blok kekuatan yang menggairahkan keilmuan anak bangsa di berbagai perguruan tinggi . Jika urusan keilmuan jadi bergairah dan anak bangsa tercerdaskan, maka pendidikan nasional punya sumbangsih apik terhadap pembangunan kemajuan bangsa. Presiden atau menteri urusan pendidikan tak perlu lagi bercemas-cemas ria soal karakter dan manfaat ilmu dari kantong-kantong intelektual-akademik. Artinya, forumnya tuan-tuan rektor mesti fokus memikirkan urusan intelektual kampus.

Apabila Forum Rektor malah sibuk menjadi suksesor Revolusi Mental yang notabene konsep sebuah rezim, apakah tuan-tuan rektor sanggup menjaga tawaran independensi intelektualnya? Nah, kalau konsep pembangunan karakter bangsa dari sebuah rezim ternyata mengandung kesalahan fatal, siapa yang berkompeten mengontrol? Jangan sampai politik kaum intelektual cenderung praktis dan non-alternatif!

Wacana yang ditawarkan Forum Rektor hendaknya menyerap aspirasi dari dalam wadah intelektual seperti kampus. Kaum intelektual kampus semacam mahasiswa masih banyak yang belum terlayani kebutuhan ekspresi keilmuannya. Belum juga terlayani, malah tambah ditindas geng-geng fasis dari luar kampus. Parahnya lagi, ada pihak birokrat kampus (rektor) yang secara terang-terangan turut menjajah hak intelektual tersebut. Apa itu bukan masalah luar biasa, wahai tuan-tuan rektor?

Betapa naifnya jika tuan-tuan rektor beralasan tidak tahu soal pengekangan hak-hak intelektual kampus. Masih terlalu segar dalam ingatan bahwa masa 2015 kemarin adalah masa unjuk taring pengekangan intelektual di kampus. Banyak kegiatan mahasiswa dibelenggu.

Kecurigaan pun muncul: apakah Menristekdikti mendata kasus-kasus pengekangan tersebut atau justru membiarkan begitu saja?

Di Konferensi FRI nanti, Nasir selaku Menristekdikti pun diundang sebagai pembicara. Tentunya ceramah Nasir akan bermaterikan tentang nilai-nilai karakter pendidikan tinggi yang sesuai konsep Revolusi Mental. Tak cukup Nasir, Jokowi pun diajak untuk unjuk omong dalam ajang tersebut. Cobalah dinalar wahai bung dan nona, dari Menteri hingga Presiden datang berkongkow bersama tuan-tuan rektor, sebegitu niatnya penanaman konsep moral sebuah rezim ke dalam institusi-institusi pendidikan.

Bisa jadi konsep revolusi mental yang dikampanyekan oleh FRI akan beimbas dalam kurikulum pendidikan di kampus. Mahasiswa akan menjadi sasaran proyek rekayasa moral ini. Jika sudah begitu, peran intelektual independen mahasiswa akan sulit menjadi kontrol  dari rezim. Praktis, kebobrokan-kebobrokan rezim begitu mudah dilupakan akibat mahasiswa lena dengan tagline “kerja, kerja, kerja” tanpa mikir kritis. Itulah persekutuan elit intelektual-akademik dengan politik dan benarlah apa kata M. Foucault: knowledge to power.

By the way, mendebat soal Revolusi Mental, tidak adil kiranya tanpa mencomot referensi dari pewacana konsep tersebut. Ada seorang pakar bernama Paulus Wirutomo yang sempat menjadi Ketua Pokja Revolusi Mental pada Rumah Transisi Jokowi-JK  2014. Esainya bertajuk “Retorika Revolusi Mental” dimuat oleh Koran Kompas edisi 29 April 2015. Begitu membacanya tuntas, terpikir bahwa esai pro-rezim tersebut begitu layak didebat!

Paulus menganjurkan bahwa ada 6 nilai yang mesti ditanamkan agar Revolusi Mental berhasil. Tidak perlu menyebutkan semua nilainya, cukup ambil beberapa nilai saja yang bisa dihadapkan dengan realita hak berekspresi intelektual kampus. Dari esai tersebut bisa diambil 3 nilai untuk diperdebatkan: “nilai bisa dipercaya”, “nilai kreativitas”, dan “nilai saling menghargai”.

Nah, selama ini apakah ketiga nilai itu sudah diterapkan tuan-tuan rektor dalam menjamin hak-hak intelektual kampus? Jika memang benar-benar serius tentunya Pak Menteri Nasir dan tuan-tuan rektor sudah mengecam tindakan-tindakan macam pelarangan diskusi lintas intelektual kampus. Lantas bagaimana dengan kritik aspiratif mahasiswa yang berdampak menjadi pengekangan dari birokrat kampus, serta tulisan-tulisan yang dibredel birokrat kampus? Jelas-jelas itu wujud nyata pengkhiatan nilai-nilai Revolusi Mental tersebut.

Ketika masa 2015 kemarin pengekangan intelektual begitu kuasa mengangkang di kampus, apakah pantas mahasiswa harus dicekoki konsep moral versi otoritas? Sedangkan otoritas sendiri terbukti gagal mencegah tindakan pengekang elit fasis dari dalam maupun luar kampus. Sebaliknya, birokrat-birokrat kampus terang-terangan memasug kreativitas, tidak bisa dipercaya, dan jauh dari kesan saling menghargai proses intelektual.

Perlu diketahui bahwa tiap Konferensi FRI akan menghasilkan nota kesepahaman. Nantinya nota itu akan dipraktikan melalui kegiatan-kegiatan FRI. Marilah tetap kritis memantau proses ke depan dari ajang tuan-tuan rektor tersebut. Apabila konsep Revolusi Mental diterapkan ke kampus-kampus, itu sama saja dengan memaksakan moral rezim ke dalam nalar independen mahasiswa.

Kelakuan pemaksaan moral penguasa tidak berbeda dengan pemasungan intelektual-akademik versi rezim Orde Baru. Saat rezim tersebut berkuasa, ada aturan NKK/BKK yang membatasi aktivitas mahasiswa intrakampus. Terlebih lagi Pancasila sebagai ideologi negara disakralkan namun penerapannya sangat tidak berperikemanusiaan dan berkeadilan sosial.

Jangan dilupakan lagi bahwa pada rezim pengusung Revolusi Mental ini gencar diwacanakan konsep bela negara oleh Menteri Pertahanan. Bela negara versi penguasa akan merekayasa penganutnya. Jika diterapkan di kampus, intelektual kampuslah yang akan dipaksa sebagai penganut. Tentu saja nalar kritis mengontrol kebijakan rezim bisa mampus.

Bayangkan saja, hak-hak mahasiswa mengekspresikan intelektualitasnya masih digantung tinggi oleh otoritas. Tali gantung akan semakin kencang jika mahasiswa dikenai kewajiban menelan mentah-mentah hasil kompromi moral versi FRI. Mahasiswa pun harus jelas menentukan sikap terhadap perhelatan FRI: tidak aspiratif! Keputusan ditolak!

Kepada Pak Nasir dan tuan-tuan rektor, sepertinya masih jauh dari kesan selaras antara Revolusi Mental yang kalian impikan dengan kenyataan yang diderita oleh sekawanan intelektual kampus. Tolonglah dinalar lagi, desain besar kalian itu menjadi imajinasi belaka bila hak-hak kecil di kampus tidak becus diayomi. Sekawanan bung dan nona intelektual kampus di segala penjuru tidak butuh dipasung konsep moral seberat-beratnya. Pembebasan pun kian jauh dari harapan, justru pengekangan kian menghadang.

Harusnya, FRI menjadi ajang koreksi diri tuan-tuan rektor atas kinerja akademiknya dan terhadap otoritas di atasnya. Begitu sia-sia jika para pemimpin kampus tidak mengusung aspirasi dari bawah ke atas. Malah sebaliknya, membawa beban dari atas ke bawah. Sadarlah bahwa mahasiswa bukan sekawanan kerbau pemanggul beban karya penguasa.

Tuan-tuan rektor klan FRI mestinya banyak membaca. Mereka harus membaca keadaan terkini bahwa suara ketidakpercayaan mahasiswa akan rektornya acap menggema di bawah tanah akademika. Suara-suara itu apabila tidak direkam aspirasinya, akan kian bergemuruh menggoyah pondasi kuasa rektorat. Gejolak itu kemungkinan besar terjadi akibat kelakuan tuan-tuan yang tidak mengayomi hak-hak intelektual mahasiswanya. Ini bukan ancaman melainkan begitulah realitanya!

Kalau begitu, tuan-tuan rektor juga harus belajar sejarah lagi. FRI terlahir dari rahim Reformasi. Alkisah pada 7 November 1998, para rektor se-Indonesia berkumpul di Sasana Budaya Ganesha ITB. Pertemuan itu pun menghasilkan kesepakatan bahwa para pimpinan kampus akan selalu bersama mahasiswa melakukan gerakan reformasi sebagai wujud kekuatan moral intelektual. Para rektor juga bersiap melindungi hak-hak asasi mahasiswa, mendukung gerakannya, serta meminta ABRI agar senantiasa melindungi sekawanan mahasiswa demonstran. Ah, itu dulu ketika kepentingan rektor dan mahasiswa sedang manunggal-manunggalnya. Nyatanya sekarang ketika rezim raksasa berhasil ditumbangkan, kaum intelektual-akademik pun tak malu-malu menjilati muka penguasa.

Mencoba berprasangka baik semoga FRI bukanlah ajang penjilatan macam itu. Namun idealnya, para pemimipin kampus mesti bersifat independen dalam membangun gerakan politik intelektualnya. Independensi dibutuhkan karena politik intelektual idealnya berupa politik alternatif yang tidak berorientasi pada kuasa. Para rektor sebagai kaum intelektual-akademik mesti menggerakan politik kontrol-kritik kepada ketidakberesan rezim.

Intelektual-akademik memilki potensi sebagai pengamat karena kedalaman ilmunya. Maka itu mereka harus bisa membedakan antara baik dan buruknya sebuah kuasa. Bila ada desain besar penguasa yang cenderung mengekang, seharusnya dikritik oleh kaum intelektual. Kalau kaum intelektual yang berkongkow sudah menjilat, maka parahlah nasib rakyat awam.

Setidaknya begitulah nasihat kepada tuan-tuan rektor dalam beragenda forum politik. Berpihak kepada siapa yang kalian pimpin itu lebih baik. Sebaiknya introspeksi soal kepemimpinan masing-masing diri yang jauh dari kesan pemberdayaan hak-hak intelektual kampus. Jika hak-hak intelektual mahasiswa terkekang, bisa jadi hak-hak kesejahteraan kaum awam sedang parah-parahnya dikebiri penguasa. Kampus hanya panggung sandiwara!

Perlu disadari lagi, tuan-tuan rektor itu pemimpin kampus bukan pemimpin parpol. Tiada hormat bagi pemimpin institusi pendidikan yang berkoalisi layaknya elit parpol. Menyerapi pernyataan Ki Hadjar Dewantara, “Pendidikan bagi manusia demi keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya”, maka lebih baik tuan-tuan rektor yang sedang berkumpul mengadakan pengajian esai-esai pendidikan karya akademis mereka. Itu lebih baik daripada repot-repot undang Jokowi dan Nasir serta supaya kagak keblinger politik praktis.

Hoaaam… Maaf, bung dan nona pembaca apabila kelelahan. Memang tidak cukup pendek untuk memikirkan kongkownya tuan-tuan rektor di balik selimut Revolusi Mental. Mari beramai-ramai bung dan nona buka selimutnya, maka ditemukanlah hak-hak intelektual kampus sengaja ditidurkan.

Berharap baik pada persekongkowan tuan-tuan rektor mungkin cenderung utopis. Bahkan bisa lebih utopis dari mengharapkan penampilan Elvie Sukaesih featuring Rage Against The Machine di panggung Soundrenaline. Biar utopis, yang penting seksi untuk didebat.

Maka dianjurkan kepada bung dan nona pembaca untuk menambah perdebatan lebih lanjut. Debat lalu revolusi itulah perbuatan mahasiswa seksi. Ah bajingan, esai ini sulit untuk diakhiri! Mungkin penulisnya terlanjur seksi! Begini saja deh, baca pernyataan seksi di bawah ini:

Selamat berforum tuan-tuan, semoga bermental revolusioner! Tidak hanya Mulan Jameela: #RevolusiJugaSeksi.

                                                                                                                                                               

Bantul, Januari 2016

Kategori
Diskusi

Persma Anti Intervensi Birokrasi, Inilah Wujud Independensi

Saya beruntung diberi kesempatan untuk membaca kembali buku ‘Sembilan Elemen Jurnalisme’, setelah satu tahun lebih buku itu bertumpuk dengan buku lain. Tidak lain sebabnya setelah membaca tulisan Muadz Albanna, blogger asal Palu. Ia aktif di LPM Produktif, Universitas Tadulako, angkatan 2013.

Judul tulisan nya menarik, ‘Independensi Persma, Ada tapi Lemah’. Tentu, sebagai pegiat pers mahasiswa (persma) saya merasa penting dan perlu untuk membacanya. Apakah ada kesalahan dalam praktik independensi persma selama ini? Jika memang ada tentu ada tawaran solusi dari kawan Palu yang menulis soal kegelisahannya.

Muadz menganggap persmahasiswa.id sebagai media bersama pegiat pers mahasiswa menjadi sumber penyebar berita buruk, karena memuat berita pembredelan yang dialami persma oleh birokrasi kampus. Ia menilai hal ini menjadi penyebab ciutnya semangat kawan-kawan persma yang baru tumbuh di berbagai daerah. Dampaknya, tambah Muadz, pada arah gerak persma terkait independensi.

Opini Muadz membuat gelisah para pembaca, terutama saya. Terlebih dalam logika berpikir Muadz tentang berita pembredelan di persmahasiswa.id, yang menurutnya merupakan fakta lemahnya persma karena mudah dipatahkan birokrasi kampus. Bukankah hal tersebut justru menunjukkan bahwa proses redaksi persma masih independen, sedangkan birokrasi kampus masih saja anti kritik.

Dalam tulisannya, Muadz seolah menempatkan diri sebagai awak persma senior, berjibun pengalaman mendapatkan kontrol dari kampus, dan menjadi independen sesuai opininya. Baru kemudian ia sangat percaya diri memberikan kritik dan saran atas kondisi independensi persma saat ini. Frasa ‘kita persma’ seakan menjadi representasi semua pegiat persma di Indonesia. Ada generalisasi posisi, sikap, dan kegundahan soal independensi.

Saya akan tenang dan bangga jika tulisan itu bercerita tentang kenaikan biaya pendidikan yang memberatkan mahasiswa di Universitas Tadulako. Bukan menceritakan soal independensi persma yang pada akhir zaman ini mulai hancur. Anehnya, ia tidak memberikan penjelasan rinci tentang kehancuran yang disebut. Malah melarikan logikanya pada soal administrasi kampus, tempat pegiat persma bernaung dan menjalani proses organisasinya.

Saya memaksa paham akan maksud tulisannya yang menghubungkan independensi persma dengan administrasi kampus, terutama dana. Sebagaimana makna gramatikal ‘independensi’ adalah bebas, merdeka dan berdiri sendiri. Mungkin ia ingin mengkritik pegiat persma yang berstatus unit kegiatan mahasiswa (UKM) di kampus, untuk tidak meminta dana yang sudah dianggarkan oleh pihak kampus. Jika dimaknai demikian, maka benar persma harus berdiri sendiri dan tepisah dari kampus.

Tapi, apakah benar seperti itu pemaknaan akan independensi? Bukankah itu pemakanaan yang dangkal dan jauh dari praktik jurnaslime?

Andreas Harsono dalam buku ‘Agama Saya adalah Jurnalisme’ menceritakan Homer Peas, seorang kawan dari Kovach, saat duduk dibangku sekolah menengah atas yang meniggal dalam medan tempur di Vietnam. Ini adalah efek dari sikap independen dari Kovach atas liputan ‘pembelian’ suara yang dilakukan oleh Peas untuk memenangkan John F. Kennedy melawan Richard Nixon pada 1960. Karena liputan Kovach lah, Peas diadili dan memlih masuk dinas militer ketimbang masuk penjara.

Artinya, independensi tidak mengenal teman dalam menulis sebuah fakta. Meski sebenarnya Kovach merasa sedih karena telah menyebut nama Peas dalam liputan itu. Tapi itu adalah pilihan yang tepat untuk kawan nya yang memilih terlibat dalam pembelian suara dan mencederai demokrasi.

Tidak berhenti di situ, keresahan H. Soffyan seorang pemimpin redaksi harian ‘Analisa Medan’ tentang suap kepada wartawan saat peliputan, saya rasa bukan masalah yang besar. Karena saat independensi sudah dimiliki oleh seorang wartawan makan suap tidak berarti.

Lain halnya dengan logika dari kawan Muadz. Ia memaknai anggaran dari kampus untuk UKM yang didalamnya pegiat persma adalah bentuk tidak independen. Apa benar kawan saya sedang sesat dalam berpikir. Dana UKM itu sudah diatur dalam pedoman organisasi yang dibuat oleh Dikti. Mau alasan dinaungi Kemenag, yayasan? Ya baca aturannya dong, jangan manja. Manfaatkan gawai kalian di tengah banjirnya informasi ini.

Lagi pula, independensi itu berjalan saat proses pembuatan berita. Bukan saat berita sudah terbit, mengudara, atau up load.

Persma selama ini berkutat dengan media cetak; majalah, buletin, mading, selebaran. Ketika birokrasi kampus -atau alumni sekalipun- berupaya mengintervensi isu-isu yang akan dikemas dalam bentuk berita, dari situlah independensi diperlukan. Persma yang independen akan menjaga agar tetap pada kemandirian ruang berpikir, sesuai kode etik persma dan elemen jurnalisme.

Apalagi selama pihak birokrasi kampus tidak melakukan intervensi terhadap proses redaksi media lembaga pers mahasiswa (LPM). Saya rasa independensi sudah terjaga dan cukup.

Hubungan anggaran dana dari kampus tidak termasuk dalam kategori suap seperti ketakutan Soffyan. Frasa kampungan macam ‘pengemis dana birokrasi’ adalah pembacaan cetek, tak berdasar dan barbar. “Jika ingin punya dana sendiri, silahkan buat perusahaan media sendiri,” kata seorang teman saya di sebuah diskusi.

Pada poin selanjutnya, dia menurunkan logika yang salah kaprah tentang makna independensi untuk diadopsi oleh persma se-Indonesia. Hal ini tentu akan menjadi evaluasi dan PR bagi pemerintahan Jokowi. Kekonyolan semakin menjadi saat dia menghubungkan salah kaprah ini dengan budaya, medan juang yang berbeda. Sejak kapan persma memiliki budaya yang berbeda? Sejak kapan pula medan juang berbeda? Ada baiknya mengkaji ulang buku putih pers mahasiswa.

Maggie Gallagher dalam buku ‘Sembilan Elemen Jurnalisme’ karya Kovach & Rosentiel menyatakan bahwa “jurnalisme meminta independensi dari faksi harus berada di atas semua budaya dan sejarah pribadi yang dibawa wartawan ke dalam pekerjaannya”. Implikasi nyatanya, latarbelakang personal dari wartawan akan menjadi sebatas informasi dalam menyusun fakta-fakta, bukan malah mendikte.

Keblingeran dalam berpikir kentara saat menganggap bahwa persma di belahan negeri ini mempunya spesifikasi gerak yang dititikberatkan pada sponshorship. Parahnya, memberikan solusi untuk melakukan harmonisasi dengan pemda/ pemkot/pemkab. Bentuknya mungkin seperti humas kampus. Janggalnya, ia mengungkapkan bahwa porsi kritik sedikit sambil menjaga hubungan baik. Bukankah Kovach & Rosentiel lewat Gallagher mengingatkan, wartawan itu berbeda dengan juru propaganda yang berprinsip ‘Gebuk dulu—usut belakangan’. Mereka mempunyai kewajiban menyampaikan fakta dengan sebenar-benarnya dan berjarak dengan narasumber.

“Wartawan harus tetap independen dari pihak yang mereka liput”

Jika masih memaksa persma untuk beranggapan bahwa independen didapat dari mandiri dana itu konyol, apa bedanya dengan organ mahasiswa Islam yang tahun lalu mencoreng dunia intelektual mahasiswa dengan aksi anarkisnya saat kongres. Terlebih menghabiskan dana tiga miliar itu dianggap wajar oleh alumninya. Semoga pers mahasiwa dan segala perhimpunan atau perkumpulan semacamnya tetap menjadi organisasi mahasiswa yang tak berduit, bisa independensi dari pihak manapun, dan bisa menjadi media alternatif.[]

Kategori
Diskusi

Wajah Feodalisme Laten di Ruang Akademik

Mengacu kepada definisi kamus besar bahasa indonesia, feodalisme dapat ditafsirkan sebagai tiga hal ; 1 sistem sosial atau politik yang memberikan kekuasaan yang besar kepada golongan bangsawan; 2 sistem sosial yang mengagung-agungkan jabatan atau pangkat dan bukan mengagung-agungkan prestasi kerja; 3 sistem sosial di Eropa pada Abad Pertengahan yang ditandai oleh kekuasaan yang besar di tangan tuan tanah

Sebagai sebuah sistem sosial, feodalisme diduga akan sepenuhnya lenyap mengikuti keruntuhan monarki. Sementara demokrasi disangka sebuah sistem yang sempurna akan melenyapkannya. Sialnya, meski menawarkan sebuah tata negara yang paripurna berhasil tidaknya tercipta sebuah tatanan masih bergantung kepada siapa yang menjalankan sebuah Negara.

Sesungguhnya dalam ruang sadar manusia Indonesia, feodalisme masih persoalan yang bias. Feodalisme bagi sebagian kita, dianggap sebagai prosesi sejarah yang layak dikenang. Bagi sebagian lagi, dianggap kekayaan budaya yang wajib lestari secara utuh. Maka dibenarkanlah kemudian seluruh turunan nilai kefeodalan, dikukuhkanlah ia dalam selubung etika.

Memang benar etika penting. Sayangnya standar ganda akan selalu berlaku mengikuti status penuturnya. Tentunya bila dasar pemahaman kita, etika merupakan warisan sistem feodal. Dalam tetralogi pulau buru karangan Pramoedya Ananta Toer, digambarkan tokoh Minke sebagai kaum terdidik yang geram kepada aturan penghambaan feodalisme Jawa kala itu. Dimana pada setiap adegan membungkuk hingga menyentuh tanah kepada ayahandanya, Minke dipastikan mengutuk dalam hati perihal aturan yang dicipta leluhurnya.

Secara ideal konsep pendidikan ditujukan untuk mencerdaskan. Pendidikan diharapkan menjadi instrumen asah nalar, pemisah benar salah. Ditunjuklah ilmu pengetahuan sebagai personifikasi konkrit dari pendidikan. Sementara kampus hanya satu dari sekian wadah yang menjanjikan manisnya pendidikan. Lalu bagaimana menemukan irisan antara feodalisme dengan dunia kampus ?

Sebagai warisan dan bagian sistem monarki, feodalisme dianggap racun bagi sistem demokrasi. Serupa dengan id dalam taksonomi pikiran Sigmund Freud, feodalisme berusaha direpresi oleh ruang kesadaran berdemokrasi. Demokrasi menjadi personifikasi dwitunggal ego-superego. Namun secara teoritik, dipastikan setiap represi akan memicu resitensi. Begitulah yang terjadi dalam upaya demokrasi merepresi feodalisme. Feodalisme merespon represi demokrasi dalam bentuk resistensi terselubung. Bersembunyi di ruang kesadaran terjauh, dan kelak muncul di ruang sadar terluar sebagai tabiat yang luput oleh demokrasi.

Wajah lain feodalisme di era demokrasi bukan lagi kepatuhan pada raja, tapi kepada senjata. Bukan pula monopoli tanah, tapi monopoli kebenaran. Begitulah feodalisme dipraktekkan oleh kekuasaan hingga dunia pendidikan. Di dunia kampus, monopoli kebenaran dipraktekkan oleh dosen-dosen di ruang-ruang kelas dalam berbagai bentuk. Ada yang secara terang-terangan menolak segala bentuk kritikan teoritik dengan alasan yang berbau etik, atau paling dangkal menggunakan posisi gelar akademik sebagai jimat penangkal kritik demi memenangkan perdebatan.

Yang paling parah adalah bentuk feodalisme laten tersebut menjalar dan menular hingga ke watak mahasiswa yang sesungguhnya diharapkan dapat meretas virus feodal yang mewabah di dunia pendidikan tinggi. Sampai hari ini tentunya, masih mudah kita temukan praktik perpeloncoan senior ke junior yang tanpa sadar sesungguhnya bentuk paling terang dari praktik feodalisme paling klasik. Kemudian oleh beberapa orang, praktik perpeloncoan dijaga sebagai budaya dengan alasan etik pula. Akhirnya ruang akademik bukan lagi panggung ilmiah bagi para generasi pelanjut untuk menempa diri dengan kritik dan otokritik, kelas bukan lagi wadah diskursus bagi perang argumentasi teori. Kampus hari ini menjadi semacam pengadilan moral yang mengakimi benar salah berpakaian, bukan lagi institusi yang dapat diharapkan untuk menggempur kesenjangan dan kepasrahan manusia, serta memperbaiki kualitas peradaban.

Tentunya perbaikan mental dan pemberangusan feodalisme secara fundamental dalam ruang sadar manusia tidak dapat dilakukan dengan berpangku tangan dan semata berbicara. Watak sebagai bagian dari pikiran hanya dapat diperbaiki dengan aktivitas berpikir pula. Diskursus dan menulis hanya sedikit dari sekian aktivitas olah pikir yang dapat diharapkan sebagai jalan perbaikan, atau keduanya secara bersamaan. Secara sederhana, menulis diskursus itu sendiri mungkin saja.

 

 

 

 

Kategori
Diskusi

Media Online Pers Mahasiswa Harus Punya Karakter

“Kemajuan Teknologi didasarkan bagaimana membuat cocok sehingga anda tidak benar-benar menyadari, hingga menjadi bagian keseharian dalam hidup” Bill Gates

Kemajuan teknologi membuat masyarakat mengubah cara untuk mendapat informasi. Sebelum masuk era digital masyarakat disajikan dengan media- media konvesional, radio, dan televisi. Namun kini dengan adanya teknologi yang kian berkembang, terlebih dengan diciptakannya Smartphone ( Ponsel Pintar), masyarakat dapat dengan mudah mengakses informasi dengan cepat.

Perubahan juga berdampak pada penerapan media saat ini, media mulai melakukan reformasi besar- besaran. Hampir seluruh media cetak bergeser menggunakan media online. Ini dikarenakan media online dapat menjanjikan dan menghasilkan keuntungan yang lebih besar. Luwi Ishwara adalah satu wartawan senior Kompas dalam bukunya “Jurnalisme Dasar” menceritakan kondisi media di Amerika Serikat yang berubah dengan cepat. Ia menjelaskan masyarakat Amerika kini sudah banyak mengakses berita melalui layanan internet, hal tersebut karena media online lebih nyaman dan mudah dalam mendapatkan informasi. Dengan memasukkan keyword di mesin pencari Google, apa yang kita tulis akan dengan mudah bisa dinikmati.

Perkembangan media online yang cepat ternyata mengalihkan sebagian besar orientasi media. Sehingga kita sulit untuk melihat fakta dalam perspektif yang sebenarnya. Jakob Oetama mengungkapkan jika masyarakat digital itu tidak peduli dengan masa kini, akan tetapi mereka ingin tahu masa yang akan datang. Jadilah media sebagai sebuah usaha untuk menentukan arah dan tujuan hidup masyarakat.

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJJI) mencatat jika pengguna internet di Indonesia sekitar 65 juta naik sebanyak 2700 persen. Peningkatan yang cukup pesat bagi sebuah negara yang memiliki kepulauan dan jumlah penduduk yang besar. Sementara survei di tahun 2014 menunjukkan penetrasi pengguna internet di Indonesia adalah 34.9%.

Menurut lembaga riset pasar e-Marketer,  populasi netter Tanah Air mencapai 83,7 juta orang pada 2014. Pada 2017, eMarketer memperkirakan netter Indonesia bakal mencapai 112 juta orang, mengalahkan Jepang di peringkat ke-5 yang pertumbuhan jumlah pengguna internetnya lebih lamban.

Namun dari keberadaan media online, ternyata ada banyak permasalahan muncul dalam perkembangan arus informasi kini. Media online dapat menjerumuskan kita ke arah yang tidak kita inginkan. Masalah- masalah yang muncul seperti berita yang disampaikan tidak utuh hanya menggambarkan permukaanya saja, liputan tidak mendalam, analisis isu yang tidak matang, lebih mengutamakan rating, berlomba- lomba menjadi yang tercepat dan terupdate, miskin verifikasi sampai pada persoalan kode etik yang kian ditundukan.

Salah satu penyebab terjadinya hal tersebut ialah karena pengusaha media cendrung mengutamakan media sebagai lahan ekonomi basah. Sehingga jurnalis dan semua yang ada dalam komponen media dituntut untuk mendapatkan pasar yang tinggi. Alhasil media memposisikan masyarakat sebagai konsumen. Bahkan kini perusahaan media sampai membuat pembangkit sistem pemberitaan yang semakin cangkih dengan menggunakan mesin teknologi. Lagi- lagi itu semua itu karena kebutuhan penguasa yang haus akan kekuasaan

Herman dan Chomsky, menyebut media massa sebagai mesin atau pabrik penghasil berita (news manufacture) yang sangat efektif dan mendatangkan keuntungan besar dari sisi ekonomi. Menurut mereka saat ini media massa telah menjadi industri yang sangat besar. Media dapat pula menghancurkan harkat dan martabat sebuah bangsa.

Media Persma Jangan Terbawa Arus

Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Mencatat sekitar 200 media online Pers mahasiswa (Persma) turut meramaikan arus informasi di dunia maya. Namun dalam penerbitannya tidak banyak yang memperhatikan aspek- aspek media online seperti ketajaman analisis, kedalaman isu, dan sistem marketing pada media online. Hasilnya ialah banyak media online persma terbit tidak sesuai dengan irama. Kita bisa menyaksikan sendiri jika produk persma terbit bisa sehari sekali, seminggu sekali, bahkan sebulan sekali.

Persma belum banyak yang menyadari jika media online sangat penting serta mempunyai prospek yang bagus jika kita pandai-pandai mengaturnya. Saya kemudian berfikir, lantas dengan cara apa persma akan menghadapi perkembangan media online saat ini. Perlu sebuah kajian yang mendalam untuk menentukan arah gerak media online persma.

Kita menyadari, sejak dulu persma selalu mengutamakan prinsip penulisan berita yang kritis dan mendalam. Bahkan sampai muncul sebuah genre “Jurnalisme Advokasi” sebagai salah satu paham yang diyakini persma. Hal tersebut dipilih bukan tanpa alasan, pertama persma hadir tidak hanya sebatas membuat pemberitaan, namun terlibat juga dalam melakukan upaya-upaya advokatif terhadap berita yang dibuatnya. Kedua, persma tidak bisa terlepas dari persoalan sosial-politik dalam mengarungi kehidupannya. Jurgen Habermas, dalam buku The Theory of Communicative Action mengemukan Sebagai institusi sosial-politik, media berupaya menjembatani publik dalam menyampaikan aspirasi sosial-politik mereka terhadap penguasa.

Kawan terbaik saya di Jember pernah berdiskusi dengan saya, ia mengatakan jika media online persma itu hanya sebatas “ada”, tuntutan program kerja, ikut- ikutan media mainstreams namun tidak tahu cara mengelolanya. Padahal jika kita sadari persma tidak akan mampu mengimbangi pemberitaan media mainstream, wong secara kuantitas dan kualitas saja masih jauh. Persma kini sudah terjebak dengan orientasi media yang mengutamakan kecepatan. Padahal persma itu punya cara sendiri dalam menulis berita.

Selain itu, ada hal penting pula yang perlu diperhatikan persma, seperti manajamen redaksi yang harus jeli melihat perkembangan isu, penulisan berita persma harus mengutamakan analisi isi yang tajam kemudian mengutamakan verifikasi. Jika pers mahasiswa mengikuti arus media mainstream, maka suatu saat nanti persma akan merasa lelah oleh dirinya sendiri. Bukan bermaksud untuk menggurui, namun memang itu kenyataanya, lihat saja secara sumber daya manusianya masih belum mumpuni kemudian sistem kaderisasi yang masih mencari bentuk yang cocok.

Saya pikir persma perlu gaya baru dalam menentukan arah media onlinenya, semisal karakter (mendalam-analisis-ketepatan) dalam pemberitaan perlu dimunculkan, fungsi kontrol sosial dan ruang alternative perlu kita jaga. Tetaplah memposisikan dirinya sebagai media yang beorientasi pada institusi sosial, kritis, dan idealis.

Arus boleh cepat, namun kita bisa membuat sebuah arus baru dengan tidak meninggalkan apa yang sudah kita yakini. Mencoba menjadi sesuatu yang baru namun tidak meninggalkan yang lama adalah sebuah usaha menjaga keberlangsungan hidup persma yang sehat.

Kategori
Diskusi

50 Tahun Tanpa Keadilan

Dalam ingatan bangsa Indonesia, seperti yang dibentuk rezim Soeharto. G-30-S merupakan kekejaman yang begitu jahat, sehingga kekerasan massal dengan skala besar terhadap siapa pun terkait dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dilihat sebagai sesuatu yang dapat dibenarkan, bahkan terhormat. Kekerasan yang terjadi sepanjang akhir 1965 sampai awal 1966 harus dilihat sebagai awal pembangunan sebuah rezim baru. Peristiwa ini dijadikan dalih untuk menegakkan kediktatoran di Indonesia, kemudian mengambil alih kekuasaan dengan cara yang sangat licik. Dengan mengorbankan kurang lebih 3.000.000 nyawa rakyat Indonesia tanpa peradilan. Serta pembuangan paksa terhadap lebih dari 10.000 orang ke pulau Buru.

Kita tentunya masih ingat dengan pemutaran film tentang kekejaman PKI, yang diputar setiap 30 September oleh antek-antek orde baru. Pembangunan monumen kesaktian Pancasila, pelarangan pembelajaran ajaran Marxisme dan Leninisme serta penyebarluasanya, yang notabenenya hanyalah teori sosial saja. Pelarangan terhadap buku sejarah tentang Bung Karno, Tan Malaka, serta penyebarluasan buku sejarah versi kekuasaan yang semuanya adalah bagian dari proyek pembangunan sebuah rezim diktator yang penuh manipulasi sejarah dan kebohongan .

50 tahun adalah waktu yang begitu panjang, dimana ketidakadilan terhadap korban beserta keluarganya berangsur-angsur terjadi. Seperti halnya terasing dari pergaulan sosial, ditutup ruangnya untuk mengakses hak-hak sipil politik (status kewarganegaraan, hak politik), serta hak ekonomi, sosial, budaya (Ekosob). 50 tahun lebih paska kejadian, kekuasaan dibangun di atas kebohongan yang dilakukan secara sistematis dan terstruktur oleh negara. Sampai sekarang hal itu masih ada dan terjadi dalam kehidupan “demokrasi” kita sekarang.

Peristiwa 65 adalah peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia(HAM) masa lalu yang sampai sekarang belum ditanggapi serius oleh pemerintah. Hal yang sama juga berlaku dalam peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM masa lalu. Seperti peristiwa penembakan misterius, kasus Talangsari, Tanjung Priok, Trisakti, juga peristiwa Semanggi I dan II. Padahal komisi penyelidik pelanggaran HAM yang dibentuk Komnas HAM sudah merekomendasikan Kejaksaan Agung bahwa peristiwa 65 adalah sebuah peristiwa pelanggaran HAM berat. Namun terus ditolak dengan dalih tak lengkap.

Hal ini berjalan tak sejalan dengan berbagai produk hukum yang kemudian hadir paska reformasi yang memuat tentang HAM. Seperti UUD 1945, UU 39 tahun 1999 tentang HAM, dan UU 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM. Berbagai instrumen hukum tersebut mengamanatkan penyelesaian kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Termasuk pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsilaisi, yang merupakan amanat dari UU 26 tahun 2000.

Dalam kepemimpinan Jokowi, pemerintah kembali membentuk tim rekonsiliasi gabungan yang terdiri dari Kemenkumham, Kejaksaan Agung, Polri, BIN, TNI, Komnas HAM. Mereka berkomitmen menyelsaikan kasus pelanggaran HAM secara non yudisial. Itu adalah sebuah isyarat bahwa pemerintahan dan bangsa ini tak berani mengakui kejahatan masa lalu yang dilakukan oleh negaranya sendiri.

Bangsa ini dibangun atas dasar kemanusiaan serta keadialan. Keduanya dipertegas dalam Undang Undang Dasar dan Pancasila sebagai sebuah dasar filosofi. Kita tak boleh lari dari masa lalu, kita kemudian harus jujur, dan negara harus mengatakan yang sebenar-benarnya atas nama keadilan dan kemanusiaan, negara tak cukup hanya melakukan pemulihan hak-hak korban semacam rekonsiliasi, akan tetapi kebenaran tentang apa yang sebenarnya terjadi harus dikatakan.

Diskusi Forum Studi Issu-Issu Strategis bersama LPM Cakrawala IDE UPPM Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar

Kategori
Diskusi

Demokratisasi Kampus

Peran birokrasi kampus menentukan demokratis tidaknya tatanan keorganisasian di tataran mahasiswa dalam perguruan tinggi. Segala bentuk politik seyogyanya dikesampingkan agar tidak terjadi polemik. Jika tidak, benih-benih jiwa demokratis yang diharapkan lahir dari perguruan tinggi hanya menjadi isapan jempol. Lihatlah beberapa kejadian belakangan ini yang menimpa beberapa organisasi kemahasiswaan di beberapa perguruan tinggi. Kejadian ini, tentunya, menunjukkan bahwa hubungan antara mahasiswa yang berhimpun dalam sebuah organisasi kemahasiswaan dengan birokrasi kampus tidak “sehat”.

Saya mengelompokkan hubungan ini dalam dua bentuk permasalahan – yang boleh dibilang menciderai demokrasi di perguruan tinggi, yakni 1) pembatasan berekspresi, dan 2) pembatasan mimbar akademik. Pembatasan berekspresi dapat kita lihat pada kasus yang menimpa Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Lentera di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, LPM Aksara di Fakultas Ilmu Keislaman Universitas Trunojoyo Madura, dan Unit Kegiatan Pers Kampus Mahasiswa (UKPKM) Media Universitas Mataram. Sementara permasalahan pembatasan mimbar akademik dapat kita lihat pada kasus pelarangan nonton bareng dan diskusi film – Senyap, Samin versus Semen, Alkinemokiye, dsb – di beberapa perguruan tinggi, seperti di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Universitas Airlangga, dan Universitas Brawijaya.

Terakhir yang belakangan ini masih membekas di benak kita, yakni pembubaran paksa oleh pihak kampus terhadap acara diskusi “Ngobrol Pintar (Ngopi)” dengan pembahasan fenomena Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender (LGBT) yang diselenggarakan oleh LPM Gema Keadilan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.

Sikap profesionalitas

Kita perlu membangun sikap profesionalitas dalam menyikapi polemik yang terjadi antar mahasiswa atau organisasi kemahasiswaan dengan birokrasi kampus. Begitu pula ketika menyikapi polemik yang menimpa LPM, tanpa melihat siapa lawan atau kawan. Jika tidak, ya, kita akan terperangkap dalam kungkungan dilematis sesaat. Misalnya, kita berinisiatif membela LPM Lentera, dan menyayangkan pemberedelan majalah LPM tersebut (yakni Lentera) dengan dalih kebebasan berpendapat, kemudian mempertanyakan kualitas majalah tersebut. Dilematis sekali ketika kita menyayangkan pemberedelan majalah tersebut sembari mengatakan bahwa pemberedelan merupakan terobosan paling efektif untuk membuat informasi semakin tersebar. Sampai di sini kita terkesan turut membenarkan sikap pihak kampus.

Bukankah pemberedelan suatu perbuatan yang patut “dikutuk”? Dan, bagaimana sikap kita ketika konteksnya seperti yang dialami oleh UKPKM Media Universitas Mataram? Apakah kita akan bersikap sama dengan kasus yang menimpa LPM Lentera UKSW Salatiga? Tanpa melihat UKPKM Media sebagai kawan pun kita mengutuk prilaku intimidasi yang dilakukan oleh pihak kampus. Dalam kasus ini, pelaku dan korban sudah jelas; yang dikebiri pun sudah jelas, yakni kebebasan berekspresi, mimbar akademik, dan otonomi keilmuan. Di sinilah dan saatnya mempertegas keprofesionalan kita sebagai awak pers kampus dalam menyikapi sengketa pers kampus.

Begitu pula ketika menyikapi kasus pelarangan nonton bareng dan diskusi film. Sebagai rakyat jelata di dunia kampus, kita pun mengutuk prilaku pihak kampus yang sok otoriter, meskipun mereka beralasan bahwa pelarangan tersebut merupakan hak otonomi kampus.

Catatan: Otonomi kampus; sebuah alasan yang “menyesatkan”. Mengapa tidak “menyesatkan”, lha wong otonomi perguruan tinggi saja masih dipersoalkan. Ada kesalahan persepsi di kalangan masyarakat dan pimpinan perguruan tinggi. Misalnya terkait otonomi non-akademik seperti dana pendidikan. Masyarakat mengira implementasi otonomi perguruan tinggi mengakibatkan semakin besarnya dana pendidikan yang ditanggung mahasiswa. Adapun beberapa pimpinan perguruan tinggi menganggap otonomi perguruan tinggi sebagai kesempatan menutupi kebutuhan dana peningkatan mutu dengan menggalang dana dari mahasiswa (baca juga: Banyak Masalah Pelaksanaan Otonomi Pendidikan Dikaji Ulang). Itu masih menyangkut otonomi non-akademik, belum lagi menyangkut soal otonomi khusus di bidang akademik.

Terakhir, kasus berupa pembubaran paksa oleh pihak kampus terhadap acara diskusi “Ngobrol Pintar (Ngopi)” dengan pembahasan fenomena LGBT yang diselenggarakan oleh LPM Gema Keadilan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Saya kira, kampus Universitas Diponegoro perlu “berkaca” kepada kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang. Pihak kampus tersebut tidak menarik Jurnal Justicia yang diterbitkan oleh LPM Justicia Fakultas Syariah UIN Walisongo Semarang, yang di dalamnya juga membahas seputar tema yang sama dengan tema diskusi LPM Gema Keadilan. Justru terbitan jurnal tersebut mendapat sorotan dari media Islam macam Arrahmah.com.

Demikian setidaknya contoh kasus yang dapat saya paparkan. Selebihnya masih banyak kasus pembatasan berekspresi, mimbar akademik dan otonomi keilmuan yang terjadi di perguturuan tinggi di Indonesia, hanya saja belum naik ke permukaan.

Mempertegas tugas rektor

Dengan terjadinya polemik tersebut, di sini perlu dipertegas kembali tugas pimpinan kampus/rektor beserta jajaran birokrasi kampus. Apakah memang tugas mereka mengatur ruang gerak para mahasiswanya? Terkhusus pimpinan kampus/rektor, apakah memiliki hak otoritas membekukan organisasi-organisasi kemahasiswaan, termasuk memberedel produk LPM, yang tak lagi sejalan dengan “hawa nafsu”-nya atau dianggap membahayakan?

Saya pikir tidaklah demikian, meski kampus diibaratkan dengan pemerintahan. Tugas pimpinan kampus/rektor beserta jajaran birokrasi kampus, tak lain, melindungi kebebasan berekspresi, mimbar akademik, dan otonomi keilmuan. Di samping itu berkewajiban memberikan kebebasan dan melindungi mahasiswa dalam melakukan kajian akademis tanpa ada tudingan cara melakukan kajian akademis, nantinya, salah prosedural. Karena sejatinya, mahasiswa dituntut berpikir radikal dan berkarya.

Sebenarnya, ada tugas pimpinan kampus/rektor beserta jajaran birokrasi kampus yang lebih utama ketimbang ikut cawe-cawe urusan mahasiswa. Yaitu, memusatkan perhatian pada usaha mengembangkan perguruan tinggi yang dipimpinnya menjadi pusat pendidikan keilmuan par excellence demi kemajuan ilmu pengetahuan yang sesuai dengan kemajuan peradaban human dan perkembangan spirit ilmiah. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Daoed Joesoef dalam tulisannya: Misi Perguruan Tinggi Kita (Kompas, 18 Februari 2014). Alumnus Universitas Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne ini tampak pesimis dengan perguruan tinggi kita. Menurutnya, pelaksanaan misi perguruan tinggi kita masih jauh panggang dari api. Hal ini terjadi karena para sivitas akademika mengabaikan begitu saja natur dari ilmu pengetahuan. Di sinilah perlu kiranya pimpinan kampus/rektor berserta jajarannya lebih mengedepankan peningkatan mutu-kualitas sivitas akademika ketimbang mencampuri proses belajar para mahasiswanya.

Kampus-kampus yang mengekang kebebasan berekspresi, mimbar akademik, dan otonomi keilmuan mahasiswa, sama halnya memberangus komunitas ilmiah yang telah dibangun oleh mahasiswa itu sendiri. []

Kategori
Diskusi

Merebut Ruang Belajar Kita

Inilah provokasi untuk membangkitkan kewarasan intelektual kita. Kalimat demi kalimat yang tertulis ini merupakan rangkaian gagasan agar kita yang waras tidak melulu mengalah kepada para fasis naif. Merenungi dua kasus pembubaran forum diskusi dalam tempo tahun 2015 ini. Terjadi di dua kota: Semarang dan Yogyakarta. Korbannya, sama-sama sekawanan pers mahasiswa (persma). Namun kepentingan gagasan ini ditulis bukan semata membela persma. Mengingat kejadian nahas tersebut bisa menimpa siapapun yang waras. Atasnama kewarasan intelektual, gagasan ini mendesak untuk ditulis, dibagi, dibaca, lalu diperjuangkan sewarasnya kita.

***

Laporan dari LPM Gema Keadilan FH Undip terpampang di laman Persma.org. Singkat cerita, sekawanan Gema Keadilan dilarang menyelenggarakan diskusi publik “LGBT dalam Sosial Masyarakat Indonesia” pada 12 November 2015. Alasan naif dituturkan birokrat kampus bahwa wacana dalam diskusi tersebut sangat sensitif. Si Rektor pun mendukung pelarangan demi menyelamatkan citra Kampus Undip menuju PTNBH. Uh, demi jualan nama kampus, kepentingan belajar sekawanan mahasiswa jadi korban! Pada sore hari kelam itu pula, Polrestabes Semarang menyegel ruang diskusi sebagai antisipasi terhadap kedatangan ormas. Yeah, makin kompak aja nih: rektor, polisi, dan ormas. Ada apa ya?

Memutar mundur waktu menuju beberapa bulan sebelumnya, kejadian nahas itu pun menimpa sekawanan LPM Natas dari Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta. Diberitakan oleh Ekspresionline.com, pada 25 Februari 2015, sekawanan Natas gagal memutar Film Senyap. Saat itu, pihak intelijen Polsek Depok Barat telah menyusup dalam ruang diskusi. Intelijen pun berujar agar Natas membatalkan pemutaran film dikarenakan akan berdatangan ormas menyerbu. Jika Natas ngeyel, polisi tidak mau bertanggungjawab mengamankan situasi. Nah lho, polisi dan ormas benar-benar kompak ya? Birokrat akademis USD pun tak digdaya menunjukkan kuasa intelektualnya dalam kampus. Natas pun memilih bubar.

Dua kasus tersebut merupakan contoh dari sekian banyak kasus represi atas forum diskusi. Itu baru contoh dari dalam kampus yang birokratnya tidak bertaji intelektual. Di luar kampus, masih banyak kelompok studi yang kena celaka. Apakah para rektor, polisi, dan ormas sedang gandrung akan zaman kegelapan?

Alangkah terpujinya bagi mereka yang bergiat membuka forum-forum diskusi lintas basis intelektual tanpa membela fanatisme ideologi apapun. Nalar kritis dan kepekaan rasa adalah penggairah mereka dalam memperjuangkan misi pencerdasan nan solutif ini. Itulah sekawanan manusia waras di tengah absurd-nya gejolak kemajemukan masyarakat kita.

Siapapun manusia waras dipersilahkan hadir meramaikan forum-forum diskusi lintas kalangan, asal saja tidak kerasukan setan sembari berkoar mengatasnamakan Tuhan atau bela negara. Apalagi jika sedang membahas kasus kemanusiaan, betapa jahanamnya jikalau para setan fasis berhasil mendobrak pintu dan merangsek dalam ruang diskusi. Adalah kesialan bagi kita yang waras apabila mengalami hal demikian. Bukannya pencerahan yang datang, malahan segerombolan boneka kerasukan yang kacau-meracau datang mengintimidasi kita.

Setan memang tidak pernah senang melihat manusia waras berkumpul untuk saling membuka pikir dan hati dalam ruang diskusi. Bagi mereka yang kerasukan, forum diskusi cerdas-waras adalah metode berbahaya yang akan menjungkalkan kangkangan stigma di atas mindset masyarakat majemuk. Jika masyarakat menjadi cerdas-waras karena sering diskusi, artinya ruang kuasa para setan fasis menjadi kian sempit. Keseragaman warna berwacana pun kian memudar. Monopoli atas rekayasa tragedi bisa saja terungkap kebenarannya. Para fasis menjadi gelap mata. Pembukaan ruang-ruang diskusi bagi kasus kemanusiaan kerap membikin sibuk para pendakwah stigma untuk membubarkannya. Itulah tugas setan!

Tindakan-tindakan lancang pembubaran forum diskusi menjadi andalan merepresi tumbuh-kembangnya kebebasan berwacana. Setumpuk pemberitaan media mencatat ada wacana-wacana tertentu dalam forum diskusi yang menjadi target represi. Ciri khasnya, wacana-wacana tersebut membawa problem pihak-pihak tertindas. Berikut barisan wacana problematik yang kerap direpresi: G30S dan Tragedi ‘65, LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender), konflik agraria, kebebasan berkeyakinan aliran minoritas, dan anekaragam wacana penindasan lainnya. Walau ruang diskusinya kerap bubar, efek baiknya ialah menebarnya wacana-wacana tersebut kepada otak-otak manusia yang penasaran. Entah hal tersebut disadari atau tidak oleh geng-geng fasis di penjuru negeri ini.

Begitu perihatin ketika mendapat kabar adanya forum diskusi yang dibubarkan. Tragedi pembubaran atau represi bentuk lain terhadap agenda diskusi bukanlah keisengan belaka. Ada sebab sensitif bagi golongan tertentu. Golongan inilah yang kerap mendaku dirinya selalu paling benar. Saking merasa benarnya, maka tidak perlu lagi adanya dikusi. Forum diskusi berpotensi menyesatkan kebenaran tunggal versi pendakwah stigma nan fasistik. Pembubaran demi pembubaran pun tak memuaskan nafsu kaum yang kesetanan ini. Jika belum puas nafsunya, para pegiat forum diskusi tak akan lepas diburu ancaman yang mengarah pada pencederaan fisik maupun psikis.

Kita yang waras tidak boleh membiarkan kelakuan tidak senonoh mereka. Forum diskusi bukanlah ajang kongkow basa-basi. Inilah ruang belajar yang tidak sesempit ruang kuliah para pembalap IPK. Dari ruang inilah kita bisa saling menjalin keilmuan, mencerahkan nalar, memadu rasa, dan membangun kepedulian kepada yang terpinggirkan. Maka terkutuklah para pembubar ruang belajar-dialogis tersebut. Aksi membubarkan forum diskusi berarti menghalangi niat baik kaum waras-intelektual belajar menganalisa persoalan sosial-kemanusiaan demi meramu solusi jitu sebelum nantinya terjun ke masyarakat. Apalagi analisa-analisa advokatif menjadi penggugah kewarasan kita dalam ruang belajar ini.

Sekali lagi, terpujilah bagi para pegiat forum diskusi. Mereka berjerih payah membuka ruang belajar kepada barisan intelektual-waras yang masih berkepedulian. Namun bila ruang-ruang belajar ini terus-menerus diberangus, akan adakah generasi cerdas-waras bangsa ini di masa depan? Barisan wacana sosial-budaya pun akan menjadi milik para tiran. Ilmu yang membebaskan akan segera mati. Bangsa ini akan menjadi bangsa boneka, bukan bhinneka!

Ini gawat. Setan-setan fasis sedang memainkan penjajahan nalar. Jika kita masuk dalam daftar calon korban, menyikapi hal ini bukan dengan cara kebanyakan update status di sosmed. Sering mengutuk para fasis via status sosmed hanya semakin menjadikan kita sebagai alay yang latah perlawanan. Itu percuma, kaum fasis bukan tandingan kaum alay!

Konflik Kepentingan

Kenapa ruang diskusi direpresi? Benarkah wacana di dalamnya begitu sensitif?

Tidak ada ruang netral. Ruang pun tidak lepas dari mainan kaum intelektual. Diskusi apapun dengan muatan wacana di dalamnya mengarahkan aktor-aktor di forum untuk megapresiasi nilai-nilai tertentu. Analogi gampangnya, kita mau kuliah aja ada kurikulumnya. Itulah yang dinyatakan barisan teoritikus mazhab kritis asal Frankfurt: kaum intelektual tidak netral. Kita yang waras punya keberpihakan. Keberpihakan yang waras ialah memihak kaum tertindas menuju pembebasan.

Nyatanya tidak semua manusia waras-intelektual. Ada geng-geng yang mendaku sensitif atas pembahasan wacana tertentu. Nah, mengatasnamakan sensitivitas siapakah itu? Ada penindasan maka ada kekuasaan. Bila wacana pengadvokasian pihak tertindas begitu sensitif hingga bikin murka, sudah pasti si pemurka itulah yang punya kuasa. Geng-geng fasis penyerbu ruang diskusi ialah barisan boneka milik penguasa tiran.

Di situlah konflik sengaja diciptakan. Kita yang waras intelektual dan mereka yang tertindas diposisikan sebagai pemantik konflik itu. Padahal ruang diskusi kita justru mengarah pada penyelesaian (rekonsiliasi) dari segala problem sosial-kemanusiaan. Sementara mereka yang fasis terus mengkontra wacana mengatasnamakan Tuhan atau bela negara.

Mau tidak mau, konflik memang mesti terjadi. Walau dalam posisi ditindas apapun, kita mesti siap berkonflik. Sosiologi mengajarkan kita bahwa perubahan sosial-budaya bisa dicapai melalui konflik dan konsensus (kesepakatan). Jika kita yang waras berkehendak mengubah masyarakat menjadi cerdas-waras, konflik harus ikut kita mainkan. Tentunya memakai dialektika nalar sehat.

Ketika geng-geng fasis mendobrak bubar ruang diskusi, marilah kita buka seluas-luasnnya di manapun. Manfaatkan ruang literasi dan konsolidasi lintas komunitas intelektual hingga rakyat tertindas. Sebarkanlah pamflet-pamflet propaganda dan dudukilah kampus-kampus yang birokratnya waras-intelektual. Bukankah di era sebelum merdeka, barisan intelektual bangsa ini juga begitu? Kenapa kita tidak meneladaninya? Ayo cetak sejarah baru, bung dan nona!

Begitulah konflik kepentingan. Kita mau menang atau terus-terusan mengalah, toh anak-cucu kita yang akan mengapresiasi kita sebagai: pahlawan atau pecundang. Apapun konflik yang kita mainkan, kepentingan kita yang waras tetap membebaskan orang-orang tertindas.

Gugat Otoritas Pendidikan
Kita hidup bernegara kan ya? Negara mengakomodir segala otoritas di bawahnya, termasuk urusan pendidikan. Tidak perlu disebutkan barisan pasal hukum yang menjamin kebebasan, HAM, dan pendidikan. Negara ini punya seabrek pasal begituan yang urusannya dibagi-bagi ke beberapa otoritas di bawahnya. Mari kita yang waras bicara praksisnya saja. Nyatanya teks-teks konstitusional yang mengklaim perlindungan kepada rakyat itu belum begitu sakti menghalau para fasis.

Pemimipin-pemimpin otoritas sedang terlelap? Atau gandrung romantisme zaman kegelapan?

Kampus-kampus sudah bolak-balik diserbu fasis. Beritanya pun mengemuka di media massa. Urusan pendidikan tinggi ada menterinya tapi entah apa manifestonya. Ini nama Kemenristekdikti itu: Prof. H. Mohamad Nasir, Ph. D., Ak. Apapun tetek bengek gelar akademisnya, panggil sewajarnya saja Pak Nasir. Tentunya kita yang waras, menghormati otoritas dari kiprahnya bukan dari seabrek gelar itu.

Semoga Pak Nasir pernah membaca pembukaan UUD 1945. Ada manifestasi mulia berkalimat “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Lantas ketika fasis-fasis mengacau di kampus, sepaktkah Pak Nasir? Apakah otoritasnya akan mengutuk aksi kesetanan itu?

Ketika kaum intelektual waras menggandeng kaum tertindas berdiskusi-belajar bersama lalu segerombolan fasis berdatangan menghajar, otoritas pendidikan cenderung memilih duduk nyaman. Apa kita mesti mengganti Pak Nasir dengan Arian (vokalis band Seringai) sebagai Menristekdikti?

Arian, si vokalis grup musik cadas kerap menyuarakan manifesto anti fasis pada momen-momen konser Seringai. Banyak penggemar cadas mengamini propagandanya. Malah lebih sering Arian dibanding Pak Nasir yang lantang bersuara untuk melawan bahaya fasisme. Mungkinkah posisi Menristekdikti kena reshuffle? Ini bisa jadi usulan waras kepada Presiden yang ngakunya juga metalhead. Itu pun kalau Arian mau jadi menteri, kalau tidak?

Otoritas pendidikan mestinya jadi teladan untuk menyetop aksi-aksi represi ruang diskusi. Tempo dulu, seorang teladan pendidikan bangsa: Ki Hadjar Dewantara, pernah menuliskan gagasan untuk melawan represi dunia pendidikan. Ada tulisan bertempo Agustus 1933, judulnya demikian “Tabiat Pengrusak Lahir dan Pengrusak Batin. Vandalisme dan Terrorisme”. Ki Hadjar menggagas bahwa aksi-aksi beringas yang mencederai hak orang lain identik sebagai terorisme batin. Para pelakunya ialah orang yang merasa benar sendiri dan sifat demikian hanya dimiliki anak-anak berkisar usia 4-8 tahun. Berarti para fasis penyerang forum diskusi begitu kekanak-kanakan. Kita yang waras harus berkonfik melawan anak-anak?

Ki Hadjar bernasihat bahwa kita yang terdidik semestinya mampu menyingkirkan sifat perusak itu lewat jalan pendidikan. Lebih lanjutnya, bisa dibaca di buku kumpulan esai “Bagian Pendidikan” terbitan Majelis Luhur Taman Siswa. Apakah Pak Nasir tertarik membacanya?

Mendiamkan otoritas pendidikan yang abai akan represivitas sama saja menggali kubur kewarasan intelektual kita sendiri. Marilah kita yang waras mendesak Pak Menteri lebih dulu. Mungkin dia pun diam-diam sedang mengamati kita. Bisa saja Pak Menteri sedang menunggu anak bangsa terdidik bertumpahdarah ria, hingga ia mau turun berjuang bersama kita.

Lagipula kita punya hak sah untuk menggugat-mempertanyakan keberpihakan Kemenristekdikti. Di posisi siapakah otoritas itu berdiri? Kita punya tata cara waras, undanglah dia ke kampus atau kita gedor berkali-kali pintu kementerian dengan gelegar suara kritis pinggiran kita. Biar mata otoritas kian melek, lemparkan setumpukan literasi kritis ke wajahnya, maksudnya: ayo kita nulis!

Itulah cara menggugat kita. Mau menggugat atau kita angkat saja Arian sebagai menteri! Semoga Ki Hadjar Dewantara merestui.

Jalan Pembebasan
Forum-forum diskusi kerap menghadirkan permasalahan sosial-kemanusiaan. Selain sebagai ruang pemahaman, forum diskusi mestinya tidak netral begitu saja. Jika sekawanan terdidik mengundang kaum yang ditindas untuk berbagi persepsi di dalam forum, tentunya itu bukan sekedar forum narsisnya moderator, berbagi kacang dan kopi, atau numpang ngerokok. Di ruang inilah orang-orang waras mendidik dirinya melalui dialog untuk mengaksikan misi pembebasan. Katanya Paulo Freire, pemikir pendidikan asal Amerika Latin, manusia yang saling berdialog akan memanusiakan diri sendiri.

Pemebebasan bermaksud melepaskan korban penindasan dari belenggu tiran. Pendidikan yang memanusiakan mestinya begitu. Kita yang waras, mengakses pendidikan bukan untuk lifestyle belaka. Jika pendidikan adalah gengsi gaya hidup, kapan bangsa ini cerdas? Forum diskusi sebagai ruang belajar adalah jalan ideal pembebasan. Mempertemukan korban penindasan dengan intelektual-waras secara dialogis adalah ajang belajar nan saling mencintai. Itu katanya Mbah Freire!

Revolusi memang gak harus bertumpah-tumpah darah. Dimulai dari cinta dan dialog, kita yang waras bisa mengubah dunia menjadi cerah. Dialog tercipta atas motif cinta akan pembebasan kemanusiaan. Belenggu orang-orang tertindas bisa disingkirkan jika kita duduk satu ruang bersama, membangkitkan kesadaran mereka. Freire memikirkan demikian dalam karya klasiknya “Pedagogy of The Oppressed”. Tidak perlu bingung, karya tersebut sudah diterjemahkan ke banyak bahasa lokal bangsa, misalnya Bahasa Indonesia. Mari kita pelajari pemikirannya lalu berjuang sewarasnya!

Bayangkan saja, berapa kali forum diskusi harus kita giatkan mengingat bangsa ini multiproblema dari kelas elit hingga akar rumput? Wacana-wacana diskusi semacam LGBT dan Korban 65 saja kerap direpresi. Apapun represinya, dialog harus terus jalan. Ruang-ruang diskusi harus tetap terus terbuka walaupun setan-setan fasis bergentayangan. Bila dibubarkan, jangan kapok! Masih banyak orang waras di negeri ini.

Saatnya menggandeng solidaritas. Bila memang ruang-ruang tatap muka kerap direpresi, masih ada ruang lain yang memungkinkan menjalin gagasan dan solidaritas: literasi. Zaman sudah begitu digital yang harusnya memudahkan timbal-balik karya literasi advokatif. Masalahnya, sekawanan yang mengaku pegiat literasi garda depan apakah masih peka otak dan rasa untuk menulis? Duh, kritik kepada sekawanan persma nih!

Siapapun kita yang masih merasa waras ini, entah ngikut persma, organ ekstrakampus, dan barisan kelompok studi lainnya, bukan waktunya jadi aktivis narsis, pemalas, sekaligus alay! Ruang diskusi-belajar kita sebagai jalan pembebasan kaum tertindas sudah dirusak geng-geng fasis.

Apa masih mau keranjingan update status sosmed? Apa masih cukup penting pasang foto profil mengenakan seragam organisasi? Apa masih etis kita ngafe sembari latah bersuara keras ngomongin organisasi supaya pengunjung kafe lain memperhatikan? Apa waras bila keseringan mengupload foto gaya mengacungkan jari tengah? Betapa jancuknya kita kalau masih begitu. Itu sih barisan penonton music show di stasiun televisi juga bisa.

Ruang belajar hampir direbut fasis sepenuhnya. Jalan pembebasan hampir diblokir. Kaum tertindas semakin miris meratap. Kita yang waras harus membebaskannya. Ingat, kaum alay bukan tandingan kaum fasis! Mari bung dan nona rebut kembali!