PPMI Kota Malang: Barcode Dewan Pers Rampas Kebebasan Bermedia

Dewan Pers abai pada keberadaan media online lain yang menunjang demokratisasi pers yang patuh pada kode etik jurnalistik.

0
669

Menanggapi kebijakan Dewan Pers untuk memberikan tanda berupa barcode per 9 Februari 2017 Kepada media nasional dan daerah menimbulkan beberapa permasalahan. Walaupun saat ini baru 74 media yang telah terverifikasi, aturan yang keluar karena maraknya media abal – abal dan berita hoax dapat menjadi bumerang bagi kebebasan berpendapat, berserikat, dan berekspresi serta menjamin terciptanya demokratisasi pers, khususnya bagi berbagai media komunitas dan media alternatif seperti pers mahasiswa.

Dengan adanya kebijakan barcode justru akan mempermudah terjadinya penutupan dan status media yang tidak valid dalam kerja jurnalistik dan kelembagaan. Walaupun telah melakukan pendataan dan verifikasi perusahaan pers, Dewan Pers abai pada keberadaan media online lain yang menunjang demokratisasi pers yang patuh pada kode etik jurnalistik. Termasuk potensi keberadaan kurang lebih 150 media online pers mahasiswa di seluruh Indonesia yang menjalankan kerja – kerja dan menaati kode etik jurnalistik.

Lebih jauh, persyaratan status media online yang terverifikasi oleh Dewan Pers belum ada aturan standarisasi yang pasti. Bila ditinjau melalui aturan, kategori media yang dilindungi oleh Dewan Pers hanya perusahaan pers yang memiliki status badan hukum, terdaftar di Kemenkumham, menggaji wartawannya, dan memiliki susunan keredaksian yang jelas. Otomatis dengan mahalnya biaya membentuk perusahaan tersebut, kerja – kerja jurnalistik hanya dapat dilakukan oleh pengusaha dan segelintir pemodal saja. Padahal disatu sisi Dewan Pers mempunyai kewajiban menjaga kehidupan pers di Indonesia, termasuk mengembangkan peran media alternatif yang memiliki keberpihakan pada kepentingan rakyat. Secara khusus, kondisi diperparah dengan hasil riset Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia yang mencatat 47 kekerasan dan represifitas terhadap pers mahasiswa. Berkembangnya berbagai media komunitas dan jurnalisme warga pun seakan tak didukung dan dipersempit ruang geraknya. Walau tak diblokir, media dengan lebel dari Dewan Pers pada akhirnya malah menggiring masyarakat mengkonsumsi wacana dari media bermodal saja.

Padahal dalam Undang-Undang Dasar 1945 menjamin kebebasan berekspresi sesuai dengan pasal 28 ayat 2 dan 3, serta pasal 28 F sebagai jaminan perlindungan terhadap kehidupan demokrasi yang sehat dan negara hukum yang berdaulat. Begitu pula dengan undang-undang nomor 12 tahun 2012 pada pasal 8 dan 9 tentang kebebasan mimbar akademik dan otonomi keilmuan yang menjamin Lembaga Pers Mahasiswa secara kelembagaan. Sementara itu aturan mengenai pengelolaan informasi, Persma memakai aturan UU Keterbukaan Informasi Publik sebagai sarana dalam mengoptimalkan pengawasan publik terhadap penyelenggaraan negara dan Badan Publik lainnya dan segala sesuatu yang berakibat pada kepentingan publik.

Oleh karena itu, dengan munculnya kebijakan Dewan Pers pada 9 Februari 2017 mendatang, PPMI Kota Malang menyatakan sikap:

  1. PPMI Kota Malang secara tegas menolak kebijakan Barcode yang diberlakukan oleh Dewan Pers.

  2. Menuntut transparasi kebijakan dari aturan Barcode dan verifikasi media massa.

  3. Mendesak Dewan Pers untuk menjamin keberadaan Pers Mahasiswa di Seluruh Indonesia dalam kerja Pers dan Jurnalistik sesuai asas bebas bertanggung jawab demi terselenggaranya kehidupan pers yang demokratis.

  4. Meninjau kembali UU Pers tentang syarat administrasi lembaga pers seperti yang tertera dalam UU No. 40 tahun 1999 tentang pers pasal 1 ayat 2.

  5. Mendorong media, pemerintah, dan masyarakat untuk menggerakan literasi media dan mendukung media yang berbasis komunitas dan warga.

Narahubung:

Imam Abu Hanifah – Sekretaris Jenderal PPMI Kota Malang (085696931450)

Bayu Diktiarsa – Divisi Advokasi PPMI Kota Malang (0819 0787 4525)