Nasib Buruh Kian Keruh

0
653
doc. Boombastis.com

Data survei Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan hasil pendapatan industri sedang dan besar di Yogyakarta adalah 17,5 Triliun dengan biaya produksi 7,720 Triliun. Sementara upah yang diberikan kepada 58.508 pekerja di Yogyakarta sebesar  1,175 Triliun atau hanya 6,72% dari total pendapatan tadi. Itu artinya, 8,605 Triliun sisanya masuk ke kantong-kantong pemilik dan pimpinan perusahaan. “Ini adalah indikasi awal terjadinya eksploitasi ekonomi atau finansial, dimana pekerja diupah jauh di bawah tingkat  produktivitasnya,” ungkap Awan Santosa dari  Pusat Studi Kerakyatan UGM. Selain itu, Investor yang berasal dari luar Indonesia menurut Awan merupakan bentuk penjajahan baru yang terjadi di Indonesia.

Hal tersebut dipaparkan oleh Awan dalam launching majalah edisi No.01/Thn. L/2017 LPM Himmah (25/5). Acara tersebut bertempat di lantai dua Loop Station Prawirodirjan, Gondomanan, Kota Yogyakarta. Acara yang disertai dengan diskusi publik bertema “Buruh Lemah Semakin Dilemahkan” itu juga menghadirkan Restu Baskara dari Federasi Perjuangan Buruh Indonesia.

Menurut Awan, upah yang diterima oleh buruh telah melanggar UUD 1945 pasal 33 yang mengatur tentang perekonomian, pemanfaatan SDA, dan prinsip perekonomian nasional. Undang undang tersebut secara tegas menyatakan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan dengan prinsip kebersamaan dan efisiensi berkeadilan. Upah buruh yang tereksploitasi, lanjut Awan, justru diperparah dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia  Nomor 78 Tahun 2015 tentang pengupahan. Awan beranggapan peraturan tersebut telah melanggar konstitusi dan pancasila. “Pancasila itu kan esensinya gotong royong, musyawarah, mestinya upah itu diputuskan oleh musyawarah. Tetapi menjadi tidak ada dengan adanya PP itu,” Jelas Awan yang juga merupakan direktur Mubiarto Institute yang bergerak di bidang ekonomi kerakyatan di berbagai sektor.

PP No 78 Tahun 2015 ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo pada 23 Oktober 2015. Namun peraturan itu ditentang habis-habisan karena dianggap tidak berpihak kepada rakyat kecil. PP ini tidak melibatkan Serikat Pekerja  dalam menentukan formula pengupahan. Hal tersebut  tentu bertentangan dengan UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, UU No. 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Buruh dan Konvensi International Labour Organitation (ILO) No. 87 Tentang Kebebasan Berserikat.

Senada dengan Awan,  Restu  Baskara juga beranggapan  PP  No. 78 melanggar konstitusi di atasnya, misalnya UU No. 13 tahun 2003. Restu menjelaskan bahwa dalam UU No.13  2003 dikatakan bahwa penentuan upah didasarkan pada musyawarah antara perwakilan buruh, pengusaha, dan pemerintah. “Konstitusi tertinggi kan Undang-Undang Dasar, terus di bawahnya Undang-Undang, di bawahnya lagi baru peraturan pemerintah. Nah PP ini melanggar konstitusi di atasnya, UU No. 13 tahun 2003,” jelas Restu.

Restu juga menjelaskan bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah pekerja, baik yang formal dan duduk di kantoran maupun yang informal, seperti pekerja rumahan. Karena itu pula buruh menolak dan menentang PP tersebut. Sayangnya, lanjut Restu, penolakan tersebut justru dijawab dengan tindakan represif oleh aparat. Restu bercerita, penolakan terhadap PP No. 78 Tahun 2015 sudah dilakukan sejak 30 Oktober 2015 dalam aksi besar-besaran di Istana negara. “Banyak sekali demo-demo pasca disahkannya peraturan itu, sampai kemudian demo besar-besaran di Istana  pada 30 Oktober 2015  menolak PP No. 78 Tahun 2015 itu, namun sampai sekarang belum dicabut,” kata Restu.

Efek dari penolakan tersebut, masih menurut pemaparan Restu, banyak aktivis buruh yang dikriminalisasi dan dipidanakan. “Polisi melakukan tindakan represif, tiga mobil komando dirusak sama polisi. Padahal pada waktu itu aksinya berjalan damai,”  papar Restu menyayangkan.

Sekretaris Sekolah Buruh, Sri Okvita Wahyuningsih, juga sangat menyayangkan kondisi buruh saat ini. Menurut perempuan yang akrab disapa Vita tersebut, kondisi buruh di Indonesia sangat memprihatinkan. Padahal, menurut Vita, buruh bekerja keras mengorbankan waktu, tenaga, dan pikiran demi mendapatkan upah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, terlebih mereka yang sudah berkeluarga. Namun buruh justru diperlakukan tidak sebagaimana mestinya. “Buruh kalah bukan hanya karena dikriminalisasi, tetapi juga karena takut kehilangan pekerjaan. Ditambah lagi kurangnya pemahaman tentang ketenagakerjaan,” ungkap Vita melalui sambungan WhatsApp.

Sebelum peraturan tentang pengupahan itu disahkan, sejatinya kondisi buruh sudah tercurangi. Namun Negara justru memperburuk kondisi tersebut dengan mengesahkan PP No. 78 Tahun 2015. Padahal peran negara sangat penting untuk menjalanankan amanah Pasal 33 ayat 3 UUD Tahun 1945, yang menjamin kesejahterakan   bagi  segenap lapisan masyarakat Indonesia. Jika kesejahteraan sudah menyentuh seluruh lapisan masyarakat, dengan demikian slogan “Kerja Kerja Kerja!” yang dicanangkan Jokowi tidak hanya menjadi omong kosong belaka. Faktanya, nasib pekerja/buruh selama ini terus diperbudak oleh penguasa, atau dengan kata lain “kerja kerja dan kerja untuk penguasa”. Melihat hal ini, seharusnya tak ada alasan lagi untuk memberantas peraturan yang semakin menyengsarakan kaum buruh. Titik!