Kategori
Diskusi

Pertahankan Sikap Mahasiswamu!

Bentuk kolektif perilaku mahasiswa yang condong ke arah demokratis yang ingin bebas berkreasi sesuai dengan keilmuannya sebenarnya selaras dengan cita-cita bangsa ini. Dari generasi ke generasi kita bisa melihat dan mengalami sendiri bagaimana mahasiswa selalu berada di garda terdepan dalam pergerakan. Sebut saja reformasi 1998, untuk kalangan kita (mahasiswa) hampir mustahil tidak tahu apa-apa soal aksi besar-besaran yang menumbangkan Rezim Orba ini. Jauh sebelum itu, walau terlihat samar-samar, eksistensi dari Perhimpunan Indonesia cukup terkenal dengan Muhammad Hatta sebagai promotornya. Dan dari semua gerakan-gerakan mahasiswa ada satu kesamaan, yakni kritis terhadap segala bentuk penindasan.

Kalangan mahasiswa di Indonesia secara kasat mata dari zaman penjajahan sampai sekarang berasal dari masyarakat yang berstatus sosial-ekonomi menengah kebawah, maka bisa dikatakan mahasiswa di Indonesia bukan dari kalangan penguasa yang hanya segelintir orang itu saja melainkan wakil dari tiap-tiap rakyat Indonesia yang sampai sekarang masih terus bergelut dengan kata “perubahan”. Kalangan ini pernah ada di zaman Tan Malaka saat pulang dari pelarian, dan disebutnya sebagai kaum ploretar.

Berbeda dengan kondisi rakyat saat itu yang ditemui Tan Malaka, yang masih belum berpendidikan. Saat ini kaum ploletar itu bisa ditemui di kampus-kampus yang tersebar di seluruh penjuru tanah air. Mungkin inilah suatu kondisi yang diharapkannya dulu, dimana semangat juang dan pendidikan ada pada kalangan ploretar. Suatu kombinasi yang sempurna untuk menjadi agen of change dan agen of control yang sering digaungkan saat Ospek di kampus-kampus. Mahasiswa mempunyai 2 sisi itu, sisi dimana dia merasakan secara langsung kondisi real masyarakat dan sisi lainnya dia bisa hadir menyodorkan solusi.

Idealnya kaum ploretar hanyalah sebuah kondisi yang sebenarnya tidak diinginkan. Namun kita tetap harus mempertahankan perspektif dimana kita bisa melihat dari kacamata rakyat meskipun tingkat pergaulan kita sudah bisa menembus gedung-gedung pejabat elit. Banyak capaian-capaian yang telah diraih oleh mahasiswa pergenerasi. Dengan sendirinya kita merasa terwarisi akan cara berpikir anti penindasan, maka tak heran ada yang namanya “sumpah mahasiswa Indonesia” yang merupakan manifesto dari penolakan mahasiswa tahun 70-an terhadap NKK/BKK buatan Soeharto itu. Tak perlu heran, “sumpah mahasiswa” ini dengan cepat merambat ke kampus dan bisa didengar saat aksi-aksi mahasiswa, meski tak banyak yang tahu siapa penciptanya. Hal ini bisa kita asumsikan mahasiswa mempunyai semangat dan cara yang hampir sama dalam menilai fenomena sosial.

Katak Rebus

Cara berpikir mahasiswa yang kritis dan gerakannya pada masa kini kian sunyi. Mungkin saja karena persoalan NKK/BKK atau sejenisnya sudah tidak ada lagi untuk menjadi pemicu. Banyak para mantan aktivis dulu yang sekarang menjadi dosen, pejabat dan politisi sering berceloteh tentang kisah-kisah heroik mereka saat menggelar parlemen jalanan. Namun di saat yang sama justru berusaha meredam gerakan mahasiswa. Bentuk nyatanya banyak, di Univeritas Negeri Gorontalo (kampus saya) pihak lembaga sudah berusaha ikut campur dalam kegiatan mahasiswa, sikap yang anti kritik (terbukti saat persma menerbitkan berita tentang Bidik Misi), pengarahan Persma ke bidang Kehumasan, dan pelarangan kepada mahasiswa Bidik Misi yang ikut kegiatan organisasi mahasiswa, dan masih banyak lagi gerak-gerik birokrat kampus maupun pemerintah dalam membungkam aspirasi mahasiswa. Bedanya yang kita lawan adalah mereka mantan mahasiswa. Benar juga apa kata orang “pergunakanlah masa mahasiswamu untuk menjadi seidealis mungkin, karena setelah itu tidak ada yang bisa menjamin”.

Ada juga yang mengatakan bahwa hilangnya gerakan mahasiswa adalah sebuah hasil dari lingkungan mahasiswa itu sendiri. Dulu lingkungan sekitar mahasiswa bergejolak dan setiap saat terdapat kegelisahan. Bahkan pada beberapa kasus, mahasiswa secara khusus menjadi incaran pemerintah. Setidaknya ada mahasiswa di antara 14 orang hilang (1997-1998) yang belum ditemukan hingga kini. Saya rasa tidak perlu menunggu giliran untuk diculik agar bisa menjadi kritis. Saya cukup dikesankan dengan kedatangan Tim Ekspedisi Indonesia Biru, Dhandy Dwi Laksono dan Suparta yang memberi kuliah kreatif tentang Jurnalistik, sebelumnya kami tidak tahu siapa dan apa yang dilakukan Dhandi dan Ucok itu, belum lagi ditambah perkenalan oleh dosen kami yang sama sekali berbeda dengan  apa yang disampaikan Dhandy saat memberikan kuliah. Dia justru lebih banyak memberikan “nasehat” dibanding materi Jurnalistik. Kami yang duduk di situ disuguhi dengan karya-karyanya tentang reformasi dan kondisi Indonesia yang belum banyak diketahui oleh masyarakat. Dia pun berulang kali bertanya, enak mana zaman orba dengan reformasi? Apakah di zaman reformasi ini, bentuk feodalisme sudah lenyap? Yang paling “menampar” adalah pertanyaan dimana mahasiswa sekarang? Dan pernyataan mahasiswa sekarang sama dengan katak yang direbus, tak sadar dirinya di ambang “kematian”.

Barangkali memang benar apa yang dikatan Dhandy itu, pembungkaman di masa sekarang metodenya sudah dikemas dengan cantik. Banyak konsep anti demo yang beredar di kalangan mahasiswa, dan lucunya mahasiswa mendukungnya. Sekarang mahasiswa lebih sibuk memikirkan persoalan kuliah tanpa mau sibuk-sibuk mengurus persoalan organisasi, ini berhubungan dengan otoritas dosen yang berhak membubuhi nilai akhir mata kuliah mahasiswnya, walau tak jarang ukuran penilaian masih mengandalkan subjektifitas pribadinya. Orientasi mahasiswa sekarang lebih kepada mendapat nilai A pada Kartu Hasil Studinya, dengan harapan mudah mendapat kerja saat sudah lulus nanti. Namun nahas, banyak sarjana yang justru kerja di bidang yang tidak sesuai dengan studinya.

Ini merupakan bentuk kesengajaan dari antek-antek penguasa yang tidak ingin dikritik oleh mahasiswa. Konsep pemikiran mahasiswa yang apatis, pragmatis dan hedonis dibentuk saat calon mahasiswa baru masuk ke kampus dan mendapati kualitas Ospek “kurang menarik” karena banyak yang hanya mengandung materi tentang SKS, KRS, KHS, IPK, IPS, dan beasiswa. Begitu selesai ospek, si maba ini menemui selebaran pendaftaran organisasi-organisasi intra dan ekstra kampus, “mungkin ini sedikit menarik” pikir si maba saat memutuskan untuk mengikuti proses pengkaderan organisasi yang dipilihnya. Saat sudah mendekati hari H, dia bertanya pada sang dosen, “pak saya mau minta izin tidak bisa kuliah karena mau ikut pengkaderan organisasi” dengan santai dosen biasa menjawab “itu terserah kamu, yang jelasnya kamu tetap dihitung absen pada mata kuliah saya” dengan putus asa si maba tadi tak berkutik. Lebih parah lagi yang terjadi pada mahasiswa penerima beasiswa Bidik Misi, serangkaian peraturan telah dibacakan kepada mereka, seperti: wajib berasrama, wajib mentaati peraturan kampus, wajib mengikuti program yang kampus canangkan, wajib mempertahankan IPK di atas rata-rata dan tak ketinggalan ancaman dari pengelola Bidik Misi: “ingat kami berhak mengeluarkan kalian dari status penerima Bidik Misi!”.

Jati Diri Mahasiswa

Kalau sudah demikian, usaha organisasi mahasiswa untuk merekrut anggota baru sangat sulit. Plak! Serangan Pembungkaman telak mengenai psikologi para generasi baru. Untung-untung jika salah satu-dua diantara mereka berani mengkritisi. Pola yang dibentuk kampus ini sangat tidak profesional, mahasiswa seharusnya diajari cara berpikir radikal, berpandangan luas dan berkreasi sesuai keinginan. Adapun kesalahan adalah hal yang lumrah bagi para pelajar tingkat atas ini. Kampus sejatinya harus menjadi pelindung akan kebebasan gerak mahasiswanya, menjamin segala kebutuhan yang dibutuhkan mahasiswa, tidak membatasi eksplorasi yang dilakukan para mahasiswa.

Kembali ke jati diri mahasiswa, mahasiswa dilihat dari segi sosial-ekonominya adalah pembaharu bagi bangsa ini. Jawaban dari segala pertanyaan bertumpu pada mahasiswa. Dengan proses studinya dia mencari sesuatu yang bisa dipertanggung-jawabkannya saat sudah menyandang gelar. Persoalan bangsa yang dirasakan langsung oleh mahasiswa sebagai kaum ploteran menjadi pemicu baginya untuk mencari solusi, hanya tinggal bagaimana mahasiswa bisa saling terhubung satu sama lain dalam suatu perhimpunan organisasi mahasiswa. Saling berbagi dan menceritakan ke-bhineka-an sehingga bisa bersama-sama bersatu dalam satu ikatan: Indonesia.

Kategori
Diskusi

Revolusi Pasar Tradisional

Mopanas ..
ramai ..
bau ..
kotor ..
jorok ..
becek ..
pedagang
pembeli beradu mulut
tawar
menawar barang disini

sampah yang menumpuk
ulah orang yang tidak
bertanggungjawab

tukang ojek
tukang
parkir
menimbulkan
sakit di telinga

Akankah semua ini akan berubah ?

Anna Theresia Irawan

Inilah sepenggal puisi yang berjudul pasar tradisional dari Anna Theresia Irawan. Puisi tersebut secara terang-terangan mendukung bahwa kalimat ‘tradisional’ selalu dikontraskan dengan modern. Tradisional identik dengan kumuh, jorok, becek, dan membosankan; sementara modern lebih mengesankan bersih, nyaman, dan menarik.

Dalam UU Perdagangan no.7 tahun 2014, pasar tradisional berubah menjadi pasar rakyat, dan pasar modern berubah jadi pasar swalayan. Bisa jadi hal tersebut berpengaruh pada eksistensi pasar tradisional. Lalu eksistensi seperti apa yang dimaksudkan? dalam aktivitas ekonomi eksistensi ini seringkali dihubungkan dengan kemampuan bersaing.

Saat ini pasar modern di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup pesat. Keberadaan pasar modern di Indonesia kemungkinan besar akan berkembang dari tahun ke tahun. Perkembangan dapat menjadi tantangan keberadaan pasar tradisional. Pasar modern yang pada dasarnya dimiliki oleh pengusaha asing dan para investor lokal dapat dengan mudah menggantikan peran pasar tradisional yang mayoritas dimiliki oleh masyarakat kecil.

Pada tahun 2012, data dari Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Malang mencatat bahwa terdapat 91 ritel atau pasar modern berbentuk minimarket yakni 57 Indomaret dan 37 berbentuk Alfamart dan jumlah swalayan modern di wilayah Kota Malang telah melebihi batas ideal yang seharusnya antara 18-20 lokasi.

Pasar tradisional seakan tak mau kalah dengan pasar modern. Pasar tradisional berupaya mengembangkan strategi untuk memenuhi kebutuhan atau tuntutan konsumen sebagaimana yang telah dilakukan oleh pasar modern.

Beberapa pasar tradisional di kota Malang mengalami revitalisasi dengan alasan kenyamanan konsumen saat berbelanja. Hal ini bisa dilihat dari tulisan Eko Widianto dalam Tempo.co (02/14). Dalam tulisan tersebut dijelaskan bahwa pemerintah Kota Malang bakal merevitalisasi 14 pasar tradisional di kota Malang untuk memperbaiki citra buruk pasar tradisional.

Citra buruk yang dimaksudkan adalah tampilan pasar, atmosfir (udara atau suasana), tata ruang, tata letak, keragaman dan kualitas barang, promosi penjualan, jam operasional pasar yang terbatas, serta optimalisasi pemanfaatan ruang jual. Salah satu pasar tradisional yang direvitalisasi adalah pasar Dinoyo Malang.

Pasar Dinoyo yang dulunya  kumuh, kini sudah bermetamorfosis menjadi pasar tradisional yang bersih. Bukan hanya suasana saja yang baru, nama pasar Dinoyo pun kini diubah menjadi Pasar Terpadu Dinoyo (PTD). Pasar tiga lantai tersebut juga bersebelahan dengan Mall Dinoyo City (MDC).

Walaupun PTD merupakan pasar tradisional, tapi konsep pengelolaannya seperti pasar modern. Di pasar terpadu ini terdapat tiga lantai. Di lantai dasar akan digunakan untuk menjual bahan-bahan kering seperti sayur-sayuran, pakaian, dan sembako. Sedangkan di lantai satu akan dibuat menjual bahan-bahan basah seperti daging, ayam, dan lain sebagainya.

Tidak hanya itu, untuk parkir pun akan ditata layaknya mal. Semua parkir akan dipusatkan di lantai dua. Selain penataan, untuk pengelolaan di dalam pasar tradisional sudah menggunakan SOP (standard operating procedure) seperti mal. Jadi, disetiap lantai ditempatkan sejumlah  penjaga keamanan. Sehingga keamanan pengunjung benar-benar terjamin.

Dengan fasilitas yang seperti itu tentunya pedagang harus merogoh kocek lebih dalam untuk dapat menyewa gerai atau toko untuk tempat berjualan .Ketika pasar Tradisional sibuk berbenah diri dan menyamakan segala sesuatunya dengan pasar modern. Mereka melupakan sesuatu yang penting. Adanya proses tawar menawar antara pedagang dan pembeli bias jadi tidak akan bisa kita jumpai lagi. Apakah ada yang pernah melihat  pembeli yang menawar harga saat berbelanja di supermarket?

Dalam pasar Tradisional seorang pedagang tidak sekedar menerima uang dan pihak lain menerima barang, tetapi terdapat kebutuhan sosial yang ingin didapat dari pihak lain, yakni penghargaan yang bersifat timbal-balik berlangsung dalam hubungan yang setara, terjalin ikatan hubungan personal emosional. Demikian juga dengan konsumen atau pelanggan tidak semata mendapat sesuatu barang yang diperlukan, tetapi terdapat “kepuasan” lain yang diperlukan, diantaranya tempat dan dengan siapa penjual yang dihadapinya.

Dalam budaya masyarakat timur, berbelanja sambil bersosialisasi adalah lebih menjadi preferensi dari pada berbelanja secara individualis, maka berbelanja sambil tukar bicara adalah salah satu modus pemuas kebutuhan, atau sebagai salah satu bagian yang menyertai komoditi yang harus dipenuhi.

Dalam penelitian S. Leksono (2009) menemukan bahwa pasar tradisional adalah sebagai modus interaksi sosial-budaya bahkan pasar juga mengandung fungsi religius sebagai sarana ibadah. Didalam proses tawar-menawar akan berlangsung proses komunikasi yang dapat menunjukkan kejelasan tentang karakter obyek barang yang diperjual belikan serta terjadi proses penyesuaian harga.

Proses transaksi mempunyai peluang berkelanjutan berdasarkan interaksi social yang terjadi karena diantara keduanya menjadi saling kenal. Jika Anna TheresiaIrawan tadi bertanya dalam puisinya apakah semua akan berubah? Tentu jawabannya iya. Bayangkan jika semua pasar tradisional berevolusi menjadi swalayan atau bentuk pasar modern seperti hypermart, supermarket dan lain sebagainya.

 

Catatan redaksi: Naskah ini terpilih menjadi juara satu Lomba Esai bertema “Eksistensi Pasar Tradisional” yang diadakan pada Dies Natalis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) ke-23 di Semarang.

Kategori
Diskusi

Membaca Esai atau Pidato

Saya selalu merasa bahagia ketika mengetahui ada mahasiswa masih bergairah menulis, apalagi menulis esai. Esai, dalam pemahaman saya, adalah jenis tulisan yang tidak terlalu banyak memiliki kaum pembaca. Dugaan ini berangkat dari sebuah survei sederhana: untuk menjadi penulis yang digemari, seorang cerpenis, novelis, atau penyair, bisa saja hanya cukup menulis satu karya, atau satu buku, yang akan membuat penulisnya mendapat pembaca sekaligus penggemar, juga pengakuan. Iksaka Banu, misalnya. Ia cukup menerbitkan sebuah buku kumpulan cerpen, yang mengantarkannya mendapat penghargaan sebagai karya terbaik pada tahun 2014. Atau, Rio Johan yang berhasil mendapat pengakuan sebagai tokoh sastra dari sebuah majalah terkemuka hanya dengan menerbitkan sebuah novel. Kita bisa saja bergumam: mungkin itu sudah nasib mereka.

“Hukum” di atas, tentu saja, tidak berlaku bagi esais. Silakan bertanya pada diri sendiri, berapa banyak penulis di negeri ini yang konsisten menyandang predikat esais? Tak banyak. Seorang esais mesti memiliki kelebihan dalam hal referensi bacaan, kedalaman permenungan, serta kecakapan bertutur—kita biasa menyebutnya “gaya menulis”. Juga keberanian dalam bermain-main dengan pikiran-pikiran liar. Dan, tentunya, tak melulu bicara data dan fakta. Esai memungkinkan untuk mengaitkan imajinasi dan hal-hal personal berkelindan sekaligus bertentangan dengan yang umum, yang tabu, yang banal, juga yang ideologis sekalipun. Esai, dalam bahasa Goenawan Mohamad, bisa dimaknai sebagai ajang untuk “coba-coba”. Karena itu, kesimpulan dan usul konkrit tidak menjadi sesuatu yang wajib.

Esai tak melulu membicarakan hal-hal besar dan rumit. Esai bisa saja mengajak kita melihat diri sendiri. Saya pribadi, memberi “hormat” pada esai-esai yang tak memberi teror, paksaan, atau serentetan doktrin yang mesti dipercaya. Maka, mereka yang berpikir bahwa esai bisa dipakai untuk ajang demonstrasi dalam bentuk teks, tentu saja akan saya singkirkan jauh-jauh. Tak hanya toa dan radio rusak saja yang bisa “memekakkan” telinga. Esai juga bisa berlaku sama.

Nah, beberapa tulisan mahasiswa peserta lomba menulis diadakan Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) ini, sebagian besar masih menganggap esai adalah mimbar, panggung, atau podium, tempat suara harus keras. Mereka menganggap teriakan saat demonstrasi di jalan-jalan “layak” dituangkan dalam tulisan. Saya memilih kata “layak” karena bagi sebagian orang hal itu diperbolehkan. Maka, yang saya persoalkan di sini, lebih tepatnya terkait layak atau tidak, bukan boleh atau tidak. Dan karena ini adalah lomba menulis, pada mulanya sekali, saya akan mempertimbangkan sekali kapasitas dasar yang mesti dipahami dan (harus) dimiliki oleh seorang penulis: teknis, etika, dan hal dasar dalam menulis. Taruhlah semisal, bagaimana penulis menyusun kalimat yang baik—dan benar—dan paham bagaimana EYD mesti dipergunakan. Sayangnya, panitia lupa mencantumkan hal dasar ini dalam kriteria penilaian. Saya beranggapan: panitia mungkin menilai para peserta lomba ini sudah khatam untuk urusan-urusan dasar tersebut. Tetapi mereka keliru….

***

Ada dua tema lomba. Pertama, “Mahasiswa Bangkit dan Melawan Pembungkaman”. Para esais dalam tema ini, seperti sudah saya singgung, begitu “berisik” dan kerap “berteriak” dalam tulisannya. Pantas kita renungkan bersama: apakah dalam keadaan berteraik-teriak kita sanggup merenungkan sesuatu dengan khusyuk? Esai yang demikian, pada akhirnya akan menjadi deretan slogan, untuk tidak menyebutnya optimisme yang berlebihan. Tulisan berbeda disajikan oleh Salis Fahrudin dengan judul tulisan Hilang. Salis menarik dua peristiwa yang beberapa pekan silam heboh di media sosial, yaitu terkait keluhan Bre Redana menghadapi gempuran medai digital, untuk kemudian menariknya ke dalam pembahasan yang sederhana namun substantif. Sayang sekali tulisan tersebut tidak disangga dengan judul yang “kuat”.

Dua esai berikutnya yang menonjol adalah Kampus Ladang Demokrasi Antikritik karya Pebri Tuwanto dan Pertahankan Sikap Mahasiswamu! Karya Defri Sofyan. Esai pertama kuat dan tajam dari sisi judul dan diperkuat dengan penjelasan yang runtut, dengan logika dan penjelasan yang tertata pula. Pebri Tuwanto merunut hal mendasar yang menyebabkan terjadinya represi dari kampus. Di akhir tulisan, ia memberi kritik tajam terhadap sistem birokrasi kampus yang berjasa melahirkan “jambret-jambret”. Esai ini akan semakin bernas bila disampaikan pula faktor dari “dalam”, yaitu dari pihak mahasiswa: semacam otokritik. Esai kedua, justru lebih mendakik, terutama bagaimana ia mengisahkan birokrasi yang terjadi di dalam kampus. Meski menggunakan judul yang keras, di akhir tulisan Defri Sofyan mengajukan sejumlah otokritik yang berpangkal pada persatuan mahasiswa. Kedua esai ini, dibanding esai yang lain, termasuk yang paling bisa dibaca sebagai sebuah tulisan—bukan sebagai sebuah debat atau pidato.

Tema lomba yang kedua adalah “Eksistensi Pasar Tradisional”. Ada tiga esai yang memiliki kelebihan. Pertama, esai Kemahalan yang Diterima vs Harga yang Terus Ditawar karya Nasrul Muhammad Rizal. Esai yang reflektif, sederhana, namun sangat substantif. Nasrul memberi kritik bukan pada sudut pandang pasar melainkan lebih kepada bagaimana mentalitas manusia Indonesia melihat dan memperlakukan renik-renik dalam sebuah objek besar bernama “pasar”. Kedua, Revolusi Pasar Tradisional karya Reni Dwi Anggraini. Meski memasang judul yang terkesan bombastis dan klise—hal yang banyak dilakukan oleh para penulis dalam lomba ini—esai ini berbeda karena mengutip puisi sebagai analogi pengisahan. Reni kemudian mengajak pembaca untuk menengok kembali bagaimana pasar dalam perspektif kejawaan—hal yang tidak dikerjakan oleh penulis lain. Tulisan Reni lemah dalam kaidah penulisan. Esai ketiga Pasar Tradisional, Mengapa Ditinggalkan? karya Ayu Dyah Hapsari nyaris begitu tertata dalam penyajiannya. Saya memberi penghargaan lebih kepada penulis yang sanggup menyajikan tulisan dengan bermartabat. Kesalahan hanya satu-dua. Ayu menyorot keseriusan pemerintah dalam mengelola pasar.

Esai-esai yang saya pilih tersebut masih memungkinkan untuk menjadi perdebatan. Namun, tentu saja, setelah perlombaan ini selesai. Karena sangat memungkinkan, pembaca memiliki perspektif dan penilaian lain. Sekian.

Widyanuari Eko Putra

Kategori
Diskusi

Revolusi sampai Mati

Tema “Revolusi Mental untuk Memerkokoh Karakter Bangsa” yang dikawal oleh para rektor perguruan tinggi seluruh Indonesia dalam Forum Rektor Indonesia (FRI) 2016 di Universitas Negeri Yogyakarta, akhir Januari lalu, dalam hemat saya, gagal dipahami sebagai perwujudan mengubah kebiasaan tak baik. Hal itu terlihat dari perilakunya yang tak mau “bekerjasama” dengan mahasiswa yang mengatasnamakan diri Gerakan Pendidikan Nasional (GNP). Justeru mereka menyambutnya dengan perlakuan represif dari pihak keamanan. Hal ini tak akan terjadi apabila salah satu rektor dari pihak FRI, terlebih ketua FRI terpilih Rochmat Wahab, keluar untuk mendinginkan suasana.

Apakah perlakuan semacam itu dapat kita jadikan harapan bahwa revolusi mental yang dicanangkan oleh Presiden RI, Joko Widodo, dapat mengantarkan Indonesia menjadi lebih, berkarakter sesuai dengan cita-cita bangsa? Saya kira, orang-orang yang hadir ke acara FRI 2016 itu bukanlah orang-orang yang tak beradab – secara berlebihan mereka itu bisa kita sebut pahlawan; penyelamat jiwa-jiwa yang tertawan. Mereka adalah pemimpin kampus – yang notabene – berbudi pekerti luhur – meski tak jarang keluhuran itu sering kita pertanyakan.

Sampai detik ini pun, saya masih mempertanyakan keluhuran mereka. Pasalnya, perlakuan mereka menunjukkan sikap tak bersahabat dalam menyambut “kehadiran” mahasiswa yang tergabung dalam GNP. Padahal, mereka – saya masih meyakini – datang dengan berbekal aspirasi, yang bisa dikatakan, membawa secercah perubahan terhadap pendidikan tinggi kita menjadi lebih baik – meski tak menutup kemungkinan sudah baik dari sono-nya.

Sedikitnya, ada tiga keinginan yang mereka bawa waktu itu. Yaitu, pertama, mereka ingin penerapan uang kuliah tunggal (UKT) dihapus dari perguruan tinggi negeri (PTN). Kedua, mereka ingin adanya jaminan pendidikan tinggi bagi seluruh rakyat. Dan ketiga, mereka ingin terwujudnya demokratisasi kampus.

Ketiga aspirasi tersebut bukannya ditampung – paling tidak didengarkan – malah disambut dengan barikade keamanan kampus. Saling dorong antara massa aksi demo dari GNP dengan pihak kampus pun tak terhindarkan. Mereka saling bersitegang. Ketegangan itu akhirnya dapat diredam setelah terjadi negosiasi. Pihak rektorat UNY berjanji akan menemui massa.

Akan tetapi, janji tinggallah janji. Sampai malam menjelang, pihak rektorat UNY tak kujung keluar menemui massa aksi demo. Situasi pun kembali memanas. Namun akhirnya, dengan berat hati mereka (massa aksi demo) memilih mengalah dan membacakan pernyataan sikap. Setelah itu, mereka membubarkan diri – barangkali pulang ke kost-an atau rumah masing-masing.

Kejadian yang tak kita inginkan pun kembali terjadi, tepatnya setelah melintas mobil pengangkut anggota FRI 2016. Mengetahui hal itu, massa aksi demo dari GNP pun berusaha mencegat. Dan, terjadilah kemacetan.

Pada saat itu, terjadilah hal yang tak pernah kita inginkan. Aparat kepolisian datang, mengejar, memukul, dan bahkan menangkap sejumlah mahasiswa. Seperti dilansir Berdikarionline.com, ada sekitar 20 mahasiswa yang ditangkap. Sebelum akhirnya “digelandang” ke Mapolres Sleman, mereka sempat diamankan di Social Centre UNY.

Gerakan revolusi mental

Perlakuan represif dari pihak keamanan terhadap massa aksi demo dari GNP menunjukkan aparat keamanan masih suka “main tangan” dalam menangani aksi demo yang digelar oleh mahasiswa. Ini tak jauh beda dengan perlakuan aparat keamanan ketika membendung aksi demo mahasiswa pada tahun 1998. Aparat yang seharusnya mengamankan, justeru menciderai tugasnya dengan turut berperan aktif melakukan pemukulan, bahkan pembantaian yang berujung kematian.

Situasi seperti ini tentunya berdampak pada melempemnya gerakan mahasiswa. Mahasiswa yang berhimpun untuk menyampaikan aspirasi mereka selalu terngiang-ngiang dengan ancaman. Sehingga mereka ketakuan, dan tak lagi berani mengkritisi kampusnya karena setiap kampus dikelilingi oleh para keamanan yang bertangan besi. Disini, pihak (penguasa) kampus yang memiiliki kepentingan akan terbahak-bahak di ruangannya.

Apabila para rektor sadar dengan kenyataan ini, acara FRI 2016 tidak hanya dijadikan ajang berkongkow ria, melainkan sebagai upaya menghentikan segala bentuk intimidasi di dalam kampus. Hal ini mengingat terlalu tebal “buku catatan hitam” yang dihasilkan oleh perguruan tinggi. Yang paling kentara dalam ranah pengekangan kebebasan berekspresi. Maka tak heran, apabila dalam tuntutannya, mahasiswa dari GPN itu menuntut terwujudnya demoktratisasi kampus.

Satu hal lagi yang perlu diingat, acara FRI 2016 ini bukanlah acara kecil, sederhana, melainkan acara yang luar biasa “wah”-nya. Bagaimana tidak “wah”! Bayangkan saja, sampai mengundang Presiden RI, Joko Widodo. Saya sebagai mahasiswa tentu memaklumi undangan itu. Dalam hemat saya, Jokowi – panggilan Joko Widodo – adalah orang yang tepat dalam berbicara soal Revolusi Mental. Di samping dia sebagai presiden, dialah yang mem-booming-kan Revolusi Mental, sehingga Revolusi Mental yang diharapankannya sejalan dengan cita-cita bangsa.

Tak berhenti sampai disini. Selepas dari acara FRI 2016 ini, para rektor memiliki “pekerjaan rumah” untuk menyalurkan materi Revolusi Mental yang telah diperolehnya kepada para jajaran birokratnya, mulai dari karyawan, dosen, aparat keamanan, office boy­, hingga mahasiswanya. Khusus para aparat keamanannya, mereka perlu diberi pembelajaran khusus agar mereka menyadari bahwa mengatasi aksi demo akan lebih baik, anggun, seksi dan bersahaja, apabila menggunakan hati; tidak menggunakan “tangan besi”. Karena mengatasi aksi demo dengan “tangan besi” adalah prilaku orang-orang barbar.

Terakhir, harapan saya; semoga acara FRI 2016 ini membuat para rektor di seluruh perguruan tinggi di Indonesia semakin memahami arti/esensi Revolusi Mental. Revolusi Mental tak hanya dipahami sebagai jargon semata, melainkan sebagai gerakan kolektif yang mengubah kebiasaan tak baik menjadi kebiasaan baru yang dapat mendukung daya saing bangsa. Paling tidak, satu tahun pasca araca FRI 2016 ini, terlihat hasil penerapan konsep Revolusi Mental di kampus pada khususnya, di masyarakat pada umumnya. Tentunya – meminjam kata Bung Tofix Noerhidajat dalam akhir tulisannya – dengan resep obat ramuan Forum Rektor.[]

Kategori
Diskusi

Kongkow Rektor di UNY: Revolusi Mental Lebih Seksi daripada Hak Intelektual Kampus

Pembaca yang Seksi nan Intelek, marilah kita berlupa-lupa ria sejenak akan persoalan nilai ujian akhir semester, IPK naik-turun, riang gembira libur akhir semester, dan segala urusan akademik yang membikin lena esensi intelektualitas.

Jika sudah berhasil melupa sejenak, saatnya bung dan nona mengingat berbagai peristiwa nahas yang menimpa sekawanan intelektual kampus. Masih belum ingat? Segeralah cepat lulus, mungkin otak bung dan nona butuh istirahat!

Beberapa catatan suram akademik tertulis di lembaran tahun 2015. Ada diskusi intelektual yang dibubarkan: pelarangan diskusi bertema LGBT di FH Undip, pelarangan pemutaran film Senyap di USD Jogja, dan dihalanginya agenda pemutaran film Alkinemokiye dan Samin versus Semen oleh birokrat FIA UB. Belum lagi, terekspos pembredelan lembaga kontrol-kritik kampus: kasus Media Unram di Unram NTB dan LPM Aksara di Madura. Akhir tahun lalu malah beberapa aktivis mahasiswa UNJ di-dropout lantaran mempelopori aksi aliansi mahasiswa.

Tahun sudah berganti menjadi 2016. Namun masa 2015 masih terlalu menyebalkan untuk dilupakan. Bagi para kamerad sadar pendidikan, tahun lalu merupakan agenda perang melawan intimidasi elit pengekang ekspresi keilmuan. Sepertinya, tahun 2016 ini perang pun masih berlanjut.

Pada tahun ini pula para komandan kampus   biasanya disebut rektor   yang diklaim sejumlah seribuan kepala orang itu akan berkongkow di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), dari 29-31 Januari 2016. Mereka yang berkelompok dalam Forum Rektor Indonesia (FRI) menggelar hajat Konvensi Kampus XII dan Temu Tahunan XVIII bertajuk “Revolusi Mental untuk Memerkokoh Karakter Bangsa”.

Apa guna hajat itu? Lantas apa maksud dari tema absurd itu?

Silahkan sekawanan bung dan nona pembaca mengeceknya pada official website UNY dan beberapa portal berita yang sudah memuat pernyataan Rektor UNY, Rochmat Wahab selaku Ketua FRI periode ini. Inti maksudnya, konferensi rektor akan membahas persoalan kemunduran karakter anak bangsa. Maka konferensi ini bergenre “revolusi mental” supaya tuan-tuan rektor bisa menyumbang konsep kepada otoritas negara bahwa penyakit-penyakit semacam korupsi, penyelewengan hukum dan kuasa, penyalahgunaan narkoba, paham radikal, dan segala penyakit cacat karakter lainnya bisa disembuhkan. Tentunya dengan resep obat ramuan Forum Rektor.

Lho itu kan maksud baik tuan-tuan rektor tho, lantas apa yang jadi soal?

Rektor itu makhluk yang berkepentingan. Entah kepentingan tersebut berpihak kepada siapa, seringkali misterius. Idealnya, sebagai makhluk bercap intelektual, kepentingan tuan-tuan rektor adalah kepentingan yang menjamin urusan keilmuan makhluk intelektual lainnya: mahasiswa.

Berpolitik merupakan proses mencapai kepentingan itu. Manusia yang berkodrat sosial-politis, pastilah akan membikin kelompok kepentingan antarsesama manusia lainnya. Analoginya, seorang rektor akan berkongkow dengan tuan-tuan rektor dari kampus lain. Seharusnya memang membikin konsensus (kesepakatan) internal Forum Rektor agar mereka mampu mewujudkan kepentingan keilmuan di tiap kampus.

Forum tersebut bisa menjadi blok kekuatan yang menggairahkan keilmuan anak bangsa di berbagai perguruan tinggi . Jika urusan keilmuan jadi bergairah dan anak bangsa tercerdaskan, maka pendidikan nasional punya sumbangsih apik terhadap pembangunan kemajuan bangsa. Presiden atau menteri urusan pendidikan tak perlu lagi bercemas-cemas ria soal karakter dan manfaat ilmu dari kantong-kantong intelektual-akademik. Artinya, forumnya tuan-tuan rektor mesti fokus memikirkan urusan intelektual kampus.

Apabila Forum Rektor malah sibuk menjadi suksesor Revolusi Mental yang notabene konsep sebuah rezim, apakah tuan-tuan rektor sanggup menjaga tawaran independensi intelektualnya? Nah, kalau konsep pembangunan karakter bangsa dari sebuah rezim ternyata mengandung kesalahan fatal, siapa yang berkompeten mengontrol? Jangan sampai politik kaum intelektual cenderung praktis dan non-alternatif!

Wacana yang ditawarkan Forum Rektor hendaknya menyerap aspirasi dari dalam wadah intelektual seperti kampus. Kaum intelektual kampus semacam mahasiswa masih banyak yang belum terlayani kebutuhan ekspresi keilmuannya. Belum juga terlayani, malah tambah ditindas geng-geng fasis dari luar kampus. Parahnya lagi, ada pihak birokrat kampus (rektor) yang secara terang-terangan turut menjajah hak intelektual tersebut. Apa itu bukan masalah luar biasa, wahai tuan-tuan rektor?

Betapa naifnya jika tuan-tuan rektor beralasan tidak tahu soal pengekangan hak-hak intelektual kampus. Masih terlalu segar dalam ingatan bahwa masa 2015 kemarin adalah masa unjuk taring pengekangan intelektual di kampus. Banyak kegiatan mahasiswa dibelenggu.

Kecurigaan pun muncul: apakah Menristekdikti mendata kasus-kasus pengekangan tersebut atau justru membiarkan begitu saja?

Di Konferensi FRI nanti, Nasir selaku Menristekdikti pun diundang sebagai pembicara. Tentunya ceramah Nasir akan bermaterikan tentang nilai-nilai karakter pendidikan tinggi yang sesuai konsep Revolusi Mental. Tak cukup Nasir, Jokowi pun diajak untuk unjuk omong dalam ajang tersebut. Cobalah dinalar wahai bung dan nona, dari Menteri hingga Presiden datang berkongkow bersama tuan-tuan rektor, sebegitu niatnya penanaman konsep moral sebuah rezim ke dalam institusi-institusi pendidikan.

Bisa jadi konsep revolusi mental yang dikampanyekan oleh FRI akan beimbas dalam kurikulum pendidikan di kampus. Mahasiswa akan menjadi sasaran proyek rekayasa moral ini. Jika sudah begitu, peran intelektual independen mahasiswa akan sulit menjadi kontrol  dari rezim. Praktis, kebobrokan-kebobrokan rezim begitu mudah dilupakan akibat mahasiswa lena dengan tagline “kerja, kerja, kerja” tanpa mikir kritis. Itulah persekutuan elit intelektual-akademik dengan politik dan benarlah apa kata M. Foucault: knowledge to power.

By the way, mendebat soal Revolusi Mental, tidak adil kiranya tanpa mencomot referensi dari pewacana konsep tersebut. Ada seorang pakar bernama Paulus Wirutomo yang sempat menjadi Ketua Pokja Revolusi Mental pada Rumah Transisi Jokowi-JK  2014. Esainya bertajuk “Retorika Revolusi Mental” dimuat oleh Koran Kompas edisi 29 April 2015. Begitu membacanya tuntas, terpikir bahwa esai pro-rezim tersebut begitu layak didebat!

Paulus menganjurkan bahwa ada 6 nilai yang mesti ditanamkan agar Revolusi Mental berhasil. Tidak perlu menyebutkan semua nilainya, cukup ambil beberapa nilai saja yang bisa dihadapkan dengan realita hak berekspresi intelektual kampus. Dari esai tersebut bisa diambil 3 nilai untuk diperdebatkan: “nilai bisa dipercaya”, “nilai kreativitas”, dan “nilai saling menghargai”.

Nah, selama ini apakah ketiga nilai itu sudah diterapkan tuan-tuan rektor dalam menjamin hak-hak intelektual kampus? Jika memang benar-benar serius tentunya Pak Menteri Nasir dan tuan-tuan rektor sudah mengecam tindakan-tindakan macam pelarangan diskusi lintas intelektual kampus. Lantas bagaimana dengan kritik aspiratif mahasiswa yang berdampak menjadi pengekangan dari birokrat kampus, serta tulisan-tulisan yang dibredel birokrat kampus? Jelas-jelas itu wujud nyata pengkhiatan nilai-nilai Revolusi Mental tersebut.

Ketika masa 2015 kemarin pengekangan intelektual begitu kuasa mengangkang di kampus, apakah pantas mahasiswa harus dicekoki konsep moral versi otoritas? Sedangkan otoritas sendiri terbukti gagal mencegah tindakan pengekang elit fasis dari dalam maupun luar kampus. Sebaliknya, birokrat-birokrat kampus terang-terangan memasug kreativitas, tidak bisa dipercaya, dan jauh dari kesan saling menghargai proses intelektual.

Perlu diketahui bahwa tiap Konferensi FRI akan menghasilkan nota kesepahaman. Nantinya nota itu akan dipraktikan melalui kegiatan-kegiatan FRI. Marilah tetap kritis memantau proses ke depan dari ajang tuan-tuan rektor tersebut. Apabila konsep Revolusi Mental diterapkan ke kampus-kampus, itu sama saja dengan memaksakan moral rezim ke dalam nalar independen mahasiswa.

Kelakuan pemaksaan moral penguasa tidak berbeda dengan pemasungan intelektual-akademik versi rezim Orde Baru. Saat rezim tersebut berkuasa, ada aturan NKK/BKK yang membatasi aktivitas mahasiswa intrakampus. Terlebih lagi Pancasila sebagai ideologi negara disakralkan namun penerapannya sangat tidak berperikemanusiaan dan berkeadilan sosial.

Jangan dilupakan lagi bahwa pada rezim pengusung Revolusi Mental ini gencar diwacanakan konsep bela negara oleh Menteri Pertahanan. Bela negara versi penguasa akan merekayasa penganutnya. Jika diterapkan di kampus, intelektual kampuslah yang akan dipaksa sebagai penganut. Tentu saja nalar kritis mengontrol kebijakan rezim bisa mampus.

Bayangkan saja, hak-hak mahasiswa mengekspresikan intelektualitasnya masih digantung tinggi oleh otoritas. Tali gantung akan semakin kencang jika mahasiswa dikenai kewajiban menelan mentah-mentah hasil kompromi moral versi FRI. Mahasiswa pun harus jelas menentukan sikap terhadap perhelatan FRI: tidak aspiratif! Keputusan ditolak!

Kepada Pak Nasir dan tuan-tuan rektor, sepertinya masih jauh dari kesan selaras antara Revolusi Mental yang kalian impikan dengan kenyataan yang diderita oleh sekawanan intelektual kampus. Tolonglah dinalar lagi, desain besar kalian itu menjadi imajinasi belaka bila hak-hak kecil di kampus tidak becus diayomi. Sekawanan bung dan nona intelektual kampus di segala penjuru tidak butuh dipasung konsep moral seberat-beratnya. Pembebasan pun kian jauh dari harapan, justru pengekangan kian menghadang.

Harusnya, FRI menjadi ajang koreksi diri tuan-tuan rektor atas kinerja akademiknya dan terhadap otoritas di atasnya. Begitu sia-sia jika para pemimpin kampus tidak mengusung aspirasi dari bawah ke atas. Malah sebaliknya, membawa beban dari atas ke bawah. Sadarlah bahwa mahasiswa bukan sekawanan kerbau pemanggul beban karya penguasa.

Tuan-tuan rektor klan FRI mestinya banyak membaca. Mereka harus membaca keadaan terkini bahwa suara ketidakpercayaan mahasiswa akan rektornya acap menggema di bawah tanah akademika. Suara-suara itu apabila tidak direkam aspirasinya, akan kian bergemuruh menggoyah pondasi kuasa rektorat. Gejolak itu kemungkinan besar terjadi akibat kelakuan tuan-tuan yang tidak mengayomi hak-hak intelektual mahasiswanya. Ini bukan ancaman melainkan begitulah realitanya!

Kalau begitu, tuan-tuan rektor juga harus belajar sejarah lagi. FRI terlahir dari rahim Reformasi. Alkisah pada 7 November 1998, para rektor se-Indonesia berkumpul di Sasana Budaya Ganesha ITB. Pertemuan itu pun menghasilkan kesepakatan bahwa para pimpinan kampus akan selalu bersama mahasiswa melakukan gerakan reformasi sebagai wujud kekuatan moral intelektual. Para rektor juga bersiap melindungi hak-hak asasi mahasiswa, mendukung gerakannya, serta meminta ABRI agar senantiasa melindungi sekawanan mahasiswa demonstran. Ah, itu dulu ketika kepentingan rektor dan mahasiswa sedang manunggal-manunggalnya. Nyatanya sekarang ketika rezim raksasa berhasil ditumbangkan, kaum intelektual-akademik pun tak malu-malu menjilati muka penguasa.

Mencoba berprasangka baik semoga FRI bukanlah ajang penjilatan macam itu. Namun idealnya, para pemimipin kampus mesti bersifat independen dalam membangun gerakan politik intelektualnya. Independensi dibutuhkan karena politik intelektual idealnya berupa politik alternatif yang tidak berorientasi pada kuasa. Para rektor sebagai kaum intelektual-akademik mesti menggerakan politik kontrol-kritik kepada ketidakberesan rezim.

Intelektual-akademik memilki potensi sebagai pengamat karena kedalaman ilmunya. Maka itu mereka harus bisa membedakan antara baik dan buruknya sebuah kuasa. Bila ada desain besar penguasa yang cenderung mengekang, seharusnya dikritik oleh kaum intelektual. Kalau kaum intelektual yang berkongkow sudah menjilat, maka parahlah nasib rakyat awam.

Setidaknya begitulah nasihat kepada tuan-tuan rektor dalam beragenda forum politik. Berpihak kepada siapa yang kalian pimpin itu lebih baik. Sebaiknya introspeksi soal kepemimpinan masing-masing diri yang jauh dari kesan pemberdayaan hak-hak intelektual kampus. Jika hak-hak intelektual mahasiswa terkekang, bisa jadi hak-hak kesejahteraan kaum awam sedang parah-parahnya dikebiri penguasa. Kampus hanya panggung sandiwara!

Perlu disadari lagi, tuan-tuan rektor itu pemimpin kampus bukan pemimpin parpol. Tiada hormat bagi pemimpin institusi pendidikan yang berkoalisi layaknya elit parpol. Menyerapi pernyataan Ki Hadjar Dewantara, “Pendidikan bagi manusia demi keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya”, maka lebih baik tuan-tuan rektor yang sedang berkumpul mengadakan pengajian esai-esai pendidikan karya akademis mereka. Itu lebih baik daripada repot-repot undang Jokowi dan Nasir serta supaya kagak keblinger politik praktis.

Hoaaam… Maaf, bung dan nona pembaca apabila kelelahan. Memang tidak cukup pendek untuk memikirkan kongkownya tuan-tuan rektor di balik selimut Revolusi Mental. Mari beramai-ramai bung dan nona buka selimutnya, maka ditemukanlah hak-hak intelektual kampus sengaja ditidurkan.

Berharap baik pada persekongkowan tuan-tuan rektor mungkin cenderung utopis. Bahkan bisa lebih utopis dari mengharapkan penampilan Elvie Sukaesih featuring Rage Against The Machine di panggung Soundrenaline. Biar utopis, yang penting seksi untuk didebat.

Maka dianjurkan kepada bung dan nona pembaca untuk menambah perdebatan lebih lanjut. Debat lalu revolusi itulah perbuatan mahasiswa seksi. Ah bajingan, esai ini sulit untuk diakhiri! Mungkin penulisnya terlanjur seksi! Begini saja deh, baca pernyataan seksi di bawah ini:

Selamat berforum tuan-tuan, semoga bermental revolusioner! Tidak hanya Mulan Jameela: #RevolusiJugaSeksi.

                                                                                                                                                               

Bantul, Januari 2016

Kategori
Diskusi

Persma Anti Intervensi Birokrasi, Inilah Wujud Independensi

Saya beruntung diberi kesempatan untuk membaca kembali buku ‘Sembilan Elemen Jurnalisme’, setelah satu tahun lebih buku itu bertumpuk dengan buku lain. Tidak lain sebabnya setelah membaca tulisan Muadz Albanna, blogger asal Palu. Ia aktif di LPM Produktif, Universitas Tadulako, angkatan 2013.

Judul tulisan nya menarik, ‘Independensi Persma, Ada tapi Lemah’. Tentu, sebagai pegiat pers mahasiswa (persma) saya merasa penting dan perlu untuk membacanya. Apakah ada kesalahan dalam praktik independensi persma selama ini? Jika memang ada tentu ada tawaran solusi dari kawan Palu yang menulis soal kegelisahannya.

Muadz menganggap persmahasiswa.id sebagai media bersama pegiat pers mahasiswa menjadi sumber penyebar berita buruk, karena memuat berita pembredelan yang dialami persma oleh birokrasi kampus. Ia menilai hal ini menjadi penyebab ciutnya semangat kawan-kawan persma yang baru tumbuh di berbagai daerah. Dampaknya, tambah Muadz, pada arah gerak persma terkait independensi.

Opini Muadz membuat gelisah para pembaca, terutama saya. Terlebih dalam logika berpikir Muadz tentang berita pembredelan di persmahasiswa.id, yang menurutnya merupakan fakta lemahnya persma karena mudah dipatahkan birokrasi kampus. Bukankah hal tersebut justru menunjukkan bahwa proses redaksi persma masih independen, sedangkan birokrasi kampus masih saja anti kritik.

Dalam tulisannya, Muadz seolah menempatkan diri sebagai awak persma senior, berjibun pengalaman mendapatkan kontrol dari kampus, dan menjadi independen sesuai opininya. Baru kemudian ia sangat percaya diri memberikan kritik dan saran atas kondisi independensi persma saat ini. Frasa ‘kita persma’ seakan menjadi representasi semua pegiat persma di Indonesia. Ada generalisasi posisi, sikap, dan kegundahan soal independensi.

Saya akan tenang dan bangga jika tulisan itu bercerita tentang kenaikan biaya pendidikan yang memberatkan mahasiswa di Universitas Tadulako. Bukan menceritakan soal independensi persma yang pada akhir zaman ini mulai hancur. Anehnya, ia tidak memberikan penjelasan rinci tentang kehancuran yang disebut. Malah melarikan logikanya pada soal administrasi kampus, tempat pegiat persma bernaung dan menjalani proses organisasinya.

Saya memaksa paham akan maksud tulisannya yang menghubungkan independensi persma dengan administrasi kampus, terutama dana. Sebagaimana makna gramatikal ‘independensi’ adalah bebas, merdeka dan berdiri sendiri. Mungkin ia ingin mengkritik pegiat persma yang berstatus unit kegiatan mahasiswa (UKM) di kampus, untuk tidak meminta dana yang sudah dianggarkan oleh pihak kampus. Jika dimaknai demikian, maka benar persma harus berdiri sendiri dan tepisah dari kampus.

Tapi, apakah benar seperti itu pemaknaan akan independensi? Bukankah itu pemakanaan yang dangkal dan jauh dari praktik jurnaslime?

Andreas Harsono dalam buku ‘Agama Saya adalah Jurnalisme’ menceritakan Homer Peas, seorang kawan dari Kovach, saat duduk dibangku sekolah menengah atas yang meniggal dalam medan tempur di Vietnam. Ini adalah efek dari sikap independen dari Kovach atas liputan ‘pembelian’ suara yang dilakukan oleh Peas untuk memenangkan John F. Kennedy melawan Richard Nixon pada 1960. Karena liputan Kovach lah, Peas diadili dan memlih masuk dinas militer ketimbang masuk penjara.

Artinya, independensi tidak mengenal teman dalam menulis sebuah fakta. Meski sebenarnya Kovach merasa sedih karena telah menyebut nama Peas dalam liputan itu. Tapi itu adalah pilihan yang tepat untuk kawan nya yang memilih terlibat dalam pembelian suara dan mencederai demokrasi.

Tidak berhenti di situ, keresahan H. Soffyan seorang pemimpin redaksi harian ‘Analisa Medan’ tentang suap kepada wartawan saat peliputan, saya rasa bukan masalah yang besar. Karena saat independensi sudah dimiliki oleh seorang wartawan makan suap tidak berarti.

Lain halnya dengan logika dari kawan Muadz. Ia memaknai anggaran dari kampus untuk UKM yang didalamnya pegiat persma adalah bentuk tidak independen. Apa benar kawan saya sedang sesat dalam berpikir. Dana UKM itu sudah diatur dalam pedoman organisasi yang dibuat oleh Dikti. Mau alasan dinaungi Kemenag, yayasan? Ya baca aturannya dong, jangan manja. Manfaatkan gawai kalian di tengah banjirnya informasi ini.

Lagi pula, independensi itu berjalan saat proses pembuatan berita. Bukan saat berita sudah terbit, mengudara, atau up load.

Persma selama ini berkutat dengan media cetak; majalah, buletin, mading, selebaran. Ketika birokrasi kampus -atau alumni sekalipun- berupaya mengintervensi isu-isu yang akan dikemas dalam bentuk berita, dari situlah independensi diperlukan. Persma yang independen akan menjaga agar tetap pada kemandirian ruang berpikir, sesuai kode etik persma dan elemen jurnalisme.

Apalagi selama pihak birokrasi kampus tidak melakukan intervensi terhadap proses redaksi media lembaga pers mahasiswa (LPM). Saya rasa independensi sudah terjaga dan cukup.

Hubungan anggaran dana dari kampus tidak termasuk dalam kategori suap seperti ketakutan Soffyan. Frasa kampungan macam ‘pengemis dana birokrasi’ adalah pembacaan cetek, tak berdasar dan barbar. “Jika ingin punya dana sendiri, silahkan buat perusahaan media sendiri,” kata seorang teman saya di sebuah diskusi.

Pada poin selanjutnya, dia menurunkan logika yang salah kaprah tentang makna independensi untuk diadopsi oleh persma se-Indonesia. Hal ini tentu akan menjadi evaluasi dan PR bagi pemerintahan Jokowi. Kekonyolan semakin menjadi saat dia menghubungkan salah kaprah ini dengan budaya, medan juang yang berbeda. Sejak kapan persma memiliki budaya yang berbeda? Sejak kapan pula medan juang berbeda? Ada baiknya mengkaji ulang buku putih pers mahasiswa.

Maggie Gallagher dalam buku ‘Sembilan Elemen Jurnalisme’ karya Kovach & Rosentiel menyatakan bahwa “jurnalisme meminta independensi dari faksi harus berada di atas semua budaya dan sejarah pribadi yang dibawa wartawan ke dalam pekerjaannya”. Implikasi nyatanya, latarbelakang personal dari wartawan akan menjadi sebatas informasi dalam menyusun fakta-fakta, bukan malah mendikte.

Keblingeran dalam berpikir kentara saat menganggap bahwa persma di belahan negeri ini mempunya spesifikasi gerak yang dititikberatkan pada sponshorship. Parahnya, memberikan solusi untuk melakukan harmonisasi dengan pemda/ pemkot/pemkab. Bentuknya mungkin seperti humas kampus. Janggalnya, ia mengungkapkan bahwa porsi kritik sedikit sambil menjaga hubungan baik. Bukankah Kovach & Rosentiel lewat Gallagher mengingatkan, wartawan itu berbeda dengan juru propaganda yang berprinsip ‘Gebuk dulu—usut belakangan’. Mereka mempunyai kewajiban menyampaikan fakta dengan sebenar-benarnya dan berjarak dengan narasumber.

“Wartawan harus tetap independen dari pihak yang mereka liput”

Jika masih memaksa persma untuk beranggapan bahwa independen didapat dari mandiri dana itu konyol, apa bedanya dengan organ mahasiswa Islam yang tahun lalu mencoreng dunia intelektual mahasiswa dengan aksi anarkisnya saat kongres. Terlebih menghabiskan dana tiga miliar itu dianggap wajar oleh alumninya. Semoga pers mahasiwa dan segala perhimpunan atau perkumpulan semacamnya tetap menjadi organisasi mahasiswa yang tak berduit, bisa independensi dari pihak manapun, dan bisa menjadi media alternatif.[]

Kategori
Diskusi

Wajah Feodalisme Laten di Ruang Akademik

Mengacu kepada definisi kamus besar bahasa indonesia, feodalisme dapat ditafsirkan sebagai tiga hal ; 1 sistem sosial atau politik yang memberikan kekuasaan yang besar kepada golongan bangsawan; 2 sistem sosial yang mengagung-agungkan jabatan atau pangkat dan bukan mengagung-agungkan prestasi kerja; 3 sistem sosial di Eropa pada Abad Pertengahan yang ditandai oleh kekuasaan yang besar di tangan tuan tanah

Sebagai sebuah sistem sosial, feodalisme diduga akan sepenuhnya lenyap mengikuti keruntuhan monarki. Sementara demokrasi disangka sebuah sistem yang sempurna akan melenyapkannya. Sialnya, meski menawarkan sebuah tata negara yang paripurna berhasil tidaknya tercipta sebuah tatanan masih bergantung kepada siapa yang menjalankan sebuah Negara.

Sesungguhnya dalam ruang sadar manusia Indonesia, feodalisme masih persoalan yang bias. Feodalisme bagi sebagian kita, dianggap sebagai prosesi sejarah yang layak dikenang. Bagi sebagian lagi, dianggap kekayaan budaya yang wajib lestari secara utuh. Maka dibenarkanlah kemudian seluruh turunan nilai kefeodalan, dikukuhkanlah ia dalam selubung etika.

Memang benar etika penting. Sayangnya standar ganda akan selalu berlaku mengikuti status penuturnya. Tentunya bila dasar pemahaman kita, etika merupakan warisan sistem feodal. Dalam tetralogi pulau buru karangan Pramoedya Ananta Toer, digambarkan tokoh Minke sebagai kaum terdidik yang geram kepada aturan penghambaan feodalisme Jawa kala itu. Dimana pada setiap adegan membungkuk hingga menyentuh tanah kepada ayahandanya, Minke dipastikan mengutuk dalam hati perihal aturan yang dicipta leluhurnya.

Secara ideal konsep pendidikan ditujukan untuk mencerdaskan. Pendidikan diharapkan menjadi instrumen asah nalar, pemisah benar salah. Ditunjuklah ilmu pengetahuan sebagai personifikasi konkrit dari pendidikan. Sementara kampus hanya satu dari sekian wadah yang menjanjikan manisnya pendidikan. Lalu bagaimana menemukan irisan antara feodalisme dengan dunia kampus ?

Sebagai warisan dan bagian sistem monarki, feodalisme dianggap racun bagi sistem demokrasi. Serupa dengan id dalam taksonomi pikiran Sigmund Freud, feodalisme berusaha direpresi oleh ruang kesadaran berdemokrasi. Demokrasi menjadi personifikasi dwitunggal ego-superego. Namun secara teoritik, dipastikan setiap represi akan memicu resitensi. Begitulah yang terjadi dalam upaya demokrasi merepresi feodalisme. Feodalisme merespon represi demokrasi dalam bentuk resistensi terselubung. Bersembunyi di ruang kesadaran terjauh, dan kelak muncul di ruang sadar terluar sebagai tabiat yang luput oleh demokrasi.

Wajah lain feodalisme di era demokrasi bukan lagi kepatuhan pada raja, tapi kepada senjata. Bukan pula monopoli tanah, tapi monopoli kebenaran. Begitulah feodalisme dipraktekkan oleh kekuasaan hingga dunia pendidikan. Di dunia kampus, monopoli kebenaran dipraktekkan oleh dosen-dosen di ruang-ruang kelas dalam berbagai bentuk. Ada yang secara terang-terangan menolak segala bentuk kritikan teoritik dengan alasan yang berbau etik, atau paling dangkal menggunakan posisi gelar akademik sebagai jimat penangkal kritik demi memenangkan perdebatan.

Yang paling parah adalah bentuk feodalisme laten tersebut menjalar dan menular hingga ke watak mahasiswa yang sesungguhnya diharapkan dapat meretas virus feodal yang mewabah di dunia pendidikan tinggi. Sampai hari ini tentunya, masih mudah kita temukan praktik perpeloncoan senior ke junior yang tanpa sadar sesungguhnya bentuk paling terang dari praktik feodalisme paling klasik. Kemudian oleh beberapa orang, praktik perpeloncoan dijaga sebagai budaya dengan alasan etik pula. Akhirnya ruang akademik bukan lagi panggung ilmiah bagi para generasi pelanjut untuk menempa diri dengan kritik dan otokritik, kelas bukan lagi wadah diskursus bagi perang argumentasi teori. Kampus hari ini menjadi semacam pengadilan moral yang mengakimi benar salah berpakaian, bukan lagi institusi yang dapat diharapkan untuk menggempur kesenjangan dan kepasrahan manusia, serta memperbaiki kualitas peradaban.

Tentunya perbaikan mental dan pemberangusan feodalisme secara fundamental dalam ruang sadar manusia tidak dapat dilakukan dengan berpangku tangan dan semata berbicara. Watak sebagai bagian dari pikiran hanya dapat diperbaiki dengan aktivitas berpikir pula. Diskursus dan menulis hanya sedikit dari sekian aktivitas olah pikir yang dapat diharapkan sebagai jalan perbaikan, atau keduanya secara bersamaan. Secara sederhana, menulis diskursus itu sendiri mungkin saja.

 

 

 

 

Kategori
Diskusi

Media Online Pers Mahasiswa Harus Punya Karakter

“Kemajuan Teknologi didasarkan bagaimana membuat cocok sehingga anda tidak benar-benar menyadari, hingga menjadi bagian keseharian dalam hidup” Bill Gates

Kemajuan teknologi membuat masyarakat mengubah cara untuk mendapat informasi. Sebelum masuk era digital masyarakat disajikan dengan media- media konvesional, radio, dan televisi. Namun kini dengan adanya teknologi yang kian berkembang, terlebih dengan diciptakannya Smartphone ( Ponsel Pintar), masyarakat dapat dengan mudah mengakses informasi dengan cepat.

Perubahan juga berdampak pada penerapan media saat ini, media mulai melakukan reformasi besar- besaran. Hampir seluruh media cetak bergeser menggunakan media online. Ini dikarenakan media online dapat menjanjikan dan menghasilkan keuntungan yang lebih besar. Luwi Ishwara adalah satu wartawan senior Kompas dalam bukunya “Jurnalisme Dasar” menceritakan kondisi media di Amerika Serikat yang berubah dengan cepat. Ia menjelaskan masyarakat Amerika kini sudah banyak mengakses berita melalui layanan internet, hal tersebut karena media online lebih nyaman dan mudah dalam mendapatkan informasi. Dengan memasukkan keyword di mesin pencari Google, apa yang kita tulis akan dengan mudah bisa dinikmati.

Perkembangan media online yang cepat ternyata mengalihkan sebagian besar orientasi media. Sehingga kita sulit untuk melihat fakta dalam perspektif yang sebenarnya. Jakob Oetama mengungkapkan jika masyarakat digital itu tidak peduli dengan masa kini, akan tetapi mereka ingin tahu masa yang akan datang. Jadilah media sebagai sebuah usaha untuk menentukan arah dan tujuan hidup masyarakat.

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJJI) mencatat jika pengguna internet di Indonesia sekitar 65 juta naik sebanyak 2700 persen. Peningkatan yang cukup pesat bagi sebuah negara yang memiliki kepulauan dan jumlah penduduk yang besar. Sementara survei di tahun 2014 menunjukkan penetrasi pengguna internet di Indonesia adalah 34.9%.

Menurut lembaga riset pasar e-Marketer,  populasi netter Tanah Air mencapai 83,7 juta orang pada 2014. Pada 2017, eMarketer memperkirakan netter Indonesia bakal mencapai 112 juta orang, mengalahkan Jepang di peringkat ke-5 yang pertumbuhan jumlah pengguna internetnya lebih lamban.

Namun dari keberadaan media online, ternyata ada banyak permasalahan muncul dalam perkembangan arus informasi kini. Media online dapat menjerumuskan kita ke arah yang tidak kita inginkan. Masalah- masalah yang muncul seperti berita yang disampaikan tidak utuh hanya menggambarkan permukaanya saja, liputan tidak mendalam, analisis isu yang tidak matang, lebih mengutamakan rating, berlomba- lomba menjadi yang tercepat dan terupdate, miskin verifikasi sampai pada persoalan kode etik yang kian ditundukan.

Salah satu penyebab terjadinya hal tersebut ialah karena pengusaha media cendrung mengutamakan media sebagai lahan ekonomi basah. Sehingga jurnalis dan semua yang ada dalam komponen media dituntut untuk mendapatkan pasar yang tinggi. Alhasil media memposisikan masyarakat sebagai konsumen. Bahkan kini perusahaan media sampai membuat pembangkit sistem pemberitaan yang semakin cangkih dengan menggunakan mesin teknologi. Lagi- lagi itu semua itu karena kebutuhan penguasa yang haus akan kekuasaan

Herman dan Chomsky, menyebut media massa sebagai mesin atau pabrik penghasil berita (news manufacture) yang sangat efektif dan mendatangkan keuntungan besar dari sisi ekonomi. Menurut mereka saat ini media massa telah menjadi industri yang sangat besar. Media dapat pula menghancurkan harkat dan martabat sebuah bangsa.

Media Persma Jangan Terbawa Arus

Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Mencatat sekitar 200 media online Pers mahasiswa (Persma) turut meramaikan arus informasi di dunia maya. Namun dalam penerbitannya tidak banyak yang memperhatikan aspek- aspek media online seperti ketajaman analisis, kedalaman isu, dan sistem marketing pada media online. Hasilnya ialah banyak media online persma terbit tidak sesuai dengan irama. Kita bisa menyaksikan sendiri jika produk persma terbit bisa sehari sekali, seminggu sekali, bahkan sebulan sekali.

Persma belum banyak yang menyadari jika media online sangat penting serta mempunyai prospek yang bagus jika kita pandai-pandai mengaturnya. Saya kemudian berfikir, lantas dengan cara apa persma akan menghadapi perkembangan media online saat ini. Perlu sebuah kajian yang mendalam untuk menentukan arah gerak media online persma.

Kita menyadari, sejak dulu persma selalu mengutamakan prinsip penulisan berita yang kritis dan mendalam. Bahkan sampai muncul sebuah genre “Jurnalisme Advokasi” sebagai salah satu paham yang diyakini persma. Hal tersebut dipilih bukan tanpa alasan, pertama persma hadir tidak hanya sebatas membuat pemberitaan, namun terlibat juga dalam melakukan upaya-upaya advokatif terhadap berita yang dibuatnya. Kedua, persma tidak bisa terlepas dari persoalan sosial-politik dalam mengarungi kehidupannya. Jurgen Habermas, dalam buku The Theory of Communicative Action mengemukan Sebagai institusi sosial-politik, media berupaya menjembatani publik dalam menyampaikan aspirasi sosial-politik mereka terhadap penguasa.

Kawan terbaik saya di Jember pernah berdiskusi dengan saya, ia mengatakan jika media online persma itu hanya sebatas “ada”, tuntutan program kerja, ikut- ikutan media mainstreams namun tidak tahu cara mengelolanya. Padahal jika kita sadari persma tidak akan mampu mengimbangi pemberitaan media mainstream, wong secara kuantitas dan kualitas saja masih jauh. Persma kini sudah terjebak dengan orientasi media yang mengutamakan kecepatan. Padahal persma itu punya cara sendiri dalam menulis berita.

Selain itu, ada hal penting pula yang perlu diperhatikan persma, seperti manajamen redaksi yang harus jeli melihat perkembangan isu, penulisan berita persma harus mengutamakan analisi isi yang tajam kemudian mengutamakan verifikasi. Jika pers mahasiswa mengikuti arus media mainstream, maka suatu saat nanti persma akan merasa lelah oleh dirinya sendiri. Bukan bermaksud untuk menggurui, namun memang itu kenyataanya, lihat saja secara sumber daya manusianya masih belum mumpuni kemudian sistem kaderisasi yang masih mencari bentuk yang cocok.

Saya pikir persma perlu gaya baru dalam menentukan arah media onlinenya, semisal karakter (mendalam-analisis-ketepatan) dalam pemberitaan perlu dimunculkan, fungsi kontrol sosial dan ruang alternative perlu kita jaga. Tetaplah memposisikan dirinya sebagai media yang beorientasi pada institusi sosial, kritis, dan idealis.

Arus boleh cepat, namun kita bisa membuat sebuah arus baru dengan tidak meninggalkan apa yang sudah kita yakini. Mencoba menjadi sesuatu yang baru namun tidak meninggalkan yang lama adalah sebuah usaha menjaga keberlangsungan hidup persma yang sehat.

Kategori
Diskusi

50 Tahun Tanpa Keadilan

Dalam ingatan bangsa Indonesia, seperti yang dibentuk rezim Soeharto. G-30-S merupakan kekejaman yang begitu jahat, sehingga kekerasan massal dengan skala besar terhadap siapa pun terkait dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dilihat sebagai sesuatu yang dapat dibenarkan, bahkan terhormat. Kekerasan yang terjadi sepanjang akhir 1965 sampai awal 1966 harus dilihat sebagai awal pembangunan sebuah rezim baru. Peristiwa ini dijadikan dalih untuk menegakkan kediktatoran di Indonesia, kemudian mengambil alih kekuasaan dengan cara yang sangat licik. Dengan mengorbankan kurang lebih 3.000.000 nyawa rakyat Indonesia tanpa peradilan. Serta pembuangan paksa terhadap lebih dari 10.000 orang ke pulau Buru.

Kita tentunya masih ingat dengan pemutaran film tentang kekejaman PKI, yang diputar setiap 30 September oleh antek-antek orde baru. Pembangunan monumen kesaktian Pancasila, pelarangan pembelajaran ajaran Marxisme dan Leninisme serta penyebarluasanya, yang notabenenya hanyalah teori sosial saja. Pelarangan terhadap buku sejarah tentang Bung Karno, Tan Malaka, serta penyebarluasan buku sejarah versi kekuasaan yang semuanya adalah bagian dari proyek pembangunan sebuah rezim diktator yang penuh manipulasi sejarah dan kebohongan .

50 tahun adalah waktu yang begitu panjang, dimana ketidakadilan terhadap korban beserta keluarganya berangsur-angsur terjadi. Seperti halnya terasing dari pergaulan sosial, ditutup ruangnya untuk mengakses hak-hak sipil politik (status kewarganegaraan, hak politik), serta hak ekonomi, sosial, budaya (Ekosob). 50 tahun lebih paska kejadian, kekuasaan dibangun di atas kebohongan yang dilakukan secara sistematis dan terstruktur oleh negara. Sampai sekarang hal itu masih ada dan terjadi dalam kehidupan “demokrasi” kita sekarang.

Peristiwa 65 adalah peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia(HAM) masa lalu yang sampai sekarang belum ditanggapi serius oleh pemerintah. Hal yang sama juga berlaku dalam peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM masa lalu. Seperti peristiwa penembakan misterius, kasus Talangsari, Tanjung Priok, Trisakti, juga peristiwa Semanggi I dan II. Padahal komisi penyelidik pelanggaran HAM yang dibentuk Komnas HAM sudah merekomendasikan Kejaksaan Agung bahwa peristiwa 65 adalah sebuah peristiwa pelanggaran HAM berat. Namun terus ditolak dengan dalih tak lengkap.

Hal ini berjalan tak sejalan dengan berbagai produk hukum yang kemudian hadir paska reformasi yang memuat tentang HAM. Seperti UUD 1945, UU 39 tahun 1999 tentang HAM, dan UU 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM. Berbagai instrumen hukum tersebut mengamanatkan penyelesaian kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Termasuk pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsilaisi, yang merupakan amanat dari UU 26 tahun 2000.

Dalam kepemimpinan Jokowi, pemerintah kembali membentuk tim rekonsiliasi gabungan yang terdiri dari Kemenkumham, Kejaksaan Agung, Polri, BIN, TNI, Komnas HAM. Mereka berkomitmen menyelsaikan kasus pelanggaran HAM secara non yudisial. Itu adalah sebuah isyarat bahwa pemerintahan dan bangsa ini tak berani mengakui kejahatan masa lalu yang dilakukan oleh negaranya sendiri.

Bangsa ini dibangun atas dasar kemanusiaan serta keadialan. Keduanya dipertegas dalam Undang Undang Dasar dan Pancasila sebagai sebuah dasar filosofi. Kita tak boleh lari dari masa lalu, kita kemudian harus jujur, dan negara harus mengatakan yang sebenar-benarnya atas nama keadilan dan kemanusiaan, negara tak cukup hanya melakukan pemulihan hak-hak korban semacam rekonsiliasi, akan tetapi kebenaran tentang apa yang sebenarnya terjadi harus dikatakan.

Diskusi Forum Studi Issu-Issu Strategis bersama LPM Cakrawala IDE UPPM Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar

Kategori
Diskusi

Demokratisasi Kampus

Peran birokrasi kampus menentukan demokratis tidaknya tatanan keorganisasian di tataran mahasiswa dalam perguruan tinggi. Segala bentuk politik seyogyanya dikesampingkan agar tidak terjadi polemik. Jika tidak, benih-benih jiwa demokratis yang diharapkan lahir dari perguruan tinggi hanya menjadi isapan jempol. Lihatlah beberapa kejadian belakangan ini yang menimpa beberapa organisasi kemahasiswaan di beberapa perguruan tinggi. Kejadian ini, tentunya, menunjukkan bahwa hubungan antara mahasiswa yang berhimpun dalam sebuah organisasi kemahasiswaan dengan birokrasi kampus tidak “sehat”.

Saya mengelompokkan hubungan ini dalam dua bentuk permasalahan – yang boleh dibilang menciderai demokrasi di perguruan tinggi, yakni 1) pembatasan berekspresi, dan 2) pembatasan mimbar akademik. Pembatasan berekspresi dapat kita lihat pada kasus yang menimpa Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Lentera di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, LPM Aksara di Fakultas Ilmu Keislaman Universitas Trunojoyo Madura, dan Unit Kegiatan Pers Kampus Mahasiswa (UKPKM) Media Universitas Mataram. Sementara permasalahan pembatasan mimbar akademik dapat kita lihat pada kasus pelarangan nonton bareng dan diskusi film – Senyap, Samin versus Semen, Alkinemokiye, dsb – di beberapa perguruan tinggi, seperti di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Universitas Airlangga, dan Universitas Brawijaya.

Terakhir yang belakangan ini masih membekas di benak kita, yakni pembubaran paksa oleh pihak kampus terhadap acara diskusi “Ngobrol Pintar (Ngopi)” dengan pembahasan fenomena Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender (LGBT) yang diselenggarakan oleh LPM Gema Keadilan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.

Sikap profesionalitas

Kita perlu membangun sikap profesionalitas dalam menyikapi polemik yang terjadi antar mahasiswa atau organisasi kemahasiswaan dengan birokrasi kampus. Begitu pula ketika menyikapi polemik yang menimpa LPM, tanpa melihat siapa lawan atau kawan. Jika tidak, ya, kita akan terperangkap dalam kungkungan dilematis sesaat. Misalnya, kita berinisiatif membela LPM Lentera, dan menyayangkan pemberedelan majalah LPM tersebut (yakni Lentera) dengan dalih kebebasan berpendapat, kemudian mempertanyakan kualitas majalah tersebut. Dilematis sekali ketika kita menyayangkan pemberedelan majalah tersebut sembari mengatakan bahwa pemberedelan merupakan terobosan paling efektif untuk membuat informasi semakin tersebar. Sampai di sini kita terkesan turut membenarkan sikap pihak kampus.

Bukankah pemberedelan suatu perbuatan yang patut “dikutuk”? Dan, bagaimana sikap kita ketika konteksnya seperti yang dialami oleh UKPKM Media Universitas Mataram? Apakah kita akan bersikap sama dengan kasus yang menimpa LPM Lentera UKSW Salatiga? Tanpa melihat UKPKM Media sebagai kawan pun kita mengutuk prilaku intimidasi yang dilakukan oleh pihak kampus. Dalam kasus ini, pelaku dan korban sudah jelas; yang dikebiri pun sudah jelas, yakni kebebasan berekspresi, mimbar akademik, dan otonomi keilmuan. Di sinilah dan saatnya mempertegas keprofesionalan kita sebagai awak pers kampus dalam menyikapi sengketa pers kampus.

Begitu pula ketika menyikapi kasus pelarangan nonton bareng dan diskusi film. Sebagai rakyat jelata di dunia kampus, kita pun mengutuk prilaku pihak kampus yang sok otoriter, meskipun mereka beralasan bahwa pelarangan tersebut merupakan hak otonomi kampus.

Catatan: Otonomi kampus; sebuah alasan yang “menyesatkan”. Mengapa tidak “menyesatkan”, lha wong otonomi perguruan tinggi saja masih dipersoalkan. Ada kesalahan persepsi di kalangan masyarakat dan pimpinan perguruan tinggi. Misalnya terkait otonomi non-akademik seperti dana pendidikan. Masyarakat mengira implementasi otonomi perguruan tinggi mengakibatkan semakin besarnya dana pendidikan yang ditanggung mahasiswa. Adapun beberapa pimpinan perguruan tinggi menganggap otonomi perguruan tinggi sebagai kesempatan menutupi kebutuhan dana peningkatan mutu dengan menggalang dana dari mahasiswa (baca juga: Banyak Masalah Pelaksanaan Otonomi Pendidikan Dikaji Ulang). Itu masih menyangkut otonomi non-akademik, belum lagi menyangkut soal otonomi khusus di bidang akademik.

Terakhir, kasus berupa pembubaran paksa oleh pihak kampus terhadap acara diskusi “Ngobrol Pintar (Ngopi)” dengan pembahasan fenomena LGBT yang diselenggarakan oleh LPM Gema Keadilan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Saya kira, kampus Universitas Diponegoro perlu “berkaca” kepada kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang. Pihak kampus tersebut tidak menarik Jurnal Justicia yang diterbitkan oleh LPM Justicia Fakultas Syariah UIN Walisongo Semarang, yang di dalamnya juga membahas seputar tema yang sama dengan tema diskusi LPM Gema Keadilan. Justru terbitan jurnal tersebut mendapat sorotan dari media Islam macam Arrahmah.com.

Demikian setidaknya contoh kasus yang dapat saya paparkan. Selebihnya masih banyak kasus pembatasan berekspresi, mimbar akademik dan otonomi keilmuan yang terjadi di perguturuan tinggi di Indonesia, hanya saja belum naik ke permukaan.

Mempertegas tugas rektor

Dengan terjadinya polemik tersebut, di sini perlu dipertegas kembali tugas pimpinan kampus/rektor beserta jajaran birokrasi kampus. Apakah memang tugas mereka mengatur ruang gerak para mahasiswanya? Terkhusus pimpinan kampus/rektor, apakah memiliki hak otoritas membekukan organisasi-organisasi kemahasiswaan, termasuk memberedel produk LPM, yang tak lagi sejalan dengan “hawa nafsu”-nya atau dianggap membahayakan?

Saya pikir tidaklah demikian, meski kampus diibaratkan dengan pemerintahan. Tugas pimpinan kampus/rektor beserta jajaran birokrasi kampus, tak lain, melindungi kebebasan berekspresi, mimbar akademik, dan otonomi keilmuan. Di samping itu berkewajiban memberikan kebebasan dan melindungi mahasiswa dalam melakukan kajian akademis tanpa ada tudingan cara melakukan kajian akademis, nantinya, salah prosedural. Karena sejatinya, mahasiswa dituntut berpikir radikal dan berkarya.

Sebenarnya, ada tugas pimpinan kampus/rektor beserta jajaran birokrasi kampus yang lebih utama ketimbang ikut cawe-cawe urusan mahasiswa. Yaitu, memusatkan perhatian pada usaha mengembangkan perguruan tinggi yang dipimpinnya menjadi pusat pendidikan keilmuan par excellence demi kemajuan ilmu pengetahuan yang sesuai dengan kemajuan peradaban human dan perkembangan spirit ilmiah. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Daoed Joesoef dalam tulisannya: Misi Perguruan Tinggi Kita (Kompas, 18 Februari 2014). Alumnus Universitas Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne ini tampak pesimis dengan perguruan tinggi kita. Menurutnya, pelaksanaan misi perguruan tinggi kita masih jauh panggang dari api. Hal ini terjadi karena para sivitas akademika mengabaikan begitu saja natur dari ilmu pengetahuan. Di sinilah perlu kiranya pimpinan kampus/rektor berserta jajarannya lebih mengedepankan peningkatan mutu-kualitas sivitas akademika ketimbang mencampuri proses belajar para mahasiswanya.

Kampus-kampus yang mengekang kebebasan berekspresi, mimbar akademik, dan otonomi keilmuan mahasiswa, sama halnya memberangus komunitas ilmiah yang telah dibangun oleh mahasiswa itu sendiri. []