Kategori
Siaran Pers

PPMI DK Yogyakarta Menolak Pembungkaman LPM Poros oleh Birokrat Universitas Ahmad Dahlan

Salam Persma, Hidup Rakyat, dan Lawan Pembungkaman!

Berdasarkan rilisan kronologi pada situs berita online Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Poros Universitas Ahmad Dahlan (UAD), tertulis bahwa birokrat kampus UAD mengancam pembekuan terhadap kegiatan Poros selaku pers mahasiswa intrakampus.

Birokrat kampus yang diwakili oleh Abdul Fadlil selaku Warek III dan Safar selaku Warek II menyatakan bahwa pihak Rektorat UAD sedang berupaya membekukan akses berkegiatan Poros. Kepada Bintang selaku Pemimpin Umum dan Fara selaku Pemimpin Redaksi LPM Poros, pihak birokrat kampus menyatakan langsung bahwa berbagai pemberitaan dan berkegiatan Poros cenderung tidak bermanfaat positif bagi UAD. Maka birokrat kampus pun mengancam bahwa surat keputusan (SK) akan diturunkan guna membekukan akses kegiatan Poros di UAD.

Wacana pembekuan LPM Poros yang akhir-akhir ini menyeruak ke kalangan prodemokrasi merupakan buntut dari pemberitaan di buletin terbitan Poros soal pendirian Fakultas Kedokteran (FK). Buletin tersebut mengabarkan bahwa pendirian FK di UAD masih belum memenuhi kualifikasi dan perlu banyak pembenahan. Merasa khawatir atas pemberitaan, birokrat UAD menanggapinya dengan cara kontraintelektual; mengancam melalui pembekuan.

Seharusnya, sebagai akademisi yang dekat dengan naluri cendekia, birokrat UAD bisa menanggapinya dengan cara-cara mendidik nan mencerdaskan. Namun pernyataan mereka cenderung mencederai marwah intelektualitas dan demokrasi. Saat kabar ini menyeruak, banyak kalangan prodemokrasi dan kaum intelektual di Yogyakarta yang geram sekaligus mengecam perilaku birokrat kampus tersebut.

Pihak-pihak yang mendukung kebebasan hak-hak intelektual kampus menjadi resah karena kelakuan birokrat UAD adalah wujud pencorengan terhadap kultur intelektualitas kaum terdidik di Yogyakarta. Masih banyak cara-cara cendekia untuk menjawab ketidakterimaan atas pemberitaan dari media pers, termasuk pers mahasiswa. Misalnya, melalui mekanisme hak jawab tertulis untuk  mengklarifikasi kesalahan berita. Bodohnya, cara-cara cendekia itu tidak berusaha ditempuh oleh birokrat UAD.

Birokrat UAD telah semena-mena memperlakukan keberadaan LPM Poros di kampus. Mereka sengaja menggunakan kewenangannya untuk membungkam kebebasan beraspirasi mahasiswa. Padahal segala aktivitas Pers Mahasiswa (Persma) di kampus merupakan upaya penegakan transparansi informasi dalam pembangunan kampus. Jika upaya tersebut sengaja dibungkam, maka potensi-potensi penyelewengan amanah institusi akademik kemungkinan terjadi. Kaum akademisi seharusnya mendukung upaya-upaya persma dalam kampus sebagai lembaga kontrol kebijakan. Mengingat bahwa kontrol kebijakan merupakan kebutuhan bagi orang-orang berpendidikan supaya selalu menggunakan ilmunya untuk kebaikan umat. Maka, kelakuan birokrat UAD jelas-jelas perbuatan yang jauh dari kesan niat baik berkeilmuan.

Hingga hari ini, banyak kaum intelektual prodemokrasi di Yogyakarta merasa bahwa perilaku birokrat UAD benar-benar merusak citra kultur pendidikan kalangan akademisi serta mengebiri peran kaum intelektual. Kalangan intelektual di Yogyakarta semacam pegiat pers, aktivis kampus, pegiat literasi, akademisi, dan bermacam komunitas warga yang bersolidaritas benar-benar dibikin malu atas ulah birokrat UAD. Perlu diketahui bahwa kabar memalukan kelakuan birokrat UAD juga sudah menyebar ke daerah-daerah keberadaan kaum intelektual lainnya: Surakarta, Purwokerto, Jember, Malang, Semarang, Makassar, Jakarta, dan lain sebagainya. Aksi-aksi solidaritas #SavePoros pun telah dilakukan oleh kawan-kawan di Malang, Jember, dan Semarang. Ini menunjukkan bahwa banyak kalangan masih peduli terhadap citra Yogyakarta sebagai pusat pendidikan kaum intelektual. Wajarlah bila sanksi-sanksi sosial perlu diarahkan kepada muka birokrat UAD.

UAD sebagai institusi pendidikan di bawah  Muhammadiyah; organisasi sosial-keagamaan besar di Indonesia, seharusnya mampu secara waras memposisikan keberadaannya di tengah-tengah pandangan kaum intelektual dan masyarakat di Yogyakarta. Kasus yang dibuat oleh birokrat UAD begitu mengkhawatirkan. Mengamati bahwa kekhawatiran kalangan intelektual di Yogyakarta semakin hari semakin besar nan meluas terhadap ulah birokrat UAD, maka Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Dewan Kota (DK) Yogyakarta merasa perlu untuk menerbitkan rilis ini yang berisikan penjelasan kasus, penyikapan, dan tuntutan. Berikut rincian sikap dan tuntutan tersebut.

PPMI DK Yogyakarta menyatakan sikap:

  1. Mengecam perilaku birokrat kampus UAD terhadap LPM Poros karena telah menodai prinsip demokrasi, asas keterbukaan, dan marwah intelektualitas.
  2. Menolak upaya-upaya pembekuan yang dilakukan birokrat kampus UAD terhadap LPM Poros karena mengancam aktivitas kebebasan beraspirasi dan transparansi informasi intrakampus.
  3. Mengajak kalangan intelektual prodemokrasi untuk bersolidaritas mengecam kelakuan birokrat UAD terhadap LPM Poros demi penyelamatan citra kaum intelektual di Yogyakarta.

 

PPMI DK Yogyakarta menuntut:

  1. Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menegur birokrat kampus UAD atas perilaku tidak terpujinya yang kontraintelektual.
  2. Birokrat UAD harus meminta maaf kepada LPM Poros karena bisa menimbulkan trauma dalam aktivitas beraspirasi dan keterbukaan informasi intrakampus.
  3. Birokrat UAD harus meminta maaf secara terbuka kepada kaum intelektual di Yogyakarta karena telah mencoreng citra intelektualitas.
  4. Birokrat UAD harus membatalkan pembekuan terhadap LPM Poros serta menyertakan janji-janji tertulis secara terbuka bahwa tidak akan lagi melakukan upaya-upaya pembungkaman yang tidak terpuji.

Begitulah rilisan sikap dan tuntutan PPMI DK Yogyakarta atas kasus pembungkaman dari Birokrat UAD terhadap  LPM Poros. Demi penyelamatan citra intelektual, maka sebaiknya kita perlu segera berkonsolidasi, bersolidaritas, dan menuntut pelaku perbuatan kontraintelektual dalam kampus. Ini demi kebaikan bersama di era yang seharusnya kebebasan beraspirasi dan keterbukaan informasi harus diwujudkan.

Narahubung:

Taufiq Nur Hidayat, Sekjend PPMI Dewan Kota Yogyakarta (+6283869971305)

 

Kategori
Siaran Pers

Pernyataan Sikap Pers Mahasiswa Jember Atas Pemberedelan LPM Poros Universitas Ahmad Dahlan

Salam Persma!

Di era yang sudah demokrasi serta kebebasan setiap orang sudah dijamin oleh undang-undang, masih saja ada pihak-pihak yang memiliki pemikiran kaku, anti-kritik dan main hakim sendiri. Apalagi yang melakukan hal tersebut adalah orang-orang yang berintelektual tinggi, para birokrasi kampus Universitas Ahmad Dahlan (UAD). Birokrat UAD telah melakukan pembekuan dan pemberedelan terhadap salah satu organisasi pers mahasiswa yang dinaunginya.

Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Poros dibekukan dan diberedel oleh Birokrat UAD secara sepihak tanpa ada pemberitahuan secara legal dari kampus UAD. Hal tersebut berkaitan dengan pemberitaan yang ditulis oleh awak redaksi LPM Poros. Pihak Kampus menilai LPM Poros sudah keterlaluan dalam memberitakan terkait pendirian Fakultas Kedokteran di UAD yang dimuat di buletin magang.

Abdul Fadlil selaku Wakil Rektor III menilai LPMPoros sudah keterlaluan dalam pemberitaannya. Dia menambahkan bahwa LPM Poros tidak ada manfaatnya bagi kampus. Seakan tak puas, Wakil Rektor menganggap bahwa LPM Poros sudah merugikan kampus yang mendanai kegiatannya selama ini. Bahkan Fadlil menganggap pola pikir awakPoros perlu diluruskan, yang kemudian menyarankan agar LPM Poros memberitakan hal-hal positif tentang kampus. Namun saat Fara sebagai Pemimpin Redaksi LPM Poros mempertanyakan bagian mana yang membuat Fadlil mempermasalahkan beritanya, Fadlil tidak memberikan alasan yang jelas.

Sikap yang ditunjukkan oleh Fadlil sangat bertolak belakang dengan sambutannya pada acara pelantikan pengurus baru Unit Kegiatan Mahasiswa Pers Mahasiswa Poros Periode 2015/2016. Dalam berita yang diunggah di halaman persmaporos.com Fadlil mengatakan di depan para undangan bahwa kampus tidak antikritik dari media maupun pihak lain. “Kita tidak anti kritik,” ujarnya. Dia menambahkan bahwasannya kritik itu perlu dan menganggap kritik menjadikan seseorang memiliki cara pandang lain dan akan menciptakan kemajuan.

Kami Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Kota Jember menegaskan bahwa, tindakan pembekuan dan pemberedelan secara sepihak yang dilakukan UAD kepada LPM Poros merupakan tindakan yang semena-mena, main hakim sendiri, dan tidak mencerminkan kehidupan kampus yang demokratis. Maka dari itu kami PPMI Kota Jember

menilai bahwa tidakan yang dilakukan oleh Birokrat UAD sungguh mencoreng serta tidak mengindahkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi, bahwa pada dasarnya pendidikan tinggi diselenggarakan dengan prinsip demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Menurut kami, apa yang dilakukan Birokrat UAD juga telah melanggar UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers. Pembekuan dan pembreidelan yang dilakukan Birokrat UAD telah mengekang kemerdekanaan pers, yang merupakan wujud dari kedaulatan rakyat berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Dari sisi lain Birokrat UAD seakan abai terhadap adanya UU No.14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Atas dasar tersebut maka, kami PPMI Kota Jember yang beranggotakan 17 Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) dari berbagai universitas di wilayah Jember menyatakan dan menuntut:

  1. Mengecam dengan keras tindakan pembekuan dan pemberedelan yang dilakukan Birokrat UAD terhadap LPM Poros. Bagi kami tindakan tersebut merupakan tindakan tidak dewasa yang dilakukan birokrat kampus yang notabene mereka adalah kumpulan-kumpulan orang yang berintelektual tinggi. Bagi kami pembekuan dan pemberedelan merupakan salah satu bentuk arogansi yang dilakukan kampus kepada organisasi yang dinaunginya
  2. Mengecam tindakan kampus yang melakukan penyelesaian sengketa pers dengan cara yang sepihak tanpa melibatkan pihak LPM Poros untuk melakukan proses dialektika yang lebih bijak dan berpendidikan
  3. Mengecam segala bentuk tekanan secara fisik dan mental yang bertujuan untuk membatasi kerja-kerja jurnalistik dalam hal mendapatkan, mengelola, dan menyebarkan informasi yang menimpa LPM Poros
  4. Meminta Birokrat UAD untuk segera mengaktifkan dan mengizinkan kembali proses penerbitan media LPM Poros. Pada dasarnya memang Surat Keputusan (SK) terkait pembekuan dan pemberedelan LPM Poros memang belum dikeluarkan
  5. Meminta Birokrat UAD untuk segera menetralkan penilaian-penilaian negatif yang sempat disematkan pihak kampus kepada LPM Poros. Sehingga nama baik LPM Poros dapat kembali lagi
  6. Meminta Birokrat UAD untuk segera memperlancar proses administrasi LPM Poros
  7. Meminta Birokrat UAD untuk tidak mengulangi lagi tindakan yang tidak dewasa tersebut (pembekuan) kepada organisasi-organisasi dinaunginya, khususnya LPM Poros.

Demikian pernyataan sikap ini kami buat, semoga dapat diterima dan ditanggapi secara arif dan bijaksana. Atas kedewasaan menerima kritik dan saran kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Jember, 03 Mei 2016

Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Kota Jember

Narahubung:

Joko Cahyono, Sekjend PPMI Kota Jember (+6285649442616)

Ahmad Junaidi Al Jawawi, BP Advokasi PPMI Kota Jember (+6285854571796)

Chairul Anwar, BP Media PPMI Kota Jember (+6289626359118)

Nova Dian Permata Sari, Jaringan Kerja PPMI Kota Jember (+6285258751724)

Fais Ridho Nur A., BP Litbang PPMI Kota Jember (+6281232728023)

LIHAT DAN UNDUH SIARAN PERS

Kategori
Siaran Pers

Rentetan Pembungkaman Pers Kampus, Matinya Kebebasan, dan Wajah Fasis Dunia Pendidikan

Hari Kebebasan Pers Internasional, 03 Mei 2016

Hari kebebasan pers ditetapkan pada tahun 1993 di sidang umum PBB demi mempertahankan kebebasan dari serangan praktik impunitas kekuasaan, juga untuk mengenang dan memberi penghormatan kepada jurnalis yang wafat dalam upayanya memperjuangkan hak publik atas informasi. Sidang diinisiasi sebagai respon atas meninggalnya 1.054 jurnalis di berbagai belahan dunia dalam peliputan di Negara-negara yang bergejolak tanpa kepastian hukum yang jelas.

Meski telah disepakati tentang keharusan independensi dan perlindungan pers, praktik kekerasan terhadap jurnalis masih jadi persoalan pelik yang belum mampu diselesaikan oleh pihak yang seharusnya menindak pelaku kekerasan. Sebaliknya, praktik kekerasan justru seolah  terjadi di atas legitimasi pihak berwenang dalam bentuk pembiaran terhadap pelaku, bahkan pada beberapa kasus terkesan diendapkan berlarut-larut tanpa pengusutan. Committee to Protect Journalists (CPJ) mencatat sepanjang 2014 sejumlah 14 jurnalis yang meliput di berbagai belahan dunia terbunuh, sementara data AJI Indonesia menunjukkan kasus kekerasan yang terjadi setiap tahunnya tidak pernah kurang dari 30 kasus. Kekerasan terhadap jurnalis dilakukan oleh beragam kelompok, mulai dari polisi, tentara, pejabat publik seperti gubernur atau kepala dinas, anggota legislatif, maupun aparat penegak hukum lain seperti jaksa dan hakim.

Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) mencatat setidaknya ada 12 kasus pembungkaman terhadap pers mahasiswa, yang terjadi dalam rentang waktu 2014-2016 dengan variasi kasus dan identifikasi pelaku yang beragam. Mulai dari pelarangan diskusi, pembatasan pemberitaan, pelarangan untuk menerbitkan produk jurnalistik, pembredelan, hingga pembekuan kepengurusan. Dan varian pelaku pembungkaman yang dilakukan oleh pejabat kampus, keterlibatan pihak kepolisian, sampai  yang parah dilakukan oleh sesama lembaga kemahasiswaan. Oleh para pelaku pembungkaman, alasan yang seringkali dikemukakan tidak pernah jauh dari watak fasisme yang anti-kritik.

Praktik pembungkaman pers mahasiswa sendiri dapat dinilai sebagai bentuk penistaan terhadap demokrasi. Sebab praktik distribusi infomasi yang dilakukan oleh pers mahasiswa, meski tidak dilindungi secara lansung oleh lembaga pers yang berwenang. Pers Kampus diproteksi dengan terang lewat undang-undang, seperti pada pasal 28F UUD 1945 yang menjamin hak atas informasi, serta pemberlakuan UU No 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Kehadiran undang-undang ini membuka kesempatan seluas-luasya bagi masyarakat sipil untuk mengakses informasi.

Sementara kampus dalam statusnya sebagai insitusi pendidikan yang non-politik, dapat dinilai seharusnya dalam menjalankan praktik pembungkaman. Utamanya bila dilakukan oleh pejabat kampus yang seharusnya lebih terdidik dan lebih matang soal kedewasaan berpikir, apalagi praktik pembungkaman yang dilakukan seringkali di luar mekanisme yang telah ditetapkan. Kampus sejatinya, adalah ruang sadar yang seharusnya jauh dari pembatasan kebebasan yang tidak bertanggung jawab. Kampus adalah wadah paling pantas untuk membicarakan diskursus sosial, oleh seluruh sivitas akademik tanpa batasan dan rasa tidak aman selama dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Sehingga sebagai apresiasi atas perayaan kebebasan pers internasional, PPMI menyuarakan tiga tuntutan utama yang perlu diperjuangkan bersama ;

  1. Hentikan segala bentuk pembungkaman terhadap pers mahasiswa.
  2. Pulihkan hak individu dan lembaga yang menjadi korban pembungkaman.
  3. Berikan jaminan rasa aman terhadap seluruh awak pers mahasiswa dalam melakukan peliputan dan distribusi pemberitaan.
  4. Kemenritek harus tindak tegas birokrasi kampus yang mengekang kebebasan berekspresi berpedapat dan kebebasan pers di perguruan tinggiJurnalis harus perhatikan kode etik jurnalistik dalam melakukan kerja-kerja jurnalistik.

 

Narahubung:

Abdus Somad, Sekjen PPMI Nasional (+628126545705)

Kategori
Siaran Pers

Deklarasi “SUMPA” PPMI Kota Palopo

Semenjak Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) PPMI X yang berlangsung di Makassar 28 September – 2 Oktober 2015, beberapa Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) di kota terdekat diundang untuk menghadiri agenda nasional tersebut. Salah satunya adalah LPM Grafity IAIN Palopo.

Disela-sela rangkaian Mukernas, Irwan Sakkir selaku Sekretaris Jenderal (Sekjend) PPMI Kota (DK) Makassar dan Irfan A. Sangadji selaku Koordinator Wilayah (Korwil) V PPMI, bersama dengan pengurus LPM Grafity mendiskusikan keberadaan LPM di Kota Palopo. Diantaranya menyangkut kondisi LPM di Palopo yang tidak memiliki wadah bersama, kemudian jarak PPMI DK Makassar yang jauh dengan LPM di Palopo.

Menindaklanjuti diskusi tersebut, muncul gagasan untuk mendeklarasikan PPMI Palopo. Agar LPM se-Palopo dapat berjejaring bersama. Gagasan tersebut kemudian diterima oleh kawan-kawan LPM Grafity.

Selanjutnya sesuai amanat konstitusi PPMI, minimal tiga LPM untuk pembentukan DK PPMI. Kawan-kawan LPM Grafity, yang dipelopori Bayu Segara berupaya membangun komunikasi dengan LPM Tociung dari Universitas Andi Jemma (Unanda). Selain itu upaya mendata keberadan LPM di Universitas Cokroaminoto dan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Muhammadiyah (STIEM) juga sudah dilakukan. Hasilnya, hanya dua LPM yang masih aktif melakukan kegiatan penerbitan. Seementara STIEM masih dalam proses pembentukan LPM Sang Pencerah dengan satu kali melakukan Diklat Dasar Jurnalistik. Sedangkan di Universitas Cokroaminoto (Uncen) sebelumnya memiliki LPM namun telah lama vakum.

Selanjutnya, 18 November 2015. Korwil V beserta Sekjend PPMI DK Makassar melakukan kunjungan perdana. Mereka menghadiri undangan LPM Grafity yang sedang melaksanakan Seminar Jurnalistik sekaligus sosialisasi pembentukan PPMI Palopo. Bertempat di kantin STIEM Palopo, LPM Grafity, LPM Tociung, dan LPM Sang Pencerah yang masih dalam proses pembentukan LPM sepakat untuk saling mendukung proses deklarasi PPMI Palopo. Setelah muncul kesepakatan tersebut, Bayu segera ditunjuk sebagai carte taker untuk memediasi tiap LPM agar mempersiapkan Deklarasi PPMI Palopo.

9 April 2016 di Aula PKM IAIN Palopo menjadi saksi sejarah baru bagi PPMI Nasional dengan deklarasi PPMI Palopo. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa PPMI menjunjung tinggi nilai demokrasi dan memperkaya pluralisme di tubuh lembaganya. Deklarasi PPMI Palopo dihadiri oleh LPM Tociung Unanda, LPM Sang Pencerah STIEM, dan LPM Grafity IAIN Palopo sebagai tuan rumah deklarasi.

Deklarasi kemudian dilanjutkan dengan Musyawarah Kota, hasilnya Bayu terpilih secara aklamasi menjadi Sekjend PPMI Palopo. “Dalam filosofinya, nama Bayu berarti angin, sedangkan Segara adalah segar. Oleh karena itu, berikan saya kesempatan untuk memberikan angin segar kepada PPMI Palopo dalam satu periode kedepan,” tutur Bayu dalam sambutanya sebagai Sekjend PPMI Palopo terpilih.

Korwil V

Sebelumnya, khusus untuk Indonesia Timur yang tercatat dalam sejarah PPMI hanya terdapat dua Kota. DK Makassar dan DK Palu, sedangkan kota Manado masih berstatus care taker yang ditunjuk oleh Defy Firmansya selaku Sekjend Nasional kala itu. Semenjak Deklarasi Pekalongan dan dilanjutkan dengan Kongres Luar Biasa (KLB) di Malang, PPMI telah mereformasi beberapa posisi struktural, diantaranya Dewan Etik Nasional (DEN) yang dianggap overlapping yang kemudian digantikan dengan Korwil yang bertujuan untuk menjalin komunikasi antar DK dengan Pengurus Nasional.

Korwil sendiri disamping memediasi pengurus PPMI antar DK, berfungsi sebagai penanggung jawab untuk melakukan pemekaran bagi daerah yang belum memiliki DK, namun memiliki LPM di setiap kampus. Sesuai dengan kesepakatan KLB Malang Korwil V Meliputi Sulawesi dan wilayah terdekat seperti Maluku dan Papua.

Dalam Master Plan Kowril V di sisa masa jabatan ini berencana melakukan pengembangan di beberapa kota yang menginginkan keberadaan PPMI, seperti kota Gorontalo yang dipelopori oleh Kawan Defri Sofyan, kota Manado oleh kawan Ilona, kota Ambon oleh kawan Zaki, dan Ternate oleh kawan Dzaki. Sedang Papua masih belum terdata keberadaan LPM yang aktif.

Deklarasi “SUMPA” PPMI ini merupakan kepanjangan dari Sulawesi, Maluku, dan Papua yang sangat membutuhkan keberadaan PPMI untuk mengawal berbagai isu lokal yang terjadi di wilayah Indonesia Timur.

 

Narahubung:

Irfan A. Sangadji, Korwil V PPMI: 082188476756

Bayu Segara, Sekjend PPMI Palopo: 082349619864

Kategori
Siaran Pers

Pers Mahasiswa Tuntut Menristekdikti Tindak Rektor Kekang Kebebasan Mahasiswa

Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) menuntut Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti), Mohamad Nasir memberi sanksi tegas atas perlakuan rektor yang semena-mena membatasi aktivitas mahasiswa, baik melalui diskusi atau pengawalan isu tertentu. Sebab pembatasan hingga pada pelarangan kajian mahasiswa tentang isu-isu tertentu masih sering dialami mahasiswa.

Beberapa kali pers mahasiswa melakukan kajian tentang isu-isu sensitif seperti LGBT dan kasus sejarah 1965 selalu dibatasi oleh kampus. Misalnya pers mahasiswa Lentera Salatiga yang mengangkat seputar isu sejarah PKI 1965, hasil kajiannya diminta untuk ditarik dari jangkauan publik. “Lalu pers mahasiswa yang mendiskusikan tentang LGBT, diskusinya ditutup oleh kampus sebelum acara dimuai” jelas Somad, Sekretaris Jendral PPMI.
Somad menuturkan, kebebasan mahasiswa harusnya dilindungi oleh Negara, khususnya birokrat kampus. Kebebasan mahasiswa sudah diatur dalam Perundang-Undangan Perguruan Tinggi. Kebebasan mahasiswa, lanjut Somad diterangkan pada poin tentang prinsip penyelenggaraan pendidikan tinggi, bahwa perguruan tinggi diselenggarakan dengan prinsip pencarian kebenaran ilmiah oleh sivitas akademika, serta menjunjung tinggi demokratis dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Mahasiswa, jelas Somad, bebas untuk mengkaji isu sesuatu yang berkembang guna mencari kebenaran keilmuan untuk menanggapi fenomena yang berkembang di masyarakat. “Birokrat kampus biasanya mematahkan gerakan mahasiswa saat kritis terhadap kebijakan kampus, selain mengawal isu yang sensitif. Beberapa kali pers mahasiswa kritis terhadap birokrasi kampus, namun mereka mendapatkan ancaman pembekuan dari birokrasi kampus,” tutur Somad. Somad merujuk pada kasus pers mahasiswa Media Universitas Mataram, yang dibekukan lembaganya pada bulan November 2015.

Kami menuntut tegas kepada para rektor perguruan tinggi di Indonesia yang melakukan tindakan otoriter dan membungkam gerakan mahasiswa. “Kebebasan akademik yang kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan di perguruan tinggi harus dilindungi dan difasilitasi oleh pimpinan perguruan tinggi. Jika pimpinan perguruan tinggi melanggar kebebasan akademik mahasiswa, Menristek harus bertanggung jawab untuk menindaknya,” tandas somad.

Tuntutan ini disampaikan dalam acara Seminar Nasional bertajuk “Pembungkaman Gerakan Mahasiswa di Zaman Demokrasi” yang diadakan di Universitas Muhammdiyah Semarang, 30 Januari 2016.

Narahubung:
Sekjen Perhimpunan Pers Mahasiswa Indoneisa, Abdus Somad: 081226545705

Kategori
Siaran Pers

Dies Natalis ke-23, PPMI Ajak Pers Mahasiswa Soroti Ketidakadilan di Institusi Pendidikan

Agenda Dies Natalis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Nasional yang ke-23 dihelat di Semarang pada 29 Januari hingga 2 Februari 2016. Agenda ini jadi momentum untuk penguatan langkah pers mahasiswa kawal isu bersama terkait pendidikan tinggi.

Kegiatan ini dihelat dengan tujuan untuk memantapkan posisi pers mahasiswa dalam masalah Pendidikan Tinggi. Sekjen PPMI Nasional, Abdus Somad mengatakan bahwa hal ini sebagai upaya untuk merespon birokrasi kampus dan apratus negara yang sewenang-wenang memperlakukan insan pers mahasiswa. “Pers mahasiswa harus bisa melawan hegemoni ini. Lewat cara menulis dan memperjuangkan apa yang perlu diperjuangkan.”

“Harapan kami kita saling menguatkan antar aktivis pers mahasiwa. Karena satu pers mahasiswa diusik, maka seribu pers mahasiwa mengaung,” tambah Somad.

Selain itu menurut Somad, pers mahasiswa juga perlu memantapkan peran dan fungsi pers mahasiswa dalam melihat maraknya pembungkaman. Serta partisipasi publik dalam menggatasi pembungkaman persma. “Kekuatan ini sekaligus kami harap bisa jadi penyadaran pada publik,” kata Somad.

Mengusung tema ‘Pers Mahasiswa Bangkit dan Melawan Pembungkaman’, PPMI berharap bisa memupuk semangat insan pers mahasiswa dalam melawan kesewenang-wenangan. Terlebih maraknya pembredelan yang dialami oleh persma sendiri. “Semoga tak ada lagi pelarangan diskusi akademik/ilmiah dan kegiatan mahasiswa, di dalam lembaga yang semestinya menjunjung tinggi nilai demokrasi juga keilmuan yang ilmiah.”

Sementara itu, Dr. Djoko Setyo Hartono, MM, M.Kn., Wakil Rektor III Universitas Muhammadiyah Semarang mewakili Rektor Prof. Dr. Masrukhi, M.Pd. mengatakan bahwa langkah PPMI cukup sudah cukup bagus. “Kami berharap teman-teman semakin dewasa. Karena banyak insan pers mahasiswa yang sukses di berbagai bidang,” pesan Hartono saat memberi sambutan.

Hartono juga menambahkan bahwa dalam masa pembangunan ini, pers mahasiswa memiliki potensi dalam jangka panjang. “Indonesia butuh jurnalis yang kiritis mengawal pembangunan,” tegasnya.

Sebagai pembuka rangkaian acara ini, panitia mengundang Gubernur Jawa Tengah, H. Ganjar Pranowo SH MIP. Namun Ganjar menginstruksi Drs. Nurhadi Amiyanto, M.Ed., Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah untuk memberi sambutan dan membuka acara Dies Natalis PPMI ke-23.

Nurhadi terkesan dengan agenda Dies Natalis PPMI. Ia menyatakan saat ini banyak jurnalis yang tak memiliki wacana jurnalisme yang mumpuni. “Memang sekarang banyak orang pers yang tidak intelektual. Tapi saya harap lewat agenda PPMI semacam ini, mahasiswa bisa meningkatakan wacana dan kemampuannya di bidang jurnalistik,” jelasnya.

Penguatan Sumber Daya Manusia

Tema besar tersebut kemudian dikemas oleh panitia dalam beberapa kegiatan. Seperti seminar nasional yang bertajuk ‘Pembungkaman Gerakan Mahasiswa Di Zaman Demokrasi’. Tema ini dipilih karena memiliki makna dalam linggkup luas, tidak dalam sekelumit pers mahasiswa saja, namun juga seluruh mahasiswa berhak memiliki kebebasan dalam berekspresi. Seminar ini akan diisi oleh Suwarjono, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. Dr. Muhhdi, SH., M.Hum, Rektor Universitas PGRI Semarang. Serta Abdus Somad, Sekjend PPMI Nasional.

Selain melalui seminar, peenguatan juga diupayakan pelatihan jurnalistik. Senjata utama pers mahasiswa dalam melawan ketimpangan. Pelatihan jurnalistik ini dibagi menjadi tiga kelas. Yakni kelas pelatihan media yang diisi Fahri Salam, editor Pindai Media. Kemudian kelas advokasi yang akan diisi oleh Zainal Arifin dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang. Serta pelatihan perusahaan yang diisi olehh Hasan Aoni, alumi PPMI.

Ada juga persma fest, ajang perlombaan produk pers mahasiswa. Kegiatan ini sebagai bentuk apresiasi dan upaya memupuk semangat terhadap persma dalam melawan ketidakadilan dan segala bentuk kesewenang-wenangan melalui karya jurnalistiknya. Seperti buletin, fotografi, juga esai.

Dengan keseluruhan rangkaian acara ini, persma mengukuhkan diri untuk berada pada posisi terdepan melawan pembugkaman juga pengebirian kebebasan mimbar akademik. Sebagai bentuk bakti kepada publik, juga kepada Pendidikan Tinggi yang ideal.[]

 

Narahubung:

Sekjen PPMI Nasional, Abdus Somad (089 631 532717)

Ketua Pelaksana Dies Natalis PPMI ke-23, Riswanto (081375722910)

Kategori
Siaran Pers

UNDIP Harus Minta Maaf atas Pembungkaman Kebebasan Mimbar Akademik

Acara diskusi “Ngobrol Pintar (Ngopi)” dengan pembahasan fenomena Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender (LGBT) yang diselenggarakan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Gema Keadilan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip) dibubarkan pihak kampus, pada Kamis (12/11).

Melalui Sambungan telepon, Solechan, Pembantu Dekan III Fakultas Hukum memberitahukan kepada pihak panitia bahwa diskusi tidak boleh diselenggarakan. Karena akan mengganggu Undip, yang sedang dalam proses menuju Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTNBH).

Tidak lama setelah berkomunikasi dengan pihak kampus, pihak kepolisian berpakaian preman mendatangi lokasi diskusi dan menunjukkan percakapan melalui Whatsapp messenger. Percakapan berisi aduan salah satu anggota organisasi masyarakat, yang menyatakan bahwa diskusi bertema “Melihat LGBT dalam Sosial Masyarakat Indonesia” adalah pelegalan homoseksual dan harus diamankan.

Namun Pebri Tuwanto, ketua LPM Gema Keadilan telah menyatakan bahwa diskusi Ngopi ke enam ini bertujuan untuk melihat LGBT dari sudut pandang akademis serta mencari solusinya. Karena LGBT merupakan sesuatu yang nyata dan ada di Kota Semarang.

Menanggapi peristiwa tersebut, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Dewan Kota (DK) Semarang menuntut pihak Fakultas Hukum Undip untuk melindungi kebebasan Mimbar Akademik di lingkungan kampus dan minta maaf secara resmi kepada seluruh mahasiswa.

“Jelas sangat memprihatinkan, kampus sebesar Undip masih menutup kebebasan mimbar akademik. Padahal tujuan dari diskusi untuk memberi perspektif baru dan solusi terkait LGBT yang muncul di lingkungan masyarakat,” ungkap Ahmad Fahmi Ashshidiq, Sekretaris Jenderal PPMI DK Semarang.

Selain itu Fahmi juga menghimbau seluruh LPM di Indonesia serta mahasiswa untuk terus aktif menyuarakan perlawanan terhadap kriminalisasi, intimidasi, dan pengekangan terhadap kebebasan pers dan berekspresi yang telah dijamin di dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka publik.

Pembubaran diskusi mahasiswa yang terjadi merupakan bentuk pembungkaman kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan di perguruan tinggi yang seharusnya wajib dilindungi dan dilaksanakan oleh pimpinan perguruan tinggi. Sesuai pasal 8 ayat 3 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi. “Jika diibaratkan ini, seperti kita dilarang berpikir” tutup Fahmi.

 

Narahubung:

Sekjend PPMI DK Semarang: Ahmad Fahmi Ashshidiq +628985671169

Ketua LPM Gema Keadilan, FH Undip: Pebri Tuwanto +62 857-4118-5666

Kategori
Siaran Pers

Peduli dan Tolak Kriminalisasi Pers Mahasiswa

Penggembosan terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat masih saja mencuat dalam dinamika berbangsa dan bernegara. Sebagai Negara yang menjunjung tinggi prinsip demokrasi dan nilai-nilai HAM, fenomena sumbat-menyumbat kebebasan berekspresi dan berpendapat terhadap warga Negara menjadi ironi tersendiri. Pembredelan dan pemutihan media mahasiswa baru-baru ini yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia, seperti Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Lentera di Universitas Kristen Satya Wacana di Salatiga, LPM Aksara di Fakultas Ilmu Keislaman Universitas Trunojoyo di Madura, serta LPM UKPKM Universitas Mataram merupakan tindakan yang jauh dari pijakan HAM.

Tidak berlebihan jika pembredelan dan pembekuan LPM cenderung merupakan bentuk Kriminalisasi terhadap Pers Mahasiswa. Istilah kriminalisasi memang cenderung terhadap hal-hal yang bersifat yuridis, yakni peenggunaan kewenangan penegakan hukum dengan itikad buruk. Namun kriminalisasi disini bisa dilekatkan pada bentuk pemanfaatan wewenang oleh birokrasi kampus dalam mengeluarkan regulasi secara sepihak (aturan kampus) yang menjurus pada pemutihan lembaga kemahasiswaan (LPM) dan sampai pada tataran intervensi terhadap ranah keredaksian yang berujung pembredelan.

LPM Lentera UKSW Salatiga sendiri dibredel pada tanggal 16 Oktober kemarin dengan alasan pemberitaannya yang resisten terkait seputar dinamika pelanggaran 1965-1966 dengan tema :”Salatiga Kota Merah”. Bahkan pembredelan majalah Lentera bukan hanya dilakukan oleh pihak Dekan Fiskom UKSW, melainkan turut andil juga pihak Polres Kota Salatiga yang melakukan upaya pemanggilan tidak melalui prosedur yang ada. Ancaman Pemberedelan pun dialami oleh LPM Aksara yang beralasan karena tidak menjaga nama baik Fakultas Ilmu keislaman (FIK) Universitas Trunojoyo. Pemberitaan mengenai FIK yang dilakukan oleh LPM Aksara diasumsikan sebagai bentuk penyebaran aib FIK. Pada tanggal 30 September, intervensi kelembagaan dimasifkan terus oleh pihak DPM FIK terhadap LPM Aksara. Nasib tidak beruntung pula terjadi di LPM UKPKM di Mataram. Pembekuan lembaga ironisnya langsung didalangi oleh pihak rektorat dengan alasan pemberitaan LPM UKPKM yang tidak sesuai dengan visi kampus Unram

Selain itu, pembekuan LPM pun terjadi di Makassar yang sampai saat ini masih ibarat benang kusut. LPM Watak STIEM Bongaya yang dibekukan sejak tahun 2007 karena dianggap terlalu kritis, LPM Metanoiac PNUP yang dibredel sekaligus dibekukan pada tahun 2011 yang pada ssaat itu memberitakan mengenai kasus korupsi di Rektoratnya, serta LPM Estetika fakultas Bahasa dan Sastra UNM yang dibekukan sejak tahun 2012 oleh pihak fakultas.

Fenomena-fenomena miris ini merupakan satu bentuk kemunduran demokrasi. Dalam sistem demokratis, pers diberedel atau dibekukan itu tidak lazim. Praktik itu hanya ada dalam sistem otoritarianistik. Kebebasan dan keterbukaan informasi merupakan anak kandung dari reformasi yang harus terus diupayakan. Kebebasan pers mahasiswa sebagai bentuk upaya dalam mewujudkan cita-cita demokrasi, yakni pendistribusian informasi kepada publik diakomodir dalam Instrumen HAM, seperti Pasal 19 DUHAM, Konvensi hak Sipil Politik, serta UU No 39/1999 tentang HAM. Pembredelan dan pembekukan LPM juga sangat jauh dari spirit Konstitusi kita sebagai hukum tertinggi di Republik ini sebagaimana pada pasal 28 E ayat (3) yang mengatur tentang hak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

Maka dari itu, kami dari Lembaga Pers Mahasiswa Se-Makassar yang bernaung dalam Perhimpunan Pers mahasiswa Indonesia DK Makassar menyatakan:

  1. Lawan Setiap Tindakan Pembredelan Pers Mahasiswa
  2. Jamin Kebebasan Pers Mahasiswa
  3. Tolak Intervensi Kampus Terhadap Lembaga Pers Mahasiswa

 

Makassar, 13 November 2015

Narahubung:

Irwan Sakkir, Sekjend PPMI DK Makassar +62 852-5576-9004

Abdus Somad, Sekjend PPMI Nasional, +62 812-2654-5705

Kategori
Siaran Pers

PPMI Tuntut Rektor Universitas Mataram Kembalikan Kebebasan Pers Mahasiswa

Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) mengecam tindakan Rektor Universitas Mataram (Unram), Sunarpi yang membekukan Unit Kegiatan Pers Kampus Mahasiswa (UKPKM) Media Unram. “Pembekuan terhadap aktivitas UKPKM Media Unram yang dilakukan Rektor merupakan tindakan represif,” kata Abdus Somad, Sekretaris Jenderal PPMI. “Sunarpi tak mau berdialog dengan mahasiswa dalam kasus ini.”

Sunarpi menyatakan bahwa pemberitaan Media Unram tidak satu visi dengan kampus, yaitu menjadi perguruan tinggi yang berdaya saing tinggi, sehingga perlu dilakukan pembinaan. Namun, pembinaan yang dilakukan oleh Rektor lebih mengarah pada pembekuan lembaga. “Karena yang dilakukan rektor nyatanya berupa pembekuan UKPKM Media secara kelembagaan dan pembentukan secara sepihak kepengurusan baru berdasarkan kepentingan rektor,” jelas Somad.

Somad menambahkan bahwa pers mahasiswa selama bertahun-tahun berfungsi sebagai pendorong daya kritis mahasiswa terhadap lingkungan sekitar. “Sehingga wajar bila produk jurnalistik terbitan pers mahasiswa bernilai kritis dan mendalam saat menyoroti kebijakan kampus,” tambah Somad.

Kalaupun ada pemberitaan yang tidak berimbang, kata Somad, publik bisa mengirim hak jawab dan hak koreksi mereka. Bukan bertindak sewenang-wenang atas kekuasaan mereka. “Pers mahasiswa dalam menjalankan kerja jurnalistik pun sangat menjunjung tinggi kode etik, serta memposisikan dirinya sebagai penyalur suara mahasiswa dan kontrol sosial.”

“Kami menilai tindakan Rektor Unram terhadap UKPKM Media merupakan tindakan yang menyalahi undang-undang pers,” tegas Somad.

Selain itu, PPMI memandang tindakan yang telah dilakukan oleh Rektor Unram tidak mencerminkan perilaku seorang akademisi dan sangat tidak demokratis. “Seharusnya rektor bisa berpikir jernih dan bertindak dengan nalar sehat dalam menanggapi pemberitaan media Unram.” tutur Somad.

PPMI berharap Rektor Unram bisa memahami bahwa pers mahasiswa bersikap independen dalam melakukan pemberitaan. “Jika pers mahasiswa tidak boleh bersikap independen, tentu kami menilai ada indikasi bahwa pimpinan kampus takut jika kebijakannya dikritisi dan dibicarakan oleh mahasiswanya,” terang Somad.

Tindakan pembekuan lembaga pers mahasiswa, bagi Somad, merupakan indikasi terhadap pembungkaman sikap kritis mahasiswa. Apalagi disertai pengusiran anggota UKPKM Media serta penggantian pengurus secara sepihak oleh rektor. Kebebasan berpendapat, berekspresi, keterbukaan informasi publik dan kebebasan pers pun telah diatur dalam undang-undang dan menjadi pedoman kehidupan demokrasi di Indonesia. “Apalagi memaksa pers mahasiswa untuk menjadi humas kampus yang hanya boleh mencitrakan kampus menjadi lembaga tanpa dosa,” kata Somad.

Karena itu, PPMI menuntut kepada Rektor Unram untuk kembali mengaktifkan kepengurusan LPM Media Unram yang dibekukan secara sepihak dan diusir dari sekretariat, serta memberikan jaminan kepada UKPKM Media Unram agar dapat melakukan kegiatan jurnalistik seperti semula tanpa ada intervensi. “Rektor seharusnya bersikap bijaksana. Daripada melakukan pembekuan, bukankah lebih baik jika mau melakukan hak jawab dan menghidupkan pola interaksi dan dialog yang baik, agar menjadi kampus yang berdaya saing tinggi. Bukan sewenang-wenang dengan kekuasaan yang dimiliki,” tandas Somad.[]

 

Narahubung:

Sulton Anwar, Pemimpin Umum UKPKM Media Unram, +62 878-6536-2040

⁠⁠⁠M. Fathur Rohman, BP Advokasi PPMI Nasional, +62 895-2744-0416

Abdus Somad, Sekjend PPMI Nasional, +62 812-2654-5705

Kategori
Siaran Pers

Ini Dia Isi Surat Pengaduan ke Komnas HAM Terkait Majalah Lentera

Berikut surat aduan sejumlah lembaga dan individu ke Komnas HAM terkait kasus perampasan kebebasan berekspresi dan hak menyebarluaskan informasi yang dialami oleh Lembaga Pers Mahasiswa Lentera, Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga. Hari ini, Kamis, 22 Oktober 2015. Diterima oleh Komisioner Komnas HAM Ansori Sinungan.

Jakarta, 22 Oktober 2015

Kepada Yth.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
Di Jakarta

Dengan hormat,

Bersama dengan surat ini, kami perwakilan dari sejumlah lembaga masyarakat sipil dan individu bersama-sama menyampaikan keprihatinan yang mendalam atas terjadinya perampasan kebebasan berekspresi dan hak menyebarluaskan informasi yang dialami oleh Lembaga Pers Mahasiswa Lentera, Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga. Kami mengecam keras upaya sejumlah pihak untuk menarik peredaran majalah Lentera edisi 3 Tahun 2015 berjudul “Salatiga Kota Merah”, serta interogasi sejumlah awak Lembaga Pers Mahasiswa Lentera oleh aparat Kepolisian Resor Salatiga.

Kami menilai langkah sejumlah pihak yang melarang peredaran Majalah Lentera melanggar hak asasi manusia mahasiswa UKSW untuk berekspresi dan menyampaikan informasi. Kami juga menilai pelarangan peredaran Majalah Lentera itu melanggar hak asasi manusia warga negara lain untuk memperoleh informasi dan karya jurnalistik para jurnalis Lembaga Pers Mahasiswa Lentera seputar pelanggaran hak asasi manusia berat yang terjadi pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965.

Pada Jumat, 9 Oktober 2015 lalu, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Lentera, Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) menerbitkan edisi Majalah Lentera yang berjudul “Salatiga Kota Merah”. Majalah Lentera mempublikasikan karya jurnalistik investigasi dan jurnalisme presisi terkait dampak peristiwa Gerakan 30 September bagi Kota Salatiga, dengan melakukan penelusuran tentang Walikota Salatiga Bakri Wahab yang diduga anggota PKI, serta penangkapan Komandan Korem 73/Makutarama Salatiga. Selain itu, Majalah Lentera juga mengupas peristiwa pembantaian simpatisan dan terduga PKI di Kota Salatiga dan sekitarnya, dengan melakukan reportase empat titik pembantaian—Lapangan Skeep Tengaran, Kebun Karet di Tuntang dan Beringin, serta di Gunung Buthak di Susukan.

Edisi “Salatiga Kota Merah” terbit 500 eksemplar dan dijual dengan harga Rp 15.000. Majalah itu disebarluaskan masyarakat Kota Salatiga dengan menitipkannya di kafe serta beberapa tempat yang memasang iklan dalam majalah tersebut. Lentera juga disebarluaskan ke instansi pemerintahan di Salatiga dan organisasi kemasyarakatan di Semarang, Jakarta, dan Yogyakarta.

Publikasi Majalah Lentera telah mengembangkan pendapat umum warga Salatiga dan sekitarnya mengenai peristiwa Gerakan 30 September, dampak peristiwa itu bagi kehidupan warga Kota Salatiga, dan peristiwa pembantaian massal orang-orang yang dituduh simpatisan atau anggota Partai Komunis Indonesia. Pendapat umum itu tentu saja diwarnai pro dan kontra, menjadi diskursus umum yang mewarnai ruang-ruang publik, sebagaimana yang lazim terjadi dalam negara demokrasi manapun di dunia.

Akan tetapi sepekan setelah penerbitan Majalah Lentera edisi “Salatiga Kota Merah”, persisnya 16 Oktober 2015, pimpinan Lembaga Pers Mahasiswa Lentera dipanggil menghadap Rektor UKSW, Pembantu Rektor UKSW, Dekan Fiskom, dan Koordinator Bidang Kemahasiswaan (Koordbidkem) Fiskom di Gedung Administrasi Pusat UKSW. Kesepakatan yang dihasilkan adalah redaksi Lentera harus menarik semua majalah yang tersisa dari semua agen. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan situasi yang kondusif pada masyarakat Kota Salatiga. Polisi secara sepihak juga menarik peredaran Majalan Lentera edisi “Salatiga Kota Merah”.

Pada Minggu, 18 Oktober 2015, Pemimpin Umum LPM Lentera Arista Ayu Nanda, Pemimpin Redaksi LPM Lentera Bima Satria Putra, bersama bendahara LPM Lentera Septi Dwi Astuti diinterogasi di Markas Kepolisian Resor Salatiga. Interogasi itu dilakukan dengan sepengetahuan Dekan Fiskom, Koorbidkem Fiskom, Pembantu Rektor II, III dan V.

Pasal 28F Undang-undang Dasar 1945 menjamin hak setiap warga negara untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Kami menilai pelarangan peredaran Majalah Lentera melanggar hak konstitusional para awak redaksi LPM Lentera dan masyarakat umum untuk berkomunikasi, menyebarluaskan, dan memperoleh informasi yang ada dalam karya jurnalistik para jurnalis LPM Lentera.

Kami juga menilai para pihak yang melarang peredaran Majalah Lentera melanggar jaminan Pasal 28C Undang-undang Dasar 1945 yang menjamin hak setiap warga negara mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. Selain inkonstitusional, pelarangan peredaran Majalah Lentera juga melanggar berbagai jaminan hak asasi manusia dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Melalui pengaduan ini, kami meminta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menempuh segala upaya di dalam kewenangannnya untuk memastikan hal-hal berikut ini:
1. Penghentian upaya penarikan peredaran Majalah Lentera edisi “Salatiga Kota Merah”.
2. Pengembalian peredaran seluruh majalah yang telah ditarik berbagai pihak agar bisa diperoleh publik, demi mengembangkan pendapat umum terkait karya-karya jurnalistik dalam Majalah Lentera edisi “Salatiga Kota Merah”.
3. Penghentian segala bentuk intimidasi dan stigmatisasi kepada mahasiswa dan jurnalis yang tergabung dalam Lembaga Pers Mahasiswa Lentera.
4. Para mahasiswa dan jurnalis yang ada dalam Lembaga Pers Mahasiswa Lentera tidak dikenai sanksi ataupun tuntutan hukum apapun dari Rektorat UKSW dan jajarannya, Kepolisian Republik Indonesia dan jajarannya, Tentara Nasional Indonesia dan jajarannya—baik pada masa sekarang ataupun pada masa yang akan datang.
5. Lembaga Pers Mahasiswa Lentera dapat melanjutkan aktivitasnya sebagai unit kegiatan mahasiswa yang resmi, bebas dari praktik sensor dan bredel dari pihak mana pun.
6. Kebebasan akademik civitas akademika UKSW dapat dilaksanakan tanpa intimidasi dan intervensi dari pihak mana pun.

Demikian pengaduan ini kami sampaikan. Terima kasih.

Hormat kami,

1. Ketua Presidium Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (FAA PPMI), Agung Sedayu
2. Ketua Aliansi Jurnalis Independen Indonesia (AJI Indonesia), Suwarjono
3. Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers) Asep Komaruddin
4. Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Haris Azhar
5. Social Blogger, Damar Juniarto
6. Perupa, Dolorosa Sinaga
7. Peneliti IPT 65, Ayu Wahyuningroem
8. Koordinator Serikat Pengajar Hak Asasi Manusia (SEPAHAM) Indonesia, Dr R Herlambang P Wiratraman
9. Kepala Pusham Unimed, Majda El Muhtaj
10. Ketua Aliansi Jurnalis Independen Semarang (AJI Semarang), M Rofi’udin
11. Ketua Aliansi Jurnalis Independen Jakarta (AJI Jakarta), Ahmad Nurhasyim
12. Sekretaris Jenderal Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI), Abdus Somad
13. Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia Makassar (FAA PPMI Makassar), M Sirul Haq
14. Ketua Dewan Pengurus Yayasan Pulih, Miryam Nainggolan
15. Senior Program Officer for Human Rights and Democracy International NGO Forum on Indonesia Development, Mugiyanto
16. Sekretaris Eksekutif Syarikat Indonesia, Ahmad Murtajib
17. Direktur Program Indonesia dan Regional Asia Justice and Rights (AJAR) Galuh Wandita
18. Program Manajer Indonesia AJAR, Dodi Yuniar
19. Pegiat HAM dan Demokrasi, Zico Mulia
20. Direktur Eksekutif Indonesia untuk Kemanusiaan, Anik Wusari
21. Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Wahyudi Djafar
22. Peneliti Senior Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, Ignatius Haryanto
23. Manajer Program Yayasan TIFA, R Kristiawan
24. Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia Jakarta, Rio Ayudhia Putra