Pers Mahasiswa Besar Bukan Dari Pengakuan

0
1039
Sumber gambar: https://pixabay.com

Membuka dan membaca lagi sejarah perkembangan pers mahasiswa dalam buku Menapak Jejak Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI), tertulis bahwa pada Kongres PPMI ke-5 tahun 2000 memilih tema “Jati Diri Pers Mahasiswa sebagai Kontrol Sosial dan Agen Perubahan”. Jelas dalam tema tersebut tersirat bahwa tugas atau fungsi dari pers mahasiswa adalah menjadi kontrol sosial dan memperjuangankan perubahan yang bersifat kerakyatan.

Berani mengkritisi dan menyikapi kebijakan pemerintah yang memang dirasa kurang tepat, atau kebijakan yang tidak pro rakyat. Hal tersebut mengantarkan posisi pers mahasiswa selalu berseberangan dengan pemerintah. Dan tak jarang pers mahasiswa mendapatkan tindakan yang kurang bijak dari pemerintah, seperti intimidasi, pembreidelan media, atau bahkan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh militer.

Berada pada posisi yang berlawanan dengan pemerintah, membuat pers mahasiswa dalam wadah PPMI tumbuh tanpa pengakuan. Meskipun demikian memang PPMI sudah berani bersikap, untuk tidak mau berkompromi dengan pemerintah. Menempuh jalur birokrasi dan menuntut akan sebuah pengakuan hanya akan membuat lelah.

Pengakuan dari pemerintah pun sebenarnya akan membawa efek buruk juga bagi PPMI. Dalam naungan atau pengakuan pemerintah, sudah jelas posisi pemerintah yang berkuasa akan lebih leluasa untuk melakukan intervensi kepada gerakan pers mahasiswa. Pun keberlangsungan lembaga juga rawan diancam untuk dibubarkan.

Sikap PPMI saat itu untuk tidak mau berkompromi dengan pemerintah, merupakan tindakan yang tepat. Berjalan dan tumbuh berkembang tanpa pengakuan merupakan langkah PPMI agar tidak terjebak dalam kepentingan politik pemerintah.

Membawa ideologi “Membela kaum tertindas” mengharuskan PPMI untuk terus mengawasi kinerja pemerintah yang rawan penyalahgunaan jabatan, kekuasaan, dan tindakan kesewenang – wenangan. Berimbas pada nasib rakyat yang menjadi korban.

Jika periode I tahun 1993 PPMI masih terlihat berhati-hati dalam bersikap, maka periode II tahun 1995 PPMI berani bersikap. Secara tegas PPMI bersikap bahwa tidak butuh pengakuan atau legalitas. Berbagai pertimbangan praktis, elitis, dan kompromis ditanggalkan jauh – jauh. Menjunjung tinggi orientasi kritis, memperjuangkan kebebasan dan berpegang pada independensi media. Sikap tersebut dikenal dengan “Deklarasi Tegalboto”.

DEKLARASI TEGALBOTO

“Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia [PPMI] merupakan elemen kekuatan alternatif yang lahir dari pers mahasiswa dan atau lembaga pers mahasiswa di Indonesia untuk menghimpun potensi yang dimiliki dengan didasari komitmen moral, kerakyatan dan intelektualitas. PPMI adalah wadah yang berbasis pada pers mahasiswa dan atau lembaga pers mahasiswa di Indonesia menegaskan kembali bahwa PPMI tidak berorientasi kerja elitis dan bersifat mandiri sebagai basis tumbuhnya sikap idealisme dan kepedulian sosial.

Dengan keprihatinan bahwa kondisi sosial masyarakat saat ini mengalami degradasi struktural maupun moral maka PPMI meyakini bahwa fenomena sosial yang ada merupakan agenda permasalahan yang integral dalam pers mahasiswa sebagai manifestasi fungsi pers mahasiswa. Untuk itu diperlukan pers mahasiswa yang sanggup mengkonsolidasi kekuatan internal organisasinya, serta mempertegas sikap terhadap kondisi sosial masyarakat yang berkembang.

Berkaitan dengan ini maka PPMI menyerukan kepada pers mahasiswa dan lembaga pers mahasiswa untuk berani dan terus menerus menginformasikan persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat secara nyata dan utuh sebagai keberpihakan yang riil terhadap komitmen moral dan kerayatan.

Berkaitan dengan alat kemandiriannya, PPMI bertekat untuk terus memperjuangkan demorasi, independensi dan kebebasan pers mahasiswa Indonesia dengan tidak mengakui lembaga SIUPP dan STT. Langkah selanjutnya, PPMI sebagai salah satu bentuk lembaga mahasiswa yang berakar dari kekuatan mahasiswa akan terus memperjuangkan kebebasan akademis dengan tidak mengingkari nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 dalam kerangka kemanusiaan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

 Tegalboto Jember, 17 Desember 1995

 

Pengakuan atau Legalitas adalah Kesia-siaan

PPMI yang memantapkan posisi, orientasi, dan sikap oposisi sebagai pengawas kebijakan pemerintah. Serta sebagai sebuah badan pengontrol, PPMI harus benar-benar otonom, lepas dari keterkaitan apapun dengan pemerintah.

Diakui oleh pemerintah pun juga tidak ada jaminan yang pasti, bila pemerintah akan membantu pers mahasiswa atau PPMI ketika ada masalah. Yang kelihatan jelas justru peluang pemerintah untuk melakukan intervensi kedalam tubuh PPMI sangatlah besar. Bahkan sekali lagi –PPMI rawan untuk dibubarkan.

Sebagai organisasi yang didirikan tanpa orientasi politik, PPMI yang memiliki entitas pers mahasiswa diharuskan selalu kritis dalam beroposisi. Menjaga sikap untuk selalu berjarak dengan pemerintah dan selalu menolak pembatasan-pembatasan atas kebebasan.

Jika mau belajar dan melihat kondisi kebebasan pers di Indonesia sekarang, menuntut pengakuan adalah sebuah kesia-sian. Karena meskipun diakui secara keberadaan ataupun hukum seperti halnya pers umum,  kebebasan pers atau keselamatan kerja saat dilapang pun tak ada jaminan.

Pers umum yang secara undang – undang telah dilindungi oleh hukum, juga tidak bisa lepas dari kekerasan atau tindakan intimidasi. Berdasarkan catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia tahun 2016, kasus kekerasan terhadap wartawan hampir terjadi diseluruh wilayah Indonesia. Kasus – kasus tersebut didominasi kekerasan fisik, sebanyak 38 kasus, dan pengusiran sebanyak 14 kasus.

Dikutip dari tirto.id, menyebutkan bahwa pelaku kekerasan terhadap jurnalis pada tahun 2017 didominasi oleh warga sipil yakni, sebanyak 21 kasus. Disusul orang tak dikenal 10 kasus, polisi 9 kasus, politisi 7 kasus, militer 7 kasus, aparat pemerintah daerah 6 kasus, pejabat pemerintah 4 kasus, ormas 3 kasus, pelajar dan mahasiswa 2 kasus, serta masing-masing 1 kasus oleh advokat, aparat pemerintah pusat, dan hakim.

Kasus – kasus tersebut dapat menjelaskan bahwa kebebasan pers di Indonesia sangatlah buruk, dan pemerintah yang memiliki kekuasaan tidak mampu menjaminnya. Bahkan pemerintah sendiri juga menjadi salah satu aktor dalam kasus kekerasan yang menimpa wartawan.

Melihat kondisi tersebut seharusnya dapat memantapkan sikap PPMI untuk selalu terus memilih posisi berjarak dengan pemerintah, titik tanpa pengakuan. Sekali lagi, pengakuan atau legalitas adalah sebuah kesia-sian.

Lebih fokus pada pengembang anggota, memperluas jaringan, dan memperkuat basis media merupakan sikap yang lebih bijak. Mengingat ujung pergerakan pers mahasiswa adalah media. Pers mahasiswa harus memahami bahwa melalui kerja-kerja jurnalistik atau media, merupakan usaha dalam menjaga dan merawat idealisme serta jalan perjuangan pers mahasiswa.

Bukan justru mendekat dan merapat ke pemerintah untuk mencari posisi aman. Kalau boleh mengklaim –itu tindakan yang salah. Karena pers mahasiswa tumbuh dan berkembang dengan perjuangan bukan dengan pengakuan.[]