Kategori
Riset

Relevansi dan Tingkat Kepercayaan Publik terhadap Pers Mahasiswa

Pers mahasiswa dinilai ‘masih cukup’ untuk menjadi media alternatif mahasiswa. Hal ini dapat ditunjukan dari penilaian terhadap beberapa aspek, seperti eksistensi, kepercayaan, transparansi, kualitas produk, dll.

Sebelumnya, Tim Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Suara Mahasiswa Universitas Indonesia, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Poros Universitas Ahmad Dahlan, Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa Balairung Universitas Gadjah Mada, dan LPM Progress Universitas Indraprasta (Unindra) telah melakukan survei bertajuk Tingkat Kepercayaan terhadap Pers Mahasiswa. Survei ini dilakukan pada 4 sampai 11 Februari 2022 dengan 165 responden yang berpartisipasi. Adapun, responden ini tidak hanya dari kalangan mahasiswa, tetapi sebagain kecil reponden berasal dari kalangan non-mahasiswa. Hasil survei ini memiliki tingkat kepercayaan 95 persen dengan margin of error sebesar 7.60 persen.

Dalam penelitian ini, Tim Kolaborasi merumuskan beberapa pertanyaan sebagai berikut:

  1. Sejauh mana tingkat kepercayaan mahasiswa terhadap pers mahasiswa?
  2. Bagaimana persepsi mahasiswa terhadap relevansi pers mahasiswa sebagai media alternatif?
  3. Dalam hal apa dan sejauh mana pers mahasiswa memberikan pengaruh bagi wawasan mahasiswa?

Bagaimana hasil selengkapnya dari survei ini, baca selengkapnya pada tautan berikut: https://suaramahasiswa.com/tingkat-kepercayaan-terhadap-pers-mahasiswa-dan-relevansinya-pada-masa-kini

Sumber gambar: Istimewa

Kategori
Agenda

Bincang Virtual: Urgensi Ruang Aman untuk Kebebasan Berekspresi di Lingkungan Akademik

UU No.12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (Dikti) Pasal 14 

Ayat (1), “Mahasiswa mengembangkan bakat, minat, dan kemampuan dirinya melalui kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler sebagai bagian dari proses Pendidikan.”

Akan tetapi, dalam implementasi aturan tersebut masih jauh dari realita yang ada. Berbagai serangan terhadap sivitas dan aktivitas akademik dibiarkan tanpa pertanggungjawaban. Sebagai pers mahasiswa, seringkali mengalami serangan dalam melakukan kerja jurnalistiknya. 

Oleh karena itu, BP Litbang PPMI Nasional mengadakan Bincang Virtual: Urgensi Ruang Aman untuk Kebebasan Berekspresi di Lingkungan Akademik pada:

Hari/Tanggal: Minggu, 5 Maret 2023

Pukul: 16.00-selesai

Tempat: Live Instagram @persmahasiswa

Kategori
Agenda

Klinik Redaksi PPMI: Jurnalisme Investigasi untuk Pers Mahasiswa

Liputan yang berkualitas sejatinya adalah liputan yang berdampak bagi publik. Tentu, liputan ini tidak bisa ditempuh dengan cara-cara biasa alias seperti liputan kilas atau berita straight news, tetapi harus dilakukan dengan jurnalisme investigasi.

Pers mahasiswa–begitu julukan bagi sekelompok jurnalis mahasiswa yang idealis–sudah semestinya menjadikan jurnalisme investigasi untuk menghasilkan berita yang berkualitas cum bermutu. Ada dugaan persekongkolan jahat di perguruan tinggi dan kaitannya dengan menguatnya oligarki yang harus dibongkar. Tidak mudah memang untuk memulai, tetapi tidak ada salahnya mencoba. Kekuatan pers mahasiswa ada di tradisi membaca, berdiskusi, dan menulis.

Karena itulah, Klinik Redaksi PPMI: Jurnalisme Investigasi untuk Pers Mahasiswa bersama Jaring.id/GIJN ini diselenggarakan. Daftar dan ikuti kegiatan ini pada:

Hari/Tanggal: Rabu, 08 Maret 2023

Pukul: 18.30 WIB-selesai

Tempat: Ruang Virtual Zoom

Registrasi: http://bit.ly/KlinikRedaksiInvestigasiPPMI

Terima kasih. Salam pers mahasiswa!

Kategori
Agenda

Klinik Advokasi PPMI: UU Pers dan Mitigasi Risiko untuk Pers Mahasiswa

Meski ada banyak kasus represi yang dialami pers mahasiswa, mereka tidak boleh hanya sekadar menjadi humas kampus. Apalagi, sampai berhenti menjalakan fungsi pers di kampus atau di luar kampus. Oleh karena itu, sangat penting bagi pers mahasiswa untuk mahami hak dan kewajiban mereka sebagai pers, terlebih melakukan mitigasi risiko kerja-kerja mereka juga harus dilakukan. Baik mitigasi risiko/ancaman kekerasan fisik, psikososial, atau pun digital.

Daftar dan ikuti kegiatan Klinik Advokasi Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia ini pada:

Hari/Tanggal: Rabu, 01 Maret 2023

Pukul: 18.30 WIB-selesai

Registrasi: bit.ly/IkutKlinikAdvokasiPPMI

Narahubung: 082397140215 (Aksan-BP Jaker PPMI Nasional)

Kategori
Agenda

Parade Konflik Agraria: Pers Mahasiswa Bisa Apa?

Konflik agraria yang mencuat akhir-akhir ini harus segera disikapi. Pers mahasiswa sudah semestinya melayani kepentingan publik dan kelompok tertindas. Selain menjalankan fungsi pers, pers mahasiswa sudah selayaknya menjalankan fungsi advokasi. 

Daftar dan ikuti kegiatan Bincang Advokasi Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) ini pada: 

Hari/Tanggal: Minggu, 26 Februari 2022

Pukul: 18.30-selesai

Registrasi: bit.ly/IkutBincangAdvokasiPPMI

Narahubung: 

082397140215 (Aksan-BP Jaringan Kerja PPMI Nasional)

Kategori
Agenda

Bagaimana Meliput Isu Perempuan dan Kelompok Rentan?

Meliput isu perempuan dan kelompok rentan tidak sekadar reportase, menulis, dan memberitakan. Jurnalis—dalam hal ini Pers Mahasiswa—harus memiliki perspektif dan keberpihakan, terutama terhadap kelompok rentan. 

Dalam catatan PPMI, masih ada pers mahasiswa yang memberitakan kelompok rentan dengan judul dan yang memicu diskriminasi dan kekerasan. Fenomena ini jelas tidak boleh dibiarkan. Oleh karena itulah, acara ini dilaksanakan. 

Daftar dan ikuti kegiatan Klinik Redaksi Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) ini pada: 

Hari/Tanggal: Jumat, 24 Februari 2022

Pukul: 18.30-selesai

Registrasi: bit.ly/DaftarKlinikRedaksiPPMI

Narahubung:  082397140215 (Aksan-BP Jaringan Kerja PPMI Nasional)

Kategori
Agenda

Bincang Advokasi: Pers dan Aktivisme Mahasiswa

Konsolidasi elite sudah masuk ke ruang akademik alias kampus. Ancaman terhadap kebebasan akademik dan menguatnya oligarki kian nyata. Bagaimana pers mahasiswa–kerja pers dan aktivisme mahasiswa–mengambil peran?

Meski ada banyak kasus represi yang dialami pers mahasiswa, mereka tidak boleh hanya sekadar menjadi humas kampus. Sebab, masalah jurnalistik tidak sekadar mencari, menulis, dan mengedarkan berita, tetapi ada hak publik untuk mendapatkan informasi di sana. Ada dugaan persekongkolan atas hajat hidup orang banyak yang harus ditelusuri dan dibongkar.

Kegiatan ini akan diselenggarakan pada:

Hari/Tanggal: Sabtu, 18 Februari 2022

Pukul: 18.30-selesai

Registrasi: bit.ly/BincangAdvokasiPPMI

Kategori
Agenda

Klinik Redaksi PPMI: Menjadi Pers Mahasiswa Inklusif dan Membela Kelompok Tertindas

Pers mahasiswa sudah semestinya menjalan fungsi jurnalisme yang ideal, yaitu melayani kepentingan publik. Menerapkan prinsip inklusif di runag redaksi dan ketika melakukan kerja-kerja jurnalistik harus selalu dijunjung dan diutamakan. Kendati demikian, represi karena melakukan peliputan isu sensitif juga menjadi tantangan bagi pers mahasiswa.

Kemudian, terlepas dari kasus represi yang menimpa pers mahasiswa, salah satu penyebab represi tersebut adalah kelalaian dapur redaksi dan minimnya upaya mitigasi yang dilakukan pers mahasiswa. Misalnya, LPM Institut UIN Jakarta yang direpresi lantaran kelalaian untuk tidak melakukan verifikasi dan melanggar prinsip-prinsip jurnalistik dalam melakukan peliputan kekerasan seksual.

Kemudian, baru-baru ini LPM FH Unisi juga menerbitkan artikel yang tidak ramah kelompok rentan. Judul artikel itu adalah LGBTQ: Kebebasan Berpendapat yang Kelewat Batas! Isi dari artikel itu adalah LGBTQ mulai berani tanpa malu memamerkan diri mereka yang kelainan seksual, sehingga sudah sewajibnya mereka dilarang berkembang di negara kebertuhanan ini. Fenomema serupa pernah dilakukan oleh LPM Mercusuar Unair yang melakukan penerbitan artikel yang memicu sekaligus memacu kekerasan terhadap kelompok rentan ini.

Oleh karena itu, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia mengajak Project Multatuli untuk berupaya memberikan pendampingan sekaligus pendidikan jurnalisme yang inklusif dan berpihak kepada kelompok minoritas sekaligus rentan agar kejadian semacam itu tidak terulang melalui program bernama klinik keredaksian ini. Sebab, bagimana pun, pers mahasiswa masih diharapkan publik atas kerja-kerja jurnalistik mereka yang berani bersikap dan membela kelompok tertindas.

Kegiatan ini akan dilaksanakan pada:

Hari/Tanggal: Kamis, 16 Februari 2023

Pukul: 18.30 WIB-Selesai

Tempat: Zoom Meeting/Youtube PPMI Nasional

Kategori
Siaran Pers

Sikap PPMI Nasional Atas Intimidasi yang Dialami Victor Mambor

Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Nasional mengutuk sekaligus mengecam tindakan intimidasi yang dialami jurnalis Jubi, Victor Mambor, pada Senin (23/1/2023) dini hari. Aksi intimidasi tersebut berupa ledakan bom rakitan di sekitar kediamannya di Kelurahan Angkasa Pura, Kota Jayapura.

Sebelum terjadi ledakan, Victor Mambor mengatakan dirinya mendengar suara motor berhenti tepat di samping rumahnya sekitar pukul 04.00 WIT. Tak lama kemudian, motor tersebut beranjak meninggalkan kediamannya dan sekitar satu menit terdengarlah suara ledakan yang memicu kepanikan keluarga Victor Mambor dan sejumlah warga yang masih terjaga di waktu itu.

Semula Victor Mambor mengira suara ledakan itu berasal dari gardu listrik. Namun, dirinya memutuskan beranjak untuk memeriksa keadaan di luar dan menemukan bekas ledakan tidak jauh dari kediamannya.

“Saat terjadi ledakan, dinding rumah bergetar seperti terjadi gempa bumi. Saya pun memeriksa sumber ledakan dan tercium baru belerang yang berasal dari samping rumah. Ternyata terdapat bekas ledakan di jalan yang jaraknya hanya tiga meter dari rumah,” ungkap Victor Mambor.

Setelah dilakukan pemeriksaan melalui bukti kamera CCTV, terlihat sekilas sebuah motor Honda melintas di samping rumahnya beberapa saat sebelum ledakan terdengar persis seperti pengakuannya. Kejadian ini merupakan kedua kalinya bagi Victor Mambor mengalami intimidasi selama menjadi jurnalis. Sebelumnya, Ia sempat mengalami intimidasi berupa pengrusakan Mobil Isuzu D-Max miliknya yang terparkir di samping rumahnya oleh Orang Tak Dikenal (OTK) pada 21 April 2021 lalu. Sayangnya, peristiwa pertama tersebut hingga saat ini belum menemukan kejelasan.

Aksi intimidasi yang dialami Victor Mambor merupakan satu dari banyak kasus yang dialami jurnalis. Tidak hanya jurnalis media arus utama, jurnalis kampus alias pers mahasiswa pun juga dirundung berbagai represi. Catatan PPMI Nasional, pada tahun 2020- 2021 terjadi 185 kasus represi terhadap pers mahasiswa di Indonesia. Fenomena ini jelas menunjukan bahwa kebebasan pers dalam menyampaikan kebenaran bagi jurnalis hanya menjadi kaset rusak.

Dari peristiwa intimidasi Victor Mambor ini, harusnya menjadi peringatan bagi pers mahasiswa di Indonesia. Kalau jurnalis media arus utama saja rentan terhadap kekerasan dan intimidasi, apalagi pers mahasiswa. Sudah saatnya, isu kebebasan dan perlindungan atas kerja pers ini tidak sekadar menjadi isu jurnalis media arus utama, tetapi menjadi isu publik. Isu semua pegiat pers.

Atas fenomena yang dialami Victor Mambor, PPMI Nasional menyatakan sikap seperti berikut:

  • 1. PPMI Nasional mengecam dan mengutuk segala bentuk tindakan yang menciderai nilai-nilai kebebasan pers.
  • 2. PPMI Nasional mendesak pihak berwenang untuk mengusut tuntas peristiwa yang dialami Victor Mambor secara transparan.
  • 3. PPMI Nasional mengajak seluruh pers mahasiswa di Indonesia untuk bersolidaritas terhadap kasus yang dialami oleh Victor Mambor.
  • 4. PPMI Nasional mengajak seluruh pers mahasiswa di Indonesia untuk selalu tanggap dengan ancaman sekaligus risiko atas kerja-kerja jurnalistik dan selalu meningkatkan kapasitas diri sebagai jurnalis yang independen. Terlebih, pers mahasiswa sekarang tidak memiliki jaminan perlindungan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
  • 5. Mendesak Dewan Pers untuk segera mengeluarkan sikap dan regulasi terkait legal standing dan perlindungan terhadap pers mahasiswa.

Narahubung:
Badan Pekerja Advokasi PPMI Nasional
085607829340 (ADIL Al Hasan)
085783069247 (Naufal F)
Surabaya, 26 Januari 2023
Menyetujui,
Sekretaris Jenderal Nasional
Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia
PRIMO RAJENDRA PRAYOGA

Kategori
Diskusi Esai

ELEGI PERS MAHASISWA: HUJAN REPRESI TANPA PAYUNG REGULASI

Pers mahasiswa masih dihujani represi. Ancaman baru bagi mereka adalah badai cum petir KUHP. Sementara, kondisi ini tanpa kendali payung regulasi.  

Setelah melalui jalan panjang dan aneka bentuk protes sejak 1963, akhirnya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) disahkan menjadi Undang-Undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Selasa, 6 Desember 2022. 

Protes yang terjadi terhadap KUHP yang konon produk terbaik anak bangsa ini bak hujan: datang keroyokan. Elemen masyarakat sipil, termasuk jurnalis juga tidak absen dalam barisan penolak pasal-pasal bermasalah dalam KUHP baru itu, khususnya yang mengancam kebebasan pers. Draf yang dipublikasi pemerintah dan DPR RI pada 4 Juli 2022, secara eksplisit hendak memasukan pers sebagai delik, atau tindak pidana sebagaimana penjelasan Pasal 598 dan meruntuhkan doktrin lex specialis dalam sistem hukum pers. Sederhananya, jurnalis terancam pidana karena penyelesaian sengketa pers tidak lagi menggunakan Undang-Undang Pers.

Pasal “Delik Pers” jelas merupakan ancaman bagi kebebasan pers. Sebab, pasal ini mengonfirmasi pengutamaan mekanisme pemidanaan yang sama sekali tidak menghargai karya jurnalistik. Kajian hukum yang dilakukan AJI Indonesia bersama Akademisi Fakultas Hukum UGM, Herlambang P. Wiratraman, dalam draf versi ini menemukan 19 pasal yang dapat memberangus kebebasan pers secara langsung

Namun dalam draf RKUHP versi 9, 28 sampai 30 November 2022, tidak mengalami perubahan berkaitan dengan ancaman kebebasan pers. Hanya ada dua pasal yang dihapus, yaitu Pasal 351 (berubah jadi Pasal 347) dan Pasal 352 (berubah jadi Pasal 348) yang mengatur pidana atas penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara. 

Kendati demikian, masih ada 17 pasal yang bermasalah berkaitan dengan ancaman kebebasan pers. Adapun, pasal-pasal bermasalah itu, di antaranya: 

• Pasal 188 yang mengatur tentang tindak pidana penyebaran atau pengembangan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.

• Pasal 218, Pasal 219 dan Pasal 220 yang mengatur tindak pidana penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden.

• Pasal 240 dan Pasal 241 yang mengatur tindak pidana penghinaan terhadap Pemerintah atau lembaga negara.

• Pasal 263 yang mengatur tindak pidana penyiaran atau penyebarluasan berita atau pemberitahuan bohong.

• Pasal 264 yang mengatur tindak pidana kepada setiap orang yang menyiarkan berita yang tidak pasti, berlebih-lebihan, atau yang tidak lengkap.

• Pasal 280 yang mengatur tentang gangguan dan penyesatan proses peradilan.

• Pasal 302 (berubah jadi Pasal 300), Pasal 303 (berubah jadi Pasal 301) dan Pasal 304 (berubah jadi Pasal 302) yang memuat tentang tindak pidana terhadap agama dan kepercayaan.

• Pasal 351 (berubah jadi 347) dan Pasal 352 (berubah jadi Pasal 348) yang mengatur tentang penghinaan terhadap kekuasaan Umum dan Lembaga Negara telah dihapus, namun masih ada Pasal 240 yang mengatur penghinaan terhadap pemerintah.

• Pasal 440 (berubah jadi Pasal 436) yang mengatur tindak pidana penghinaan ringan.

• Pasal 437 (berubah jadi Pasal 433) mengatur tindak pidana pencemaran.

• Pasal 443 (berubah jadi Pasal 439) mengatur tindak pidana pencemaran orang mati.

• Pasal 598 (berubah jadi Pasal 594) dan Pasal 599 (berubah jadi Pasal 595) mengatur tindak pidana penerbitan dan pencetakan.

Persma, KUHP, dan Urgensi Perlindungan Hukum

Sebelum adanya KUHP baru yang tampak bengis dan angkuh ini, pers mahasiswa (Persma) sudah dirundung masalah serius, yaitu ketidakpastian hukum. Dalam lingkar Persma, persoalan ini bukan diskursus baru. Bahkan, tiap agenda besar kongres nasional Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) selalu menjadi perdebatan, apakah Persma butuh payung hukum atau dibiarkan saja semacam ini? 

Bagi yang merasa tidak butuh, mereka menganggap aturan yang bakal dijadikan payung hukum Persma hanya menjadi alat kelas. Maksudnya, aturan itu justru akan mengerdilkan posisi Persma sendiri. Namun, kelompok ini juga tidak mengerti harus bagaimana ketika terjadi represi terhadap lembaga atau diri mereka sendiri sebagai awak Persma. Jalan satu-satunya adalah tiarap. 

Sementara itu, bagi yang merasa membutuhkan, payung hukum ini diibaratkan seperti payung atau mantel saat hujan. Kalau ada hujan tanpa payung, kita akan basah (kuyup). Pepatah saja sudah mengingatkan untuk sedia payung sebelum hujan.  

Secara prinsip, kebebasan pers adalah salah satu dari pilar demokrasi, ketika pilar ini diganggu, apalagi hingga rusak, maka demokrasi bisa roboh. Dalam konsiderans UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, disebutkan bahwa pers nasional sebagai komunikasi massa, penyebar informasi, dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan perannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus mendapatkan jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari mana pun. 

Tentu, tulisan ini tidak bisa mewakili perspektif beragam dan penuh warna dari awak Persma di Indonesia. Bukan juga dalam rangka mengemis untuk meminta perlindungan. Kan jaminan perlindungan itu bagian dari hak, bukan? Tulisan saya ini mencoba untuk merefleksikan benang kusut diskursus ini. 

Tidak diakuinya awak Persma atau pun lembaganya di dalam UU Pers, menjadi akar masalah dari rangkaian represi yang dialami Persma. Dalam Pasal 18 ayat 1 UU Pers, disebutkan hanya perusahaan berbadan hukum pers yang mendapatkan ‘fasilitas’ perlindungan. Persma, siapa? Saya tidak menyebut fenomena ini diskriminatif, tetapi selama ini memang tidak ada pengayaan terhadap regulasi ini. 

Padahal, Persma sejauh menjalankan fungsinya sebagaimana diamanatkan dalam UU Pers, Kode Etik Jurnalistik, dan memiliki pertanggungjawaban hukum melalui ruang redaksi yang jelas kelembagaan medianya alias tidak anonim, sudah seharusnya pula tunduk dan dijamin melalui sistem hukum pers (Wiratraman, 2019). 

Kemudian, berbeda soal jaminan perlindungan antara Persma dengan media yang konon terverifikasi itu, ancaman dan risiko yang dihadapi Persma justru sama. Data Litbang PPMI Nasional menunjukkan, pada periode 2020-2021 ada 185 represi yang dialami pers mahasiswa. Jumlah itu naik dari tahun 2017-2019 dengan jumlah 47 kasus.

Bentuk-bentuk represi itu berupa ancaman, intimidasi, UU ITE, KUHP baru, dan sebagainya. Sementara pelaku represi terhadap Persma juga beragam, seperti birokrasi kampus, mahasiswa, aparat keamanan (polisi/TNI), ormas, narasumber, dan lain-lain. Kondisi ini berkaitan dengan aktivitas jurnalistik Persma yang tidak melulu di lingkungan kampus. Beberapa Persma juga melakukan peliputan isu struktural, situasi konflik di daerah, bahkan nasional. 

Terlebih, posisi mereka sebagai pers kampus membuat kerentanan itu semakin paripurna. Sebab, dalam pemberitaan isu kampus, objek yang mereka beritakan terlalu dekat, seperti birokrasi kampus, dosen, lembaga kemahasiswaan, atau mahasiswa. Di beberapa kampus, kantor Persma pun berdampingan atau di dalam satu gedung dengan objek pemberitaan. Dalam lingkup kecil ini, pernah terjadi pada tahun 2020 salah satu awak Lembaga Pers Mahasiswa (LPM)  Progress pernah kena tinju kader HMI yang keberatan dengan isi tulisan. Peristiwa yang sama juga menimpa awak LPM Intelligent yang diteror karena konten tulisan. Meski sudah melapor ke pihak kampus, tetapi laporan itu dibiarkan. Akhirnya untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, awak LPM Intelligent ini memilih untuk pulang kampung selama hampir empat bulan. Selain itu, tahun 2022, kantor LPM Dinamika UINSU juga dirusak orang tidak dikenal. Motifnya diduga kuat berkaitan dengan pemberitaan. 

Represi yang bertubi-tubi tanpa kendali regulasi yang dialami Persma membuat beberapa nyali Persma ciut. Salah satu lembaga pers mahasiswa di kampus Yogyakarta, misalnya, harus tiarap dan tunduk pada rektorat karena pemberitaan kekerasan seksual di kampus. Mereka diintimidasi dan diancam aneka sanksi kalau pemberitaan mereka tidak diturunkan. Ada juga teman saya di salah satu LPM juga trauma sekaligus tidak berani menulis lagi karena pernah direpresi soal pemberitaan skandal penjualan buku dengan ancaman nilai. 

Di sisi lain, beberapa LPM justru melakukan perlawanan balik ketika mereka direpresi. LPM Lintas IAIN Ambon, misalnya, mereka melawan tindakan sewenang-wenang kampus–pembredelan karena pemberitaan dugaan kekerasan seksual di lingkungan kampus– sampai Pengadilan Tata Usaha Negara Ambon. Kendati mereka dibuat gigit jari atas putusan pengadilan. Meski begitu, keberanian melawan hingga awaknya dikriminalisasi dan diskorsing karena memperjuangkan haknya, patut diapresiasi dan didukung.  

Sekali lagi, kasus di atas selain masalah relasi kuasa, juga masalah ketidakjelasan payung hukum Persma. Kekosongan hukum berkaitan dengan legal standing berdampak pada delegitimasi karya jurnalistik yang dihasilkan Persma. Kampus atau orang yang merasa dirugikan atas pemberitaan semakin arogan melakukan tindakan sewenang-wenang. Mekanisme penyelesaian sengketa pers seperti diamanatkan UU Pers tidak pernah dilakukan. Dalam posisi ini karya jurnalistik tidak ada marwahnya sama sekali. 

Sialnya, beberapa sikap yang muncul atas fenomena delegitimasi terhadap karya jurnalistik yang dihasilkan Persma ini adalah fatalisme dan normalisasi. Maksudnya, fenomena ini adalah takdir dan wajar. Kelompok yang bersikap semacam ini, saya menduga, pasti tidak melihat atau mendengar awak Persma yang trauma dan keluar dari LPM karena direpresi. Beban berlapis-lapis antara idealisme pers, risiko, dan “harapan orang tua” membuat banyak awak berguguran dan tiarap ketika direpresi. Imajinasi saya, kalau fenomena ini dibiarkan dan dinormalisasi, esok pagi dan seterusnya tidak ada generasi untuk menjadi jurnalis (kritis). Tentu, kalau sekadar jurnalis “juru tulis” akan ada ribuan tiap tahun dari mahasiswa jurnalistik atau LPM yang kehilangan idealisme.

Kemudian, bayangan paling buruk saya atas masa depan pers di Indonesia adalah pers hanya menjadi juru tulis dan buletin pemerintah. Media sekadar menerbitkan catatan dan rilis pers dari instansi atau perusahaan saja. Tidak ada lagi pendalaman dan reportase yang ketat, karena para awak Persma atau mahasiswa jurnalistik sudah terbiasa dengan aktivitasnya sebagai juru tulis dan bukan humas kampus. Karena itu, jurnalisme berkualitas yang dibanggakan Dewan Pers selaku penjaga kobar api jurnalisme hanya menjadi, semoga tidak, utopia.  

Padahal, masalah jurnalistik tidak sekadar mencari, menulis, dan mengedarkan berita, tetapi ada hak publik untuk mendapatkan informasi di sana. Ada dugaan persekongkolan atas hajat hidup orang banyak yang harus ditelusuri dan dibongkar. Di sinilah jaminan perlindungan bagi Persma saya rasa sangat penting. Tanpa kebebasan dan jaminan perlindungan Persma, peluang terjadinya kesewenang-wenangan di kampus akan lebih besar. Lantaran itu pula, kehidupan sekaligus iklim akademis di kampus yang seharusnya bertanggung jawab dan demokratis akan lemah. Lebih dari itu, generasi jurnalis (kritis) akan semakin banyak tercipta dari Persma. Atau memang ada yang tidak suka dengan para jurnalis (kritis) karena dianggap kerikil dalam sepatu, sehingga fenomena ini dibiarkan? Entah!

Saat ini, persma masuk babak baru. Sudah tidak ada jaminan perlindungan Persma, kini mereka sudah dihadapkan dengan KUHP baru. Ibarat sudah basah kuyup kena hujan represi, kini badai dan petir bernama KUHP mengancam hidup mereka. Persma semakin di ujung jurang. 

Oleh karena itu, sudah saatnya Dewan Pers yang berkewajiban–tidak sekadar mendata dan mencatat perusahaan pers–melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain dan melakukan pengajian untuk mengembangkan kehidupan pers juga melakukan pengayaan dan kajian yang progresif atas UU Pers berkaitan dengan perlindungan dan payung hukum Persma. Alasan kusut dan lusuh bahwa Persma bukan “jurnalis” atau “media tidak terverifikasi” tidak boleh digunakan lagi. Apalagi, hanya menilai dari aspek “perusahaan berbadan hukum pers”, bukan dari segi produk jurnalistik, sungguh, itu dalih yang tidak relevan dan sudah usang.  

Saya yakin Dewan Pers bisa melakukan inovasi progresif berkaitan dengan payung hukum dan situasi Persma dewasa ini. Modalitas simbolik, politik, ekonomi, intelektual yang terbalur di sekujur tubuh lembaga itu harus menyentuh akar masalah Persma. Maksud saya, Dewan Pers tidak boleh lepas tangan atau sekadar cuci tangan dengan membuat program seminar, goes to campus, coaching clinic, atau apapun istilahnya untuk diklaim sebagai wujud peduli terhadap Persma. Apalagi sekadar bertanya kabar, seperti artikel di Buletin Etika milik Dewan Pers Vol. 34 Oktober 2022 berjudul Apa Kabar Pers Kampus? Duh.

Skema Perlindungan Persma

Dalam artikel Herlambang P. Wiratraman di laman persmaporos.com berjudul Persma, Antara Kebebasan Pers dan Akademik telah mengurai persoalan perlindungan Persma ini. Pers mahasiswa yang bekerja menggunakan standar kode etik jurnalistik–bagian dari kebebasan akademik dan pers–justru tidak atau belum mendapat perlindungan dalam sistem hukum pers. 

Dalam sistem hukum Indonesia, ada dua level perlindungan hukumnya, yaitu konstitusi dan perundang-undangan. Secara konstitusi kebebasan akademik bisa dijamin melalui penafsiran meluas atas ketentuan Pasal 28, 28C, 28E, 28F Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. 

Kemudian, secara perundang-undangan, kebebasan akademik bisa dilindungi dengan merujuk pada UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; pasal-pasal dalam UU Nomor 11 dan 12 tentang Ratifikasi Perjanjian Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (terkait atas pendidikan dan mengembangkan ilmu pengetahuan (Pasal 13) dan Hak Sipil dan Politik (Pasal 19). Sementra itu, secara khusus merujuk perlindungannya pada Pasal 8 jis 9 jis 54 (3) dalam UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Kemudian, dalam UU Dikti tersebut diklasifikasi menjadi tiga, yaitu kebebasan akademik, mimbar akademik, dan otonomi keilmuan. 

Berdasarkan UU tersebut, kebebasan akademik didefinisikan sebagai kebebasan Sivitas Akademik dalam Pendidikan Tinggi untuk mendalami dan mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi secara bertanggung jawab melalui pelaksanaan Tridharma (pasal 9 ayat 1). Pasal ini, sekalipun terbatas, pula mencakup perlindungan hak mahasiswa dalam mengembangkan kebebasan akademik (Wiratraman, 2019).

Selanjutnya, dalam UU Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia) juga jelas tentang jaminan bebas dari penyiksaan. Dalam UU ini, penyiksaan yang dimaksud adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani atau rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas sesuatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apalagi rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau semata-mata timbul dari, melekat pada, atau diakibatkan oleh suatu sanksi hukum yang berlaku. 

Sementara itu, dalam Jurnal Dewan Pers edisi 14 Juni 2017 berjudul Mendorong Profesionalisme Pers melalui Verifikasi Perusahaan Pers, Ketua Dewan Pers periode 2016-2019, Yosep Adi Prasetyo, sudah menggagas tentang perlindungan hukum pers melalui pengelompokan status dan isi pemberitaan atas lanskap media di Indonesia. 

Lanskap media itu terdiri dari empat kuadran atau kelompok. Kuadran pertama, berisi media yang memenuhi syarat UU Pers dan sudah terverifikasi di Dewan Pers yang isi pemberitaannya memenuhi standar jurnalistik dan Kode Etik Jurnalistik (positif dan terpercaya).

Kuadran dua, berisi media yang tidak terverifikasi di Dewan Pers, tetapi isi pemberitaan mereka memenuhi standar jurnalistik, kode etik jurnalistik (positif dan terpercaya). Nah, Persma masuk di kuadran dua ini, tetapi tanpa regulasi yang jelas. Selama ini, ketika Persma bermasalah, Dewan Pers hanya menerbitkan surat penilaian terhadap produk jurnalistik Persma atau melakukan mediasi. 

Kemudian, kuadran tiga berisi media yang tidak hanya negatif, seperti menghasut, bernada kebencian, hingga mempersoalkan SARA, tetapi juga tidak bisa dipercaya. Selanjutnya, kuadran empat berisi media yang terverifikasi di Dewan Pers, tetapi isi medianya lebih merupakan sebuah koran kuning yang lebih banyak memberitakan pembunuhan, pemerkosaan, seks, dan mode penulisan sensasional. 

Oleh karena itu, penting sekali Dewan Pers kalau terkendala gerak yang terbatas karena UU Pers, melakukan inovasi progresif atas persoalan ini. Misalnya Dewan Pers membuat kesepakatan bersama, MoU, dengan kementerian yang menaungi perguruan tinggi. Contohnya Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek), Kementerian Agama. Mengapa begitu? Selain karena birokrat kampus yang paling sering melakukan represi terhadap Persma. MoU ini juga akan menegakkan legitimasi Persma. Atau bila diperlukan, mengajukan ke DPR untuk merevisi UU Pers. UU Dikti dan UU Pers sudah serasi. Politik di belakang kedua lembaga itu, bagaimana?

Sudah saatnya, masalah Persma tidak melulu diselesaikan dengan sekadar solidaritas. Beberapa LPM memang berhasil “menang” ketika bersengketa dengan kampus, tetapi represi itu terus berulang ketika pengurus LPM berganti. Artinya, solidaritas tidak menyelesaikan masalah secara mendasar. LPM Lintas, misalnya, mereka dibuat gigit jari atas kasus mereka karena pertimbangan hukum atas putusan tersebut, salah satunya adalah soal legal standing LPM Lintas. Kendati majelis hakim dinilai tidak progresif dalam memahami legal standing dan tidak melihat secara global permasalahan yang terjadi, fenomena ini jelas menunjukan kalau Persma memang butuh payung hukum, legal standing, atau apa pun istilah untuk jaminan perlindungan ini. 

Kritik saya terhadap cara penyelesaian masalah Persma dengan solidaritas ini seperti kisah  seorang pemuda tidak berani untuk menikah karena dia mengidap gejala inkontinensia urine, atau kesulitan untuk menahan ngompol. Pemuda ini malu dengan calon istri atas kondisi yang suka ngompol itu. Kemudian, teman pemuda ini menyarankan untuk datang ke psikolog.

Beberapa bulan kemudian, pemuda ini menikah. Temannya bertanya alasan kenapa dia sudah berani menikah, “Apakah penyakitmu sudah sembuh?” Ternyata belum. Pemuda ini justru bilang bahwa sejak dirinya datang ke psikolog, dia semakin percaya diri dan tidak malu dengan kebiasaan dia ngompol. 

Pelajaran yang bisa diambil adalah selama ini masalah Persma selalu diselesaikan dengan cara datang ke psikolog, maksudnya memistifikasi, romantisasi, dan heroisme belaka. Memang, Persma bangga dan berani dengan kengompolannya, tetapi penyakit utama inkontinensia urine itu tidak disembuhkan. 

Oleh karena itu, datang ke psikolog tidak menyelesaikan masalah mendasar. Datang ke dokter adalah solusi. Dewan Pers sebagai “dokter” spesialis pers–selama penyakit pasien relevan dengan spesialisasinya– tidak boleh menolak. Masa depan pers di Indonesia yang berkualitas adalah cita-cita dan kepentingan bersama. Persma adalah tempat regenerasi untuk menghasilkan jurnalis (kritis) dan iklim jurnalisme yang berkualitas. Oleh karena itu, mereka harus dijamin kebebasan pers dan perlindungannya. Segera!

Editor: Arya Nur Prianugraha

Ilustrator: Sholichah

*Artikel ini diperbarui pada 16 Maret 2023 dengan hanya menambahkan grafik tentang Tren Represi terhadap Pers mahasiswa