TEMPO.CO, Jakarta – Pelarangan majalah Lentera yang dibuat oleh Lembaga Pers Mahasiswa Lentera, Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga terus menuai protes. Sejumlah kalangan menilai perbuatan itu telah merampas kebebasan berekspresi dan hak menyebarkan informasi. Penarikan majalah Lentera juga dianggap melanggar hak asasi manusia masyarakat untuk memperoleh informasi dan karya jurnalistik.
“Kami ke sini untuk melaporkan perampasan kebebasan berekspresi dan hak menyebarluaskan informasi yang dialami Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Lentera, Salatiga,” kata Ketua Presidium Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (FAA PPMI) Agung Sedayu, salah satu pelapor, di gedung Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis 22 Oktober 2015.
Selain FAA PPMI terdapat 23 perwakilan lembaga dan individu yang ikut melaporkan kasus pelarangan majalah Lentera. Antara lain Aliansi Jurnalis Independen Indonesia, Lembaga Bantuan Hukum Pers, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, Serikat Pengajar Hak Asasi Manusia, Aliansi Jurnalis Independen Semarang, Aliansi Jurnalis Independen Jakarta, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia, Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia Makassar, Yayasan Pulih, Indonesia untuk Kemanusiaan, dan Pusham Unimed.
Pelarangan majalah Lentera juga dianggap melanggar Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pelarangan majalah Lentera juga melanggar Pasal 28F Undang-undang Dasar 1945. Pasal itu menjamin hak setiap warga negara untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Karena itu Komnas HAM diminta untuk bersikap tegas dalam kasus majalah Lentera. Dalam surat aduannya, puluhan perwakilan lembaga dan individu itu menuntut enam hal pada Komnas HAM.
Pertama, penghentian upaya penarikan peredaran majalah Lentera edisi “Salatiga Kota Merah”. Kedua, pengembalian peredaran seluruh majalah yang telah ditarik berbagai pihak agar bisa diperoleh publik. Ketiga, penghentian segala bentuk intimidasi dan stigmatisasi kepada mahasiswa dan jurnalis yang tergabung dalam Lembaga Pers Mahasiswa Lentera.
Keempat, para mahasiswa dan jurnalis yang ada dalam Lembaga Pers Mahasiswa Lentera tidak dikenai sanksi ataupun tuntutan hukum apapun dari Rektorat UKSW dan jajarannya, Kepolisian Republik Indonesia dan jajarannya, Tentara Nasional Indonesia dan jajarannya—baik pada masa sekarang ataupun pada masa yang akan datang. “Komnas harus bisa memastikan tidak akan ada sanksi atau akibat hukum apapun kepada mahasiswa, sekarang maupun di masa depan.” kata Aryo Wisanggeni dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang ikut datang melaporkan.
Tuntutan kelima adalah supaya Lembaga Pers Mahasiswa Lentera dapat melanjutkan aktivitasnya sebagai unit kegiatan mahasiswa yang resmi, bebas dari praktik sensor dan bredel dari pihak mana pun. Dan keenam, kebebasan akademik civitas akademika UKSW dapat dilaksanakan tanpa intimidasi dan intervensi dari pihak mana pun.
Koordinator Sub-Mediasi Komnas HAM Anshori Sinungga mengatakan bahwa Komnas HAM akan menindaklanjuti laporan itu. Komnas HAM akan datang ke Salatiga untuk menemui pihak kampus, polisi, serta pihak lain yang diduga terlibat di kasus itu. Komnas HAM juga berjanji akan berupaya supaya tuntutan tersebut bisa dipenuhi. “Insya Allah akan menjamin tidak akan terjadi diskriminasi pada masa depan mahasiswa,” katanya.
Sebelumnya, pihak dekanat dan rektorat UKSW Salatiga dan polisi meminta supaya LPM Lentera menarik semua majalah Lentera. Alasannya, hal itu untuk menciptakan situasi yang kondusif di Salatiga. (EGI ADYATAMA/Tempo.co)