Membunuh Tak Apa, Asal Dibuatkan Jalan Raya

Diharap aktif bertindak atas nama emansipasi namun menolak ruang-ruang kritik, tak ubahnya perbudakan atas nama solidaritas.

0
480
Sumber: pixabay.com

Jika memahami emansipasi adalah sebuah tindakan yang boleh berjarak dari sikap kritis, maka kita sebenarnya tengah berbicara mengenai pembelengguan. Emansipasi hanya akan jadi dalil pembenaran atas pentingnya keterlibatan dalam sebuah program—seburuk dan seberapa menindas ia berjalan.

Kerangka berpikir seperti itu akan membuat emansipasi inheren dengan dogmatisme karena bentuk keterlibatan yang paling dasar soal urun konsep—dimana sikap kritis benar-benar dibutuhkan—tengah dibatasi. Emansipasi hanya akan dimaknai melalui keterlibatan secara dangkal belaka, pun dengan catatan harus bernada mendukung.

Penting kiranya mengingat hal ini, apalagi jika hendak menghitung seberapa jauh keterlibatan kita dengan segala hal yang tengah terjadi di sekitar. Entah itu pembangunan-pembangunan infrastruktur oleh negara, pengelolaan sumber daya alam di daerah-daerah, pengelolaan dana kampus, pembuatan jadwal ronda di kampung, atau bahkan dalam kerangka hubungan kerja antara sesama anggota organisasi/perhimpunan seperti Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia.

Diharap aktif bertindak atas nama emansipasi namun menolak ruang-ruang kritik, tak ubahnya perbudakan atas nama solidaritas. Saya kira, para penggiat pers mahasiswa merasakan betul maraknya pembatasan ruang-ruang kritik ini. Tema “Darurat Demokrasi dan Ruang Hidup” dalam agenda Seminar Nasional Dies Natalis PPMI ke-25 tentu tak jauh-jauh dari persoalan-persoalan yang dialami dan ditemukan para penggiat pers mahasiswa di berbagai wilayah.

Mulai dari soal pembubaran diskusi maupun seminar hingga pemolisian warga sipil karena pendapat kritisnya masih marak kita jumpai akhir-akhir ini. Dari catatan Aliansi Jurnalis Independen, pembubaran seminar tentang 1965 dan panggung kesenian di LBH Jakarta beberapa waktu lalu adalah contoh paling dekat. Catatan panjang sebelumnya, pembubaran aksi damai soal Papua, pembiaran polisi atas ormas-ormas yang melarang kegiatan keagamaan di Bandung, hingga pembubaran pemutaran film Pulau Buru Tanah Air Beta.

Perkara ruang yang tak pernah lepas dari penetrasi negara dan penetrasi kapital juga semakin terasa seiring program percepatan pembangunan pemerintah. Kedua perkara ini menjadi tantangan dan tak mungkin dihindari, sebab hasrat membangun dan membangun rezim lewat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)-nya tak bisa dibendung.

Ini bukan perkara rezim yang jahat atau tidak, karena pada dasarnya siapapun yang berkuasa pembangunan masih dan akan terus jadi prioritas atas nama kepentingan negara. Pada praktiknya, pembangunan-pembangunan itu tak pernah absen membuat risiko baru. Entah itu perkara sosial, ekonomi, lingkungan, maupun budaya masyarakat di sekitarnya.

Di sini, merefleksikan sejauh mana atau seperti apa emansipasi kita sebagai pers mahasiswa menjadi penting. Apalagi, akhir-akhir ini terjadi banyak hal yang rasanya betul-betul mengganggu. Satu dari sekian hal yang paling mengganggu adalah maraknya cara berpikir pembangunan yang mengafirmasi tindakan pelanggaran hak asasi manusia. Cara berpikir yang diam-diam telah diterima para akademisi, aktivis, seniman, atau siapapun mereka yang meski berbeda pandangan politik satu sama lain, sebenarnya berdasar dari cara pandang yang dangkal soal pemaknaan hak asasi manusia itu sendiri.

Kita semua tahu, Papua adalah satu dari sekian daerah yang punya masalah soal akses transportasi dan karenanya berimbas pada soal ekonomi—kebutuhan pokok yang tinggi. Masalah lain yang mengekor tentunya juga soal kesehatan dan pendidikan. Pemerintah kemudian melakukan percepatan pembangunan infrastruktur di pelbagai lini di Papua. Jalan raya, pelabuhan, bandara, dsb. Apakah ada perubahan signifikan, khususnya soal harga kebutuhan pokok? Tentu, kita perlu apresiasi soal itu.

Namun, ada satu hal yang perlu disadari dari narasi di atas, pembangunan-pembangunan itu tidak bisa digunakan sebagai argumentasi untuk menjawab segala persoalan yang ada di Papua. Apalagi soal hak asasi manusia.

Mengutip data yang dihimpun LBH Jakarta beserta jaringannya, sejak 2012 hingga 2016 4.198 orang Papua ditangkap karena melakukan aksi damai. 2016 menjadi tahun yang mencekam di mana sejak April hingga September saja 2.282 orang Papua sudah ditangkap. Tindak kekerasan dan intimidasi marak terjadi pada setiap penangkapan. Bahkan pembunuhan.

Lebih parah dari itu, impunitas diberikan kepada tersangka pembunuhan. Sebutlah Mayjen Hartomo yang ditunjuk menjadi Kepala Badan Intelijen Strategis (Kabais) pada 2016. Orang ini pernah dijatuhi hukuman 3 tahun 6 bulan karena terlibat dalam pembunuhan Theys aktivis Papua pada tahun 2003. Di Papua pelanggaran HAM menjadi masalah besar.

Buat apa harga murah, kalau besok-besok keluarga pulang sudah tak bernyawa? Buat apa dibuat pintar lewat sekolah kalau kemudian hanya akan dipenjara? Buat apa sembako murah kalau nyawa tak kalah murah? Kalau nyawa boleh dibeli dengan aspal sepanjang 4.325 km, 30 pelabuhan, dan 7 bandara, mungkin kita harus mengapresiasi penuh peran pemerintah di Papua.

Ini adalah argumen yang ingin sekali saya ungkapkan di hadapan diplomat Indonesia yang hadir di sidang PBB. Orang-orang ini dengan tegas menyangkal segala bentuk pelanggaran HAM yang terjadi di Papua dan kemudian mengelu-elukan pembangunan-pembangunan yang ada di sana.

Dari klarifikasi Moh. Apriawan yang di dalamnya juga menyinggung soal Papua, kemudian saya tahu bahwa perwakilan staf kepresidenan yang datang pada acara seminar PPMI itu hadir dengan narasi yang tidak jauh beda. Bahkan, dengan tanpa malu-malu, ia mengatakan bahwa pers mahasiswa harus berafiliasi (atau bermitra?) dengan pemerintah. Sesungguhnya, saya tak tahu betul perbedaan makna afiliasi atau bermitra. Yang saya tahu, keduanya adalah pilihan buruk. Seburuk argumentasi pembangunan di seminar “Darurat Demokrasi dan Ruang Hidup”.

Namun demikian, rasanya terlalu jumawa ketika pers mahasiswa menjadi pahlawan saat menolak tawaran bermitra pemerintah. Meski, ya, tidak ada jawaban yang lebih baik dari itu. Sudah sangat lebih dari cukup para elit politik menginfiltrasi masyarakat-masyarakat lewat kanal-kanal media massa yang mereka miliki.

Peran media pers mahasiswa adalah peran yang kecil bila dibanding media-media mainstream. Mulai dari soal sumber daya manusia, kekuatan ekonomi, hingga daya distribusi. Meski tentunya, tak juga harus merasa kecil karenanya. Mengingat bahwa kebanyakan media, lebih-lebih yang berani bersikap kritis, masih terpusat di ibukota; dan ada banyak persoalan terjadi di pelbagai pelosok daerah, pers mahasiswa selalu punya nilai tawarnya. Lagipula, terlepas dari soal terbatasnya sumber daya, laporan jurnalistik yang mampu menjawab pertanyaan masyarakat atas apa yang terjadi di sekitarnya, saya rasa akan tetap ditunggu.