Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Nasional mengecam pelaku pemukulan dua awak Lembaga Pers Mahasiswa Lintas (LPM Lintas) dan pembekuan LPM Lintas oleh pihak rektorat IAIN Ambon.

Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Nasional mengecam pelaku pemukulan dua awak Lembaga Pers Mahasiswa Lintas (LPM Lintas) dan pembekuan LPM Lintas oleh pihak rektorat IAIN Ambon.
Pada tanggal 27 Desember 2021, kembali terungkap kasus kekerasan seksual di media sosial yang dilakukan oleh ARR, mahasiswa Universitas Jember. Pemberitaan kasus ini dituliskan oleh suami penyintas melalui media instagram dan twitter yang kemudian beredar dengan cepat. Kasus kekerasan seksual ini terjadi pada 12 April 2019, namun baru terungkap setelah 2 tahun lamanya.
Kronologi kejadian bermula saat penyintas menghubungi pelaku via whatsapp dan bertanya mengenai salah satu dosen pengajar, penyintas bertanya apakah Dosen X tersebut pernah menyinggung nama penyintas di forum kelas angkatan pelaku. Pertanyaan tersebut lalu dijawab tidak tahu oleh pelaku. Setelah itu pelaku melanjutkan chat dengan penyintas dan menanyakan apa kegiatan penyintas malam itu, penyintas menjawab bahwa hari itu ia akan membeli USB charger handphone sekaligus membeli makanan. Pelaku lalu menawarkan bantuan untuk mengantarkan penyintas. Penyintas menyetujui karena beranggapan pelaku tidak lebih mengantarkan, sekaligus untuk menambah relasi karena kebetulan pelaku adalah kakak tingkat dan memiliki kelas yang sama (satu kelas) dengan penyintas. Di jalan pelaku bertanya kepada penyintas, apakah ia (penyintas) merokok, apakah ia (penyintas) peminum alkohol dan sudah pernah melakukan apa saja dengan pacarnya. Pertanyaan tersebut lantas dijawab oleh penyintas dengan jawaban, tidak merokok, tidak meminum minuman beralkohol, dan tidak menjawab pertanyaan terakhir karena dianggap hal tersebut adalah privasi. Menanggapi jawaban penyintas, pelaku berkata bahwa penyintas munafik.
Lokasi pertama yang dituju adalah Johar Plaza, tempat tersebut menjadi tujuan penyintas untuk membeli USB charger handphone, tepatnya di sebelah Matahari Departemen Store. Setelah membeli USB tersebut, pelaku yang seharusnya mengantar penyintas untuk membeli makanan lantas menawari penyintas untuk open table, penyintas setuju dengan syarat penyintas tidak ikut minum karena penyintas berpikiran positif menganggap pelaku hanya mencari teman untuk mengobrol saja.
Ajakan open table ini lantas tidak jadi dilakukan, pelaku justru meneruskan perjalanan menuju toko kecil di daerah sekitar Jalan Sumatera dekat dengan Gladak Kembar, Jember untuk membeli Anggur merah (Amer) dengan merk Orang Tua dan satu gelas air mineral. Pada saat itu penyintas sudah mulai kebingungan dan penyintas meminta kepada pelaku untuk diantarkan pulang kembali ke kos-kosan penyintas. Namun permintaan itu ditolak pelaku, pelaku menahan penyintas agar tidak pulang terlebih dahulu dan mengatakan kepada penyintas untuk ditemani meminum minuman beralkohol yang sudah dibeli. Pelaku lantas mengajak penyintas ke suatu penginapan di daerah sekitar Stasiun Jember Kota tanpa ada persetujuan dari penyintas. Penyintas mulai panik, tidak bisa berpikir apa-apa dan ketakutan. Pelaku lalu mengajak penyintas masuk ke salah satu kamar yang berada di penginapan tersebut. Setelah memasuki kamar tersebut, penyintas dengan segera mencoba kabel USB charger handphone yang sudah dibeli sebelumnya, penyintas mengisi daya handphone-nya karena handphone penyintas saat itu sudah dalam keadaan mati total. Penyintas lalu duduk dan mempersilakan pelaku untuk meminum minuman beralkohol tersebut. Penyintas sama sekali tidak mau mencoba minuman tersebut, penyintas lalu mengambil buku berjudul “Dunia Anna” yang ia bawa. Penyintas mulai membaca buku tersebut, sedangkan pelaku meminum air gelas mineral yang dibeli sebelumnya lalu menuangkan minuman beralkohol ke dalam gelas bekas air mineral tersebut. Pelaku menawarkan minuman tersebut kepada penyintas dengan sedikit memaksa namun penyintas tetap tidak mau mencoba minumam tersebut. Pelaku akhirnya menyerah dan meminum minumam beralkohol tersebut sendiri namun tidak sampai menyebabkan pelaku terindikasi mabuk. Pelaku dengan tindakan memaksa tiba-tiba mengambil buku yang sedang dibaca penyintas kemudian mendorong penyintas ke kasur. Penyintas merasa bingung dan panik, karena pelaku dengan tiba-tiba sudah berada di atas tubuh penyintas. Tak hanya itu, perbuatan keji pelaku berlanjut ketika pelaku memegangi kedua tangan penyintas sembari mengancam agar penyintas tidak berteriak. Penyintas tidak kuasa untuk melawan karena saat itu penyintas dalam kondisi lapar dan belum makan. Pelaku berusaha untuk mencium bibir penyintas dengan paksa namun penyintas tidak mau dan tidak membalas. Tak berhenti disitu, pelaku lantas menggerayangi tubuh penyintas tapi dilawan oleh penyintas. Pelaku berusaha melucuti baju penyintas dan berusaha untuk memasukkan kelaminnya ke dalam kelamin penyintas. Penyintas tetap menolak dan melawan, sehingga baju penyintas masih terpakai dan utuh, hanya saja penyintas memakai rok pada saat itu, sehingga pelaku dapat dengan mudah melakukan tindakan tak terpuji itu. Penyintas terus melawan hingga pelaku menyerah dan berusaha mengeluarkan spermanya dengan tangannya sendiri. Setelah itu pelaku tampak sangat kesal dan mengajak penyintas untuk pulang dengan alasan pelaku akan menonton pertandingan bola. Penyintas merasa terpukul namun menahan diri agar tidak menangis. Ia menjawab ketus ajakan pulang dari pelaku.
Selama perjalanan pulang, pelaku menawarkan kepada penyintas untuk membeli makanan seperti yang sudah direncanakan di awal, namun penyintas menjawab tidak usah dan ingin langsung pulang saja. Ketika sampai di depan kos sang penyintas, pelaku kembali melontarkan ancaman kepada penyintas agar penyintas tidak memberitahukan kejadian sebelumnya kepada orang lain, karena jika kejadian itu sampai diketahui orang lain maka pelaku tidak akan bertanggung jawab apabila terjadi hal yang tidak diinginkan pada penyintas. Pelaku juga menambahkan kalimat ancaman kepada penyintas dengan mengatakan bahwa bapak si pelaku adalah salah satu orang penting.
Ancaman yang dilontarkan pelaku kepada penyintas inilah yang menyebabkan penyintas tidak berani untuk speak up dan memendam kejadian kekerasan seksual perkosaan yang dialaminya selama 2 tahun. Penyintas merasa trauma, depresi, dan sangat terpukul atas kejadian yang menimpanya bahkan menurut penuturan suami penyintas dalam unggahan komentar di kolom komentar twitter-nya, penyintas sampai melakukan tindakan melukai diri sendiri. Penyintas baru berani untuk speak up karena ada dorongan dan dukungan penuh dari sang suami. Saat ini penyintas sudah mendapatkan pendampingan, serta kasus ini juga sudah diserahkan kepada pihak Pusat Studi Gender Universitas Jember untuk ditindaklanjuti.
Sungguh ironis ketika penyintas harus berdamai dengan diri sendiri dan menghadapi trauma beratnya namun sang pelaku dengan tenang dan tanpa rasa bersalah dapat berkegiatan selayaknya mahasiswa biasa.
Terkuaknya kasus kekerasan seksual perkosaan di permukaan menambah satu lagi catatan kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus Universitas Jember.
Kasus kekerasan seksual perkosaan yang dialami oleh penyintas menjadi tamparan keras bagi dunia pendidikan kampus, ini karena kampus seharusnya memberikan jaminan rasa aman kepada warga kampus. Tidak hanya di lingkungan kampus saja namun sampai di luar lingkungan kampus sekalipun. Perilaku tidak terpuji dan penyalahgunaan makna intelektual yang disandang pelaku dalam kasus perkoasaan ini benar-benar harus segera dituntaskan agar tidak ada lagi korban baru.
Menilai bahwa tindakan tidak terpuji yang dilakukan pelaku yang juga seorang mahasiswa menjadi landasan yang sangat kuat bagi pihak kampus Universitas Jember untuk segera melakukan tindakan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual sesuai dengan Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021.
Atas dasar hal di atas, kami menyatakan:
Demikian Pernyataan Sikap yang kami sampaikan terhadap dugaan perkosaan yang dilakukan oleh mahasiswa Universitas Jember. Atas dasar kemanusiaan dan perlawanan akan penindasan kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Jember, 29 Desember 2021
Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Dewan Kota Jember
PRESS RELEASE
Pada Senin, 1 November 2021, dua jurnalis pers mahasiswa Unit Penerbitan dan Penulisan Mahasiswa Universitas Muslim Indonesia (UPPM-UMI), menerima surat pemanggilan perihal undangan konfirmasi dari kantor polisi berdasarkan surat laporan Nomor B/3400/X/Res.1.6/2021/Reskrim tertanggal 30 Oktober 2021 yang ditujukan kepada Sahrul Pahmi dan Nomor B/3401/X/Res.1.6/2021/Reskrim ditujukan kepada Ari Anugrah. Mereka dilaporkan dengan dugaan kasus penganiayaan dan perusakan saat melakukan penolakan penggusuran Sekretariat Unit Kegiatan Pers Mahasiswa (UKM) Universitas Muslim Indonesia (UMI).
Berikut kronologi kejadian penolakan penggusuran sekretariat UKM UMI hingga dua jurnalis UPPM-UMI mendapat surat laporan dari polisi :
1. Pada tanggal 20 September 2021, adanya surat edaran perintah pengosongan sekretariat selambat-lambatnya hingga 23 September 2021 dengan Nomor: 496/F.08/BAKA-UMI/IX/2021 yang terbit pada tanggal 20 September 2021.
2. Pada 21 September, Aliansi UKM UMI mengirimkan surat audiensi kepada Wakil Rektor III untuk merespon adanya surat edaran pengosongan sekretariat UKM UMI. Namun audiensi tersebut ditolak.
3. Pada Sabtu, 16 Oktober. Adanya excavator di dekat sekretariat UKM yang hendak digunakan untuk merobohkan sekretariat UKM.
4. Pukul 06:00 WITA, petugas keamanan berkumpul di depan Auditorium Al-Jibra yang diikuti dengan excavator.
5. Pukul 06:30 WITA, excavator mulai bergeser ke sekretariat UKM bersama petugas keamanan.
6. Pukul 06:55 WITA, excavator bergerak dan membongkar sekretariat UKM Seni. Pembongkaran gedung UKM oleh pihak kampus tidak sesuai prosedur. Sebab di dalam sekretariat UKM Seni masih terdapat mahasiswa yang tengah beristirahat.
7. Mahasiswa mencoba menghalau excavator. Dalam prosesnya, terjadi aksi adu mulut antara kepala satpam dengan mahasiswa karena mahasiswa melakukan blokade jalan menggunakan ban bekas.
8. Pukul 07:03 WITA, moncong excavator mulai terangkat dan diayunkan ke arah bangunan sekretariat UKM Seni atas arahan Kepala Satpam yang mengakibatkan sisi kanan bangunan sekretariat UKM Seni roboh.
9. Terjadi bentrok antara mahasiswa dan satpam. Mengakibatkan adanya beberapa kekerasan fisik kepada salah satu pengurus UKM UPPM-UMI dengan cara menyekap pada bagian leher (mempiting) dan mendorong hingga jatuh.
10. Pukul 07:10 WITA, mahasiswa saling membantu untuk membereskan barang-barang di sekretariat UKM Seni dan memblokade jalan depan UKM Seni menggunakan puing-puing bongkahan bangunan dan peralatan seadanya.
11. Pukul 07:20 WITA, excavator mundur dan menabrak satu unit kendaraan mahasiswa.
12. Pukul 07:30 WITA, mahasiswa memblokade jalan di depan Fakultas Agama Islam dan di samping Auditorium Al-jibra, dan membentangkan spanduk bertuliskan “Tolak Penggusuran Sekretariat UKM. UKM Tergusur, UMI Lautan API.”
13. Pada pukul 09:14 WITA, salah satu staf Wakil Rektor III mendatangi sekretariat UPPM-UMI dengan membawa dua buah surat pemanggilan dari pihak kepoisian dengan yang ditujukan kepada Sahrul Pahmi dan Ari Anugrah, masing-masing dengan nomor B/3400/X/RES.1.6/2021/Reskrim dan B/3401/X/RES.1.6/2021/Reskrim.
Tindakan yang dilakukan oleh pihak kampus juga telah menodai nilai-nilai pancasila karena telah menyisihkan musyawarah bersama yang telah layangkan mahasiswa kepada Wakil Rektor III, dan mengambil keputusan secara sepihak. Serta tidak melaksanakan prinsip dan tanggung jawab perguruan tinggi yang tertuang pada UU Dikti pada pasal 6 (b) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 yang berbunyi:
“Demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai agama, nilai budaya, kemajemukan, persatuan, dan kesatuan bangsa;”
Kebebasan akademik diatur dengan jelas dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (Dikti). Dalam pasal 14 ayat (1) dan (2) UU Dikti menyatakan bahwa:
“Mahasiswa mengembangkan bakat, minat, dan kemampuan dirinya melalui kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler sebagai bagian dari proses Pendidikan.”
“Kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan melalui organisasi kemahasiswaan.”
Untuk itu Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Nasional mengeluarkan pernyataan sikap:
Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) lahir sebagai kancah, dimana Pers Mahasiswa (Persma) dari pelbagai wilayah bertukar dan berbagi isu, wacana, kinerja, kemampuan tehnis, hingga strategi mendongkrak kekuasaan tercerabut dari garis kemapanan dan kesewenang-wenangan. Ia semacam serikat atau persekutuan bagi para pegiat media yang bekerja cuma-cuma. Tak ayal, semenjak PPMI didirikan hingga sekarang, ia bergejolak, meminta tumbal Sekretaris Jenderal (Sekjend) baru guna terus mengawal pekikan-pekikan segenap pemantau kekuasaan.
Merupakan suatu kehormatan bagi PPMI Dewan Kota (DK) Tulungagung lantaran mendapat mandat dari hasil Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) PPMI XIII pada Januari lalu di Pekalongan guna menjalankan ritual sakral penumbalan Sekjend PPMI Nasional 2021-2022 di Tulungagung. Cukup jarang dua agenda besar PPMI diselenggarakan dengan waktu dan tempat bersamaan. Poin inilah yang menjadi titik paling menggembirakan bagi kami karena diberikan sebuah mandat untuk menyelanggarakan agenda sakral PPMI.
Suaka Marga Persma menjadi tema besar pada Dies Natalis PPMI XXVIII dan Kongres PMMI XVI. Kata “Suaka” berarti tempat berlindung dan “Marga” merupakan akronim dua kata “nama keluarga”. Dengan mengambil tema besar “Suaka Marga Persma” besar harapan menjadi refleksi untuk seluruh insan pers mahasiswa agar memberikan rasa saling memiliki dan mendukung wadah ini.
Dalam penyelanggaraan KONGRES NASIONAL XVI PPMI, terdapat serangkaian agenda, meliputi: Dies Natalis PPMI XXVIII, Sidang SOP Kekerasan Seksual (KS), Diskusi Represi, Kongres PPMI XVI, dan Sarasehan Budaya. Kegiatan ini ditujukan guna saling menguatkan jejaring antaranggota Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) dan menjaga kewarasan terhadap maraknya berbagai kekerasan yang menjadi momok bagi sipil Indonesia termasuk juga Persma. Mengingat, selain melanggar UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, kekerasan terhadap jurnalis juga melanggar pasal 170 jo pasal 351 KUHP. Hal itu turut mencederai konstitusi warga negara untuk mendapat informasi sebagaimana diatur dalam UUD 1945 pasal 18F.
Adapun kasus sepanjang tahun 2020–2021 yang dapat kami himpun dari grup WhatsApp adalah pemukulan oleh kader HMI Komisariat persiapan FTMIPA terhadap anggota LPM Progress Unindra pada Maret 2020, penangkapan anggota LPM Siar UKMP UM pada April 2020, peretasan akun dan serangan Buzzer terhadap Pemimpin Umum Teknokra pada Juni 2020, penangkapan dan pemukulan tiga orang Persma Makassar saat liputan aksi nelayan Kodingareng pada September 2020, penangkapan 2 anggota LPK Gema UNESA pada Oktober 2020, Somasi berisikan ancaman UU ITE dan upaya pemberedelan berita terhadap LPM Dimensi pada November 2020, kasus KS di tubuh PPMI yang dipublikasi pada Desember 2020, penangkapan terhadap dua repoter LPM Marhaen Univ. Bung Karno dalam peliputan aksi Hari Buruh Mei lalu, dan penganiayaan serta perampasan terhadap anggota LPM Universitas Pesantren Tinggi Darul ‘Ulum Jombang pada Mei lalu.
Dari deretan kasus di atas dibutuhkan diskusi mendalam menyoal represi yang kian runyam dan standard operating procedure dalam tubuh PPMI. Sehingga bisa menjadi landasan kokoh guna mengkritik dan menerapkan ke regulasi masing-masing kampus. Melihat, kampus pun tidak memberi garansi atas kekerasan yang dialami mahasiswa dan belum sepenuhnya memberi rasa aman terhadap kebebasan berekspresi.
Detail lengkap kegiatan ini dapat dilihat selengkapnya di sosial media PPMI
Instagram Pers Mahasiswa
Persiapkan diri kalian, dan kami tunggu kehadirannya di Tulungagung nanti.
Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) merupakan wadah berproses bagi mahasiswa yang berkutat pada persoalan jurnalistik. Dalam peranannya tak jauh berbeda dengan perusahaan media pada umumnya yang melakukan kegiatan jurnalistik seperti mencari berita, meliput, menulis, dan mengolah informasi menjadi sebuah karya yang akan disampaikan ke masyarakat atau publik. Hal ini sebagai bentuk implementasi fungsi pers sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial yang termaktub dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.
Dalam kehidupan di kampus, adalah hal yang lumrah ketika pers mahasiswa (persma) melaksanakan peran dan fungsinya. Apalagi kampus merupakan ruang akademis yang dihuni para kaum intelektual. Namun apa jadinya jika kampus saja tabuh dalam menanggapi sebuah pemberitaan yang diterbitkan oleh persma? Sebagaimana perkara yang saat ini tengah dialami oleh LPM Poros Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Yogyakarta.
Kasus ini bermula ketika Poros menulis tentang praktek penjualan buku yang dilakukan oleh seorang dosen berinisial MN. Melalui pesan WhatsApp Grup, dosen tersebut meminta mahasiswa Ilmu Komunikasi (Ilkom) untuk membeli buku mata kuliah Kemuhammadiyahan berjudul “Kuliah Muhammadiyah Gerakan Tajdid”. Buku tersebut dituliskan oleh H. Anhar Anshori yang diterbitkan oleh UAD PRESS, bekerjasama dengan Lembaga Pengembangan Studi Islam (LPSI) UAD. MN diduga memaksa mahasiwa membeli buku kuliah tersebut dan menyebutkan jika mahasiswa membeli buku, maka akan mendapatkan nilai rata-rata A, dan yang tidak membeli akan mendapatkan nilai B-, C, bahkan D. Menurut pengakuan MN, buku tersebut sudah dicetak UAD sebanyak jumlah mahasiswa di kelasnya.
Poros mewawancarai salah satu mahasiswa di kelas yang diampu MN. Mahasiswa itu memberi bukti-bukti ketika dosen MN mengirim pesan singkat yang bertendensi memaksa dengan ancaman nilai. Poros juga menerima tangkapan layar percakapan MN dan mahasiswa melalui pesan WhatsApp grup dari salah satu mahasiswa yang diampu MN. Selanjutnya, Poros meminta klarifikasi dengan mewawancarai pihak LPSI melalui saluran siaga (16/8). Menurut keterangan LPSI, polemik yang disebabkan MN hanya masalah miskomunikasi. Lebih lanjut, melalui pesan WhatsApp grup angkatan 19 Ilkom, Kaprodi Ilkom mengirimkan bukti obrolan dengan pihak LPSI yang menegaskan bahwa buku yang diterbitkan oleh LPSI sifatnya anjuran dan tidak terkait dengan nilai tertentu. Lalu Poros juga meminta tanggapan dari Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Agama Islam terkait polemik penjualan buku tersebut.
Poros kemudian memberitakan hal tersebut yang berjudul “Nilai A Seharga Buku Tiga Puluh Lima Ribu Rupiah”, diterbitkan pada 19 Agustus 2021. Kesimpulan dari berita ini adalah mahasiswa tidak lagi diwajibkan membeli buku dan tidak ada kaitannya dengan perolehan nilai. Namun sehari setelahnya (20/8), LPSI melakukan pemanggilan kepada redaksi Poros di Ruang Rapat LPSI dengan dalih berkeberatan (dirugikan) dengan pemberitaan yang telah diterbitkan oleh Poros.
Dalam forum audiensi, Kepala LPSI, Anhar Anshori, menegaskan bahwa lembaganya tidak pernah mewajibkan mahasiswa untuk membeli buku, apalagi sampai memengaruhi nilai akhir mahasiswa. Sebab, pihak LPSI paham mengenai latar belakang mahasiswa yang berbeda-beda. Menurutnya, jika ada dosen yang mengatakan beli buku dapat nilai A, seharusnya mahasiswa perlu menanyakan terlebih dahulu. Hal itu perlu dilakukan karena bisa saja lidah dosen yang mengatakan beli buku dapat nilai A ketlingsut alias salah bicara.
Dalam forum ini, Poros menawarkan hak jawab jika LPSI memang merasa dirugikan. Namun LPSI terus menawarkan opsi yang sama, yaitu menghapus pemberitaan tersebut. Perdebatan ini berlangsung hingga satu jam, hingga akhirnya Poros memutuskan menghapus pemberitaannya lantaran forum sudah semakin tendensius, tidak berimbang, dan represif.
Mencari titik terang dari perkara pemberitaan Poros yang ditanggapi secara represif oleh LPSI. Badan Pekerja Advokasi Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Nasional kemudian melakukan kajian dan analisis hukum serta mewawancarai beberapa pihak terkait. Menilai sikap LPSI yang cenderung lebih mempermasalahkan terkait pemberitaan Poros ketimbang menindaklanjuti temuan fakta yang disampaikan oleh Poros dalam pemberitaannya terkait dengan praktek penjualan buku yang dilakukan oleh MN patutlah dipertanyakan.
Mengenai praktek dosen jual buku, dilandaskan pada beberapa ketentuan hukum yang terindikasi telah dilanggar oleh MN. Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, dosen memiliki kewajiban sebagaimana telah diatur pada ketentuan Undang-undang tentang Guru dan Dosen No. 14 tahun 2005 (UUGD No.15 Tahun 2005), pasal 60, poin (d) bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, kondisi fisik tertentu, atau latar belakang sosioekonomi peserta didik dalam pembelajaran, serta poin (e) menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan , hukum, dan kode etik, serta nilai-nilai agama dan etika.
Hal tersebut juga berkaitan dengan Peraturan Menteri nomor 2 tahun 2008 tentang Buku, pada ketentuan pasal 11, berbunyi: “Pendidik, tenaga kependidikan, anggota komite sekolah/madrasah, dinas pendidikan pemerintah daerah, pegawai dinas pendidikan pemerintah daerah, dan/atau koperasi yang beranggotakan pendidik dan/atau tenaga kependidikan satuan pendidikan, baik secara langsung maupun bekerjasama dengan pihak lain, dilarang bertindak sebagai distributor atau pengecer buku kepada peserta didik di satuan pendidikan yang bersangkutan, kecuali untuk buku-buku yang hak ciptanya sudah dibeli oleh Departemen, departemen yang menangani urusan agama, dan/atau Pemerintah daerah sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 3 ayat (4) dan dinyatakan dapat diperdagangkan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 8 ayat (1).”
Di samping itu represi yang dialami Poros semakin menegaskan persma dalam kondisi rentan. Pasalnya, posisi persma belum dianggap sebagai entitas pers yang layak mendapatkan proteksi. Dari sisi hukum persma rentan karena secara eksplisit mereka tidak masuk dalam kategori perusahaan pers berbadan hukum seperti yang tertulis dalam UU Pers No. 40 Tahun 1999. Akibatnya pelarangan atau pembatasan kerja-kerja jurnalistik kerap dialami oleh pers mahasiswa dengan dalih tidak memiliki legitimasi.
Namun, meski tak dijamin secara spesifik dalam undang-undang No. 40 Tahun 1999, pers mahasiswa memiliki perlindungan secara konstitusional maupun perundang-undangan dengan pendekatan kebebasan akademik. Seperti Undang-Undang Dasar 1945, kebebasan akademik bisa dijamin melalui penafsiran meluas atas ketentuan Pasal 28, 28C, 28E, 28F Undang-Undang Dasar (UUD) Republik Indonesia (RI) Tahun 1945.
Selain itu, secara umum, kebebasan akademik juga dijamin dalam Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), serta pasal-pasal dalam UU Nomor 11 dan 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Perjanjian Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, yakni Pasal 13 terkait hak atas pendidikan dan mengembangkan ilmu pengetahuan serta Pasal 19 terkait Hak Sipil dan Politik. Dan, secara khusus, kebebasan akademik dilindungi dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi pada Pasal 8 ayat 1 dikatakan “Dalam penyelenggaraan Pendidikan dan pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berlaku kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan.” Dan ayat 3, Pelaksanaan kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan di Perguruan Tinggi merupakan tanggung jawab pribadi Sivitas Akademika, yang wajib dilindungi dan difasilitasi oleh pimpinan Perguruan Tinggi”. Dan lebih lanjut mengenai kebebasan akademik diterangkan pada pasal 9 dan 54 UU Dikti.
Di luar aturan hukum negara, kebabasan akademik juga diatur dengan adanya aturan internal kampus masing-masing. Namun, baik UU Dikti maupun aturan internal, masih belum cukup memberikan perlindungan terhadap keberadaan persma. Dari beberapa regulasi di atas, persma sebagai entitas yang bekerja dengan semangat dan nilai-nilai kemerdekaan pers, mestinya memiliki hak dan porsi yang sama dengan pers umum.
Akan tetapi, kekerasan terhadap jurnalis mahasiswa bukan hanya karena minimnya perlindungan secara spesifik, namun juga karena sikap otoritarianisme yang semakin mengakar yang bahkan juga terjadi dalam lingkungan akademik.
Praktek penjualan buku dengan sebuah ancaman nilai yang dilakukan oleh tenaga pendidik jelas bertentangan dengan ketentuan peraturan di atas dan tentu tidaklah dapat dibenarkan dalam sebuah Perguruan Tinggi. Sebagaimana yang diterangkan oleh Wakil Rektor (WR) Bidang Kemahasiswaan UAD, Gatot Sugiarto, “UAD tidak membenarkan tindakan seperti itu, kalau menjual buku dengan paksaan, yah, tentu tidak boleh karena mahasiswa punya hak untuk membeli atau tidak, itu kebebasannya memilih, ini etika akademik, yah, dan ini harus dijaga juga,” ujarnya via WhatsApp saat diwawancarai oleh awak PPMI (25/8).
Lebih lanjut, Gatot Sugiharto mengatakan bahwa saat ini pihak rektorat tengah melakukan evaluasi terhadap sistem pembelajaran, khususnya di mata kuliah Al Islam dan Kemuhammadiyahan (AIK) dan juga melakukan upaya tabayyun terhadap pemberitaan Poros sebagai langkah tindaklanjut dari temuan fakta dalam pemberitaan tersebut. “Kalau seandainya nanti ada hal-hal yang bisa dibuktikan itu akan menjadi bahan evaluasi dan pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Ini juga banyak yang bertanya ke saya, apakah poros ini akan dibredel? Saya kira tidaklah, UAD tidak akan sampai membredel, karena kita juga menjaga kebebasan berpendapat dan kreatifitasnya”.
Perihal keputusan sikap yang diambil oleh rektorat, dalam hal ini Rektor UAD mengamanahkannya kepada WR bidang AIK, Parjiman, yang menaungi dan bertanggungjawab atas mata kuliah yang sifatnya institusional. Melalui wawancara via telepon (27/8), Parjiman mengatakan bahwa dosen yang bersangkutan telah dimintai klarifikasinya, “memang, yah, buku itu sangat dianjurkan tapi tidak harus berakibat kalau beli buku dapat nilai sekian, nah, itu sangat fatal, itukan melanggar karena itu bukan standar pembelajaran”.
Dari hasil evaluasi dan upaya tabayyun yang dilakukan oleh pihak jajaran rektorat, Parjiman menyampaikan bahwa ke depannya buku Kuliah Muhammadiyah Gerakan Tajdid akan dibuat dalam bentuk e-book agar mahasiswa dapat secara mudah mendapatkannya sebagai bahan pembelajaran. Dan secara khusus sanksi yang akan diberikan bagi oknum dosen yang bersangkutan berdasarkan fakta dan bukti dari hasil evaluasi dan tabayyun. “Praktis sanksinya sudah tidak kita pakai, kalau untuk catatan-catatan yang berat seperti itu,” tegas Parjiman.
Parjiman juga membantah terkait beredarnya kabar isu terkait ancaman sanksi yang akan dikenakan kepada Poros. Dalam perkara ini, ia menegaskan kembali komitmen UAD sebagai lembaga pendidikan yang bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan mengedepankan nilai-nilai demokrasi. “Kalau di rektorat dari rektor sampai semua wakilnya itu satu bahasa, jadi kita berpihak kepada siapa yang jujur dan siapa yang benar, insyaalah tidak ada itu”.
Kembali pada tindakan LPSI yang mendesak Poros untuk menghapus pemberitaanya dan menolak menggunakan hak jawabnya. Menanggapi hal tersebut, pada saat wawancara, Parjiman terdengar kaget ketika mengetahui bahwa pemberitaan poros berjudul “Nilai A Seharga Buku Tiga Puluh Lima Ribu” tak lagi dapat diakses. Menurutnya menghapus pemberitaan tersebut telah bertentangan dengan kode etik jurnalistik, “itu sebenarnya tidak boleh yah, jadi kami di pimpinan sepakat, yah, menggunakan hak jawab dan tidak harus ditakedown kayak gini, jadi hanya tinggal diklarifikasi saja”.
Kasus represi yang dialami oleh Poros hingga saat inipun juga tengah menjadi sorotan dan terus mendapat dukungan publik dari jejaring media umum, persma, dan individu atau organisasi pro demokrasi. Pasalnya tindakan LPSI dianggap telah mencederai demokrasi dikarenakan sangat berlebihan dalam menanggapi pemberitaan yang diterbitkan oleh Poros. Menindak hal ini, BP Advokasi PPMI Nasional juga mencoba mewawancarai pihak LPSI melalui kontak hotline untuk meminta klarifikasi terkait hal yang dianggap telah merugikan LPSI dalam pemberitaan Poros. Selama beberapa hari BP Advokasi PPMI Nasional meminta klarifikasinya melalui saluran siaga lembaga namun hingga tulisan ini diterbitkan, LPSI enggan memberikan tanggapan.
Kasus kekerasan terhadap jurnalis (mainstream dan pers mahasiswa) merupakan salah satu permasalahan serius yang menjangkiti paru-paru demokrasi kita. Setiap tahun, kita terus memperingati Hari Kebebasan Pers dan tak lelah memperingatkan kepada mereka bahwa kekerasan terhadap jurnalis selalu terjadi dan angkanya terus naik setiap tahun. Celakanya, praktik kekerasan justru seolah terjadi di atas legitimasi Negara dalam bentuk pembiaran terhadap pelaku, bahkan beberapa kasus terkesan diendapkan berlarut tanpa penyelesaian.
Di Bulan Agustus 2021 ini setidaknya ada dua kasus terbaru yang dialami oleh pers mahasiswa. Represi yang mereka alami terjadi setelah karya jurnalistik terbit. Liputan berjudul Nilai A Seharga Tiga Puluh Lima Ribu Rupiah yang dikeluarkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Poros Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta mendapat kecaman. Reportase terbit pada Kamis, 19 Agustus 2021 itu mendapat sorotan.
Represi yang dialami Poros juga terjadi pada LPM Limas Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisip) Universitas Sriwijaya. Karikatur yang diterbitkan oleh redaksi Limas menuai kecaman. Pemanggilan dan ancaman skorsing yang dilakukan oleh pihak kampus terhadap beberapa anggota redaksi Limas dilandaskan atas karya karikatur yang telah diterbitkan oleh LPM Limas. Karikatur berisi problematika penurunan UKT tersebut dimuat di akun sosial media instagram Limas. Opini bergambar yang diposting pada 3 Agustus itu dianggap mencoreng nama baik rektor.
Dua kasus terbaru diatas menegaskan bahwa sikap sebagai watchdog atau kontrol kekuasaan oleh Poros dan Limas merupakan hal wajar yang dilakukan oleh pers mahasiswa. Hal itu dipertegas dalam Kode Etik Jurnalistik yang ditetapkan oleh dewan pers. Posisi tersebut difungsikan untuk menekan alat kekuasaan agar berjalan ideal. Selanjutnya jika memang merasa keberatan akan karya jurnalistik, tak perlu melakukan tindakan-tindakan yang cenderung membahayakan terhadap kebebasan pers dan kebebasan akademik. Ada mekanisme yang bisa dilakukan yaitu hak jawab. Kode Etik Jurnalistik memfasilitasi hal tersebut.
Mau tau pembahasan selanjutnya menyoal “Pers Mahasiswa: Lagi-lagi Kena Represi”
Sampai ketemu pada Diskusi Advokasi nanti malam ?
#StopKekerasanTerhadapJurnalis
#PersmaBukanHumasKampus
#PersMahasiswa
Pers Mahasiswa Poros membuat sebuah tulisan tersebut berisi tentang seorang dosen berinisial MN yang merekomendasikan sebuah kepada mahasiswanya buku mata kuliah Kemuhammadiyahan yang berjudul Kuliah Kemuhammadiyahan Gerakan Tajdid. MN diduga memaksa mahasiswa untuk membeli buku tersebut. Jika mahasiswa membeli buku, maka akan mendapat nilai rata-rata A dan yang tidak membeli maka akan mendapatkan nilai B-, C, bahkan D.
Pers Mahasiswa Poros kemudian meminta klarifikasi dengan mewawancarai pihak Lembaga Pengembangan Studi Islam (LPSI) Universitas Ahmad Dahlan. Pers Mahasiswa Poros juga meminta tanggapan dari Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Agama Islam Universitas Ahmad Dahlan.
Setelah meminta klarifikasi tersebut, Pers Mahasiswa Poros lalu menulis sebuah karya pers kampus berjudul “Nilai A Seharga Buku Tiga Puluh Lima Ribu Rupiah” yang diterbitkan tanggal 19 Agustus 2021. Kesimpulan dari berita tersebut adalah mahasiswa tidak lagi diwajibkan membeli buku dan tidak ada kaitannya dengan perolehan nilai.
Meskipun sudah diklarifikasi, tetapi pihak LPSI tetap merasa dirugikan dengan adanya karya itu. Sehingga pada Jumat, 20 Agustus 2021, Pihak LPSI kemudian memanggil redaksi Poros terkait permasalahan yang berkaitan dengan lembaga tersebut untuk hadir di Ruang Rapat LPSI pada Sabtu, 21 Agustus 2021. Kepala LPSI, Anhar Asnysary, menegaskan bahwa LPSI tidak pernah mewajibkan mahasiswa untuk membeli buku hingga mempengaruhi nilai mahasiswa. -Dalam forum tersebut Pers Mahasiswa Poros menawarkan hak jawab jika LPSI memang merasa dirugikan namun LPSI terus menawarkan opsi yang sama, yaitu menghapus karya pers tersebut. Poros akhirnya memutuskan untuk menghapus tulisan yang diterbitkan pada 19 Agustus 2021 tersebut.
PPMI Nasional menilai bahwa karya jurnalistik yang telah diterbitkan oleh Persma Poros dengan judul ‘Nilai A Seharga Tiga Puluh Lima Ribu Rupiah’ adalah murni karya pers mahasiswa melalui proses reportase yang semestinya.
Fakta yang dimuat dalam pemberitaan itu sudah dikumpulkan untuk menunjukkan betapa ada ketidakberesan dalam sistem penilaian di kampus tersebut. Selain itu, fakta penguat dalam pemberitaan tentu menjadi hak publik untuk tahu, bahwa kampus semestinya menjunjung tinggi asas objektivitas dalam memberikan pendampingan terhadap mahasiswanya.
Karya tersebut juga tidak mengandung unsur iktikad buruk sama sekali.
Narahubung:
Abdul Haq (0822 1747 9191)
Alvina N.A. (0822 4522 4717)
Jika pemerintah terus salah mengambil kebijakan, rakyat bisa berjatuhan mati masal. Tercatat pertanggal 15 Agustus 2021, di laman covid19.go.id menunjukkan jumlah rakyat Indonesia mati karena Covid-19 mencapai 117.588. Tentu saya yakin data tersebut bukan data asli. Dapat dipastikan data yang tidak tercatat jauh lebih banyak. Berdasarkan pemantauan lapor covid data yang masuk ada perselisihan antara data daerah dan pusat. Banyaknya saudara kita yang meninggal dunia dan pendataan yang amburadul menunjukkkan ada masalah yang serius dalam penanganan dan kebijakan yang diambil pemerintah dalam menangani pandemi. Ribuan nyawa orang yang meninggal semestinya mendapat perhatian serius, bukan hanya sekedar data angka, karena setiap warga negara hidup, keselamatan, dan kesehatannya semestinya dijamin dalam undang-undang.
Tak terbilang berapa kali pemerintah melakukan pergantian nama kebijakan dalam menangani pandemi. Berganti siapa yang bertanggung jawab atas kebijakan tersebut, kepemimpinan Satgas tak pernah sama sekali diserahkan kepada ahli kesehatan masyarakat atau epidemiolog. Beberapa pekan terakhir pun dunia Internasional menyoroti Indonesia menjadi episentrum pandemi dunia dengan penanganan yang carut marut. Sempat banyak ketidaktersediaan rumah sakit, kelangkaan oksigen, rencana vaksin berbayar, banyak tenaga kesehatan yang gugur, bahkan kematian anak Indoneisa akibat covid tertinggi di dunia. Seolah kebijakan pemerintah tersebut tak menunjukkan hasil yang signifikan.
Sebagai warga negara patut kita semua mengerti, kenapa kebijakan pemerintah dalam menangani pandemi tidak membuahkan hasil? Apakah pemerintah membuat kebijakan tidak mempertimbangkan kebutuhan rakyatnya? Atau memang sengaja pemerintah tidak memprioritaskan kebutuhan rakyat, sehingga menyebabkan kematian massal? Jika demikian pantaskah kita menyebut pemerintah sebagai pembunuh rakyat di tengah pandemi? Berikut sedikit catatan dari saya menyoal kematian massal yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah.
PPKM atau Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat tanpa jaminan hidup adalah sebuah kebijakan pemerintah yang sangat tidak manusiawi, pasalnya tidak semua rakyat siap melindungi dirinya dengan berbagai jenis keamanan di tengah pandemi, tidak semua mampu mempersiapkan kebutuhan makanan pokok. Banyak rakyat yang mengantungkan hidupnya dengan berjualan di pasar, menjadi tukang becak, tukang ojek, dsb. Mereka tidak bisa untuk tetap dirumah saja, untuk bisa bertahan hidup ia harus bekerja, jika tidak bekerja ia tidak makan dan bisa mati kelaparan. Maka dari itu tak salah jika banyak masyarakat di berbagai daerah beberapa waktu yang lalu berdemonstrasi menolak PPKM, tidak salah pula masyarakat di berbagai daerah mengibarkan bendera putih sebagai tanda bahwa masyarakat sudah tidak kuat bertahan dalam himpitan masalah ekonomi saat pandemi.
Kejamnya pemerintah dan aparat di tengah pandemi juga dipertontonkan dengan banyaknya pembubaran usaha warga di berbagai daerah oleh Satpol PP dengan menggunakan kekerasan. Diantaranya terjadi di Semarang, pada 7 Juli 2021, Satpol PP melakukan penyemprotan lapak pedagang di pinggir jalan yang melanggar aturan PPKM dengan menggunakan mobil pemadam kebakaran. Petugas juga bergerak cepat menyita dagangan dan peralatan dagang milik pedagang tersebut. Kemudian di Surabaya, pada 11 Juli 2021, petugas menyita tabung LPG 3 Kg milik pedagang di sebuah warung di Kecamatan Kenjeran. Tak hanya itu, petugas juga menyita e-KTP pemilik warung tersebut. Sedangkan di Tasikmalaya seorang penjual bubur didenda 5 juta rupiah karena melayani pembeli yang ingin makan di tempat. Penjual mengaku tidak tahu aturan PPKM. Namun, hakim tetap menjatuhkan hukuman denda. Beberapa kejadian tersebut adalah bukti nyata kekerasan yang dilakukan pemerintah melalui aparat negara.
Pemerintah dan aparat tidak menjamin kebutuhan hidup warga negaranya. Sementara Pendekatan yang dilakukan pemerintah dan aparat terhadap warga melanggar peraturan selama pandemi ini cenderung represif. Pemerintah berpikir dengan pikiran yang sangat kolot, menganggap situasi darurat kesehatan ini sama dengan darurat sipil atau militer. Sehingga warga banyak yang direpresi dan menerima berbagai tindak kekerasan, sedangkan warga butuh uang untuk mencukupi kebutuhan hidup. Dengan ini, jelas kita mengerti pemerintah memang tak peduli dengan kekhawatiran rakyat Indonesia yang takut mati kelaparan. Barangkali memang benar kelaparan tidak ramai diperbincangkan oleh pemerintah ataupun media mainstream, karena kelaparan tidak akan membunuh orang kaya, terlebih seperti pejabat pemerintah.
Jika pemerintah memiliki hati nurani, maka sudah semestinya pemerintah menyuplai kebutuhan hidup dasar masyarakat dan makanan hewan ternak yang ada di wilayah karantina tersebut. Sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-undang nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, “Dengan begitu masyarakat bisa berdiam diri ditempat tinggal dan setidaknya bisa tetap tenang karena ada yang mencukupi biaya kehidupan dasarnya.” Undang-undang Kekarantinaan Kesehatan tersebut sangat progresif dan berpihak kepada rakyat di situasi pandemi seperti ini, namun pada kenyataannya pemerintah tidak mau melaksanakan apa yang sudah diundangkan tersebut.
Secara konstitusional, hak atas kesehatan merupakan hak asasi manusia yang menjadi kewajiban pemerintah untuk memenuhinya. Di antaranya disebutkan dalam Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia: yang berbunyi “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”
Namun apa yang terjadi di Indonesia saat pandemi covid meledak dan menjadi episentrum pandemi dunia, beberapa masyarakat tidak bisa dirawat di rumah sakit karena rumah sakit penuh, sehingga harus menunggu diluar atau harus berkeliling mencari rumah sakit lewat Aplikasi/telephone. Beberapa dari mereka tak kunjung mendapatkan rumah sakit, sehingga harus berkeliling secara manual. Hal itulah yang membuat banyak pasien covid meninggal dunia di jalan, di rumah sakit saat menunggu kamar, atau meninggal saat memilih melakukan perawatan di rumah karena kelelahan menunggu rumah sakit.
Ketika rumah sakit atau fasilitas kesehatan tidak lagi dapat menampung pasien, isolasi mandiri di rumah diharapkan bisa menjadi alternatif untuk perawatan pasien, tapi pada kenyataannya banyak pasien yang tidak tertolong. Berdasarkan data laporcovid19 pada 24 Juli 2021, ada sebanyak 2.491 orang meningal dunia saat isolasi mandiri/di luar fasilitas kesehatan. Pasien isolasi mandiri dirawat tanpa pemberian pengawasan dan pelayanan kesehatanyang memadai. Banyaknya pasien isolasi mandiri yang meninggal dunia menandakan tidak ada perhatian serius kepada pasien yang melakukan isolasi mandiri di rumah.
Tak hanya pasien, berdasarkan data dari laporcovid19 pada 10 Agustus 2021, ada 1646 tenaga kesehatan yang meninggal dunia karena covid. Hal ini dikarenakan kelelahan tak sanggup menangani pasien yang membludak.
Komitmen pemerintah masih lemah dalam menjalankan 3T, yaitu testing (pemeriksaan), tracing (pelacakan), dan treatment (perawatan). Vaksin di beberapa daerah kehabisan, sementara di daerah lain bisa melakukan vaksin dengan leluasa. Hal tersebut tentu tidak bijak, karena sesungguhnya semua masyarakat harus mendapatkan vaksin, kelompok lansia sabagai prioritas vaksin harus ditingkatkan terus. Pada dasarnya kita tidak akan mencapai herd immunity jika masih banyak kalangan yang tidak mendapatkan vaksin. Selain itu di berbagai daerah muncul vaksinasi berbayar yang tidak hanya dilakukan oleh oknum individu, tetapi juga perusahaan.
Selain itu Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 mencatat lonjakan kasus covid mulai terjadi di enam provinsi di luar Pulau Jawa dan Bali dalam sebulan terakhir. Enam provinsi tersebut meliputi, Sumatera Utara, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sumatera Barat, Riau, dan Kalimantan Selatan. Menteri Koordinator bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan mengungkapkan penanganan di luar Pulau Jawa dan Bali berbeda karena lebih sulit. Hal tersebut disebabkan dukungan infrastruktur kesehatan yang belum memadai dan tantangan lainnya yang cukup besar di luar Jawa-Bali. Ini akan menjadi memperpanjang adanya ketimpangan kesehatan dan kematian massal yang tidak terbayangkan.
Ini adalah beberapa catatan buruk dunia kesehatan Indonesia yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah, bisa jadi masih ada banyak catatan yang mungkin belum tercatat di sini.
Informasi tentang pandemi covid adalah informasi yang wajib diumumkan secara serta merta oleh badan publik yang memiliki kewenangan dan menguasai informasi tentang covid, karena covid dapat mengancam hajat hidup orang banyak dan ketertiban umum. Dasar hukum mengenai ketentuan ini, sebagaimana diatur dalam Undang-undang No 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Namun pada kenyataannya keterbukaan informasi publik dalam masa pandemi ini, masih dianggap menjadi momok berbahaya, dalam penanganan pandemi Covid di Indonesia. Aparat dan pemerintah melakukan represi terhadap jurnalis, sehingga menghambat peran media sebagai pengawas kebijakan pemerintah dalam menangani pandemi.
Inisiator LaporCovid-19 sekaligus jurnalis Kompas, Ahmad Arif, artikelnya seputar Covid-19 diberi label hoaks selama 2020-2021. Salah satu artikelnya berjudul ”63 Pasien di RSUP Dr Sardjito Meninggal dalam Sehari” tayang pada 4 Juli 2021. Padahal kerja Jurnalis dilindungi UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Selanjutnya Melalui Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan, saat mengumumkan perpanjangan PPKM, Senin (9/8/2021). Pemerintah memutuskan untuk mengeluarkan angka kematian dari indikator penanganan Covid-19. Pasalnya, ditemukan masalah dalam input data sehingga menyebabkan akumulasi dari kasus kematian di beberapa minggu sebelumnya.
Menanggapi hal tersebut, epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman mengatakan bahwa kebijakan itu jelas keliru, selain itu juga berbahaya karena indikator kematian adalah indikator kunci adanya suatu wabah untuk melihat bukan hanya performa intervensi di hulu, tapi juga menilai derajat keparahan suatu wabah. Alih-alih data kematian yang menumpuk dan memunculkan ketidakakuratan, seharusnya tidak membuat pemerintah menghilangkannya begitu saja. Data kematian tersebut cukup diperbaiki dengan secepat dan seakurat mungkin tanpa perlu menghilangkannya. tujuan penanganan pandemi adalah untuk meminimalisir angka kematian. Bahkan harus menghilangkan angka kematian yang diakibatkan oleh pandemi.
Berdasarkan hal ini, harusnya pemerintah sejak awal melakukan komunikasi krisis yang baik di masa pandemi. Komunikasi krisis membutuhkan keterbukaan informasi tentang Covid-19, pengakuan dan kejujuran dari pemerintah terkait penanganan, sehingga bisa menciptakan edukasi risiko kepada masyarakat luas.
Beberapa catatan di atas adalah bukti bahwa di tengah pandemi, masyarakat bukanlah prioritas utama dalam kinerja pemerintah. Hal ini diperjelas dengan pemerintah yang mengesahkan Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja yang tergesa-gesa pada 5 oktober 2020, tanpa melibatkan partisipasi masyarakat. Membangun PLTU di tengah pandemi, pemerintah menyisihkan anggaran untuk mengecat pesawat Jokowi, dana bansos dikorupsi oleh menteri sosial, sementara banyak masyarakat yang menderita dibatasi PPKM tanpa tunjangan hidup, kesulitan mencukupi kebutuhan dasar dan terancam terinveksi virus covid.
Jika pemerintah memang memprioritaskan kepentingan masyarakat, harusnya pemerintah menerapkan lockdown yang sudah diatur oleh Undang-undang Kekarantinaan Kesehatan. Membuka informasi seluas-luasnya, karena informasi informasi bisa mengedukasi masyarakat, bukan malah meminta rakyat untuk menelan ludah dan bersabar mengahadapi wabah yang hadir di tengah kita. Sungguh ini adalah masalah yang serius, kita tidak bisa menjamin kesalamatan kita dalam pandemi ini, pun kita tidak tahu sampai kapan kebijakan pemerintah membatasi kegiatan masyarakat yang membuat rakyat kecil hanya ada pada dua pilihan, mati kelaparan atau mati karena virus. Untuk itu penting bagi kita untuk saling bersolidaritas dan saling menguatkan, perkuat pertahanan rakyat bantu rakyat, warga bantu warga, mengumpulkan donasi, membantu kebutuhan umum, membantu pasien yang sakit, kita tidak bisa berharap lagi pada pemerintah. Ini adalah perayaan kemerdekaan Indonesia yang muram, dan kado kemerdekaan dari pemerintah kita kali ini adalah kematian massal saudara-saudara kita, akibat salah mengambil kebijakan.
Penulis: Najmu Tsaqiib
PERNYATAAN SIKAP PERHIMPUNAN PERS MAHASISWA INDONESIA (PPMI) TERHADAP KASUS LPM LIMAS FISIP UNIVERSITAS SRIWIJAYA PALEMBANG
Kebebasan berekspresi dan akademik di Indonesia kini mengalami sakaratulmaut, termasuk kebebasan pers mahasiswa. Salah satu Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Limas Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sriwijaya (UNSRI) Palembang adalah lembaga pers kampus yang diakui keberadaannya dan disahkan oleh Dekan FISIP UNSRI. LPM Limas menyampaikan kritik terkait kebijakan pembayaran uang kuliah tunggal (UKT), bukan mendapat tanggapan atas kasus yang terjadi justru langsung terkena ancaman sanksi akademik. Berikut kronologi yang dilampirkan pada pernyataan sikap dari LPM Limas:
Produk jurnalistik berupa opini karikatur yang diterbitkan melalui story Instagram oleh LPM Limas merupakan suatu bentuk kawalan isu terhadap permasalahan yang sedang terjadi di UNSRI. Pemberian saksi akademik pada jurnalis mahasiswa merupakan tindakan yang tidak menghargai kebebasan berekspresi yang dijamin dalam pasal 28F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa:
“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi degan segala jenis saluran yang tersedia.”
Lebih lanjut, kebebasan akademik diatur dengan jelas dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (Dikti). Dalam pasal 8 ayat (3) UU Dikti menyatakan bahwa:
“Pelaksanaan kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan di Perguruan Tinggi merupakan tanggung jawab Sivitas Akademika, yang wajib dilindung dan difasilitasi oleh Pimpinan Perguruan Tinggi.”
Untuk itu Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Nasional mengeluarkan pernyataan sikap:
Narahubung:
Badan Pekerja Advokasi Nasional PPMI
Abdul Haq (+62 822-1747-9191)
Biro Umum Nasional PPMI
Alvina N.A (+62 822-4522-4717)
Siaran Pers Bersama
Upaya Kriminalisasi Aksi Tembak Laser, Bukti Pimpinan KPK dukung Pelemahan KPK
Pada 19 Juli 2021 petang, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Biro Umum memberikan keterangan ke beberapa media, bahwasanya KPK telah melaporkan sejumlah aktivis antikorupsi yang menembakkan laser ke gedung KPK. Juru Bicara KPK Ali Fikri mengklaim aksi penembakan laser telah mengganggu ketertiban dan kenyamanan KPK. Jika menurut pada keterangan pernyataan pers dari KPK yang dimuat di sejumlah media, pelaporan yang dilakukan oleh KPK disebabkan karena aksi tersebut dinilai sebagai potensi kesengajaan melakukan gangguan ketertiban dan kenyamanan operasional perkantoran KPK sebagai objek vital nasional. Padahal aksi yang dilakukan merupakan bentuk keprihatinan terhadap lembaga Pemberantasan Korupsi dari serangkaian upaya-upaya pelemahan terhadap lembaga tersebut. Dimulai dengan direvisinya Undang-Undang KPK pada tahun 2019 hingga terakhir terkait dengan Tes Wawasan Kebangsaan. Aksi penembakan laser yang dilaporkan KPK hanyalah salah satu dari aksi-aksi yang telah dilakukan dan merupakan bagian dari rangkaian aksi-aksi yang sebelumnya dilakukan oleh koalisi masyarakat sipil dan gerakan mahasiswa di Jakarta dan di beberapa kota lainnya.
Pelaporan dan upaya pemidaanan terhadap aksi di gedung KPK merupakan peristiwa yang pertama kali, padahal telah sangat banyak aksi-aksi demonstrasi di gedung KPK sebelumnya dan tidak pernah ada upaya pemidanaan. Hal ini menunjukkan perubahan KPK dan Pimpinannya yang semakin jauh dari rakyat. Semakin hilang fokus dan kemampuan dari mengungkap korupsi-korupsi besar menjadi mempidanakan rakyat yang berusaha menjaga KPK. Ini menjadi rangkaian nyata pelemahan KPK setelah sebelumnya revisi UU KPK, serangan kepada pegawai-pegawai KPK, penyingkiran melalui Tes Wawasan Kebangsaan Illegal, dan lainnya.
Upaya pelaporan terhadap aksi-aksi seperti yang dilakukan oleh KPK, merupakan ancaman demokrasi kedepan, setidaknya hal tersebut didasarkan pada beberapa argumentasi mendasar:
Jakarta, 20 Juli 2021
Narahubung : Seluruh Perwakilan dari lembaga-lembaga
Siaran Pers Bersama