Kategori
Agenda

Comminfest 2016: The New Spirit of Local Wisdom

Globalisasi, kemajuan teknologi dan lemahnya semangat memiliki negeri ini cukup berpengaruh menggeser kearifan lokal. Ketakutan akan kehilangan identitas diri jelas menjadi keresahan bagi kita semua sebagai bangsa. Melalui Comminfest 2016, Artriwara yang menjadi salah satu mata lomba di dalamnya mencoba menggali lebih dalam isu-isu tersebut. Dengan tema “The New Spirit of Local Wisdom”, kami ingin mengajak mahasiswa untuk menuangkan ide dan aspirasinya mengenai kearifan lokal bangsa yang kini mulai terkikis akibat perubahan zaman.

PENDAFTARAN & BRIEF ARTRIWARA 2016 resmi dibuka hari ini. Segera daftarkan tim mu!

Informasi lebih lanjut klik www.fisip.uajy.ac.id/comminfest. Twitter: @Comminfest / @TERASPersUajy. CP: 085729917233 (Benedith Maria).

Artriwara

Kategori
Diskusi

Memahami Karakter Jurnalisme Pers Mahasiswa

Setiap media, jika dibandingkan satu dengan yang lainya, akan kentara perbedaan bagaimana sebuah berita disajikan. Tempo misalnya, cenderung menyajikan berita dengan liputan-liputan mendalam. Membuka apa yang ditutup-tutupi, atau sebut saja bergenre Jurnalisme Investigasi.

Meminjam istilah komodifikasi, katakanlah pilihan genre jurnalisme ini ada sebagai “nilai jual” sebuah media. Semakin terjual, semakin dibaca. Semakin dibaca, maka semakin berpengaruh. Keluasan pengaruh itu yang kemudian dijadikan tolak ukur, sejauh mana salah satu peran jurnalisme, yakni kontrol sosial, dapat diwujudkan.

Tapi perlu diketahui, setiap genre punya pemetaan pasarnya sendiri. Kemudian penentuan pasar adalah politik redaksi. Bergantung kemana arah gerak media tersebut. Dari sekian banyak genre jurnalisme, jurnalisme mahasiswa bisa dibilang paling ngeri! Kalau eksis, genre jurnalisme yang satu itu sulit dicari definisinya.

Definisi Pers Mahasiswa
*Grafik hasil analisa menunjukkan tidak ditemukanya “Definisi Jurnalisme Mahasiswa” pada mesin pencari Daum.net. Data ini menggunakan margin error 0%.

Dari analisis saya pada 6 April 2016 mulai pukul 21:40 hingga 22:41 WIB, 0 data ditemukan terkait “Definisi Jurnalisme Mahasiswa”  pada mesin pencari Daum.net, mesin pencari populer berbahasa Korea Selatan.

Tapi dalam pandangan penulis, genre jurnalisme satu ini sulit didefinisikan. Setiap Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) punya cara yang berbeda-beda dalam menyajikan berita. Unit Aktivitas Pers Mahasiswa (UAPM) Inovasi misalnya, menyajikan berita kelompok marjinal dengan gaya narasi. Atau Unit Kegiatan Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Tegal Boto, menyajikan berita dengan banyak gaya.

Selain cara penyajian berita yang beragam di tiap LPM, pembeda antara jurnalisme mahasiswa dan genre jurnalisme lainya juga kabur, terlebih paska reformasi. Sebelumnya, pada masa orde baru, begitu mudah membedakan antara jurnalisme mahasiswa dan jurnalisme lain. Jurnalisme mahasiswa tajam ke atas, yang lainnya masih cenderung malu-malu luwak. Paska orde baru, keadaan mulai berubah. Semua sudah mulai tajam keatas. Dengan mulai samarnya pembeda jurnalisme mahasiswa dan jurnalisme lain, pendefinisian makin sulit dilakukan. Sekaligus arah gerak makin kabur.

Menurut paparan buku 9 Elemen Jurnalisme karya  Bill Kovach dan Tom Rosentiels yang dikutip Andreas Harsono. Disiplin verivikasi adalah esensi dari jurnalisme. Bukan identitas, genre, bahkan arah gerak. Jika pandangan tersebut diamini, bisa saya simpulkan bahwa apapun genre jurnalismenya, verivikasi data adalah yang utama. Kecuali bagi jurnalis yang tunduk pada himbauan perusahaan konstruksi baja, “Utamakan Sholat dan keselamatan kerja!”.

Foto: dok. Artha Mas Graha Andalan (http://news.detik.com/tokoh/3112887/utamakan-salat-dan-selamat-kunci-kesuksesan-budi-harta-winata)

Verivikasi sendiri menurut saya juga beragam tingkatnya. Verivikasi menggunakan paradigma rasio, paradigma empiris, paradigma positifisme, dan lainya. Sementara, tiga paradigma itu saja yang mampu dicocokologikan dan terdengar cukup saintifik di telinga.

Dalam paradigma rasio, verivikasi dihentikan cukup pada keputusan rasio meng(iya)kan. Misalkan sang narasumber menyatakan bahwa api itu membakar kulit, kemudian karena rasio sang jurnalis sejalan, maka pernyataan dari narasumber dianggap valid, dan tidak diverivikasi lebih lanjut. Padahal, pengikut Nabi Ibrahim punya rasio yang berbeda, bahwa api tak selalu membakar kulit.

Mengetahui kebobrokan rasio itu, paradigma empiris kemudian menambalnya dan tak berhenti disitu saja. Jadi kalau anda jurnalis yang berparadigma empiris, anda bakal memverivikasinya dengan menyentuh api, setelah kulit anda terbakar, baru anda tulis sebagai karya jurnalistik.

Tapi ternyata, ada dua orang jurnalis yang mencoba menyentuh api dan hasilnya berbeda. Seorang jurnalis yang merasakan tangannya terbakar kemudian tanpa ragu mengamini pernyataan narasumber. Seorang lagi, karena tak merasakan tangannya terbakar, ia kembali memburu narasumber, guna mendekati “kebenaran”. Dia tak merasakan sensasi terbakar, sama seperti saat telunjuk kita menyentuh api dari lilin secara cepat.

Verivikasi empiris ternyata kemudian juga belum mendekati “kebenaran”, pasalnya metode pengujiannya berbeda-beda. Lantas paradigma positivisme kemudian berupaya membakukan metode pengujian. Jadi ketika dua jurnalis itu hendak memverivikasi apakah api membakar kulit secara empiris. Mereka bakal dipandu untuk mengujinya dengan variabel-variabel pengujian yang sama. Misalkan, dengan lilin yang sama, dan dengan kecepatan menyentuh api yang sama. Hasilnya, semakin mendekati “kebenaran”.

Parahnya, kemudian pengetahuan hasil positivisme ini kembali mengakar sebagai “rasio” tanpa tanda tanya. “Rasio” yang dibangun, tak menyertakan adanya pembatasan variabel dalam paradigma positivisme. Pada metode yang digunakan dalam studi kasus di atas, hanya menguji kebenaran “api itu membakar kulit” dengan dua variabel saja, yaitu jenis lilin dan kecepatan menyentuh api.  Padahal, jenis kulit berpengaruh. Kalau kita tambah lagi jenis kulit sebagai variabel pengujian, masih banyak lagi variabel-variabel lain, seperti suhu atau kelembapan udara. Berapa banyak variabel yang berpengaruh juga tak bisa didefinisikan, karena itu margin error juga tak terdefinisikan. Kemudian, muncul istilah “pembatasan masalah” karena keterbatasan indra manusia tuk menelaah keadaan.

Lebih parahnya lagi, semangat positivisme kemudian menjamur dan menjangkiti kehidupan sosial. Padahal, yang saya yakini bahwa setiap makhluk itu berbeda dan kehidupan sosialnya begitu kompleks. Membelenggu kekompleksan dengan batasan masalah, bisa dibilang kejahatan intelektual yang terstruktur, masif, dan sistematis. Tak ayal, menundukan keragaman dengan saintifikasi ilmu sosial menimbulkan banyak korban.

Mungkin sebagian kelompok tidak begitu ngeh, atau enggan dengan penjelasan yang bersifat filosofis. Jadi baiklah, saya berikan contoh nyatanya. Mungkin ilustrasi di bawah ini bisa membantu memahami akan adanya perbedaan metode verivikasi data.

Sumber Sama, SINDO Tulis “Ekonomi Lesu”, KOMPAS Kasih Judul “Ekonomi Membaik”, Tanya Kenapa? Sumber: http://www.posmetro.info/2016/01/sumber-sama-sindo-tulis-ekonomi-lesu.html (Jangan dibuka, bahaya!)

Di luar itu, katakanlah kita mengamini saintifikasi ilmu sosial di tengah hingar-bingar jurnalisme data dan segala jenis verivikasinya. Pemerintah misalanya, menerbitkan data masyarakat miskin yang pengolonganya didapat dengan batasan 4 variabel atau lebih, yang dipilih atau yang mampu dipikirkan. Kemudian kita mengutip data-data sensus pemerintah, yang sudah dibandingkan dengan data-data lembaga independen, hasilnya sama. Kemudian kita mengutipnya bak dewa, dengan perasaan yang begitu mendekati “kebenaran”. Katakanlah semua orang juga mengamini datanya, terverivikasi dan selesai sudah esensi jurnalismenya. Tapi ternyata dunia memang begitu beragam, coba saja tengok ilustrasi hasil visualisasi data kedua jurnalis ini.

Ilustrasi hasil visualisasi data yang sama di tangan dua jurnalis yang berbeda.
Ilustrasi hasil visualisasi data yang sama di tangan dua jurnalis yang berbeda.

Kedua ilustrasi visualisasi data diatas mengunakan data-data yang diamini bersama, tak ada yang meragukan kevalidanya, namun hasil visualisasinya berbeda. Bisa jadi hasil interpretasinya nanti juga berbeda.

 “Dan pada dasarnya memang tidak ada media yang netral. Media selalu berpihak dan memperjuangkan kepentingan tertentu. Tapi ketika ia menunjukkan kebencian dan penghakiman dengan begitu vulgar terhadap kelompok tertentu, patut kita pertanyakan kepentingan macam apa yang sedang diperjuangkan.” Wisnu Prasetya Utomo, dalam blog Pindai.

Jadi ketika kita sudah selesai dengan pekerjaan auditor (verivikasi) yang dianggap sebagai esensi jurnalisme. Lalu apa? Siapa kita? Ke mana kita? Kepentingan apa yang kita perjuangan? Bagaimana menjadi jurnalisme mahasiswa yang ideal, menjadi Inovasi atau menjadi Tegal Boto? Atau kenapa perlu keragaman yang ada disatukan dalam satu genre yang sama. Adakah yang tahu jawabanya, selain “Ntabs teori, kaget realita!” ?

Kategori
Siaran Pers

Deklarasi “SUMPA” PPMI Kota Palopo

Semenjak Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) PPMI X yang berlangsung di Makassar 28 September – 2 Oktober 2015, beberapa Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) di kota terdekat diundang untuk menghadiri agenda nasional tersebut. Salah satunya adalah LPM Grafity IAIN Palopo.

Disela-sela rangkaian Mukernas, Irwan Sakkir selaku Sekretaris Jenderal (Sekjend) PPMI Kota (DK) Makassar dan Irfan A. Sangadji selaku Koordinator Wilayah (Korwil) V PPMI, bersama dengan pengurus LPM Grafity mendiskusikan keberadaan LPM di Kota Palopo. Diantaranya menyangkut kondisi LPM di Palopo yang tidak memiliki wadah bersama, kemudian jarak PPMI DK Makassar yang jauh dengan LPM di Palopo.

Menindaklanjuti diskusi tersebut, muncul gagasan untuk mendeklarasikan PPMI Palopo. Agar LPM se-Palopo dapat berjejaring bersama. Gagasan tersebut kemudian diterima oleh kawan-kawan LPM Grafity.

Selanjutnya sesuai amanat konstitusi PPMI, minimal tiga LPM untuk pembentukan DK PPMI. Kawan-kawan LPM Grafity, yang dipelopori Bayu Segara berupaya membangun komunikasi dengan LPM Tociung dari Universitas Andi Jemma (Unanda). Selain itu upaya mendata keberadan LPM di Universitas Cokroaminoto dan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Muhammadiyah (STIEM) juga sudah dilakukan. Hasilnya, hanya dua LPM yang masih aktif melakukan kegiatan penerbitan. Seementara STIEM masih dalam proses pembentukan LPM Sang Pencerah dengan satu kali melakukan Diklat Dasar Jurnalistik. Sedangkan di Universitas Cokroaminoto (Uncen) sebelumnya memiliki LPM namun telah lama vakum.

Selanjutnya, 18 November 2015. Korwil V beserta Sekjend PPMI DK Makassar melakukan kunjungan perdana. Mereka menghadiri undangan LPM Grafity yang sedang melaksanakan Seminar Jurnalistik sekaligus sosialisasi pembentukan PPMI Palopo. Bertempat di kantin STIEM Palopo, LPM Grafity, LPM Tociung, dan LPM Sang Pencerah yang masih dalam proses pembentukan LPM sepakat untuk saling mendukung proses deklarasi PPMI Palopo. Setelah muncul kesepakatan tersebut, Bayu segera ditunjuk sebagai carte taker untuk memediasi tiap LPM agar mempersiapkan Deklarasi PPMI Palopo.

9 April 2016 di Aula PKM IAIN Palopo menjadi saksi sejarah baru bagi PPMI Nasional dengan deklarasi PPMI Palopo. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa PPMI menjunjung tinggi nilai demokrasi dan memperkaya pluralisme di tubuh lembaganya. Deklarasi PPMI Palopo dihadiri oleh LPM Tociung Unanda, LPM Sang Pencerah STIEM, dan LPM Grafity IAIN Palopo sebagai tuan rumah deklarasi.

Deklarasi kemudian dilanjutkan dengan Musyawarah Kota, hasilnya Bayu terpilih secara aklamasi menjadi Sekjend PPMI Palopo. “Dalam filosofinya, nama Bayu berarti angin, sedangkan Segara adalah segar. Oleh karena itu, berikan saya kesempatan untuk memberikan angin segar kepada PPMI Palopo dalam satu periode kedepan,” tutur Bayu dalam sambutanya sebagai Sekjend PPMI Palopo terpilih.

Korwil V

Sebelumnya, khusus untuk Indonesia Timur yang tercatat dalam sejarah PPMI hanya terdapat dua Kota. DK Makassar dan DK Palu, sedangkan kota Manado masih berstatus care taker yang ditunjuk oleh Defy Firmansya selaku Sekjend Nasional kala itu. Semenjak Deklarasi Pekalongan dan dilanjutkan dengan Kongres Luar Biasa (KLB) di Malang, PPMI telah mereformasi beberapa posisi struktural, diantaranya Dewan Etik Nasional (DEN) yang dianggap overlapping yang kemudian digantikan dengan Korwil yang bertujuan untuk menjalin komunikasi antar DK dengan Pengurus Nasional.

Korwil sendiri disamping memediasi pengurus PPMI antar DK, berfungsi sebagai penanggung jawab untuk melakukan pemekaran bagi daerah yang belum memiliki DK, namun memiliki LPM di setiap kampus. Sesuai dengan kesepakatan KLB Malang Korwil V Meliputi Sulawesi dan wilayah terdekat seperti Maluku dan Papua.

Dalam Master Plan Kowril V di sisa masa jabatan ini berencana melakukan pengembangan di beberapa kota yang menginginkan keberadaan PPMI, seperti kota Gorontalo yang dipelopori oleh Kawan Defri Sofyan, kota Manado oleh kawan Ilona, kota Ambon oleh kawan Zaki, dan Ternate oleh kawan Dzaki. Sedang Papua masih belum terdata keberadaan LPM yang aktif.

Deklarasi “SUMPA” PPMI ini merupakan kepanjangan dari Sulawesi, Maluku, dan Papua yang sangat membutuhkan keberadaan PPMI untuk mengawal berbagai isu lokal yang terjadi di wilayah Indonesia Timur.

 

Narahubung:

Irfan A. Sangadji, Korwil V PPMI: 082188476756

Bayu Segara, Sekjend PPMI Palopo: 082349619864

Kategori
Agenda

Journalist Days 2016

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia dan Badan Otonom Economica
dengan bangga mempersembahkan:

Journalist Days 2016
“Menyingkap Tabir di Balik Layar Industri Media”

Senin, 25 April 2016
Training
Penulisan:
– Hasyim Widhiarto – Jurnalis the Jakarta Post
– Isjet – Editor Kompasiana
News Anchor:
– Angie Ang – News Anchor NET

Selasa, 26 April 2016
Media Visit
Metro TV dan Media Indonesia

Kamis, 28 April 2016
Seminar Nasional
dengan pembicara:
– Enda Nasution (CEO Sebangsa)*
– Pepih Nugraha (Pendiri Kompasiana)
– Paulus Widiyanto (Mantan Anggota DPR)*
– Judhariksawan (Ketua KPI)
– Teguh Wicaksono (Partnership Manager Twitter), dll!

Harga tiket termasuk goodie bag + sertifikat + makan siang (1 paket McD):
Seminar Rp 35.000
Training (+ seminar) Rp 70.000
Media Visit (+seminar) Rp 85.000
Full Package (Training, Media Visit, Seminar) Rp 115.000
*harga training untuk satu pilihan training penulisan atau news anchor

Pesan tiket sekarang di:
Jd.economica.id (Pembelian Tiket)
Atau hubungi
Astri (0822 1373 3177)
Angi (0838 7120 8805)

Journalist Days

Kategori
Agenda

Intermediate Training LPM Al-Mizan STAIN Pekalongan

Tema : “Kawal Perubahan, Beritakan Kebenaran”
 
Materi:
1. “Karya Tulis Ilmiah” oleh : Muhandis Azzuhri (Dosen STAIN Pekalongan
2. “Indepth News” oleh : Agung Sedayu (Ketua Presedium FAA PPMI)
3. “Media Online” oleh : Rahmat Petuguran (Mudaindonesia.com
 
Pelaksanaan:
Hari/tanggal: Sabtu-Minggu, 16-17 April 2016
Waktu: 08.00 – Selesai
Tempat: Gedung MWC NU Wonopringgo, Kabupaten Pekalongan
Hubungi: Pipit : 085201206070 / Dewi : 0857743077196
Intermediate Training LPM Al-Mizan STAIN Pekalongan
Intermediate Training LPM Al-Mizan STAIN Pekalongan
 
Kategori
Agenda

Seminar Nasional dan Launching WEB PPMI Dewan Kota Surabaya

Tema: Kreatif dengan Media Online Menuju Jurnalisme Ideal

Pemateri: Adrianus Adhi (AJI Surabaya) dan Kholid Rafsanjani (Koordinator BP Media PPMI Nasional

Susunan Acara:

–          Seminar

–          Persma Show

–          Bincang Pers Mahasiswa

Waktu: Sabtu, 23 April 2016

Tempat: Kampus STIE Perbanas

HTM: 10.000

Fasilitas: Snack, Drink, Sertifikat, Stiker, dan dapatkan Doorprize.
Pendaftaran dibuka mulai 7 sampai 21 April

Prosedur Pendaftaran:

Kirim sms dengan format

Nama_Instansi_Jurusan_Semester

Ke salah satu nomor berikut ini

Anom: 0857 4810 2548
Iqbal: 0857 0795 5552

Acara ini didukung oleh:

LPM Fiducia

PPMI Nasional

Aliansi Jurnalistik Independen

Media Partner:

PERSMA.org

Instagram: @ppmisurabaya

Facebook: PPMI Dk Surabaya

Kategori
Diskusi

Perlukah Pers Mahasiswa Berharap Pada Dewan Pers?

“Karena melalui pers yang merdeka itu, setiap orang dapat menggunakan pers sebagai wadah untuk menyampaikan harapan-harapannya, keluhannya, protesnya, sehingga dapat diketahui oleh publik.”

Bagir Manan, Ketua Dewan Pers periode 2013-2016

Yosep Adi Prasetyo terpilih menjadi Ketua Dewan Pers Periode 2016-2019. Masyarakat, terutama jurnalis, berharap Dewan Pers terus menjaga ruang kemerdekaan pers di Indonesia. Harapan pada sosok yang akrab disapa Stanley ini tentu juga merupakan harapan aktivis pers mahasiswa.

Sekretaris Jenderal Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI), Abdus Somad pun berharap lembaga pers mahasiswa di seluruh perguruan tinggi di Indonesia, ikut merasakan angin segar. Ia berharap, di tangan Ketua Dewan Pers yang baru tersebut Pers Mahasiswa mendapatkan perhatian, terutama saat ditekan oknum di luar redaksi.

Ada satu alasan kuat yang membuat Somad menaruh harapan itu di pundak Stanley. Yaitu, maraknya kasus yang menimpa Pers Mahasiswa, yang selama ini belum mendapatkan perhatian khusus dari Dewan Pers. Di samping itu, Somad menilai Dewan Pers belum mampu melakukan upaya kongkrit dalam menyelesaikan sengketa pers yang dihadapi Pers Mahasiswa.

Terhitung mulai tahun 2014 hingga 2015, PPMI Nasional mencatat tujuh kasus yang menimpa Pers Mahasiswa. Kasus tersebut berupa intimidasi, diskiriminasi, pelecehan, sensor, pelarangan diskusi film, sampai pada pembredelan majalah serta pembekuan pers mahasiswa secara kelembagaan.

Di titik ini, Somad nampaknya merasa bingung untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut. Satu-satunya alat penyelesaian sengketa pers, yakni Undang-Undang Pers nomor 40 tahun 1999, dinilai tak mengakui keberadaan Persma. Sehingga wajar jika Pers Mahasiswa digugat di wilayah pemberitaan, baik di internal kampus maupun di luar kampus, tidak bisa diselesaikan menggunakan perundangan tersebut.

Berangkat dari kegelisahan Somad—akankah Pers Mahasiswa dapat perhatian serius dari pimpinan baru Dewan Pers? Saya turut mengajukan sebuah pertanyaan serupa: Maukah Dewan Pers mencurahkan perhatiannya kepada Persma? Pertanyaan ini saya kira perlu, mengingat Pers Mahasiswa bukanlah jurnalis profesional yang berada dalam payung perusahaan, meski kerja jurnalistiknya pun sudah selayaknya jurnalis profesional.

Ada secercah kebahagian saat membaca tulisannya Somad yang mengutip hasil wawancara dengan Stanley. Setidaknya, saya membaca gelagat bahwa Dewan Pers akan memberikan perhatian kepada Pers Mahasiswa. Karena bagi Stanley, Pers Mahasiswa ikut merawat Indonesia. “Pers Mahasiswa sebetulnya punya sejarah panjang yang penting dalam menumbuhkan demokrasi di negeri ini,” kata Stanley.

Pernyataan Stanley itu tidak lantas membuat saya berhenti bertanya. Apa jaminannya agar saya merasa bahwa Dewan Pers benar-benar memberi perhatian kepada Pers Mahasiswa? Jika pada akhirnya berstatus sebagai bukan bagian dari pers, sehingga awak Pers Mahasiswa tak ada bedanya sebagai pelapor kejadian. Bukan sebagai jurnalis.

Saya berharap kedudukan Pers Mahasiswa dan jurnalis profesional di mata Stanley sama, sebagai elemen pers di Indonesia. Sangat diperlukan bentuk kongkrit perhatian Stanley selaku Ketua Dewan Pers yang baru kepada Persma. Sebagaimana marak terjadi, Pers Mahasiswa juga rawan mendapat perlakuan diskriminatif, baik oleh pimpinan kampus maupun pemerintahan.

Bentuk kriminalisasi yang saya khawatirkan terjadi, misalnya, Persma “meminta” dana penerbitan majalah atau kegiatan lainnya. Pihak penguasa kampus bisa saja menangguhkan permintaan itu. Misalnya dengan cara menggugat konten pemberitaan di media Pers Mahasiswa. Kemudian saat tahu konten pemberitaan Pers Mahasiswa dapat mengancam nama baik kampus, pimpinan kampus bisa saja mengkriminalisasi Pers Mahasiswa dengan tudingan pencemaran nama baik.

Sambil lalu menunggu kerja Dewan Pers, aktivis Pers Mahasiswa justru mencari bantuan ke lembaga lain. Misalnya selama ini yang turut andil menyelesaikan kasus-kasus yang menimpa Pers Mahasiswa bukan dari Dewan Pers, melainkan dari lembaga dan perkumpulan lain, seperti lembaga bantuan hukum, Aliansi Jurnalis Independen, Forum Alumni Pers Mahasiswa, dan jaringan sesama pers mahasiswa.

Kalaupun tetap berharap pada Dewan Pers, seharusnya ada nota kekesepakatan yang ditandatangani antara PPMI dan Dewan Pers. Dalam nota kesepakatan itu dicantumkan pula bentuk kongkrit perhatian Dewan Pers kepada Persma, seperti turut mengadvokasi atau memediasi kasus yang ditimpa Pers Mahasiswa, menjamin kebebasan pers bagi Pers Mahasiswa, dan sebagainya.

Semoga kita semakin giat merawat kebersamaan dan semangat  juang Pers Mahasiswa. Ingat, Pers Mahasiswa tetap ada karena berjejaring dan saling menguatkan.

Kategori
Diskusi

Polisi Harusnya Piknik ke Pulau Buru

Badrodin Haiti sepertinya harus mengajak anak buahnya berpiknik. Mengajak kawan-kawan polisi berpiknik adalah usulan baik daripada menyarankan mereka membaca Dalih Pembunuhan Massal karya John Roosa atau Diburu di Pulau Buru karya Hersri Setiawan.

Dengan berpiknik, pikiran menjadi ringan. Pikiran akan menjadi berat bila usai membaca buku sarat fakta sejarah. Apalagi fakta-fakta sejarah yang menyoal tragedi kemanusiaan, dijamin moral akan semakin terbebani. Mengingat beban moral pekerjaan kawan-kawan polisi begitu memberatkan, maka menyarankan berpiknik dirasa lebih mulia daripada membaca buku.

Dimohon agar Kapolri segera menginstruksikan anak buahnya berpiknik. Kalau perlu dibikinlah surat edaran kepada ormas-ormas fasis bahwa pihak kepolisian tidak akan melayani laporan dari ormas fasis apapun karena sedang ada agenda piknik akbar. Bila nanti ada acara-acara kebudayaan terancam digrebek ormas fasis, biarlah orang-orang waras pemberani yang akan menghadapinya.

Semoga setelah berpiknik ria, kawan-kawan polisi semakin cerdas dan bernyali menghadapi geng fasis!

Adalah kemuakan yang kian mengganjal perasaan orang-orang waras di negeri ini akibat terus dipaksa menyaksikan geng-geng fasis berulah dengan asyiknya. Kita semua dipaksa menjadi pelupa. Bila perlu sekalian buta, tuli, dan gagap bicara.

Sementara pemerintah terus berkhotbah supaya kita mampu bersaing menghadapi Pasar Bebas Asia Tenggara. Tak mau ketinggalan, aparat-aparatnya pun membual kemuliaan bela negara. Apa kita mau fokus menghadapi bangsa asing sebagai upaya bela negara sedangkan menghadapi kaum fasis lokal saja tidak becus?

Setelah sekian kali mengetahui kabar pelarangan dan pembubaran terhadap acara yang menghadirkan konten-konten wacana tragedi ’65, maka tidak terlalu mengejutkan ketika mengetahui kabar pemutaran film Pulau Buru Tanah Air Beta karya Rahung Nasution batal terlaksana di Goethe Institute, Jakarta. Polsek Menteng mengimbau agar acara tersebut segera dibatalkan lantaran akan ada aksi penentangan dari ormas fasis.  Kejadian sial pada Rabu, 16 Maret 2016 sore itu menandakan bahwa otoritas negeri ini lebih memilih melayani kepentingan ormas fasis daripada melindungi hak-hak asasi orang-orang waras yang peduli terhadap nasib sejarah bangsa dan keadilan kemanusiaan. Maka bangunkanlah pemerintah jika suatu hari nanti masih mengigau soal penegakan HAM bagi warga negaranya!

Beberapa pekan sebelumnya, panitia Belok Kiri.Fest tertimpa kesialan serupa. Sehari sebelum pembukaan acara, mereka mendapat gangguan izin agar tidak melangsungkan festival tersebut di Taman Ismail Marzuki (TIM). Pihak kepolisian berdalih bahwa acara tersebut belum memperoleh izin padahal panitia telah mengirimkan surat permohonan jauh-jauh hari. Usut punya usut, ternyata pihak kepolisian lebih menuruti kemauan pihak ormas fasis agar acara tersebut batal terlaksana. Setidaknya, ormas fasis sudah bisa menyeringai licik mengetahui bahwa pelaksanaan kegiatan tersebut mendapat sedikit kendala. Itulah kerjaan setan!

Hari ini, ormas fasis seakan menjadi warga negara istimewa. Aparat negara semacam polisi dengan gampangnya mengafirmasi kepentingan politik mereka. Disinyalir kepentingan elite penguasa antidemokrasi turut menunggangi setiap gerak langkah bajingan-bajingan fasis tukang gerebek itu. Tidak lain karena wacana pelurusan sejarah, pembongkaran tragedi, dan penegakan HAM sanggup menjungkalkan para elite antidemokrasi dari kursi kekuasaan. Konflik memang sengaja diciptakan antarsesama sipil. Ormas fasis diberdayakan sebagai pasukan tempur sedangkan aparat selalu siap sedia menjadi partner baginya.

Legitimasi penyerangan terhadap setiap agenda pewarasan sejarah ialah bahwa di balik agenda tersebut terselip paham yang diyakini bersifat merusak moral bangsa. Tentunya paham mana lagi kalau bukan komunisme. Barangsiapa mengundang publik untuk mengkaji ulang tragedi ’65 dan mempedulikan nasib korban-korban yang dicap komunis, maka tak segan-segan geng fasis mencap mereka yang waras sebagai antituhan. Antituhan berarti perbuatan tidak baik. Lalu mereka yang waras akan dicurigai membangkitkan lagi hantu komunisme di bumi pertiwi untuk membalas dendam; mencipta pertumpahan darah. Klaim semacam inilah yang menjadi provokasi andalan menebar kebencian kepada mereka yang dicap komunis atau kiri tanpa mau membaca literatur kekirian sekalipun.

Padahal jika kita memakai akal sehat dalam mengkaji tragedi ’65, konflik berdarah tersebut tercipta lantaran konstelasi politik sedang memanas. Banyak pihak terlibat di dalamnya selain beberapa tokoh PKI. Konflik internal di dalam tubuh TNI turut memantik gerakan penculikan jenderal-jenderal di Jakarta. Di saat posisi Soekarno makin terjepit, Soeharto mengomandoi rombongan militer versinya berusaha untuk merebut kursi kekuasaan dengan bermodal “supersemar”. Orde Lama dikebiri, lalu mulailah pembantaian kepada orang-orang yang dicap komunis.

Buku Dalih Pembunuhan Massal karya John Roosa bisa menjadi bacaan ideal untuk mengungkap asal mula tragedi ’65 dan pembantaian setelahnya, siapa saja pelakunya, siapa tokoh yang diuntungkan karena tragedi tersebut, pula bagaimana Soeharto membangun monumen-monumen yang menjustifikasi kebiadaban komunisme. Bahkan literatur Manifesto Komunis karya Marx dan Engels tidak sekalipun menyebutkan bahwa membunuh para jenderal sebagai metode revolusi.

Lantas logika setan macam apa yang menganggap bahwa komunis adalah penjahat, mengkaji wacana progresif kiri sebagai antituhan, dan mempedulikan korban-korban pelanggaran HAM dari tragedi ’65 sebagai komunis-komunis baru?

Entah membaca teori-teori politik Niccolo Machiavelli atau tidak, yang jelas klan-klan fasis yang membenalu di negara ini tengah mempraktikkan kekuasaan secara licik nan lihai. Politik wacana dipermainkan bahwa mereka akan melindungi segenap rakyat dari keberingasan hantu komunisme. Alat-alat kekuasaan macam aparat dan ormas fasis disiagakan sebagai dukun pengusir roh-roh jahat komunisme yang konon katanya akan bangkit bergentayangan.

Bila aparat negara dan ormas fasis begitu kompaknya menghalalkan represivitas, apa lebih baik kita mempercayakan penjaminan hukum atas HAM kepada polisi? Atau lebih baik kita beramai-ramai membuka sumbang dana masyarakat kepada Polri agar bisa membiayai kawan-kawan polisi berpiknik ke Pulau Buru? Usulan kedua jauh lebih mulia dan bisa diterima daripada menyumbang buku-buku sejarah dan literatur kekirian untuk dibaca kawan-kawan polisi.

Penegak Hukum Bukan Pembela Fasis

Kasus-kasus pencekalan yang telah disebutkan sebelumnya adalah bukti bahwa kepada siapa aparat penegak hukum kekinian berpihak. HAM yang menjadi tujuan kenapa hukum ditegakkan tidak lagi menjadi landasan moral untuk mengayomi. Moral hukum kekinian yang menjadi andalan penguasa ialah bagaimana mencap sekelompok warga negara sebagai orang-orang yang memiliki kesalahan fatal terhadap negara akibat aktivitas politik atau kebudayaannya di masa lalu. Ini diberlakukan kepada para mantan tapol Pulau Buru, aktivis Lekra, dan mereka yang dicap komunis. Penegakan HAM seakan tidak berlaku bagi mereka.

Selama kaum fasis bekas klan Orde Baru masih membenalu dalam kekuasaan negara, kemungkinan besar alat-alat penegak hukum sudah dimodifikasi sedemikian rupa agar tidak menjegal kangkangan kuasa mereka. Tidak cukup aparat, kalau bisa merekrut warga sipil untuk difasiskan ke dalam ormas maupun organisasi paramiliter. Memainkan konflik sipil versus sipil, lalu klan oligarki sibuk menghantam klan oligarki lainnya.

Lagi-lagi harus mengutip konsep kekuasaan N. Machiavelli. Analogikan saja ormas fasis tersebut sebagai “tentara bayaran” yang dimaksud dalam buku The Prince. Dikonsepkan bahwa penguasa semestinya lihai dalam mengelola pasukan. Tentara bayaran merupakan jenis pasukan yang sewaktu-waktu bisa digunakan penguasa. Pasukan bayaran memang tidak terlalu setia kepada negara, namun dengan bayaranlah mereka mau bermilitan ria menjadi tameng si penguasa. Kalau dalam buku tersebut, disebutkan bahwa tentara bayaran bisa digunakan dalam berperang untuk menghadapi negara musuh. Namun “musuh” si penguasa di negeri ini tidak harus didefinisikan sebagai orang dari negara lain. Warga domestik pun asal berpotensi menjungkalkan penguasa dari kursinya, bisa dijadikan musuh negara yang wajib diserang tentara bayaran (ormas fasis). Terlebih lagi, dalam catatannya, Machiavelli menyarankan agar bisa menguasai hukum suatu negara maka bikinlah sindikasi oligarki dalam penegakan hukum. Walau belum tentu aparat dan ormas fasis sempat membaca The Prince, tapi setidaknya mereka sudah lihai dalam praktiknya.

Dalam praktik penegakan hukum macam itu, jelas-jelas kepolisian mengkhianati marwah hukumnya sendiri. Dari sekian banyak pasal, bisa dikutip pasal 1 dan 13 No. 22/2012 Tentang Kepolisian bahwa tugas-tugas polisi ialah mengayomi, melindungi, dan menjaga keamanan masyarakat. Menuruti tuntutan pelarangan sebuah acara dari ormas fasis adalah tindakan yang tidak melindungi hak-hak berekspresi sekelompok masyarakat. Bahkan cenderung melestarikan ketidakamanan terhadap mereka yang bernegara secara waras. Dengan begitu, ormas fasis semakin percaya diri untuk mengancam siapapun yang mereka mau.

Bisa dinyatakan bahwa kepolisian mengafirmasi pembenaran kaum fasis di negeri ini. Siapapun yang membela korban pelanggaran HAM, menuntut hak atas hidup, atau meluruskan tragedi sejarah langsung kena cap kiri-komunis. Kemudian yang berlabel kiri atau komunis, halal hukumnya untuk diserang dan dicederai. Sungguh pengecapan yang keji supaya ormas fasis semakin jumawa akan pembenarannya dan klan oligarki bisa terus mengangkang. Kelakuan kepolisian yang terekspos dalam kasus-kasus pencekalan acara merupakan simbol bahwa penegak hukum hari ini begitu siap siaga membela kaum fasis nan oligarkis.

Segera Berpiknik!

Tampaknya cukup untuk membongkar kenapa yang fasis teristimewa haknya di negeri ini sekarang. Kembali lagi membahas usulan dasar dari propaganda ini bahwa kawan-kawan polisi seharusnya berpiknik: ke Pulau Buru!

Soekarno pernah bilang, “jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”. Piknik ke Pulau Buru nantinya bisa jadi piknik ke laboratorium sejarah bagi kawan-kawan polisi. Kalau bingung mencari pemandu study tour,  kalian bisa mengajak Hersri Setiawan sekaligus Rahung Nasution yang lebih paham sejarah. Diburu di Pulau Buru dan Dalih Pembunuhan Massal bisa menjadi buku panduan study tour kawan-kawan polisi. (Oh ya maaf, berdasarkan saran di awal propaganda ini dituliskan bahwa kawan-kawan polisi tidak perlu membaca buku, nanti malah pikniknya jadi enggak asyik).

Hersri menceritakan dalam bukunya bahwa para tapol saat itu bekerja mati-matian membangun sawah dan ladang namun mereka tidak bisa menikmati hasil kerja kerasnya. Di bawah pengawasan ketat militer, mereka sehari-hari bertahan hanya dengan memakan singkong. Ada beberapa rekannya yang tewas akibat bunuh diri dan menderita penyakit. Memoar-memoar tertulisnya menjadi rekam sejarah yang bisa dipelajari generasi kekinian bahwa kejadian tidak manusiawi pernah menimpa segelintir anak bangsa ini. Bila kawan-kawan polisi ternyata memiliki hasrat kuat untuk membaca memoar-memoar tersebut, tak apalah membacanya sambil berpiknik tapi hati-hati lho nanti malah jadi pemikir tragedi.

Mampir juga ke Desa Savanajaya yang menjadi lumbung padi di sana. Itulah bukti nyata kerja keras para tapol yang dituduh komunis. Sungguh hasil kerja keras mereka begitu berguna bagi sesama manusia dibanding kerja ormas fasis yang sukanya mengumpat orang lain sebagai “komunis”.

Jangan lupa di sana bikin party di tepi pantai dengan menu singkong sebagai camilannya. Putarlah lagu-lagu karya Homicide sebagai pengiring pesta. Nyanyikan bersama-sama dengan kompak dan keras lantunan lirik lagu Puritan.

“Fasis yang baik adalah fasis yang mati…

Fasis yang baik adalah fasis yang mati…

Fasis yang baik adalah fasis yang mati…

Tunggu di ujung jalan yang sama saat kalian mengancam kami!”

Seusai berpiknik dan mulai paham sejarah, kembalilah bekerja mengabdi pada nurani!

Kategori
Diskusi

Di Tangan Pemimpin Baru Dewan Pers, Akankah Pers Mahasiswa Dapat Perhatian Serius?

sumber: http://i67.tinypic.com/2mzmm9z.jpg

Pada Rabu 23 maret 2016 mungkin merupakan momentum yang sangat bahagia bagi Yosep Adi Prasetyo, atau yang sering disapa Stanley. Yap, betul sekali, beliau dipilih sebagai ketua Dewan Pers periode 2016-2019 menggantikan Bagir Manan yang telah menjabat dua periode. Stanley merupakan alumnus  Universitas Kristen Setya Wacana (UKSW) Salatiga yang senantiasa memperjuangkan ketidakadilan dan kebebasan berpendapat, untuk mewujudkan negara yang demokratis.

Sumber: http://i64.tinypic.com/1zgxc38.jpg

Kepemimpinan baru  tentu sangat identik dengan semangat baru, hal ini tidak bisa dilewatkan begitu saja oleh pers mahasiswa (Persma) dalam melihat masa depannya di era kepemipinan Dewan Pers yang baru. Lantas apa korelasinya antara ketua Dewan Pers yang baru dengan nasib Persma? Akankah awak Persma dapat menjadi jurnalis, layaknya jurnalis profesional yang dapat melakukan reportase dengan bebas? Ini sebuah pertanyaan yang menarik untuk diulas. Namun sebelum memberi ulasan, mari kita menikmati kopi sejenak sebelum melihat resolusi yang akan dilakukan oleh Stanley pada Persma.

Memandang persoalan Persma, berarti memadang pula masa depan para jurnalis. Sebab persoalan Persma bukan hanya berbicara soal institusi pendidikan di dalam kampus, melainkan semangat dalam merubah keadaan dan mengontrol kebijakan-kebijakan yang merugikan masyarakat. Seperti yang kita ketahui bersama dalam sejarah perjalanan Persma, keberadaannya terciptakan karena keberanian dalam meperjuangkan dan menegakkan kebenaran. Untuk itu, memperhatikan Persma  akan menemukan gambaran bagaimana jurnalisme di indonesia yang akan datang.

Seperti yang kita ketahui bersama, Persma sering kali mendapat perlakuan yang tidak adil oleh institusi perguruan tinggi. Ketidakadilan yang senantiasa menyelimuti perjalanan Persma dalam melakukan kerja-kerja jurnalistik yang pada akhirnya membuat awak Persma banyak terbebani, bahkan tekanan batin yang berujung paranoid pada dirinya sendiri.

Ada beberapa persoalan yang membelenggu Persma kini, mulai dari persoalan kekerasan sampai pembungkaman Persma. Sejauh yang saya pahami, hal ini belum mendaptkan perhatiaan khusus oleh Dewan Pers, pada tahun 2014-2015 Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Nasional Mendata ada 7 kasus yang terjadi di tubuh Persma. Kasus tersebut diantaranya berupa intimidasi, diskiriminasi, pelecehan, sensor, pelarangan diskusi dan pemutaran film, sampai pada pembredelan majalah serta pembekuan lembaga Persma.

Tentu saja hal tersebut kurang mendapatkan perhatian oleh Dewan Pers, bahkan belum mampu melakukan upaya kongkrit dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi Persma. Tentu saja hal tersebut bukan tanpa alasan, lagi- lagi yang menjadi alat penyelesaian sengketa pers adalah Undang-Undang Pers No 40 tahun 1999. Jelas sudah jika dalam UU tersebut tak mengakui keberadaan Persma. Sehingga jika persma bermasalah baik di internal kampus maupun di luar kampus tentu tidak bisa menggunakan UU tersebut.

Persma Semakin Berkembang, Namun Sering Dipermasalahkan

Menyaksikan fenomena Persma saat ini, kita akan menyaksikan kemajuan yang cukup pesat di tubuh Persma, mereka mulai berbondong-bondong memanfaatkan teknologi seperti halnya mengkonversi dari media cetak ke media online. Dalam catatan Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Nasional Kurang lebih media online Persma kini sudah mencapai 200 portal media online.  Persma akhirnya mulai menemukan identitasnya, seperti tidak memberitakan isu-isu yang ada di dalam kampus saja, melainkan juga isu yang berada di luar kampus. Ini bisa menjadi pertanda, jika suatu saat nanti Persma akan menjadi salah satu sumber informasi yang dapat dipercaya dan terverifikasi.

Namun ada beberapa permasalahan yang belum juga bisa terselesaikan dalam tubuh Persma. Dalam diskusi yang oleh lakukan oleh Persma di Yogyakarta, dengan mencoba membedah persoalan media online Persma, ternyata permasalahan media online kedepannya bisa menjadi sebuah persoalan yang sangat serius. Hal itu bisa dilihat dari keberadaan UU yang tidak memberikan ruang gerak yang bebas kepada awak  Persma dalam melakukan kerja-kerja jurnalistik, seperti UU ITE. Kasus ini bisa dilihat dari awak Persma Didaktika yang dilaporkan oleh salah satu Dosen UNJ karena dirasa mencemarkan nama baik sang dosen.

Tak hanya itu, dalam melakukan reportasenya Persma masih dianggap sesuatu hal yang remeh oleh narasumber, alasannya hanya satu, Persma dipandang sebuah media yang hanya fokus untuk memberitakan informasi seputar kampus, jadi tidak bisa memberitakan isu luar kampus. Sehingga jika ada Persma yang mau melakukan reportase terkait dengan kebijakan Pemerintah ataupun apparatus Negara seringkali mendapat kesulitan untuk memperoleh informasi.

Awak persma bahkan sering disuruh untuk membuat surat terlebih dahulu sebelum mewawancarai narasumber yang ditujukan kepada pimpinan perusahaan, institusi perguruan tinggi serta para pejabat-pejabat daerah andai ingin melakukan wawancara. Jika tidak ada surat, maka tidak diterima untuk wawancara, kalaupun sudah menyertakan surat harus menunggu lama. Saya tidak habis pikir kenapa perlakuan kepada Persma berbeda dengan pers pada umumnya.  Ini  adalah sebuah fenomena, ternyata Persma belum bebas dalam mendapatkan dan menyampaikan informasi kepada masyarakat. Kita memang pantas bertanya, di mana posisi kebebasan pers bagi Persma?

Selain itu, ada pula persmasalahan awak reporter Persma yang seringkali mendapat tindakan kekerasan, seperti intimidasi, diskriminasi, dan Drop Out (DO). Kasus intimidasi adalah kasus yang paling sering dialami oleh awak persma, data sementara yang tercatat di PPMI sebanyak 22 kasus intimidasi yang dialami oleh persma. Saya memandang nampaknya masih banyak kasus intimidasi yang terjadi pada awak persma, hanya saja belum berani mengungkapnya. Semoga awak persma yang mengalami intimidasi segera membuka diri. Saya menyadari masih ada ketakutan bagi awak persma untuk terbuka akan kasus yang dialami. Untuk itu, mungkin awak persma yang mengalami tindakan kekerasan bisa melaporkan ke PPMI ataupun organisasi Jurnalis yang lain.

Dalam setiap kasus yang terjadi, ternyata kebanyakan semua itu dilakukan oleh birokrat kampus di dalam institusi Pendidikan Tinggi. Setiap ada pemberitaan yang dirasa menjelekan kampus, birokrat kampus merespon dengan tindakan yang yang berlebihan, seperti melakukan intimidasi dan memanggil penulis kemudian menghimbau agar menghapus berita yang dianggap menjelekkan kampus.

Ada pula kejadian dimana awak Persma diancam oleh pihak luar, seperti saat melakukan peliputan isu-isu sensitif seperti penambangan. Awak Persma dipaksa untuk tidak mendokumentasikan hasil penambangan dengan cara mengambil memory card dari camera reporter. Ini menjadi persoalan yang sangat serius. Lantas apa yang akan dilakukan oleh Dewan Pers di masa kepemimpinan Stanley  jika melihat permsalahan yang dihadapi Persma?

Saya amat sangat  percaya semangat ketua Dewan Pers yang baru adalah semangat untuk melakukan perubahan dan memperhatikan serius jurnalisme di Indonesia, begitu juga Pers Mahasiswa. Saya sadar jika Abang Stanley lebih menjiwai pers mahasiswa ketimbang awak Persma, seperti apa yang pernah abang Stanley katakan dalam sebuah wawancara di portal Persma.org “Pers mahasiswa sebetulnya punya sejarah panjang yang penting dalam menumbuhkan demokrasi di negeri ini”.

Ditangan Abang Stanley, saya percaya jika keberadaan Dewan Pers adalah sebagai wadah  untuk menjaga dan melindungi kebebasan pers. Untuk itu, saya berharap keberadaan  Pers Mahasiswa agar dapat diperhatian secara serius oleh Dewan Pers agar terciptnya sebuah kemerdekaan pers  bagi Persma, dan tentunya untuk mewujudkan sebuah tatanan demokrasi di negeri kita.

Tentu saya tidak ingin melewatan momentum terpilihnya ketua Dewan Pers yang baru, untuk itu saya mengucapkan selamat atas terpilihya Yoseph Adi Prasetyo sebagai ketua Dewan Pers dan Ahmad Djauhari sebagai Wakil Ketua Dewan Pers. Tentu saja selamat bukan hanya sebatas ucapan, melainkan di dalamnya terdapat sebuah pesan  agar pers mahasiswa dapat dengan bebas menyampaikan informasi kepada masyarakat, kekerasan kepada Persma tidak terulang kembali lagi dan terakhir kebebasan pers dapat berjalan pula di dalam pers mahasiswa. Seperti semangat Dewan Pers dalam menjaga kemerdekaan pers.

Kategori
Agenda

JURACTION: Human Loves Human

Baru-baru ini kota solo dihangatkan dengan adanya berbagai macam kasus terorisme yang memantik berbagai lapisan masyarakat yang menilik dari kewaspadaan di berbagai lapisan masyarakat. Dengan keresahan di dalam masyarakat kami LPM Justissica bersama Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia Dewan Kota Surakarta bekerjasama dengan KontraS untuk mengadakan workshop bersama untuk mengupas tuntas bagaimana Reformasi Keamanan di kota solo yang akan diadakan pada :

Hari/Tanggal       : Sabtu, 26 Maret 2016

Pukul                  : 13.00 WIB

Tempat              : Hall lantai 1 Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta

Selain itu dengan niat untuk mengingatkan Pemuda solo untuk menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dan menyuarakan kebenaran, kami berniat untuk mengadakan aksi bersama berbentuk Pentas Seni yang bernafaskan #HumanLoveHuman pada :

Hari / Tanggal     : Mingggu, 27 Maret 2016

Pukul                  : 14.00 WIB

Tempat              : GOR Kampus 2 Universitas Muhammadiyah Surakarta

pamflet-1